Bersuci dalam Islam: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Referensi dan Catatan Kaki: Perbaikan pranala non aktif tentang thaharah sebelumnya Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
(14 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{refimprove|date=Juli 2019}}
'''Bersuci dalam Islam''' ({{lang-ar|الطهارة|translit=al-ṭahārah}}) merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin.{{Sfn|Muiz|2013|p=5. : "Suci dari hadas ialah dilakukan dengan cara mandi, berwudhu, dan bertayamum. Sedangkan suci dari najis ialah dengan cara menghilangkan najis yang ada di badan, tempat, maupun pakaian."}} Kedudukan bersuci dalam hukum Islam termasuk ilmu dan amalan yang penting, terutama karena di antara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. Firman Allah:{{Sfn|Muiz|2013|p=5-6}}
{{Cquote|"... dan Allah menurunkan air atas kamu sekalian dari langit agar kalian menyucikan diri dengannya... (QS Al-Anfaal [8]:11)"}}{{Cquote|Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS. Al-Baqarah [2]:222)}}
Bersuci hukumnya wajib bagi seorang Muslim yang akan melaksanakan [[shalat]], untuk itu perlu bagi seorang Muslim untuk memahami perkara-perkara perihal bersuci dari hadas dan najis.{{Sfn|Ash' Shiddieqy|153|p=153. : "Masalah ini (hukum ini) telah diijmak oleh para ulama seluruhnya, lantaran yang demikian ditunjuki oleh ayat (Al-Qur'an) dan sunnah."}}
== Pengertian
Secara bahasa ''thaharah'' artinya membersihkan kotoran, baik kotoran yang berwujud maupun yang tak berwujud. Kemudian secara istilah, ''thaharah'' artinya menghilangkan [[hadas]], [[najis]], dan kotoran (dari tubuh, yang menyebabkan tidak sahnya ibadah lainnya) menggunakan air atau tanah yang bersih.<ref>[[Al-Mughni]] karya [[Ibnu Qudamah]] (I/12) Taudhih Al-Ahkam syarh [[Bulughul Maram]] karya Abdullah Al-Bassam (I/87)</ref> Sedangkan menurut [[Syariat Islam|hukum Syara']], ''thaharah'' artinya suci dari hadas dan najis.{{Sfn|Muiz|2013|p=5}}
== Perkara
Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:
* Alat bersuci, seperti air
* Kaifiat (cara) bersuci
* Jenis najis yang perlu disucikan
Baris 17:
* Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci
== Jenis
Thaharah terbagi menjadi dua, secara batin dan lahir, keduanya termasuk di antara cabang keimanan. Thaharah bathiniyah: ialah menyucikan diri dari kotoran kesyirikan dan kemaksiatan dari diri dengan cara menegakkan [[tauhid]] dan beramal saleh. Thaharah lahiriyah: ialah menyucikan diri menghilangkan [[hadats]] dan [[najis]].<ref>[[Syarhul Mumti]] karya Ibnu Al-Utsaimin (I/19), [[Minhajul Muslim]] karya [[Abu Bakar Al-Jazairi]] (hal 170), Syarah [[Umdatul Ahkam]].</ref>
== Bentuk
[[Berkas:Children of Iran Of qom کودکان ایرانی، کودکان قمی 30.jpg|jmpl|Seorang anak bersuci dengan tanah (tayamum).]]
Thaharah dengan air seperti [[Wudu|wudhu]] dan [[Mandi Janabah|mandi besar (junub)]], dan ini adalah bentuk bersuci secara asal. Thaharah dengan tanah (debu) yakni [[tayamum]]{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=153. : "Wajib bersuci dengan air di ketika adanya serta mungkin memakainya, dan tidak pula dibutuhkannya untuk keperluan yang lain, dan wajib bertayamum dengan tanah di ketika ketiadaan air."}} sebagai pengganti air ketika tidak ada air ataupun sedang berhalangan menggunakan air.<ref>[[Minhajus Salikin]]</ref>
==
Tujuan paling mendasar dari bersuci adalah sebagai syarat sah untuk salat. Ini telah disepakati bersama melalui [[ijmak]].{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11}}
Najis merupakan kotoran yang wajib dijauhi dan wajib dibersihkan bila terkena badan seorang Muslim.<ref>"...dan pakaianmu bersihkanlah.." QS Al-Muddatsir: 4,http://quran.com/74/4"</ref> Hukum asal dari suatu benda adalah bersih dan boleh dimanfaatkan, hingga kemudian (apabila) didapatkan adanya [[dalil]] yang menyatakan kenajisannya (maka dia dihukumi najis).
Baris 36 ⟶ 39:
Contoh najis mugallazah adalah jilatan anjing dan babi. jika terkena ini, maka cara menghilangkannya adalah dengan membasuh dengan air mengalir sebanyak 7 kali yang di sela-selanya diusap dengan debu (air tanah).
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali menyepakati bahwa najis hanya dapat dihilangkan menggunakan air. Sedangkan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa [[cairan]] lain dapat menghilangkan najis selama dalam keadaan suci.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11}}
Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci lagi menyucikan.{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=153. : "Tidak dapat dihilangkan najis, melainkan dengan air."}} Air tersebut bisa berasal dari langit ([[hujan]]) maupun berasal dari [[Bumi]] ([[air tanah]] dan [[air laut]]) yang masih murni dan belum pernah digunakan (bukan bekas pakai). Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air yang bersih, suci, lagi menyucikan ada 7 jenis, yaitu:{{Sfn|Muiz|2013|p=6}}▼
== Bersuci dengan air ==
▲Air yang dapat digunakan untuk bersuci haruslah air yang bersih, suci lagi menyucikan.{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=153. : "Tidak dapat dihilangkan najis, melainkan dengan air."}} Air tersebut bisa berasal dari langit ([[hujan]]) maupun berasal dari [[Bumi]] ([[air tanah]] dan [[air laut]]) yang masih murni dan belum pernah digunakan (bukan bekas pakai). Jika ditelaah dari jenis-jenisnya, air yang bersih, suci, lagi menyucikan ada 7 jenis, yaitu: air hujan, air laut, air salju, air embun, air sumur, air telaga, dan air sungai.{{Sfn|Muiz|2013|p=6}}
Sementara itu selain jenis-jenis air, menurut hukum Islam air itu sendiri dibagi menjadi empat golongan, yaitu:{{Sfn|Muiz|2013|p=6-7}}
Baris 50 ⟶ 49:
* Air ''Musyammas.'' Air ini adalah air yang dipanaskan dengan [[sinar matahari]] di tempat (wadah) yang tidak terbuat dari [[emas]].{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=154. : "Memakai bejana-bejana emas dan perak untuk tempat makan, minum dan wudhu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, dilarang; haram hukumnya."}} Hukum air ini adalah suci lagi menyucikan, namun hukumnya [[makruh]] untuk digunakan bersuci.{{Sfn|Muiz|2013|p=7}}{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=153. : "Demikianlah pendapat yang lebih shahih dari mazhab Syafi'i."}} Ada pula ulama yang memakruhkan air yang memang sengaja dipanaskan dengan [[api]].{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=153. : "... Ahmad memakruhkan air yang dipanaskan dengan api"}}
* Air ''Musta'mal.'' Air ini adalah air bekas menyucikan [[hadas]] dan [[najis]]. Walaupun air ini tidak berubah rasanya, warnanya, serta baunya, bahkan sebenarnya air ini masih bersih dan suci. Akan tetapi air ini tidak dapat digunakan untuk bersuci.{{Sfn|Muiz|2013|p=7}}{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=153. : "Demikianlah pendapat yang lebih shahih dari mazhab Asj Syafi'i dan Ahmad. Dan itulah yang mahsyur dari mazhab Abu Hanifah."}}
* Air ''Mustanajjis.'' Air ini adalah air yang sudah terkena atau tercampur dengan najis, sedangkan volumenya kurang dari dua
* Air yang bercampur dengan barang yang suci. Air ini adalah air ''muthlaq'' pada awalnya, kemudian air ini tercampur (kemasukkan sesuatu) dengan barang yang sebenarnya tidak najis, misalkan sabun tau bahan makanan. Air seperti ini hukumnya tetap suci, amun jika sifat air sudah berubah sifat, rasa, bau, dan warnanya, maka air tersebut menjadi tidak bisa digunakan untuk bersuci.{{Sfn|Sabiq|1990|p=37. : "Hukumnya tetap mensucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi diaktakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak mensucikan bagi lainnya."}}
Dari semua jenis-jenis air diatas, ada satu jenis air lagi yang suci tetapi haram digunakan untuk bersuci. Air yang dimaksud di sini ialah air yang didapat dengan cara ''ghahsab'' atau mencuri (mengambil atau memakai tanpa izin).{{Sfn|Muiz|2013|p=7}}
Para ulama menyepakati bahwa bersuci dengan air hukumnya wajib ketika air tersedi dan dapat digunakan tanpa adanya keperluan lain yang lebih penting. Misalnya, air hanya cukup untuk keperluan minum.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11}}
▲== Lihat Pula ==
=== Air laut ===
Para [[fukaha]] awal yang hidup di kota [[Kufah]] dan [[Basra]] bahwa [[air laut]] merukan jenis air yang suci dan menyucikan. Sifatnya sama seperti air suci lainnya dan tidak tergantung kepada rasanya. Air laut yang berasa tawar dan berasa asin memiliki kedudukan yang sama. Namun, beberapa ulama menetapkan larangan berwudu dengan air laut. Kelompok ahli fikij tertentu juga hanya mengizinkan berwudu dengan air laut pada keadaan darurat saja. Beberapa ahli fikih lain menetapkan bahwa [[tayamum]] lebih utama jika hanya ada air laut yang dapat digunakan untuk berwudu.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11}}
=== Air panas ===
Hukum memakai air panas akibat paparan [[sinar matahari]] adalah makruh menurut Imam Syafi'i. Namun, para pengikut setelahnya memberikan pendapat bahwa hukumnya tidak makruh. Hal yang sama diutarakan oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali. Para ulama juga meneyepakati bahwa air yang dimasak tidak makruh. Namun, Mujahid memakruhkan air yang dimasak. Sedangkan Mazhab Hambali menyatakan air yang dimasak hukumnya makruh ketika dipanaskan dengan api.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11}}
=== Air bekas bersuci ===
Hukum dari air bekas bersuci adalah suci tetapi tidak menyucikan. Pendapat ini disetujui oleh sebagai besar [[ulama]] dalam Mazhab Hanafi. Sedangkan sebagian lainnya menetapkan air bekas bersuci sebagai najis. Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali menyepakati bahwa air bekas bersuci adalah suci tetapi tidak menyucikan. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, air bekas bersuci dapat menyucikan.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11-12}}
=== Air yang berubah warna ===
Menurut Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali, air yang berubah [[warna]] karena bercampur dengan cairan suci lainnya tidak dapat digunakan untuk bersuci jika perubahan warnanya sangat jelas. Sedangkan Mazhab Hanafi menyepakati bahwa air tersebut boleh digunakan untuk bersuci. Alasan yang dikemukakan oleh Mazhab Hanafi adalah sifat air yang suci tidak hilang akibat bercampur dengan cairan suci lainnya karena unsur-unsur air tetap tidak hilang. Para ulama juga menyepakati bahwa air yang berubah warna akibat disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa digunakan hukumnya adalah suci. Namun, dalam periwayatan Ibnu Sirin, air dengan kondisi demikian tidak boleh digunakan untuk bersuci.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=12}}
== Bersuci dengan tanah ==
[[Tayamum]] dengan tanah atau debu wajib hukumnya ketika air tidak ada sama sekali.{{Sfn|ad-Dimasyqi|2017|p=11}}
== Lihat pula ==
* [[Mazhab]]
== Referensi
=== Catatan {{Reflist}}
=== Daftar pustaka ===
* Thaharah Nabi, Tuntunan Bersuci Lengkap; DR [[Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani]]; Yogyakarta:(2004) Media Hidayah
* Muiz, Abdul. ''Panduan Shalat Terlengkap.'' Jakarta: Pustaka Makmur. 2013. ISBN 602-7639-65-2
* Ash' Shiddieqy, M. Hasbi. ''Hukum Islam.'' Jakarta: Pustaka Islam. 1962.
* Sabiq, Sayyid. ''Fikih Sunnah.'' Bandung: Al-Ma'ruf. 1990. <nowiki>ISBN 979-400-038-8</nowiki>
* {{Cite book|last=Ad-Dimasyqi|first=Muhammad bin 'Abdurrahman|date=2017|title=Fiqih Empat Mazhab|location=Bandung|publisher=Hasyimi|isbn=978-602-97157-3-6|ref={{sfnref|ad-Dimasyqi|2017}}|url-status=live}}
{{Bersuci}}
[[Kategori:
|