Kesultanan Pajang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Pranala sama dengan teksnya) |
|||
(69 revisi perantara oleh 27 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name =
| common_name = Kerajaan Pajang
| native_name =
كسلطانن ڤاجڠ
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| year_end = 1587
|
|
|
|
|
|
| title_leader = Sultan
| leader1 = [[Hadiwijaya dari Pajang|Hadiwijaya]]
|
|
|
|
|
| leader4 =
| year_leader4 = | footnotes = {{note|est|1}} (1548-1568 adalah masa perebutan kekuasaan antara kerabat kerajaan setelah wafatnya penguasa terakhir Demak, [[Trenggana]]) | flag_p1 = Id-siak1.GIF
| event1 = [[Sunan Prapen]] menjadi mediator pertemuan antara [[Adiwijaya]] dengan para Adipati Jawa Timur
| date_event1 = 1568
}}
{{Sejarah Indonesia|Kerajaan Islam}}
'''Kesultanan Pajang''' atau '''Kerajaan Pajang''' [[Aksara Jawa]] :ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦥꦗꦁ (كسلطانن ڤاجڠ) adalah
==Bengawan
Masyarakat Nusantara dikenal sebagai masyarakat berperadaban tinggi. Di antara bukti penting tingginya peradaban masyarakat Nusantara, adalah keberadaan Prasasti. Baik dalam bentuk lempeng tembaga, maupun pahatan batu. Wilayah sungai [[Bengawan Solo|Bengawan]] merupakan kawasan yang banyak ditemui bermacam artefak dan prasasti. Banyak dari prasasti itu, menyimpan informasi terkait besarnya peradaban kuno masyarakat Nusantara.
Bengawan (yang dulu bernama sungai Wulayu), punya peran besar dalam membangun peradaban [[Nusantara]]. Khususnya dalam menjembatani antara peradaban pesisir dan peradaban pegunungan. Jalur Bengawan punya peran penting hampir di setiap zaman dan era peradaban. Tepatnya dari zaman [[Medang|Medang Kuno]] hingga akhir era [[Majapahit|Kerajaan Majapahit.]] Dan ini dibuktikan dari banyaknya temuan artefak sekaligus lempeng prasasti.
Pada era Medang Kuno, khususnya zaman transisi dari Medang Jawa Tengah menuju Medang Jawa Timur atau [[Mpu Sindok|Medang era Pu Sindok (929-947 M)]], sungai Bengawan berperan penting sebagai jalur transisi. Ini terbukti dari banyaknya prasasti yang membahas Bengawan. Seperti [[Prasasti Telang|Prasasti Tlang]] (903 M), [[Prasasti Sangsang]] (907 M), hingga Prasasti Pelem (929 - 947 M). Bahkan sampai saat ini, jejak artefak Pu Sindok masih banyak dijumpai di Jipang yang saat ini dikenal dengan [[Kabupaten Bojonegoro|Bojonegoro]].
Dalam Prasasti Tlang (903 M), menceritakan titik penyeberangan Bengawan. Dalam prasasti itu juga disebutkan kata "Lna" yang bermakna minyak tanah. Sebuah komoditas identik kawasan [[Malo, Bojonegoro|Telang Malo]], wilayah dekat [[Wonocolo, Kedewan, Bojonegoro|Wonocolo]] yang masuk dalam kawasan bantaran sungai Bengawan di Bojonegoro. Hal ini menjadi bukti betapa pesatnya peradaban di wilayah Bengawan.
Kawasan Bengawan kembali menjadi titik penting pada periode berikutnya. Yaitu periode Kerajaan [[Kerajaan Kahuripan|Medang Kahuripan]] yang dipimpin [[Airlangga|Raja Airlangga]]. Seperti dikabarkan dalam Prasasti Pucangan Sanskerta (1041 M), prasasti yang ditulis Raja Airlangga. Dalam prasaati itu dijelaskan, Lwaram dan [[Gunung Pandan|Gunung Pugawat]] adalah wilayah yang dikunjungi sekaligus dibangun Raja Airlangga, sebagai bukti kebesaran dan kekuasaan pemerintahan Medang Kahuripan.
Pada periode berikutnya, tepatnya pada zaman [[Singasari|Kerajaan Singhasari]], sungai Bengawan juga memiliki peran penting sebagai penyatu dua wilayah yang terpisah. Dalam Prasasti Maribong (1246 M), terpahat bahwa [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] berterimakasih pada para Brahmana Jipang. Sebab, Brahmana Jipang telah membantu [[Ken Arok|Raja Ken Anggrok]] dalam menyatukan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] dan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]], pasca dibagi dua oleh Raja Airlangga. Berkat penyatuan Jenggala dan Panjalu itulah, Kerajaan Singhasari bisa didirikan.
Wilayah Sungai Bengawan kembali berperan penting pada masa pendirian [[Majapahit|Kerajaan Majapahit.]] Hal ini sesuai data yang terpahat pada [[Prasasti Adan-adan]] (1301 M) yang ditulis oleh [[Raden Wijaya|Dyah Wijaya Jayawardhana]], pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam lempeng Prasasti Adan-adan yang ditemukan di bantaran [[Kabupaten Bojonegoro|Bengawan Bojonegoro]] itu, ditulis secara detail bahwa pendiri Majapahit telah memberikan sebuah hadiah tanah kepada Paduka Rajarsi, seorang Brahmana yang tinggal di wilayah Bengawan Jipang (Bojonegoro). Hadiah itu ditulis lengkap beserta batas-batas tanahnya, yang tentu, melintasi kawasan sungai Bengawan.
Wilayah Bengawan bahkan menjadi pengiring [[Majapahit|Masa Keemasan Kerajaan Majapahit]]. Dalam masa pemerintahan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] tersebut, sungai Bengawan mengalami puncak kemakmuran. Ini dibuktikan dari keberadaan [[Prasasti Canggu|Prasasti Naditira (1358 M)]] yang dirilis zaman Raja Hayam Wuruk. Dalam Prasasti itu, Raja Hayam Wuruk membuka dan meresmikan cukup banyak penyebrangan sungai Bengawan.
Hingga akhir masa [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]], kawasan Bengawan masih punya peran sangat penting. Ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Pamintihan (1437 M) yang dirilis oleh Raja terakhir Majapahit bernama [[Suraprabhawa|Dyah Suraprabhawa alias Bhre Pandansalas]] (1466-1468 M). Dalam Prasasti Pamintihan, dijelaskan secara detail tentang sebuah hadiah tanah di wilayah ekosistem Gunung Pandan (Bojonegoro). Hadiah ini diberikan Raja Pandansalas kepada seorang yang loyal padanya, yang bernama Arya Surung.
Kesultanan Pajang, secara geografis, memiliki hubungan dengan Bhre Pajang (penguasa kawasan selatan di akhir masa Majapahit). Kesultanan Pajang yang berdiri pada paruh kedua abad 16 M itu, punya hubungan khusus dengan keberadaan sungai Bengawan. Sebab, sungai Bengawan menjadi aset penting Kesultanan Pajang, khususnya dalam menghubungkan wilayah antara [[Kesunanan Giri|Giri Gresik]] (pesisir utara), Jipang (bengawan) dan Tembayat (pegunungan selatan). Giri, Jipang, dan Tembayat merupakan wilayah penting yang menjadi pondasi berdirinya Kesultanan Pajang.
== Berdirinya Pajang ==
Kesultanan Pajang menjadi [[kesultanan]] pertama di [[Jawa|Pulau Jawa]] yang pusat pemerintahannya terletak di kawasan pedalaman, yakni di Pajang.<ref>{{Cite book|last=Sidiq, R., Najuah, dan Lukitoyo, P. S.|date=2020|url=http://digilib.unimed.ac.id/48966/1/Book.pdf|title=Sejarah Indonesia Periode Islam|publisher=Yayasan Kita Menulis|isbn=978-623-6761-12-0|editor-last=Rikki, A., dan Simarmata, J.|pages=44|url-status=live}}</ref> Pada masa pembentukan Kesultanan Pajang, kerajaan Islam di daerah pesisir Pulau Jawa mengalami keruntuhan.
Menurut karya sastra berjudul [[Babad Tanah Jawi|Babad Tanah Jawa (1874 M)]] yang ditulis Pakubuwana dan penulis Belanda bernama Johannes Jacobus Meinsma, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian [[Ki Ageng Pengging]] dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap [[Demak]]. Putranya yang bergelar [[Jaka Tingkir]] setelah dewasa justru mengabdi ke [[Demak]].
Prestasi [[Jaka Tingkir]] yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu [[Trenggana]], dan menjadi bupati Pajang bergelar [[
Dalam tinjauan literatur, sastra Babad Tanah Jawa (1874 M), memiliki banyak ketidak sesuaian data. Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud, menyatakan ''Babad Tanah Jawa'' bukan karya ilmiah, tapi sastra pujangga. Menurut dua ahli sejarah Belanda itu, ''Babad Tanah Jawa'' tak bisa dipertanggungjawabkan karena bercampur pakem cerita dongeng.
Terlebih, banyak sumber-sumber literatur yang lebih tua dibanding Babad Tanah Jawa, yang tak pernah menyebut nama Joko Tingkir. Nama Joko Tingkir dan Mas Karebet pertamakali muncul pada Babad Tanah Jawa (1874 M), sebelumnya tidak pernah ada.
Sementara dalam catatan-catatan yang ditulis jauh lebih lama, seperti tulisan Rijklof van Goens (d. 1682 M) dan Francoise Valentijn (d. 1722 aM), nama pemimpin Kesultanan Pajang selalu disebut dengan nama Sultan Pajang, dan tak ditemukan nama Joko Tingkir maupun Mas Karebet.
Data-data dari catatan Rijklof van Goens (d. 1682 M) dan Francoise Valentijn (d. 1722 M), itu didukung sejumlah manuskrip peninggalan Kesultanan Pajang yang masih terawat di sejumlah pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur. Khususnya Manuskrip Padangan, Manuskrip Lasem, Manuskrip Gresik, dan Manuskrip Singgahan.
Dalam manuskrip-manuskrip dan catatan ilmiah yang berusia lebih tua daripada Babad Tanah Jawa (1874 M), tak ditemukan nama Joko Tingkir ataupun Mas Karebet, yang ada nama Sultan Adiwijaya atau Sultan Pajang.
== Perkembangan ==
Sesuai catatan Rijklof van Goens, sejak diresmikan [[Kesunanan Giri|Giri Kedaton]] pada awal abad 16 M, seluruh garis pantai “Laut Jawa” berada di bawah komando Kesultanan Pajang. Wilayah [[Madura]], [[Kota Surabaya|Surabaya]], [[Kabupaten Gresik|Giri]], [[Kabupaten Bojonegoro|Jipang]], [[Kabupaten Jepara|Jepara]] hingga [[Banten]] adalah kawasan yang membawa spirit ideologi Kesultanan Pajang.
Meski usianya tak begitu panjang, legasi dan pengaruh Kesultanan Pajang cukup kuat bertahan lama. Sebab, Kesultanan Pajang membangun ideologi kebudayaan. Khususnya dalam literatur Islam Jawi. Huruf Al Jawi bahkan menjadi identitas resmi kebudayaan Kesultanan Pajang.
Huruf Al Jawi sudah populer di Pulau Jawa sejak abad 14 M ([[Prasasti Terengganu|Trengganu, 1326 M]]), bersamaan kedatangan Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik. Huruf Al Jawi kian populer ketika Syekh Jumadil Kubro berdakwah di wilayah Bengawan Jipang ([[The History of Java|Raffles, 1817]]). Penggunaan huruf Al Jawi kian bergema ketika [[Sunan Ampel]], [[Sunan Bonang]], dan [[Sunan Giri]] mulai memproduksi teks-teks Al Jawi sebagai ''wasilah'' dakwah.
Saat Sunan Giri meresmikan pendirian Kesultanan Pajang, [[Abjad Pegon|huruf Al Jawi]] secara resmi menjadi huruf administratif yang digunakan Sultan Pajang dalam membangun ideologi Kesultanan Pajang. Huruf Al Jawi adalah bukti otentik Kesultanan Pajang mampu membangun [[Ideologi keberagaman|budaya hibrida]], merangkul dan merukunkan tradisi lama (Jawa) dan tradisi baru (Islam).
Bukti legasi Kesultanan Pajang, yang sulit terbantahkan, terdapat pada ''[[Naskah Merapi-Merbabu|Naskah Merapi-Merbabu (1592 M)]].'' Dalam naskah bernomor ''PN 9 L 110'', terdapat pembukaan pupuh yang berbunyi: “''Bismillahirrahmanirahim''“. Selain itu, pada naskah bernomor ''PN 7 L 29,'' terdapat tulisan tentang dialog Rasulullah SAW.
Harus diketahui, Merapi-Merbabu adalah wilayah di kawasan pegunungan (pedalaman Jawa). Wilayah dalam ''ring satu'' Kesultanan Pajang. Sementara tahun 1592 M menjadi periode puncak Kesultanan Pajang dalam membawa Islam ke wilayah selatan (pegunungan). Ini bukti penting bahwa Kesultanan Pajang, secara empiris, menjunjung tinggi tradisi keilmuan dan ramah pada perbedaan.
== Peran Walisongo ==
Kesultanan Pajang didirikan Para Wali sebagai representasi kehadiran [[Islam di Indonesia|Islam di Pulau Jawa]]. Baik di wilayah [[Bahasa Jawa Pesisir Utara Timur|Pesisir (utara Jawa),]] maupun wilayah pegunungan (selatan Jawa). Pendirian Kesultanan Pajang dibidani sejumlah Wali yang memiliki basis dakwah di kawasan pesisir, tengah, dan selatan [[Jawa|Pulau Jawa.]]
Dalam karya sastra [[Babad Tanah Jawi|Babad Tanah Jawa (1874 M)]] yang dipopulerkan [[Pakubuwana]] dan JJ. Meinsma, menyebut bahwa anggota Walisongo berjumlah sebanyak sembilan orang. Sebab, Songo berarti sembilan. Di antara anggotanya adalah; (1) [[Sunan Ampel]], (2) [[Sunan Bonang]], (3) [[Sunan Giri]], (4) [[Sunan Gunung Jati]], (5) [[Sunan Kalijaga]], (6) [[Sunan Drajat]], (7) Sunan Udung, (8) Sunan Muria, dan (9) Syaikh Maulana Maghribi.
Secara literatur, istilah ''Walisongo'' muncul pertama pada [[Babad Tanah Jawi|Babad Tanah Jawa]]. Pakem standar yang menyebut jumlah Wali ada sembilan orang, sumber tertuanya adalah karya sastra di era [[Pakubuwana|Pakubuwana dan JJ. Meinsma.]] Sebelum era sastra Babad Tanah Jawa, tak ditemui istilah Walisongo, namun Walisana.
Sementara karya turunan dari Babad Tanah Jawa seperti ''Babad Kartasura, Babad Banten, Babad Bandawasa, Babad Pathi, Babad Ajisoko, Babad Wirasaba, Babad Brebes, Babad Brawijaya, Babad Dipanegara, Babad Kebumen, Babad Trunojoyo'' juga memiliki informasi yang tak jauh berbeda dari sumber utamanya, yaitu Babad Tanah Jawa.
Pakem jumlah Wali sebanyak sembilan orang, berdampak pada kerap terjadinya kesalahan logika periodisasi. Misalnya, Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik digolongkan kedalam generasi [[Sunan Ampel]]. Padahal, Syekh Maulana Malik Ibrahim sudah wafat, bahkan ketika Sunan Ampel belum memulai gerakan dakwah. (Sunyoto, 2012)
Dalam ''Kitab Walisana'', literatur yang jauh lebih tua dibanding sastra Babad Tanah Jawa, memberi informasi sedikit berbeda. Literatur yang ditulis pada awal abad 16 M tersebut tidak menyebut Walisongo, tapi ''Walisana''. "Sana" merupakan bahasa Jawa kuno berarti tempat atau daerah. Walisana berarti Wali di suatu daerah.
Berdasar Kitab Walisana, jumlah Wali pada awal abad 16 M sebanyak delapan orang. Yaitu; (1) [[Sunan Ampel|Sunan Ampel di Surabaya]], (2) Sunan Gunung Jati di Cirebon, (3) Sunan Ngudung di Jipang, (4) Sunan Giri di Gresik, (5) Sunan Bonang di Tuban, (6) Sunan Alim di Majagung, (7) Sunan Mahmud di Drajat, dan (8) [[Sunan Kalijaga|Sunan Kali.]]
Istilah Walisana berkonsep Wali Wolu Siji Tinari. Setiap zaman dan era selalu memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda, berbasis titik kewilayahan dakwahnya. Walisana tidak berbasis pakem nama seperti Babad Tanah Jawa, tapi berbasis kewilayahan dakwah. Dalam konsep Walisana, memungkinkan cukup banyak nama Wali di tiap kewilayahan zaman.
Lahirnya Kesultanan Pajang pada awal abad 16 M, selain dipengaruhi hubungan baik antara Bhre Pandansalas dan Bhre Pajang (dua penguasa di periode akhir [[Majapahit]]), juga dibidani sejumlah Wali. Di antaranya Sunan Giri yang berdakwah di Pesisir Utara Jawa, Sunan Ngudung yang berdakwah di Bengawan (tengah) Jawa, dan Wali Tembayat yang berada di Pegunungan (selatan) Jawa.
== Pemberontakan Mataram ==
Menurut karya sastra [[Babad Tanah Jawi|Babad Tanah Jawa (1874 M)]] yang dipopulerkan [[Pakubuwana X|Sunan Pakubuwana Surakarta]] dan penulis Belanda bernama Johannes Jacobus Meinsma, terjadi perang antara Arya Jipang (penguasa Jipang) dengan Joko Tingkir dalam rangka memperebutkan tahta kerajaan Demak. Menurut sumber karya [[Pakubuwana|JJ. Meinsma]] itu, dari kemenangan Joko Tingkir inilah, kelak ia diangkat sebagai Sultan Pajang.
Babad Tanah Jawa juga melaporkan, pada 1582, saat Sutawijaya memimpin Mataram Islam dengan penuh kegemilangan, ia memberontak pada Sultan Pajang. Penyebabnya, Sutawijaya lebih membela adik iparnya yang bernama Tumenggung Mayang, saat menerima hukum buang ke Semarang oleh Sultan Pajang.
Perang besar antara Sutawijaya Mataram dengan Sultan Pajang pun tak terhindarkan. Babad Tanah Jawa menceritakan, dalam peperangan maha dahsyat itu, Mataram Islam mengalami kemenangan, meski pasukan Kesultanan Pajang berjumlah lebih besar.
Sejumlah sejarawan seperti Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud tak begitu mempercayai cerita Babad Tanah Jawa karya JJ. Meinsma tersebut. Keduanya menyatakan ''Babad Tanah Jawa'' karya JJ. Meinsma bukan karya ilmiah, tapi sastra pujangga.
== Keruntuhan ==
Berdasar sastra [[Babad Tanah Jawi|Babad Tanah Jawa (1874 M)]] karya penulis Belanda [[Pakubuwana|JJ. Meinsma dan Pakubuwana]], yang menjadi sumber dari sejumlah naskah Babad di pulau Jawa, khususnya babad-babad yang merupakan karya turunan dari sastra Pakubuwana diceritakan:
Di bawah kekuasaan raja baru, Kerajaan Pajang telah melakukan pemberontakan besar dan perluasan istana kerajaan. Namun pemerintahannya tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1591, tiga tahun kemudian ia meninggal. Sebagai penggantinya, raja Mataram yang saat itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja di [[Jawa Tengah]], menunjuk putra Pangeran Benawa, cucu almarhum Sultan Adiwijaya untuk memerintah Pajang sebagai [[vasal]] (wilayah asosiasi) Mataram. Sesudah Senopati Mataram meninggal pada tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, [[Anyakrawati|Panembahan Seda-Ing Krapyak]] (1601-1613), Pangeran Benawa II memerintah Pajang tanpa kesulitan besar meskipun dengan usianya yang masih muda.{{Sfn|de Graaf|2019|p=374}}
Pada tahun 1617 hingga 1618 timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung]]. Pemberontakan tersebut dibantu oleh sekelompok masyarakat yang tidak puas di Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah Pajang tersebut disertai penghancuran besar-besaran, dan penduduk desa setempat diangkut secara paksa untuk membantu pembangunan kota kerajaan yang baru. Setelah bencana tersebut, sisa-sisa daerah Pajang selama sebagian besar abad ketujuh belas menjadi lemah terhadap perkembangan [[ekonomi]] dan [[politik]], sampai ketika cucu Sultan Agung, [[Mangkurat II]], terpaksa meninggalkan tanah warisannya, Mataram. Ia kemudian memerintahkan membangun istana kerajaan yang baru, [[Kartasura, Mataram|Kartasura]], di Pajang.{{Sfn|de Graaf|2019|p=375}}
Pada tahun 1618 raja terakhir dari keluarga raja Pajang, setelah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram, melarikan diri ke Giri dan [[Kota Surabaya|Surabaya]]. selama masih memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang masih memiliki hubungan yang baik dengan keluarga raja-raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa ketiga abad ketujuh belas, perlawanan terhadap ekspansi Sultan Agung terpusat di sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di Tambak Baya (sekarang [[Kota Madiun|Madiun]]), sebagai seorang vasal Pajang yang terakhir juga ikut melarikan diri ke Surabaya.{{Sfn|de Graaf|2019|p=375}}
== Daftar Pejabat ==
=== Daftar Sultan ===
{| class="wikitable" style="text-align:center;"
|-
! No.
! Sultan
! Mulai Jabatan
! Akhir Jabatan
! Jabatan <br> Sebelumnya
! Termuat Dalam
|-
|1.
|[[Jaka Tingkir]]
| 1554
| 1583
|Adipati Pajang
|*[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|2.
|[[Arya Pangiri]]
|1583
|1586
|Adipati Demak
|*[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|3.
| [[Pangeran Benawa]]
| 1586
| 1587
|Adipati Jipang
|*[[Babad Tanah Jawi]]
|}
=== Daftar Menteri dan Staf ===
{| class="wikitable"
|-
! Nama !! Jabatan !!
|-
|[[Sunan Prapen|Sunan Giri]] ||Mufti ( Pemimpin Fatwa )
|-
|[[Sunan Kalijaga]] ||Penasihat
|}
=== Daftar Kepala Daerah ===
{| class="wikitable"
|-
! Nama !! Jabatan !! Termuat Dalam
|-
|[[Ki Panjawi]]||Adipati Pati ( [[Kabupaten Pati]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|[[Ki Ageng Pemanahan]]||Adipati Mataram ( [[Kota Yogyakarta]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|[[Arya Pangiri]]||Adipati Demak ([[Kabupaten Demak]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|[[Panji Wiryakrama]]||Adipati Surabaya ( [[Kota Surabaya]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|[[Raden Pratanu]]||Adipati Madura ([[Kabupaten Sumenep]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|[[Arya Pamalad]]||Adipati Tuban ([[Kabupaten Tuban]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|-
|[[Pangeran Benawa]]||Adipati Jipang ([[Kabupaten Blora]] )
||[[Babad Tanah Jawi]]
|}
== Saat Menjadi bawahan Majapahit ==
Pajang menjadi negeri bawahan [[Majapahit]] yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar '''Bhre Pajang'''<ref>{{Cite web|title=Kitab Pararaton (terjemahan)|url=http://majapahitprana.blogspot.com/p/kitab-pararaton-terjemahan.html?m=1|website=majapahitprana.blogspot.com|language=id|access-date=19 Desember 2021}}</ref><ref>{{Cite web|title=Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Nagarakretagama|url=http://www.historynote.wordpress.com/2011/04/28/negarakertagama/amp/|website=historynote.wordpress.com|pages=Pupuh 5 dan 6|language=id|access-date=19 Desember 2021}}</ref><ref>{{Cite web|title=Silsilah Lengkap Pararaja Majapahit Versi Siwi Sang|url=https://siwisang.wordpress.com/2016/06/10/silsilah-lengkap-pararaja-majapahit-versi-siwi-sang/|website=siwisang.wordpress.com|language=id|access-date=17 Juli 2022}}</ref>
Bhre Pajang yang pernah menjabat ialah :
1. Rajasaduhita Iswari Dyah Nirtaja 1350-1388
2. Suhita 1389-1415
3. Sureswari 1429-1450<ref>{{Cite web|title=Tokoh Majapahit Paling Berpengaruh dalam Prasasti Waringin Pitu 1447 M|url=https://www.kompasiana.com/amp/siwisang/tokoh-majapahit-paling-berpengaruh-dalam-prasasti-waringin-pitu-1447m_54f6a8d4a33311e15b8b456f|website=kompasiana.com|language=id|access-date=17 Juli 2022}}</ref>
== Saat menjadi bawahan Kesultanan Mataram ==
Setelah terjadi Perpindahan kekuasaan ke [[Kesultanan Mataram|Mataram]] (1587) status Pajang berubah kembali menjadi Kadipaten.
# Pangeran Gagak Baning (1587-1591), adik dari [[Panembahan Senapati]]
# Pangeran Sidawini (1591-1617)<ref>{{Cite web|title=Kesultanan Pajang|url=https://m.wiki-indonesia.club/wiki/Kesultanan_Pajang|website=wiki-indonesia.club|language=id|access-date=17 Juli 2022}}</ref>
== Referensi ==
Baris 109 ⟶ 225:
== Daftar pustaka ==
{{refbegin|1}}
* {{Cite book|last=Any|first=Andjar|date=1980|title=Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi|location=Semarang|publisher=Aneka Ilmu|isbn=|pages=|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Any|first=Andjar|date=1979|title=Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon|location=Semarang|publisher=Aneka Ilmu|isbn=|pages=|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Prawirayuda|first=Prawirayuda|last2=Sastradiwirya|first2=Sastradiwirya|date=1989|title=Babad Majapahit dan Para Wali Jilid 3|location=Jakarta|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah|isbn=|pages=|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Olthof|first=W. L.|date=2007|title=Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647|location=Yogyakarta|publisher=Narasi|isbn=9789791681629|pages=|url-status=live}}
* {{Cite book|last=de Graff|first=H.J.|last2=Pigeaud|first2=TH. G. TH.|date=2019|title=Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan V edisi revisi|location=Yogyakarta|publisher=MataBangsa|isbn=9789799471239|pages=|url-status=live}}
* {{cite book|title=Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI|last=hayati|first=Chusnul|publisher=Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/13721/1/Peranan%20ratu%20kalinyamat%20di%20jepara%20pada%20abad%20xvi.PDF|year=2000|isbn=|location=Jakarta|ref={{sfnref|Hayati|2000}}|url-status=live}}
* {{cite book|title=Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram|last=Moedjianto|first=G.|publisher=Kanisius|url=https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=518699|year=1987|isbn=9780230546868|location=Yogyakarta|ref={{sfnref|Moedjianto|1987}}|url-status=live}}
* {{cite book|title=Sejarah Raja-Raja Jawa|last=Purwadi|first=Purwadi|publisher=Media Ilmu|url=https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=626904|year=2007|isbn=|location=Yogyakarta|ref={{sfnref|Purwadi|2007}}|url-status=live}}
* {{cite book|title=A History of Modern Indonesia since c. 1200|last=Ricklefs|first=M.C.|publisher=Palgrave MacMillan|url=https://www.google.co.id/books/edition/A_History_of_Modern_Indonesia_since_c_12/HPEnBQAAQBAJ?hl=en&gbpv=0|year=2008|isbn=9780230546868|location=New York|ref={{sfnref|Ricklefs|2008}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Muljana|first=Slamet|date=1979|title=Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya|location=Jakarta|publisher=Bhratara|isbn=|pages=|url-status=live}}
{{Kerajaan di Jawa|Kerajaan DJIPANG = Jawa tengah|P. Arya Penangsang = }}
[[Kategori:Kesultanan Pajang|Kesultanan Pajang]]
[[Kategori:Kerajaan Pajang]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Pajang]]
[[Kategori:Kesultanan di Nusantara]]
[[Kategori:Sayyid]]
|