Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
EJHalfz (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(101 revisi perantara oleh 72 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
{{Tanpa referensi}}
{{Riset asli}}}}
{{Infobox military conflict
| conflict = Serangan Umum 1 Maret 1949
| partof = [[Revolusi Nasional Indonesia]] dan
[[Serangan Umum Yogyakarta dan Surakarta]]
| image = Munumen Serangan Umum 1 Maret 1949.jpg
| image_size = 320px
| caption = Monumen Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta
| date = 1 Maret 1949
| place = [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], [[Indonesia]]
| territory =
| result = Penarikan pasukan Belanda pada tanggal 29 Juni 1949
| combatant1 = {{flag|Indonesia}}
| combatant2 = {{flag|Belanda}}
| commander1 = {{nowrap|{{flagicon|Indonesia}} [[Hamengkubuwono IX]]<br>{{flagicon|Indonesia}} [[Letnan Jenderal|Letjen]] [[Soedirman]]<br>{{flagicon|Indonesia}} [[Kolonel|Kol]] [[Bambang Soegeng]]<br>{{flagicon|Indonesia}} [[Letnan Kolonel|Letkol]] [[Soeharto]]}}
| commander2 = {{flagicon|Netherlands}} [[Mayor Jenderal|Mayjen]] [[Dirk Reinhard Adelbert van Langen|Langen]]<br>{{flagicon|Netherlands}} [[Mayor Jenderal|Mayjen]] Meyer<br>{{flagicon|Netherlands}} [[Letnan Kolonel|Letkol]] Van den Berge
| units1 = [[Tentara Nasional Indonesia]]
| units2 = [[Angkatan Darat Kerajaan Belanda]]<br>[[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]]
| strength1 = 10,000–22,000
| strength2 = 2,000–3,000
| casualties1 = ~300 tentara dan 53 polisi tewas
| casualties2 = ~170 tentara dan polisi tewas dan terluka
| casualties3 =
| notes =
| campaignbox =
}}
{{Campaignbox Revolusi Nasional Indonesia}}
'''Serangan Umum 1 Maret 1949''' merupakan serangan militer selama [[Revolusi Nasional Indonesia]] di mana [[Kota Yogyakarta]] dikuasai oleh pasukan Indonesia selama enam jam. Serangan ini berperan penting dalam menyebabkan tekanan internasional terhadap Belanda.
'''Serangan Umum 1 Maret 1949''' adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi [[Indonesia]] dalam perundingan yang sedang berlangsung di [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan]] [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|PBB]] dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan [[Belanda]] serta membuktikan pada dunia [[internasional]] bahwa [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. [[Soeharto]] pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]].{{Infobox Military Conflict
|conflict=Serangan Umum 1 Maret
|partof=[[Sejarah Indonesia (1945-1949)|Perang Kemerdekaan Indonesia]]
|image=[[Berkas:Munumen Serangan_Umum 1 Maret 1949.jpg|250px]]
|caption=Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta
|date=1 [[Maret]] [[1949]]
|place=[[Yogyakarta]]
|casus=
|territory=
|result=
*Kemenangan strategis Indonesia<!--Indonesia berhasil membuktikan bahwa kekuatan militernya masih kuat-->
*Kemenangan taktis Belanda<!--Serangan TNI berhasil ditahan dengan kerugian minimal-->
|combatant1={{negaranama|Indonesia}}
|combatant2={{negaranama|Belanda}}
|commander1=[[Hamengkubuwana IX]]{{br}} [[Kolonel]] [[Soedirman]]{{br}} [[Kolonel]] [[Bambang Soegeng]]{{br}}[[Letnan Kolonel|Letkol]] [[Soeharto]]
|commander2=[[Van Mook]]{{br}} [[Louis Joseph Maria Beel]]
|strength1=±1000 Prajurit
|strength2=±300 Prajurit
|casualties1=300 prajurit tewas dan 53 anggota polisi tewas.
|casualties2= 6 orang tewas dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka.
|casualties3=Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti.
}}
== Latar belakang ==
Kurang lebih satu bulan setelah [[Agresi Militer Belanda II]] yang dilancarkan pada bulan [[Desember]] [[1948]],[[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara [[Belanda]] yang dimulai dengan memutuskan [[telepon]], merusak jalan [[Kereta api]], menyerang konvoi [[Belanda]], serta tindakan lainnya.
 
Serangan ini telah dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol [[Bambang Soegeng]]. Serangan ini bertujuan untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) dan [[Kepolisian Negara Republik Indonesia]] (Polri) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi [[Indonesia]] dalam perundingan yang sedang berlangsung di [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan PBB]]. Perundingan tersebut memiliki tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. [[Soeharto]] pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
[[Belanda]] terpaksa memperbanyak pos-pos di sepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan [[Belanda]] tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah [[republik]] yang kini merupakan medan [[gerilya]]. Dalam keadaaan pasukan [[Belanda]] yang sudah terpencar-pencar, [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) mulai melakukan serangan terhadap [[Belanda]].
 
== Latar belakang ==
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan [[Jawa Timur]], Letkol. dr.Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi [[Perwira]] Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III bertemu dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Soedirman|Sudirman]] untuk melaporkan mengenai resolusi [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|Dewan Keamanan]] [[PBB]] dan penolakan [[Belanda]] terhadap resolusi tersebut dan melancarkan [[propaganda]] yang menyatakan bahwa [[Indonesia|Republik Indonesia]] sudah tidak ada lagi. Melalui [[Radio Rimba Raya]], [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] juga telah mendengar berita tersebut. [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil untuk memutarbalikkan [[propaganda]] [[Belanda]].
Merasa frustrasi dalam negosiasi dengan republik dan meyakini bahwa republik telah dilemahkan oleh pemberontakan [[Negara Islam Indonesia|Darul Islam]] dan [[Pemberontakan PKI 1948|Madiun]], [[Belanda]] melancarkan serangan militer pada tanggal 19 Desember 1948 yang mereka sebut sebagai “''[[Agresi Militer Belanda II|Operatie Kraai]]''” (Operasi Gagak). Keesokan harinya, Belanda berhasil menaklukkan [[Kota Surakarta]] dan [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] yang merupakan lokasi ibu kota republik sementara. Pada akhir Desember, semua kota besar yang dikuasai republik di [[Jawa]] dan [[Sumatra]] telah berada di tangan Belanda. [[Soekarno|Presiden]], [[Mohammad Hatta|wakil presiden]], dan semua kecuali enam menteri Republik Indonesia ditangkap oleh pasukan Belanda dan diasingkan ke [[Pulau Bangka]] di lepas pantai timur Sumatra. Di daerah sekitar Yogyakarta dan Surakarta, pasukan republik menolak untuk menyerah dan terus melancarkan perang gerilya di bawah pimpinan kepala staf militer republik Jenderal Sudirman yang berhasil lolos dari serangan Belanda. Pemerintah darurat republik, [[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia|Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] (PDRI), didirikan di [[Sumatera Barat]].
 
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], dan menjadi penghubung antara [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] dengan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima]] Divisi II, [[Kolonel]] [[Gatot Subroto]] dan [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima]] Divisi III, [[Kolonel|Kol]]. [[Bambang Sugeng]]. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, Hutagalung juga ikut merawat [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah bergerilya turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah [[Soedirman|Panglima Besar Sudirman]] duli di Jalan Widoro No. 10, [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]].
 
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah perlunya meyakinkan [[Mancanegara|dunia internasional]] terutama [[Amerika Serikat]] dan [[Britania Raya|Inggris]], bahwa [[Indonesia|Negara Republik Indonesia]] masih kuat, memiliki pemerintahan ([[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia|Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] – [[PDRI]]), dan memiliki [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI). Sebagai pembuktian hal ini, maka untuk menembus resolusi, harus diadakan serangan, yang tidak bisa disembunyikan oleh [[Belanda]], dan harus diketahui oleh [[United Nations Commission for Indonesia]] (UNCI) dan [[wartawan]] asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada [[Resolusi 67 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa|UNCI]] dan para [[wartawan]] asing bahwa [[Indonesia|Negara Republik Indonesia]] masih ada, diperlukan para [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI), yang dapat berbahasa [[Inggris]], [[Belanda]], atau [[Prancis]]. [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]] menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
 
[[Letnan Kolonel|Letkol]]. [[Doktor|dr]]. [[Hutagalung]] masih tinggal beberapa hari untuk membantu merawat [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], sebelum kembali ke markasnya di [[Gunung Sumbing]]. Sesuai tugas yang diberikan oleh [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah [[Gubernur]] Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal [[18 Februari]] [[1949]] di markas yang terletak di lereng [[Gunung Sumbing]]. Selain [[Gubernur]] Militer/Panglima Divisi III [[Kolonel|Kol.]] [[Bambang Sugeng]] dan [[Letnan Kolonel|Letkol]] Wiliater Hutagalung, juga hadir [[Komandan]] [[Wehrkreise|Wehrkreis]] II, [[Letnan Kolonel|Letkol]]. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu [[Gubernur]] Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, [[Residen]] [[Banyumas]] R. Budiono, [[Residen]] [[Kedu]] Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.
 
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat [[Gubernur]] Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh [[Panglima Tentara Nasional Indonesia|Panglima Besar]] [[Sudirman]], dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
 
# Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan ''Wehrkreise'' I, II dan III,
# Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
# Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
# Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
# Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
::* Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
::* Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
 
Tujuan utama dari rencana tersebut adalah untuk menunjukkan eksistensi [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional, maka anggota [[UNCI]], wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat ''perwira-perwira yang berseragam'' [[Tentara Nasional Indonesia]] ''(TNI)''.
 
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, ''grand design'' yang diajukan oleh [[Hutagalung]] disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]] bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah [[Yogyakarta]].
 
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
 
# [[Yogyakarta]] adalah Ibu kota [[RI]], sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
# Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka [[Yogyakarta]], serta masih adanya anggota delegasi [[UNCI]], serta pengamat militer dari PBB.
# Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
 
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal [[1 Januari]] [[1949]] dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara [[Belanda]], telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah ''terlatih'' dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.
 
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur [[Wongsonegoro]] serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
 
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa [[Belanda]], [[Inggris]] atau [[Prancis]] dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna ''menunjukkan diri'' kepada anggota-anggota [[UNCI]] serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel [[Wiyono]], Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di [[Gunung Sumbing]] akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa [[Belanda]] dan [[Inggris]].
 
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan [[Tentara Nasional Indonesia]] terhadap tentara [[Belanda]], terutama terhadap [[Yogyakarta]], Ibu kota [[Republik]]. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. [[T.B. Simatupang]] yang bermarkas di Pedukuhan [[Banaran]], desa [[Banjarsari]], untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI ([[AURI]]) di [[Playen]], dekat [[Wonosari]], agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas [[Yogyakarta]] segera disiarkan.
 
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila [[Belanda]] melihat bahwa [[Yogyakarta]] diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan [[Belanda]] yang kuat seperti [[Magelang]], [[Semarang]] dan [[Solo]]. Jarak tempuh (waktu itu) [[Magelang]] - [[Yogya]] hanya sekitar 3 - 4 jam saja; [[Solo]] - [[Yogya]], sekitar 4 - 5 jam, dan [[Semarang]] - [[Yogya]], sekitar 6 - 7 jam. [[Magelang]] dan [[Semarang]] (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, dan [[Solo]] berada di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel [[Gatot Subroto]]. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan [[Belanda]] dari [[Solo]] dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
 
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur [[Wongsonegoro]], Residen [[Budiono]], Residen [[Salamun]], Bupati [[Sangidi]] dan Bupati [[Sumitro Kolopaking]] ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
 
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada [[PMI]]. Peran [[PMI]] sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep [[Pertahanan Rakyat Total]] - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal [[3 Juni]] [[1948]], butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan [[rumah obat]] mesti menjadi perhatian.
 
Walaupun dengan risiko besar, [[Mas Sutardjo Kertohadikusumo|Sutarjo Kartohadikusumo]], Ketua [[DPA]] yang juga adalah Ketua [[PMI]] (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh [[Belanda]] dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan ''Wehrkreise'' II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di [[Gunung Sumbing]] pada [[18 Februari 1949]] kepada Panglima Besar [[Sudirman]] dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel [[Gatot Subroto]].
 
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah [[Wehrkreise I]] di bawah pimpinan Letkol. [[Suharto]], akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel [[Bambang Sugeng]]. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. [[Suharto]], untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan ''grand design'' kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. [[Kusen]] (dokter pribadi [[Bambang Sugeng]]), [[Bambang Surono]] (adik [[Bambang Sugeng]]), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. [[Kusen]], Letnan [[Amron Tanjung]] (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
 
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. [[Wiyono]] dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa [[Belanda]], [[Inggris]] atau [[Prancis]] yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan [[Banaran]] mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan [[Bambang Sugeng]], dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. [[Ali Budiardjo|M. Ali Budiarjo]], yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
 
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di [[Playen]] dan di [[Wiladek]], yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan [[Wehrkreise I]] Kolonel [[Bachrun]], yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. [[Sarbini]].
 
Brigade IX di bawah komando Letkol [[Achmad Yani]], diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari [[Magelang]] ke [[Yogyakarta]]. Tanggal [[19 Februari]] [[1949]]. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli [[Belanda]]. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah [[Wehrkreise III]] melalui pegunungan [[Menoreh]] untuk menyampaikan perintah kepada Komandan [[Wehrkreis III]] Letkol. [[Suharto]]. [[Bambang Sugeng]] beserta rombongan mampir di [[Pengasih]], tempat kediaman mertua [[Bambang Sugeng]] dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat [[Pengasih]] (Keterangan dari [[Bambang Purnomo]], adik kandung alm. [[Bambang Sugeng]], yang kini tinggal di [[Temanggung]]). Pertemuan dengan Letkol. [[Suharto]] berlangsung di [[Brosot]], dekat [[Wates]]. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. [[Bambang Sugeng]], Perwira Teritorial Letkol. dr. [[Wiliater Hutagalung]] beserta ajudan Letnan [[Amron Tanjung]], Komandan [[Wehrkreise III]]/[[Brigade X]] Letkol. [[Suharto]] beserta ajudan. Kepada [[Suharto]] diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal [[25 Februari]] dan [[1 Maret]] [[1949]]. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. [[Wiyono]] dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
 
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal [[1 Maret]] [[1949]], pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
 
Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota [[Yogyakarta]] (ibu kota negara) pada tanggal [[1 Maret]] [[1949]], dibawah pimpinan Letnan Kolonel [[Suharto]], Komandan [[Brigade 10]] daerah [[Wehrkreise III]]
 
== Jalannya serangan UmumPertempuran ==
 
Tanggal [[1 Maret]] [[1949]], pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibu kota Republik yakni kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], serta koar-besaran oleh pasukan [[Brigade X]] yang diperkuat dengan satu Batalyon dari [[Brigade IX]], sedangkan serangan terhadap pertahanan [[Belanda]] di [[Magelang]] dan penghadangan di jalur [[MageltaMagelang-kota di sekitar [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], terutama [[Magelang]], sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel [[Bambang Sugeng]] kepada Komandan [[Wehrkreis I]], Letkol [[Bahrun]] dan Komandan [[Wehrkreis II]] Letkol [[Sarbini]]. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota [[Kota Surakarta|Surakarta]], guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]].
 
Pos komando ditempatkan di desa [[Muto]]. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol [[Soeharto]] langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas [[Malioboro]]. Sektor Timur dipimpin [[Ventje Sumual]], sektor selatan dan timur dipimpim Mayor [[Sardjono]], sektor utara oleh Mayor [[Kusno]]. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan [[Amir Murtono]] dan Letnan [[Masduki]] sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur
 
Serangan terhadap kota [[Kota Surakarta|Surakarta]] yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan [[Belanda]] di [[Kota Surakarta|Surakarta]] sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari [[Kota Surakarta|Surakarta]] ke [[Yogyakarta]], yang sedang diserang secara besar-besaran – [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] yang dilakukan oleh [[Brigade IX]], hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan [[Belanda]] dari [[Magelang]] ke [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]. Tentara [[Belanda]] dari [[Magelang]] dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] sekitar pukul 11.00.
 
== Akibat ==
== Kerugian di kedua belah pihak ==
 
Dari pihak [[Belanda]], tercatat 6 orang tewas, dan di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan [[Belanda]] melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Baris 100 ⟶ 49:
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal [[Meier]] (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), [[Dr. Angent]] (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel [[van Langen]] (komandan pasukan di [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]) dan Residen [[Stock]] (Bestuurs-Adviseur untuk Yogyakarta) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
 
Dalam serangan terhadap [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], pihak [[Indonesia]] mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas (Sebagian besar para pejuang berani mati), 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah Belanda [[De Wappen Broeder]] terbitan [[Maret]] [[1949]], korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
 
== Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret ==
Baris 117 ⟶ 66:
{{pemastian}}
 
Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas [[Yogyakarta]] 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di [[Pertempuran Medan Area]] ([[Medan Area]], [[Oktober]] [[1945]]), [[Palagan Ambarawa]] ([[12 Desember|12]] – [[15 Desember]] [[1945]]), [[Bandung Lautan Api]] ([[April]] [[1946]]), Perang [[Puputan Margarana]] [[Bali]] ([[20 November]] [[1946]]), [[Pertempuran 5 hari 5 malam]] di [[Palembang]] ([[1 Januari|1]] – [[5 Januari]] [[1947]]) dan juga tidak melebihi semangat berjuang [[Divisi Siliwangi]], ketika melakukan ''long march'', yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]/[[Kota Surakarta|Surakarta]]/[[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Barat]], dalam rangka melancarkan operasi [[Wingate]] untuk melakukan perang gerilya di [[Jawa Barat]], setelah [[Belanda]] melancarkan [[Agresi II]] tanggal [[19 Desember]] [[1948]]. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan ''arek - arek Suroboyo'' pada [[Pertempuran di Surabaya]] / [[Peristiwa 10 November]] [[1945]], yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal [[10 November]] sebagai [[Hari Pahlawan]].
 
Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas [[Yogyakarta]] 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di [[Medan]] ([[Medan Area]], [[Oktober]] [[1945]]), [[Palagan Ambarawa]] ([[12 Desember|12]] – [[15 Desember]] [[1945]]), [[Bandung Lautan Api]] ([[April]] [[1946]]), Perang [[Puputan Margarana]] [[Bali]] ([[20 November]] [[1946]]), [[Pertempuran 5 hari 5 malam]] di [[Palembang]] ([[1 Januari|1]] – [[5 Januari]] [[1947]]) dan juga tidak melebihi semangat berjuang [[Divisi Siliwangi]], ketika melakukan ''long march'', yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]/[[Kota Surakarta|Surakarta]]/[[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Barat]], dalam rangka melancarkan operasi [[Wingate]] untuk melakukan perang gerilya di [[Jawa Barat]], setelah [[Belanda]] melancarkan [[Agresi II]] tanggal [[19 Desember]] [[1948]]. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan ''arek - arek Suroboyo'' pada [[Pertempuran di Surabaya]] / [[Peristiwa 10 November]] [[1945]], yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal [[10 November]] sebagai [[Hari Pahlawan]].
 
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas [[Yogyakarta]] yang kemudian dilaksanakan pada [[1 Maret]] [[1949]], dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari Panglima Besar [[Sudirman]], untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa [[TNI]] - berarti juga [[Republik Indonesia]] - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan [[PBB]].
Baris 165 ⟶ 113:
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar yang menjadi incaran tentara [[Belanda]]. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal [[Sudirman]], walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten [[Soepardjo Rustam|Suparjo Rustam]], ajudan Panglima Besar [[Sudirman]], tercatat kegiatan Panglima Besar, antara lain:
 
"Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa [[Karangnongko]] (di [[sungai Brantas]], [[Jawa Timur]]) dan pindah ke desa di lereng [[Gunung Wilis]]. Pak Dirman mengutus Kolonel [[Bambang Supeno]] supaya mencari hubungan dengan Pemerintah pusat di [[Jawa]], yang menurut kabar ada di [[gunung Lawu]]. Tidak lama setelah Kol. [[Bambang Supeno]] berangkat, datang pula Kol. [[Sungkono]] (Panglima Divisi/Gubernur Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, [[Bambang Supeno]] kembal. Tanggal 11.1.1949 di desa [[Wayang]], pertemuan dengan Menteri Pembangunan [[Supeno]] dan Menteri Kehakiman [[Susanto Tirtoprojo]]. Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan daerah datang menemui Pak Dirman.”
 
Selama perjalanan, Kapten [[Suparjo]] (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
Baris 247 ⟶ 195:
"... kemudian Presiden dan Wapres di [[Gedung Agung]] ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada [[Syafruddin Prawiranegara]] dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh [[Sri Sultan HB IX]], merupakan pimpinan [[RI]] yang tetap di [[Yogyakarta]], dimana [[kraton]] berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/[[PBB]], dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah [[RI]] di Yogya tersebut [[Sri Sultan HB IX]] dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka mulailah dia menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah [[RI]] telah "hilang" semenjak [[Sukarno]]-[[Hatta]] diasingkan Posisi [[TNI]] sudah sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi dia mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."
 
Menurut tulisan ini, [[Laskar Mataram]] yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika [[Belanda]] melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, [[Re-Ra]] (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh [[TNI]] belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke [[TNI]].
 
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. [[Sri Widodo]], Msc, dalam kata sambutannya, sebagai:"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini...".
Baris 257 ⟶ 205:
memang, adalah suatu novum, yaitu"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak Bud.." Namun, para pakar sejarah terebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang dapat mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada tercatat di dokumen mana pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga catatan Simatupang, yang tidak pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah dari HB IX dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak pernah menulis adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu, Simatupang juga tidak menulis nama perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta, dan dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang menulis:..Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatra dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…
 
Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan ''fotocopy'' surat-menyurat yang penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasution, yang selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.
 
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution, dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber pembuktian, dapat menuliskan:
Baris 281 ⟶ 229:
== Perkembangan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret ==
 
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], Ibu kota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluhdua puluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
 
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.
Baris 291 ⟶ 239:
Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi Republik dalam KMB di [[Den Haag]], Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" – Head Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat: "dr Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik dari wilayah yang diduduki Belanda."
 
Salah satu keputusan [[KonperensiKonferensi Meja Bundar]] adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel G.P.H. [[Djatikusumo]] [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) [[Alex E.Evert Kawilarang]] dalam pertemuan pada [[9 November]] [[1999]] di [[Gedung Joang ’45]], Menteng Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima, Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan registrasi perlengkapan medis.
 
Pada [[29 Februari]] [[2000]], bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949" dan jumpa pers oleh Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI. Selain dihadiri oleh putra - putri alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga hadir Dr. [[Anhar Gonggong]], yang mengakui bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen Instruksi Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut (Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang).
 
Tanggal [[2 Maret]] [[2001]], Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing versi. Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab, bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis mewakili Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Dia juga hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret 2001, yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W. Hutagalung dari Jawa Timur –seperti Komjen POLPol (Purn.) Dr. M.[[Mochamad Jasin]], alm. Mayjen (Purn.) [[EWP Tambunan]], alm Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah).
 
Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi nara sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari sebelum penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari harian Kompas.
 
Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi [[Hamengkubuwana IX|Hamengku Buwono IX]], di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta, yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949", yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena tidak mengetahui alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan kepada TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.
 
Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.
 
== Referensi ==
<references />
 
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://www.advokasi.com/lacak/lacak.php?sub=Soeharto&id=8 Penggagas Serangan Umum 1-3-1949 bukan Letkol Soeharto?]
* {{id}} http://www.bluefame.com/index.php?showtopic=33584{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{id}} http://sobatjogja.com/upacara-peringatan-serangan-umum-1-maret-hari-ini-berjalan-hikmat/
* {{id}} https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/6810767847525948453/6929217318365020895
 
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
Baris 313 ⟶ 265:
[[Kategori:Perang yang melibatkan Indonesia]]
[[Kategori:Perang Kemerdekaan Indonesia]]
 
<references group="serangan 1 maret 1949" responsive="" />