Aksara Lontara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Suntingan 140.213.179.20 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Danu Widjajanto
Tag: Pengembalian
Han4299 (bicara | kontrib)
 
(357 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Artikel bagus}}
{{untuk|aksara yang digunakan untuk menulis [[bahasa Makassar]] di masa lalu|Aksara Makassar}}
{{teks Lontara}}
{{Infobox writing system
|name=Lontara
|altname={{script|lont|ᨒᨚᨈᨑ}}
|type = Abugida
|time = Abad 1715 hingga sekarang
|languages = [[Bahasa Bugis|Bugis]], [[Bahasa Makassar|Makassar]], [[Bahasa Mandar|Mandar]], [[Bahasa Ende|Bima]] (dengan modifikasi), [[Bahasa Ende|Ende]] (dengan modifikasi)
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}
Baris 16 ⟶ 15:
|sample = Kata_lontara.png
|imagesize = 250px
|other-note = {{teks Lontara}}
|note=none
}}
'''Aksara Lontara''', juga dikenal sebagai '''aksara Bugis''', '''aksara Bugis-Makassar''', atau '''aksara Lontara Baru''' adalah salah satu [[aksara]] tradisional Indonesia yang berkembang di [[Sulawesi Selatan]] dan [[Sulawesi Barat]]. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa [[Bahasa Bugis|Bugis]], [[Bahasa Mandar|Mandar]], dan [[Bahasa Makassar|Makassar]], namuntetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti [[Bahasa Bima|Bima]] di [[Pulau Sumbawa|Sumbawa]] timur dan [[Bahasa Ende|Ende]] di [[Pulau Flores|Flores]] dengan tambahan atau modifikasi.{{sfn|Tol|1996|pp=213, 216}} Aksara ini merupakan turunan dari [[aksara Brahmi]] India melalui perantara aksara Kawi.{{sfn|Macknight|2016|p=57}} Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal, namuntetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
 
'''Aksara Lontara''', juga dikenal sebagai '''aksara Bugis''', '''aksara Bugis-Makassar''', atau '''aksara Lontara Baru''' adalah salah satu [[aksara]] tradisional Indonesia yang berkembang di [[Sulawesi Selatan]]. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa [[Bahasa Bugis|Bugis]] dan [[Bahasa Makassar|Makassar]], namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh Bugis-Makassar seperti [[Bahasa Bima|Bima]] di [[Pulau Sumbawa|Sumbawa]] timur dan [[Bahasa Ende|Ende]] di [[Pulau Flores|Flores]] dengan tambahan atau modifikasi.{{sfn|Tol|1996|pp=213, 216}} Aksara ini merupakan turunan dari [[aksara Brahmi]] India melalui perantara aksara Kawi.{{sfn|Macknight|2016|p=57}} Aksara Lontara aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
 
Aksara Lontara adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari 23 aksara dasar. Seperti aksara [[Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dengan [[tanda baca]] yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam aksara Lontara, sehingga teks Lontara secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
 
== Sejarah ==
Para ahli umumnya meyakini bahwa aksara Lontara telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh [[Islam]] yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa aksara Lontara menggunakan dasar sistem [[abugida]] [[aksara Brahmi|Indik]] ketimbang [[huruf Arab]] yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.{{sfn|Macknight|2016|p=55}} Aksara ini berakar pada [[aksara Brahmi]] dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.{{sfn|Macknight|2016|p=57}}{{sfn|Tol|1996|p=214}}{{sfn|Jukes|2014|p=2}} Kesamaan grafis aksara-aksara SumatraSumatera Selatan seperti [[aksara Rejang]] dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.{{sfn|Noorduyn|1993|pp=567–568}} Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara SumatraSumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararelparalel dari pengaruh purwarupa [[aksara Gujarat]], [[India]].<ref name="miller1">{{cite journal|url=http://journals.linguisticsociety.org/proceedings/index.php/BLS/article/view/3917|first=Christopher|last=Miller|title= A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines|journal=Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society|volume=36|issue=1|year=2010}}</ref>
 
Lontara di Sulawesi Selatan pertama kali berkembang di wilayah Bugis yaitu kawasan Cenrana-Walannae sekitar tahun 1400 M. Aksara ini mungkin telah menyebar ke bagian lain Sulawesi Selatan, beberapa ahli juga mempertimbangkan kemungkinan aksara ini berkembang secara mandiri. Yang jelas adalah bahwa catatan tertulis lontara yang paling awal yang ada buktinya adalah silsilah keluarga.<ref>{{cite journal|title=The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE|year=2009|publisher=KITLV Press Leiden|pp=63|author=Druce, Stephen C.}}</ref>
 
Pada saat kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, aksara lontara yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, kini dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi dengan menggunakan tinta pada kertas. R.A. Kern (1939:580-3) menuliskan bahwa aksara lontara termodifikasi yang memiliki bentuk lengkung yang ditemukan tertulis pada kertas tampaknya tidak ditemukan dalam naskah Bugis yang tertulis pada daun lontar yang ia teliti.<ref>{{cite journal|author=Druce, Stephen C.|year=2009|title=The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE|publisher=KITLV Press Leiden|pp=57-58}}</ref>
 
Melalui upaya ahli linguistik Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dibuat di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, digunakan sejak saat itu untuk pencetakan di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Mereka juga dijadikan model pengajaran aksara Lontara Bugis di sekolah-sekolah, awalnya di Makasar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap di daerah lain di Sulawesi Selatan. Proses standardisasi ini jelas mempengaruhi tulisan tangan di kemudian hari. Ketika model standar Lontara Bugis ini telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan menghilang.<ref>{{cite book |author= J. Noorduyn|year=1993|title= Variation in the Bugis/Makasarese script In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149,no:3|publisher=KITLV|page=535}}</ref> Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara [[Aksara Makassar|Makassar]] (atau aksara ''Jangang-Jangang'') telah sepenuhnya digantikan oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para juru tulis bahasa Makassar sebagai "Lontara Baru".{{sfn|Jukes|2019|pp=49}}
 
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, [[Aksara Makassar|Makassar]] (atau aksara ''Jangang-Jangang''), Lontara, [[huruf Arab|Arab]], dan [[huruf Latin|Latin]]. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan [[huruf jawi|Arab Melayu]].{{sfn|Tol|1996|pp=213–214}}
 
== Media ==
Baris 40 ⟶ 46:
|-
|align=center; colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="200px">
Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Historische_gedichten_en_fragmenten_uit_La_Galigo_poëzie_in_het_Buginees_op_lontarblad_dat_op_twee_houten_klossen_gewikkeld_is_TMnr_668-215.jpg|Gulungan lontar Bugis episode ''I La Galigo'' dalam koleksi Tropenmuseum
Berkas:BugineseMatthes1870s.jpg| Naskah kertas episode ''I La Galigo'' dalam koleksi Universitas Leiden
Baris 48 ⟶ 54:
</gallery>
|}
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskah kertas. Istilah '''''lontara''''' (kadang dieja '''''lontaraq''''' atau '''''lontara'''''' untuk menandakan bunyi [[Konsonan letup celah-suara|hentian glotal]] di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Makassar|Makassar]]. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (''lontara' pangngoriseng''), catatan harian (''lontara' bilang''), dan catatan sejarah atau [[Kronik (sejarah)|kronik]] (''attoriolong'' dalam bahasa Bugis, ''patturioloang'' dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.{{sfn|Tol|1996|pp=223–226}} Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.{{sfn|Cummings|2007|p=8}}{{sfn|Macknight|Paeni|Hadrawi|2020|pp=xi-xii}} Meskipun begitu, catatan sejarah seperti ''attoriolong'' Bugis dan ''patturiolongpatturioloang'' Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.{{sfn|Cummings|2007|p=11}}
 
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}} Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (Bugis: ''arung'', Makassar: ''karaeng''), atau perdana menteri (Bugis: ''tomarilaleng'', Makassar: ''tumailalang''). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namuntetapi apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.{{sfn|Tol|1996|pp=226–228}} Salah satu peninggalan catatan harian beraksara Lontara dalam koleksi publik adalah satu volume catatan harian Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22 [[Kerajaan Bone|Kerajaan Boné]], berkuasa 1775–1812 M) yang ia isi sendiri antara 1 Januari 1775 M hingga 1795 M.<ref>{{cite web |url=https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2015/01/the-bugis-diary-of-the-sultan-of-bon%C3%A9.html |title=The Bugis diary of the Sultan of Boné |last=Gallop |first=Annabel Teh |date=01 January 2015|publisher= British Library |access-date=11 April 2020}}</ref>
 
Salah satu sastra puitis yang umum ditemukan dalam naskah lontara adalah epos Bugis ''[[Sureq Galigo|I La Galigo]]'' ({{script|lont|ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ}}, dikenal pula dengan nama ''Sure' La Galigo'' {{script|lont|ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ}}). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episode cerita yang merentang hingga beberapa generasi karakter, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu kesatuan yang koheren. Apabila disatukan, keseluruhan ''I La Galigo'' dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastra terpanjang di dunia.{{sfn|Tol|1996|pp=222–223}} Konvensi puitis dan alusi ''Galigo'' kemudian melahirkan pula genre puisi ''tolo''', yang menggabungkan kesejarahan genre ''lontara''' dengan bentuk puitis ''Galigo''.{{sfn|Tol|1996|pp=228–230}}
 
Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.{{sfn|Tol|1996|p=223}} Naskah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran [[abjad Jawi]] untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di [[Sengkang]] yang mempublikasikan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah publikasi beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan aksara Lontara sepenuhnya.<ref name="tol">{{cite journal|url=https://www.researchgate.net/publication/276458982_Bugis_Kitab_Literature_The_Phase-Out_of_a_Manuscript_Tradition|first=Roger|last=Tol|title= Bugis Kitab Literature. The Phase-Out of a Manuscript Tradition|journal=Journal of Islamic Manuscripts |volume=6|page=66–90|year=2015|doi=10.1163/1878464X-00601005}}</ref>
Baris 58 ⟶ 64:
=== Penggunaan kontemporer ===
[[Berkas:Aksara_Lontara-10_Papan_tanda_museum_Balla_Lompoa.jpg|ka|240px|jmpl|Papan nama beraksara Lontara [[Museum Balla Lompoa]], [[Gowa]]]]
Dalam ranah kontemporer, aksara Lontara telah menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di Sulawesi Selatan sejak 1980-an dan dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Namun bukti-bukti [[anekdot]]al mensugestikan bahwa metode pengajaran kontemporer yang kaku dan materi bacaan yang terbatas justru berefek kontra-produktif dalam literasi masyarakat akan aksara Lontara. Generasi muda masyarakat Sulawesi Selatan umumnya hanya sadar akan adanya aksara Lontara dan mengenal beberapa huruf, namuntetapi jarang sekali ada yang mampu membaca dan menulisnya secara substansial. Kemampuan yang memadai untuk membaca dan menulis teks beraksara Lontara umumnya terbatas pada generasi tua yang kadang masih menghasilkan teks Lontara untuk tujuan pribadi.{{sfn|Jukes|2014|pp=16–17}}{{sfn|Macknight|2016|pp=66–68}} Salah satunya misal Daeng Rahman dari desa Boddia, [[Galesong, Takalar|Galesong]] (sekitar 15&nbsp;km di selatan kota [[Makassar]]), yang sejak tahun 1990 menuliskan kejadian-kejadian yang terjadi di Galesong (sebagaimana genre kronik ''attoriolong/patturioloang'') dalam catatan beraksara Lontara yang pada tahun 2010 mencapai 12 buku.{{sfn|Jukes|2014|p=12}} Teks Lontara yang isinya tidak dapat dibaca oleh pemiliknya kadang dikeramatkan, meski substansi isinya seringkali tidak sebanding dengan romantisasi pemilik teks tersebut. Saat sejarawan William Cummings sedang meneliti tradisi penulisan sejarah Makassar, misalnya, sebuah keluarga (yang semua anggotanya buta aksara Lontara) menuturkan padanya mengenai naskah warisan beraksara Lontara milik keluarga yang selama ini tidak berani mereka buka. Namun, ketika naskah tersebut akhirnya diperbolehkan untuk dilihat, ternyata isinya tidak lebih dari bon pembelian kuda.<ref name="cummings"/>
 
== Kerancuan ==
Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata tertutup meskipun bahasa [[bahasa Bugis|Bugis]] dan [[bahasa Makassar|Makassar]] yang kerap menggunakan aksara Lontara memiliki banyak kata dengan suku kata tertutup. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Lontara, sehingga kata seperti ''sara'' (kesedihan), ''sara''' (menguasai), dan ''sarang'' (sarang) semuanya akan ditulis sebagai ''sara'' {{script|lont|ᨔᨑ}} dalam aksara Lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan {{script|lont|ᨅᨅ}} dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: ''​babababa, baba', ba'ba, ba'ba', bamba,'' dan ''bambang''.{{sfn|Jukes|2014|p=6}}
 
Mengingat bahwa penulisan aksara Lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Lontara memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.{{sfn|Tol|1996|pp=216–217}}{{sfn|Jukes|2014|p=8}} Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga [[harakat|penanda vokal]] tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.
Baris 198 ⟶ 204:
! -é{{ref label|/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"|1}}
! -o
! -e{{ref label|/ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"|2}} (-ng{{sfn|Noorduyn|1993|p=549}})
|-
| [[Berkas:lon_i.png|90px]]
Baris 251 ⟶ 257:
 
=== Tanda baca ===
Teks tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara Lontara diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: '''''pallawa''''' (atau '''''passimbang''''' dalam [[bahasa Makassar]]) dan tanda pengakhir bagian. ''Pallawa'' berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat. Tanda baca ini dapat ditemukan dalam semua naskah beraksara Lontara. Tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab, namuntetapi penggunaannnya hanya teratestasi dalam lembar contoh aksara Bugis yang diproduksi [[:en:Imprimerie nationale|Percetakan Nasional Prancis]] (''Imprimerie Nationale'') pada tahun 1990akhir M1800-an.<ref name="uni"/><ref name="kai">{{cite journal|url=https://www.unicode.org/L2/L2003/03254-intro-bugis.pdf|first=Daniel|last=Kai|title=Introduction to the Bugis Script|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=L2/03-254|date=2003-08-13|publisher=Unicode}}</ref>
 
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | Tanda Baca
|-
! pallawa/
passimbang
! akhir bagian
|-
Baris 312 ⟶ 319:
== Sandi ==
[[Berkas:Buginese_cypher_script_cited_by_matthes.jpg|ka|240px|jmpl|Tabel sandi ''lontara bilang-bilang'' beserta ekivalen lontara standarnya sebagaimana dicatat oleh Matthes<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Eenige_proeven_van_Boegineesche_en_Makas.html?id=Ru4UAAAAYAAJ&redir_esc=y|title=Eenige proeven van Boegineesche en Makassaarsche Poëzie|first=B F|last=Matthes|publisher=Martinus Nijhoff|year=1883}}</ref>]]
Aksara Lontara memiliki versi [[sandi (kriptografi)|sandi]] bernama '''''[[Lontara Bilang-bilang]]''''' yang kadang digunakan dalam sastra Bugis untuk fungsi spesifik penulisan ''basa to bakke''', semacam teka-teki permainan kata, serta ''élong maliung bettuanna'', puisi dengan makna tersembunyi yang memanfaatkan ''basa to bakke'''. Dalam sandi ini, tiap aksara dasar dalam Lontara standar digantikan dengan bentuk-bentuk yang diturunkan dari [[abjad Arab|abjad]] dan [[angka Arab timur|angka Arab]]. Diakritik tidak diubah dan digunakan sebagaimana dalam Lontara standar, namuntetapi menempel pada aksara dasar yang bentuknya telah disandikan. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi [[abjad Arab]] yang tercatat pernah digunakan di wilayah Pakistan-Afghanistan. Prinsip dasar dari sandi ini adalah pengalihan atau subtitusi huruf [[huruf Arab|Arab]] menjadi stilisasi [[angka Arab|angka]] dari nilai masing-masing huruf berdasarkan [[sistem bilangan abjad|sistem bilangan abjad Arab]]. Dalam versi ''Lontara Bilang-bilang'', beberapa huruf untuk bunyi Arab yang tidak digunakan dalam bahasa Bugis dihilangkan, sementara huruf-huruf untuk bunyi yang muncul dalam bahasa Melayu dan Bugis ditambahkan melaui prinsip subtitusi yang sama.<ref name="miller"/><ref>{{cite journal|url=https://www.researchgate.net/publication/41017596_Fish_food_on_a_tree_branch_Hidden_meanings_in_Bugis_poetry|first=Roger|last=Tol|title=Fish food on a tree branch; Hidden meanings in Bugis poetry|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=148|issue=1|year=1992|place=Leiden|page=82-102|doi=10.1163/22134379-90003169}}</ref>
 
== Contoh teks ==
Baris 344 ⟶ 351:
|-
| {{script|Bugi|ᨕᨛᨃᨕᨛᨃᨁᨑᨙ᨞ ᨕᨛᨃᨔᨙᨕᨘᨓᨓᨛᨈᨘ᨞ ᨕᨛᨃᨔᨙᨕᨘᨓᨕᨑᨘᨆᨀᨘᨋᨕᨗᨑᨗᨒᨘᨓᨘᨆᨔᨒᨕᨘᨒᨗ᨞ ᨕᨗᨑᨚᨕᨑᨘᨆᨔᨒᨕᨘᨒᨗᨕᨙ᨞ ᨕᨊᨔᨙᨕᨘᨓᨕᨘᨓᨑᨗᨐᨗᨉᨚᨊᨑᨗᨐᨅᨚᨊ᨞ ᨊᨕᨊᨄᨈᨚᨒ᨞ ᨑᨗᨈᨊᨕᨙᨑᨗᨒᨘᨓᨘ᨞ ᨆᨔᨑᨊᨗᨕᨗᨉᨚᨊ᨞ ᨕᨅᨚᨊ᨞ ᨔᨅᨆᨒᨔᨆᨀᨘᨘᨓᨊᨕᨊᨊ᨞ ᨈᨘᨑᨘᨆᨊᨛᨈᨚᨊᨗ᨞ ᨔᨋᨚᨓᨙᨔᨗᨅᨓᨈᨅᨗᨕᨙᨆᨅᨘᨑ᨞ ᨆᨅᨙᨒᨊᨗᨆᨀᨛᨉᨕᨙ᨞ ᨕᨛᨃᨄᨗᨁᨊᨑᨗᨒᨔᨊᨕᨗᨐᨑᨚᨕᨑᨘᨆᨔᨒᨕᨘᨒᨗᨕᨙ᨞ ᨆᨕᨘᨅᨕᨘᨊᨈᨛᨄᨕᨘᨒᨙᨊᨗᨈᨕᨘᨓᨙᨆᨙᨆᨕᨘᨕᨗᨓᨗ᨞ ᨔᨅᨆᨀᨛᨎᨊᨊᨆᨀᨛᨅᨚᨀᨒᨕᨗᨒᨕᨗᨊ᨞}}
| ​11 | Engka engka-garé | engka séuwa wetu | engka séuwa aru makunrai ri-Luwu masala-uli | Iyaro aru-masala-ulié | ana séuwa-uwa riyidona riyabona | na-anapatola | ri-ta naé ri-Luwu | Masara-ni idona, abona | saba malasa-makuwana anana | Turu-mane-toni | sanrowé sibawa tabié mabura | Mabéla-ni make-daé | engka pinrana ri-lasana iya-ro aru-masa-la-ulié | Mau bauna te-paulé-ni tauwé mémauiwi | saba makencana na-makebo-kala i-laina |
|}
 
Baris 626 ⟶ 633:
|-
|align=center colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="150px">
Berkas:Sureq bawang.jpg|Naskah ''Sure' Bawang'', koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia
Berkas:Daftar kata-kata lontar.jpg|Naskah dengan daftar kata-kata dalam bahasa Makassar
<!--Berkas:Lontara_manuscript,_LOC_0050.jpg|Naskah ''Kisah Perang Dua Pangeran Bugis yang Memperebutkan Seorang Permaisuri'', koleksi Perpustakaan Kongres Amerika-->
Berkas:La galigo.jpg|Naskah ''I La Galigo'', koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia
<!--Berkas:Kutika manuscript 2.jpg|Naskah ''Kutika'' -->
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Akte met het zegel van de leenvorst van Bone TMnr 2522-3.jpg|Akta pinjaman dengan isi dan cap beraksara Lontara dari Kerajaan Boné tahun 1864, koleksi Tropenmuseum
<!--Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Drie fotografische reproducties met Arabische transcripties van de rijkszegels van Bone TMnr 915-11.jpg|Reproduksi beberapa cap dengan aksara Lontara dari Kerajaan Boné, koleksi Tropenmuseum-->
Berkas:Buginese chart of the East Indian Archipelago - ca. 1820 - UB Utrecht (cropped).jpg| Peta Nusantara dengan anotasi Lontara' dari sekitar 1820.
Berkas:Bible printed in Buginese.jpg|Injil berbahasa Bugis cetakan Lembaga Penginjil Belanda, tahun 1893
<!--Berkas:Elong sample matthes.jpg|Sebuah puisi ''élong maliung bettuanna'', dalam Lontara sandi dan Lontara standar sebagaimana dikutip Matthes (1883)-->
Berkas:Lontara computer font sample-salapa.jpg|Contoh salah satu font lontara digital kontemporer, [https://www.behance.net/gallery/60920609/Lontara-font-Salapa Salapa]
Berkas:KITLV_and_Buginese_poem.jpg|Salah satu [[:en:Leiden{{Interlanguage Walllink Poemsmulti|Puisi Tembok Leiden]]|en|Wall poems in Leiden}} yang beraksara Lontara di KITLV, [[Leiden]], Belanda
Berkas:Aksara_Lontara-19_Buku_mata_palajaran_bahasa_Bugis.jpg|Buku cetak modern untuk mata pelajaran Bahasa Bugis
Berkas:Aksara Lontara-17 Panduan hari baik dan buruk untuk turun ke sawah.jpg|Papan infografis mengenai hari-hari baik untuk turun ke sawah di [[Museum La Galigo]], [[Makassar]]
<!--Berkas:Aksara_Lontara-12_Nama-nama_bulan_yang_digunakan_di_Sulawesi_Selatan_sebelum_1520.jpg|Papan infografis mengenai nama-nama bulan tradisional di [[Museum Karaeng Pattingalloang]], [[Gowa]]-->
Berkas:Aksara Lontara-15 Papan tanda Baruga Somba Opu.jpg|Papan nama Baruga Somba Opu, [[Gowa]], dengan aksara Lontara (baris paling bawah) dan aksara Makassar (baris kedua dari bawah)
Berkas:Aksara Lontara-16 Papan tanda Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.jpg|Papan nama Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, [[Makassar]]. Terdapat kesalahan penulisan pada kata "Sulawesi Selatan" yang menggunakan aksara Lontara
<!--Berkas:Plang Nama Masjid Tiga Aksara.JPG|Plang sebuah masjid dengan abjad Arab, huruf Latin dan aksara Lontara di Sebatik Tengah, Nunukan.-->
Berkas:WikiPelatih PGRI Sulsel-13.jpg|Menulis aksara Lontara di komputer jinjing
</gallery>
Baris 691 ⟶ 699:
* [http://www.omniglot.com/writing/lontara.htm Artikel Lontara] di situs omniglot.com
* [https://bennylin.github.io/transliterasi/bugis.html Laman transliterasi aksara Lontara oleh Benny Lin]
* Unduh font aksara Lontara di [https://sites.google.com/site/niariot87/ Situs Saweri] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20130308094026/https://sites.google.com/site/niariot87/ |date=2013-03-08 }}, [https://aksaradinusantara.com/ Aksara di Nusantara], atau [https://www.google.com/get/noto/ Google Noto Font]
<!--
* {{id}} [http://groups.google.com/group/aksara-salman Milis aksara-nusantara] sebagai ruang virtual komunikasi.
Baris 700 ⟶ 708:
-->
{{jenis aksara|state=show|state2=show}}
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Aksara Nusantara|Lontara]]