Tari Tumbu Tanah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8
 
(20 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox dance
[[Berkas:Tari Tumbu Tanah (1).jpg|jmpl|280x280px|Tari Tumbu Tanah yang juga dikenal dengan tarian ular ({{harvnb|Assa |Hapsari|2015|p=31}}).|al=]]
| name = Tumbu Tanah
'''Tari Tumbu Tanah''' atau '''Dansa Tumbu Tana''' adalah tari tradisional khas masyarakat [[Suku Arfak|Arfak]] yang tinggal di [[Kabupaten Manokwari|Manokwari]]. Tarian ini juga dikenal dengan nama tarian ular karena formasi tarian ini membentuk seekor ular yang melilitkan badannya di atas pohon. Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan untuk menyambut acara-acara penting, yaitu penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, kemenangan perang, dan perayaan pesta pernikahan. Tari Tumbu Tanah merupakan jati diri masyarakat Arfak karena semua gerakan, formasi, lagu pengiring, alat musik, serta aksesoris dalam tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian suku-suku lain di daerah [[Papua (wilayah Indonesia)|Papua]].
| native_name = Ibihim ([[suku Hatam|Hattam]]), Isim ([[suku Moile|Moile]]), Mugka ([[suku Meyah|Meyakh]]), Manyohora ([[suku Sough|Sough]])
| etymology =
| image = Tari Tumbu Tanah (1).jpg
| image_size = 280px
| alt =
[[Berkas:Tari| Tumbucaption Tanah (1).jpg|jmpl|280x280px| = Tari Tumbu Tanah yang juga dikenal dengan tarian ular ({{harvnb|Assa |Hapsari|2015|p=31}}).|al=]]
| genre =
| signature =
| instruments =
| inventor =
| origin = [[Papua Barat]], [[Indonesia]]
}}
 
'''Tari Tumbu Tanah''' atau '''Dansa Tumbu Tana''' adalah taritarian tradisional khas masyarakat [[Sukusuku Arfak|Arfak]] yang tinggal di [[Kabupaten Manokwari|Manokwari]]. Tarian ini juga dikenal dengan nama tarian ular karena formasi tarian ini membentuk seekor ular yang melilitkan badannya di atas pohon. Tari Tumbu Tanah biasanya dilakukan untuk menyambut acara-acara penting, yaitu penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, kemenangan perang, dan perayaan pesta pernikahan. Tari Tumbu Tanah merupakan jati diri masyarakat Arfak karena semua gerakan, formasi, lagu pengiring, alat musik, serta aksesoris dalam tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian suku-suku lain di daerah [[Papua (wilayah Indonesia)|Papua]].
 
== Sejarah ==
Masyarakat Arfak{{efn|Kata "arfak" berasal dari kata ''arfk'' yang berarti "orang tidur di atas bara api". Nama tersebut diberikan oleh orang-orang Belanda pada zaman dahulu karena melihat masyarakat setempat tidur di atas sebuah rumah panggung yang di bawahnya diberi bara api dengan tujuan untuk menghangatkan. Hal tersebut dilakukan karena hawa di pegunungan sangat dingin, bahkan bisa mencapai 6 derajat Celcius. Akhirnya, daerah pegunungan yang menjadi tempat tinggal suku itu dinamakan Pegunungan Arfk, yang dalam penyebutannya menjadi "arfak" ({{harvnb|Hapsari|2016|pp=153–154}}).}} (Mnu Kwar) yang tinggal di daerah Manokwari{{efn|Secara etimologi, kata "manokwari" berasal dari bahasa Byak yaitu ''mnukwar'' yang berarti "kota tua" ({{harvnb|Hapsari|2016|pp=153}}).}} terdiri dariatas empat sub-suku, yaitu [[Sukusuku Hatam|suku Hattam]], [[suku Sough]], [[Suku Moile dan Suku Meyah|suku Moile]], dan [[Suku Moile dan Suku Meyah|suku Meyakh]].{{sfnp|Hujairin, dkk|2017|p=58|ps=: "Masyarakat Arfak terdiri dariatas empat suku besar, yaitu Suku Hattam yang mendiami Distrik Oransbari dan Distrik Ransiki, Suku Meyakh yang menghuni Distrik Warmare dan Distrik Prafi, Suku Sough yang mendiami Distrik Anggi, dan Suku Moile yang mendiami Distrik Minyambouw (...)"}} Mereka memiliki kesenian tari yang sama, yang dinamakan dengan tari Tumbu Tanah.{{sfn|Hastanti|Yeny|2009|p=23|ps=: "(...) Mereka memiliki seni tari dan lagu yang sama yaitu Tumbu Tanah".}} Keempat suku tersebut menyebut tarian ini dengan nama tari Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat suku Hattam menyebutnya dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=96|ps=: "(...) Misalnya orang Hattam menyebutnya dengan nama ''Isim'', sedangkan orang Meyakh menyebutnya ''Mugka'' dan orang Sough menyebutnya ''Manyohora''. Sehingga untuk mempermudah penyebutan tarian ini maka masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia dengan menyebutnya tarian Tumbu Tanah, juga agar dapat dimengerti oleh masyarakat lain".}}
 
Penyebutan nama tari Tumbu Tanah berawal ketika agama [[Kekristenan|Kristen]] yang dibawa oleh dua [[misionaris]] asal [[Jerman]], yakni [[Carl Wilhelm Ottow]] dan [[Johann Gottlob Geissler]],{{sfnp|Hernawan|2002|p=2|ps=: "Papua dewasa ini tidaklah sama dengan Papua saat para perintis gereja-gereja, seperti Otto dan Geissler, memasuki tanah Papua pada 5 Februari 1855 (...)"}} pertama kali masuk Papua tanggal [[5 Februari]] [[1855]] melalui [[Pulau Mansinam]].<ref>{{Cite web|url=https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/menelusuri-sejarah-peradaban-papua-di-pulau-mansinam|title=Menelusuri Sejarah Peradaban Papua di Pulau Mansinam|last=Indonesia Kaya|first=|date=tanpa tanggal|website=Indonesia Kaya (Eksplorasi Budaya di Zamrud Khatulistiwa)|access-date=4 April 2019}}</ref>{{sfnp|Hapsari|2016|p=153|ps=: "Manokwari dikenal sebagai kota bersejarah dalam penyebaran agama Kristen di Tanah Papua, karena tanggal 5 Februari 1855 dua orang misionaris berkebangsaan Jerman, yaitu Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler mendarat di Pulau Masinam dan memulai penyebaran Injil (...)"}} Mereka tidak hanya membawa misi [[penginjilan]] saja, tetapi juga membangun berbagai sarana dan prasarana kemasyarakatan yang mengubah peradaban bagi masyarakat Papua, khususnya Manokwari.{{sfnp|Awoitauw|2020|p=17|ps=: "Misionaris pertama yang datang ke Papua adalah dua orang misionaris Jerman, Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. Mereka tiba di Pulau Masinam, sekitar 6 kilometer dari Manokwari, pada 5 Februari 1855 (...) Kristenisasi di satu sisi dengan berbagai misi di bidang sosial dan pendidikan tentu membawa kebaikan bagi masyarakat Papua (...)"}}<ref>{{Cite web|url=https://www.suara.com/news/2016/02/05/114253/masyarakat-peringati-161-tahun-injil-masuk-papua|title=Masyarakat Peringati 161 Tahun Injil Masuk Papua|last=Ariefana|first=Pebriansyah|date=5 Februari 2016|website=Suara.com|access-date=4 April 2019}}</ref> Untuk mempermudah penyebutan tarian ini, mereka menggunakan [[bahasa Indonesia]] untuk menyebut tarian masyarakat Arfak tersebut dengan nama tari Tumbu Tanah agar dapat dikenal oleh masyarakat lain di luar keempat sub-suku itu.{{sfn|Assa|Hapsari|2015|p=35|ps=: "Tidak dapat disangkal bahwa akibat kontak dengan budaya lainnya, terutama dengan mereka yang senantiasa menggunakan bahasa Indonesia sangat mempengaruhi masyarakat Arfak untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia, khususnya dialek Melayu Timur. Masyarakat Arfak menggunakan bahasa Indonesia untuk mempermudah menyebut tari Tumbu Tanah. Di sisi lain, penyebutan tersebut digunakan agar tarian ini dikenal oleh masyarakat lain".}}
 
Berdasarkan asal-usulnya, tari Tumbu Tanah tidak terlepas dari [[mitologi]] asal-usul masyarakat Arfak mengenai cerita "Legenda Jambu Mandatjan"{{efn|Varian Legenda Jambu Mandjatan juga berkembang dalam cerita rakyat suku Meyakh. Varian tersebut memiliki kemiripan alur cerita, yaitu penyerobotan terhadap bagian lain dari cabang pohon jambu dengan buah dan burung yang hinggap di dahannya oleh seorang anak dari salah satu keret di kampung. Akibat dari penyerobotan dan matinya burung yang hinggap di dahan menyebabkan pertengkaran di bawah pohon jambu. Pertengkaran semakin berkepanjangan dan meluas antara orang tua di kampung. Akibat pertengkaran tersebut beberapa keluarga inti memilih pergi dan pindah ke wilayah lain. Perbedaan dalam varian cerita Legenda Jambu Mandjatan versi suku Meyakh adalah kelompok-kelompok keluarga inti bergerak ke arah utara hingga pantai utara menyusuri sungai Wariori. Penduduk asal suku Meyakh inilah yang saat ini tinggal dan menempati pantai utara kepala burung dari muara sungai Wariori hingga Pami serta sebagian terus menyebar dan tinggal di sebagian wilayah Pasir Putih. Varian cerita Legenda Jambu Mandjatan dari suku Meyakh tersebut dinamakan dengan "Bukuati" ({{harvnb|Kondologit|Sawaki|2016|pp=42–44}}).}} yang bermula di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan adalah cerita tentang perebutan penguasaan kepemilikan terhadap salah satu pohon jambu yang telah dibagi menurut ''keret'' (marga){{efn|Setiap marga dalam masyarakat Arfak sejak dahulu hingga saat ini dikepalai oleh seorang ''nibou nimpung'' (kepala suku). Seorang kepala suku besar Arfak menjadi pemimpin dari keempat sub-suku atau etnis, yaitu Hattam, Sough, Meyakh, dan Moile. Masing-masing ''nibou nimpung'' menguasai satu ''mnu'' (wilayah), yang artinya dusun atau kampung dengan sejumlah orang yang dipimpinnya yang disebut dengan ''limuanya'' atau ''tungwatunya'' (masyarakat biasa) ({{harvnb|Assa|Hapsari|2015|pp=25}}).}} yang ada di Manokwari oleh anak-anak dari salah satu ''keret''. Seorang anak melepaskan anak panah dalam perebutan tersebut, tetapi meleset dan mengenai seekor burung. Tindakan tersebut lantas dicela oleh anak lain yang menjadi lawannya, bahkan semakin berkepanjangan hingga melibatkan orang tua dari masing-masing ''keret''. Masing-masing ''keret'' mengklaim kebenaran yang dilakukan oleh anaknya. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan harmonis yang telah terbangun di antara ''keret'' tersebut.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=41–42|ps=: "Tentang asal-usul atau cerita rakyat yang menjadi acuan untuk menelusuri asal-usul, keturunan, dan persebaran orang Arfak, serta tari Tumbu Tanah, beberapa mite dan legenda telah dituturkan dari generasi ke generasi. Cerita rakyat utama yang menjadi acuan tidak terlepas dari mitologi Legenda Jambu Mandjatan di Kampung Ndui, yang mengisahkan tentang tersebarnya orang Arfak setelah konflik penguasaan buah jambu (...)"}}
Baris 17 ⟶ 31:
 
== Tujuan ==
[[Berkas:Tari Tumbu Tanah (2).jpg|jmpl|280x280px|Tari Tumbu Tanah yang dilakukan oleh masyarakat Arfak di [[Rumah Kaki Seribu]] untuk menyambut tamu dari luar ({{harvnb|Assa |Hapsari|2015|p=31}}).]]Tari Tumbu Tanah merupakan tari yang dibawakan secara massal dan tidak terbatas padakepada jumlah peserta tari. Tarian ini bisa melibatkan warga satu kampung ataupun gabungan warga dari beberapa kampung. Artinya, tari Tumbu Tanah bisa dikuti secara berkelompok oleh semua lapisan masyarakat, baik tua maupun muda berbaur menjadi satu dalam tarian.<ref>{{Cite web|url=https://www.papua.us/2015/06/dansa-tumbuk-tanah-tarian-dari-suku.html|title=Dansa Tumbu Tana, Tarian dari Suku Arfak yang Kian Terkenal|last=Papua Untuk Semua|first=|date=7 Juni 2015|website=Papua.us|access-date=5 April 2019}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://budaya-indonesia.org/Tari-Tumbu-Tanah|title=Tari Tumbu Tanah|last=Sobat Budaya|first=|date=18 Mei 2020|website=Perpustakaan Digital Budaya Indonesia|access-date=31 Mei 2020}}</ref>
 
Tari Tumbu Tanah dilakukan untuk menyambut berbagai acara penting, antara lain perayaan ulang tahun orang yang berpengaruh dalam masyarakat Arfak, penyambutan tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak atau kunjungan para pejabat daerah, peresmian pembangunan, perayaan pesta pernikahan, serta perayaan kemenangan perang.{{sfn|Assa|Hapsari|2015|p=31–32|ps=: "Dansa Tumbu Tana adalah suatu tarian dalam menyambut acara-acara penting masyarakat Arfak. Dansa Tumbu Tana ini dilakukan di lapangan atau di halaman terbuka untuk: 1) Merayakan pesta perkawinan; 2) Hari-hari penting seperti hari ulang tahun atau hari besar lainnya; 3) Menyongsong tamu dari luar distrik".}}<ref>{{Cite web|url=http://www.tabloidjubi.com/16/2015/05/08/dansa-tumbutana-dari-arfak-papua-barat/|title=Dansa Tumbu Tana dari Arfak, Papua Barat|last=Mampioper|first=Dominggus|date=8 Mei 2015|website=Tabloid Jubi|access-date=4 April 2019}}</ref>
 
== Gerak dasar ==
Secara umum, gerak dasar tari Tumbu Tanah di antara masyarakat Arfak tidak memiliki perbedaan. Perbedaan dasarnya terletak pada pasangan tari, lagu yang dinyanyikan, serta tujuan tarian.{{sfn|Assa|Hapsari|2015|p=33|ps=: "Acara Tumbu Rumah pada dasarnya sama dengan Dansa Tumbu Tana dan tari Tumbu Tanah. Acara Tumbu Rumah adalah suatu acara tari masyarakat Arfak yang dilakukan di Rumah Kaki Seribu. Perbedaan tari Tumbu Tanah terletak pada pasangan tari yang harus sejenis, yaitu laki-laki bergandengan tangan dengan laki-laki dan perempuan bergandengan tangan dengan perempuan, lagu yang dinyanyikan harus berbau lagu pujian kepada roh nenek moyang dan Sema, serta tujuan tarian yang memiliki makna tersendiri bagi mereka. Selain itu, ''nihet duwei'' (lagu kedua) dalam Dansa Tumbu Tana biasanya mengagungkan seorang perempuan dan keindahan alam Arfak, serta ada juga nyanyian sebagai tanda kemenangan perang. Selain nyanyian, masyarakat Arfak juga memiliki alat musik yang digunakan untuk memanggil semua kaum kerabat dan sebagai pengiring tari Tumbu Tanah yang disebut dengan ''keucoawa''. Selain musik tiup bambu, masyarakat Arfak, khususnya Hattam, juga mempunyai alat musik dari kulit ''bia'' (kerang laut) atau disebut ''triton'', alat musik ini diperoleh di sekitar Teluk Doreh. Alat musik tiup ''triton'' disebut dengan ''funa'' dalam bahasa Hattam (...)"}} Selain itu, tari ini tidak memiliki banyak ragam gerakan. Tari Tumbu Tanah hanya mengenal dua gerak dasar, yaitu ''bihim ifiri kai cut'' (melompat sambil menghentakkan kaki di tanah) dan ''yam'' (bergandengan tangan). Adapun lagu yang dinyayikan dalam tari Tumbu Tanah harus berbau lagu pujian kepada roh leluhur masyarakat Arfak.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=102|ps=: "Dari aspek jumlah penarinya ragam tarian ini tetap sama seperti dahulu, yaitu berjumlah lebih dari 10 penari, sedangkan dari aspek gerak dasar tarian yang dikenal oleh masyarakat Arfak secara umum dan orang Hattam secara khusus tidak ada perbedaan, dimanadi mana melompat sambil menghentakkan kaki di atas tanah dan bergandengan tangan merupakan dua gerak dasar tari Tumbu Tanah yang telah ada sejak nenek moyang mereka ada".}}
 
;''Bihim ifiri kai cut''
[[Berkas:Tari Tumbu Tanah (3).jpg|jmpl|280x280px|Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah dalam tari Tumbu Tanah ({{harvnb|Kondologit|Sawaki|pp=102–103|2016}}).|al=]]''Bihim ifiri kai cut'' adalah gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah. Selain berawal dari kegiatan pesta makan untuk berkumpul kembali, gerakan ini juga diadopsi masyarakat Arfak dari [[kuskus]] (dalam bahasa Hattam disebut dengan ''mieya'') yang melompat-lompat dan [[namdur]] atau burung pintar<ref>{{Cite web|url=https://www.greeners.co/flora-fauna/burung-namdur-polos-si-arsitek-bersayap/|title=Burung Namdur Polos, Si Arsitek Bersayap|last=Greeners|first=|date=3 Juli 2015|website=Greeners|access-date=22 April 2019}}</ref> (dalam bahasa Hattam disebut dengan ''mbreicew, urinyai,'' atau ''undebaicing'') yang sedang membuat sarang. Masyarakat Arfak meniru gerakan kedua binatang tersebut karena dirasa mudah dilakukan untuk sebuah tarian.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=102–103|ps=: "Menurut masyarakat Arfak, gerakan melompat ini diikuti atau sumber inspirasinya berasal dari kuskus pohon yang berada di wilayah Pegunungan Arfak yang dalam bahasa Hattam disebut ''mieya''. Pada masa lalu, nenek moyang mereka melihat ''mieya'' atau kuskus pohon seperti sedang menari dengan gerakan melompat-lompat ketika mengiringi burung pintar (namdur polos) atau dalam bahasa Hattam disebut ''mbreyceeuw''/''urinyai''/''undebaicing'' yang sedang membuat rumahnya. Sehingga mereka melihat gerakan ini sangat bagus dan mudah dilakukan lalu ketika sedang menari mereka menirunya".}}
 
Gerakan melompat sambil menghentakkan kaki di tanah dilakukan pada pertengahan lagu. Pada gerakan ini, kedua kaki para penari menjadi kekuatan untuk melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar. Maksud gerakan ini selalu dimulai pada pertengahan lagu adalah agar para penari tidak terlalu lelah. Satu lagu dalam tari Tumbu Tanah biasanya berlangsung selama 3–5 menit, sedangkan dalam satu tari Tumbu Tanah biasanya menyanyikan 7–10 lagu. Masyarakat Arfak berpendapat jika gerakan melompat padadalam tari Tumbu Tanah dimulai sejak awal lagu, para penari akan cepat kelelahan dan hanya dapat membawakan 3–5 lagu.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=103–104|ps=: "Gerakan ini dilakukan pada pertengahan lagu atau syair yang dilantunkan, dimanadi mana maksud dari selalu memulai gerakan untuk menari di pertengahan lagu agar ketika sampai pada akhir tubuh penari tidak terlalu capek. Sepenuturan masyarakat Arfak, apabila sejak awal sudah menari terus, maka penari cepat kelelahan, karena biasanya 1 lagu dinyanyikan 3-5 menit, dan satu tarian menyanyikan 7-10 lagu atau syair. Pada gerakan ini, kedua kaki penari menjadi kekuatan melompat. Dengan menekuk lutut sedikit ke depan dan mendorong tubuh agar terangkat ke atas menggunakan tumpuan, para penari harus mendarat dengan kaki sejajar".}}
 
;''Yam''
Baris 36 ⟶ 50:
 
;''Jey/srem''
''Jey/srem'' merupakan formasi memanjang. Formasi ini dilakukan pada lagu pertama sampai dengan lagu ketiga. Pada formasi memanjang ini, ''dop'' (penari yang menjadi pemimpin) mengambil tempat di bagian depan dari para penari lain sambil menyanyikan ''diun'' (lagu yang hanya dapat dinyanyikan oleh orang-orang tua) yang telah disiapkan. Setelah itu, barulah para penari lain berbaris di samping kanan pemimpin lagu tersebut secara horizontal sampai semua penari lengkap, sambil mengikuti lagu kedua yang dinyanyikan oleh pemimpin tari. Lagu kedua yang dinyanyikan dalam tari Tumbu Tanah adalah ''nihet duwei'', yaitu jenis lagu yang bersifat situasional (lagu penyambutan tamu, perayaan perang, ataupun perayaan pesta pernikahan). Ketika lagu kedua memasuki tahap akhir, barulah semua penari mulai melakukan gerakan melompat-lompat dan menghentakkan kaki sambil bergandengan tangan.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=105–106|ps=: "Dalam formasi ini, mula-mula seorang penari yang menjadi pemimpinnya akan mengambil tempat di bagian depan penari lain, dimanadi mana dia terlebih dahulu memulainya dengan cara menyanyikan lagu yang telah disiapkan sebelumnya (...)"}}
 
;''Ikrop''
Baris 45 ⟶ 59:
 
== Lagu pengiring ==
Dalam sistem religi, masyarakat Arfak memiliki kepercayaan yang berpusat kepada roh nenek moyang dan ''Sema'' (perantara roh nenek moyang). ''Sema'' dipercaya sedang pergi meninggalkan mereka dan sedang berada di Pulau Roswar karena tidak menghendaki kehidupan yang kotor. Hal inilah yang menyebabkan harus terdapat lagu-lagu berbau pujian kepada roh nenek moyang maupun ''Sema'' dalam tari Tumbu Tanah''.{{sfn|Assa|Hapsari|2015|p=33|ps=: "Acara Tumbu Rumah pada dasarnya sama dengan Dansa Tumbu Tana dan tari Tumbu Tanah. Acara Tumbu Rumah adalah suatu acara tari masyarakat Arfak yang dilakukan di Rumah Kaki Seribu. Perbedaan tari Tumbu Tanah terletak pada pasangan tari yang harus sejenis, yaitu laki-laki bergandengan tangan dengan laki-laki dan perempuan bergandengan tangan dengan perempuan, lagu yang dinyanyikan harus berbau lagu pujian kepada roh nenek moyang dan Sema, serta tujuan tarian yang memiliki makna tersendiri bagi mereka. Selain itu, ''nihet duwei'' (lagu kedua) dalam Dansa Tumbu Tana biasanya mengagungkan seorang perempuan dan keindahan alam Arfak, serta ada juga nyanyian sebagai tanda kemenangan perang. Selain nyanyian, masyarakat Arfak juga memiliki alat musik yang digunakan untuk memanggil semua kaum kerabat dan sebagai pengiring tari Tumbu Tanah yang disebut dengan ''keucoawa''. Selain musik tiup bambu, masyarakat Arfak, khususnya Hattam, juga mempunyai alat musik dari kulit ''bia'' (kerang laut) atau disebut ''triton'', alat musik ini diperoleh di sekitar Teluk Doreh. Alat musik tiup ''triton'' disebut dengan ''funa'' dalam bahasa Hattam (...)"}}'' Adapun lagu pengiring yang dilantunkan dalam tari Tumbu Tanah antara lain ''diun, nihet duwei'', dan ''isiap''. Ketiga lagu tersebut dinyanyikan sambil melompat, menghentakan  kaki ke tanah, dan bergandengan tangan. Menurut Assa dan Hapsari, syair dalam lagu kedua dan ketiga ini umumnya dikarang sendiri sebagai ungkapan tujuan dilaksanakannya tari Tumbu Tanah.{{sfn|Assa|Hapsari|2015|p=32|ps=: "Syair atau lagu dalam tari Tumbu Tanah pada umumnya merupakan syair yang dikarang sendiri oleh seseorang dan merupakan hal yang dilihat atau sebagai ungkapan perasaan pada saat itu (...)"}}
[[Berkas:Satinbowerbirdmale.jpg|jmpl|280x280px|Burung namdur polos yang sering diucapkan dalam syair ''diun'' saat ini dapat kita temui secara langsung di habitat aslinya, salah satunya di Cagar Alam Pegunungan Arfak, Manokwari, Provinsi Papua Barat ({{harvnb|Kondologit|Sawaki|pp=103|2016}}).]]
 
Baris 98 ⟶ 112:
;''Nihet duwei''
 
Jenis lagu ini dikenal sebagai lagu yang berkembang dalam masyarakat Arfak saat ini. Perbedaan jenis lagu pada ''diun'' dan ''nihet duwei'' terletak pada syair yang dilantunkan. Syair yang terdapat dalam lagu ini adalah syair yang bersifat situasional. Artinya, apabila tari Tumbu Tanah dilakukan untuk menyambut tamu dari luar lingkungan masyarakat Arfak, syair dalam ''nihet duwei'' akan memuji tamu tersebut. Sebaliknya, apabila tari Tumbu Tanah dilakukan sebagai perayaan pesta pernikahan, syair dalam ''nihet duwei'' akan memuji kedua pasangan (kecantikan, ketampanan, dan kerja keras).{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=109–110|ps=: "Jenis lagu atau syair situasional ini sering dikenal oleh orang Hattam sebagai jenis lagu masyarakat yang hidup di saat ini, terutama anak mudanya. Perbedaan lagu ini dengan jenis lagu ''diun'' terletak pada syairnya".}} Syair dalam ''nihet duwei'' juga mencakup lagu sebagai tanda kemenangan dalam perang.{{sfn|Assa|Hapsari|2015|p=33|ps=: "Acara Tumbu Rumah pada dasarnya sama dengan Dansa Tumbu Tana dan tari Tumbu Tanah. Acara Tumbu Rumah adalah suatu acara tari masyarakat Arfak yang dilakukan di Rumah Kaki Seribu. Perbedaan tari Tumbu Tanah terletak pada pasangan tari yang harus sejenis, yaitu laki-laki bergandengan tangan dengan laki-laki dan perempuan bergandengan tangan dengan perempuan, lagu yang dinyanyikan harus berbau lagu pujian kepada roh nenek moyang dan Sema, serta tujuan tarian yang memiliki makna tersendiri bagi mereka. Selain itu, ''nihet duwei'' (lagu kedua) dalam Dansa Tumbu Tana biasanya mengagungkan seorang perempuan dan keindahan alam Arfak, serta ada juga nyanyian sebagai tanda kemenangan perang. Selain nyanyian, masyarakat Arfak juga memiliki alat musik yang digunakan untuk memanggil semua kaum kerabat dan sebagai pengiring tari Tumbu Tanah yang disebut dengan ''keucoawa''. Selain musik tiup bambu, masyarakat Arfak, khususnya Hattam, juga mempunyai alat musik dari kulit ''bia'' (kerang laut) atau disebut ''triton'', alat musik ini diperoleh di sekitar Teluk Doreh. Alat musik tiup ''triton'' disebut dengan ''funa'' dalam bahasa Hattam (...)"}}
 
Berikut adalah contoh syair dalam ''nihet duwei'':
Baris 128 ⟶ 142:
 
== Aksesoris ==
Tari Tumbu Tanah diwariskan secara turun-temurun. Sampai saat ini, ragam busana dan aksesorisnya tidak banyak berubah, baik pada penari laki-laki maupun perempuan. Aksesoris tersebut meliputi ''maya ''(cawat), ''sre-a ''(kain dada), ''miep ''(manik-manik), ''nakwai ''atau ''nsien ''(kalung), ''lia ''(gelang), ''ayoba ''(mahkota), ''minya ''([[noken]]), ''ampiaba ''(busur), ''tebor ''(panah), dan ''hamboya ''(parang).{{sfnp|Kondologit |Sawaki|p=112–118|ps=: "Aksesoris yang digunakan pada tari Tumbu Tanah meliputi: 1) ''Maya'' (cawat) (.... alinea penjelasan); 2) ''Sre-a'' (kain dada) (....alinea penjelasan); 3) ''Miep'' (manik-manik) (....alinea penjelasan); 4) ''Nakwai'' (kalung) (....alinea penjelasan); 5) ''Lia'' (gelang) (....alinea penjelasan); 6) ''Ayoba'' (mahkota) (....alinea penjelasan); 7) ''Minya'' (noken) (....alinea penjelasan); 8) ''Ampiaba'' (busur) (....alinea penjelasan); 9) ''Tebor'' (panah) (....alinea penjelasan); dan 10) ''Hamboya'' (parang) (....alinea penjelasan)".|2016}}
 
'''''Maya '''''
 
''Maya'' (cawat) merupakan pakaian tradisional pengganti celana pada penari laki-laki tari Tumbu Tanah. Pada umumnya, ''maya ''terbuat dari kulit kayu yang telah dikeringkan. Adapun cara pemasangannya yaitu dengan cara melilitkan kain tersebut padadi pinggang penari. Seorang penari akan dibantu penari laki-laki lain dalam proses pelilitannya, yang dimulai dari bagian depan hingga belakang sampai berbentuk seperti celana. Panjang kain ''maya ''<u>+</u> 1–1,5 meter, sedangkan lebarnya <u>+</u> 1 meter.{{sfnp|Assa |Hapsari|p=50|ps=: "Pakaian yang digunakan oleh laki-laki masyarakat Arfak disebut dengan cawat. Cawat juga dipakai dalam tari Tumbu Tanah (...)"|2015}}
 
'''''Sre-a '''''
 
''Sre-a'' adalah kain yang digunakan oleh penari perempuan. Sama halnya seperti [[noken]], kain yang digunakan oleh penari perempuan Arfak untuk menarikan tari Tumbu Tanah dipada masa lalu terbuat dari kulit kayu dan anyaman rumput. Setelah masuknya modernisasi, penari perempuan saat ini menggunakan kain panjang yang akan diikat padadi tubuh mereka untuk menutup bagian dada sampai kaki. Hal inilah yang menyebabkan kain ini disebut dengan kain dada.{{sfnp|Kondologit |Sawaki|p=116–117|ps=: "Busana yang digunakan oleh kaum perempuan dalam menarikan tari Tumbu Tanah di masa lalu terbuat dari kulit kayu dan anyaman rumput sama seperti membuat noken (...)"|2016}}
 
'''''Miep ''dan ''mieya'''''
 
''Miep'' adalah manik-manik yang digunakan oleh penari laki-laki, sedangkan ''mieya'' adalah manik-manik yang digunakan oleh penari perempuan. Pada masa lalu ''miep ''terbuat dari biji-bijian, tetapi saat ini ''miep ''banyak terbuat dari keramik ataupun plastik. ''Miep ''memiliki banyak variasi warna, sedangkan panjangnya antara 45 sentimeter sampai dengan 1 meter. ''Miep ''berfungsi sebagai hiasan bagian dada penari laki-laki. Adapun cara memasang ''miep ''yaitu dilipat menjadi dua bagian, lalu dipasangkan padadi tubuh penari laki-laki secara menyilang.{{sfnp|Kondologit |Sawaki|p=112–113|ps=: "''Miep'' pada masa lalu terbuat dari buah atau biji-bijian pohon khusus, namun saat ini banyak terbuat dari keramik serta plastik. Memiliki banyak warna seperti merah, putih, biru, dan lain-lain, biasanya panjang sebuah manik-manik antara 45 cm sampai 1 meter".|2016}} Berbeda dengan ''miep ''yang digunakan oleh penari laki-laki, ''mieya ''padayang digunakan oleh penari perempuan umumnya bentuknya lebih halus dan hanya terdiri dariatas satu warna saja. ''Mieya'' pada penari perempuan berfungsi sebagai kalung atau hiasan padadi leher.{{sfnp|Kondologit |Sawaki|p=117|ps=: "Sedangkan ''mieya'' atau manik-manik penari wanita bentuknya lebih halus. Kalau laki-laki untuk hiasan dada maka yang perempuan manik-manik sebagai kalung atau hiasan leher".|2016}}
 
'''''Nakwai'' dan ''nsien '''''
Baris 152 ⟶ 166:
'''''Ayoba '''''
 
''Ayoba ''merupakan hiasan kepala atau mahkota pada penari laki-laki maupun perempuan. ''Ayoba ''terbuat dari anyaman kulit kayu yang dihiasi dengan bulu-bulu burung kasuari dan ayam hutan. Perbedaan ''ayoba ''pada pada penari laki-laki dan perempuan terletak pada hiasan bulunya. Bulu ''ayoba ''pada penari laki-laki lebih tinggi dibadingkan dengan bulu ''ayoba ''pada penari perempuan.{{sfnp|Kondologit |Sawaki|p=114–115|ps=: "''Ayoba'' merupakan hiasan kepala yang digunakan oleh para penari laki-laki maupun perempuan dalam tari Tumbu Tanah. Perbedaan antara mahkota pada penari pria dan wanita terletak pada bulu ayam hutan atau kasuari yang lebih pendek (...)"|2016}}
[[Berkas:Noken Indonesia.jpg|jmpl|280x280px|Noken digunakan sebagai aksesoris tambahan dalam tari Tumbu Tanah ({{harvnb|Kondologit |Sawaki|pp=118|2016}}).]]'''''Minya'''''
 
''Minya'' atau lebih dikenal dengan noken merupakan tas tradisional Papua (termasuk masyarakat Arfak) yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu, rumput, dan anggrek.<ref>{{Cite web|url=http://manado.tribunnews.com/2018/11/30/tas-noken-maha-karya-mama-papua-yang-telah-mendunia|title=Tas Noken, Mahakarya Mama Papua yang Telah Mendunia|last=Kusuma|first=David|date=30 November 2018|website=Tribun Manado|access-date=22 April 2019}}</ref> Pada saat ini, noken lebih banyak menggunakan benang dikarenakan beberapa bahan semakin sulit dicari. Noken dapat diartikan sebagai kerajinan tangan yang sudah bernorma, beradat, berbudaya dan beretika dari masa leluhur hingga sekarang.<ref>{{Cite web|url=https://kumparan.com/@kumparantravel/mengenal-noken-tas-buatan-mama-dari-bumi-cendrawasih|title=Mengenal Noken: Tas Buatan Mama dari Bumi Cendrawasih|last=Kumparan|first=|date=11 Januari 2018|website=Kumparan|access-date=22 April 2019}}</ref> Tas tradisional tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan Papua, seperti halnya para laki-laki yang selalu membawa ''ampiaba'' (busur) dan ''tebor'' (panah) ke manapun mereka pergi. Selain digunakan untuk upacara adat dan membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari,<ref>{{Cite web|url=https://phinemo.com/noken-raja-ampat-dan-wamena/|title=Noken Papua yang Berasal dari Raja Ampat dan Wamena Ternyata Berbeda|last=Abi|first=Faiz|date=tanpa tanggal|website=Phinemo|access-date=22 April 2019}}</ref> noken juga digunakan sebagai aksesoris pelengkap pada penari perempuan tari Tumbu Tanah.{{sfnp|Kondologit |Sawaki|p=118|ps=: "Noken sejak dahulu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang perempuan Papua (termasuk masyarakat Arfak) dalam pertunjukan tari Tumbu Tanah (...)"|2016}}
 
'''''Ampiaba ''dan ''tebor '''''
Baris 166 ⟶ 180:
 
== Nilai ==
Masyarakat Arfak memandang tari Tumbu Tanah sebagai jati diri mereka karena berasal dari nenek moyang. Menurut mereka, gerak, formasi, lagu pengiring, alat musik, dan aksesoris dalam tari Tumbu Tanah merupakan ciri khas masyarakat Arfak yang membedakannya dengan tarian di daerah Papua lain. Apabila ada seseorang yang melihat atau mendengarkan ada tari Tumbu Tanah yang sedang dilakukan, dapat dipastikan bahwa tarian tersebut dilakukan oleh masyarakat Arfak.{{sfn|Kondologit|Sawaki|2016|p=125|ps=: "Khusus untuk seni tari, Anderson (1974) mengemukakan bahwa tari memiliki kekuatan untuk membangkitkan sebuah respon kinestetik pada sebagian penontonnya yang pada kenyataannya adalah cara dimanadi mana tari itu dapat berkomunikasi, apakah sedang menyampaikan sebuah cerita, suatu pesan, atau menyampaikan makna. Menurut masyarakat Arfak, tari Tumbu Tanah adalah jati diri mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi yang berhubungan erat dengan nilai budaya, etika, dan ekonomi".}}{{sfn|Aprianto|2019||p=178|ps=: "Seperti halnya tarian di daerah lain, tari Tumbu
Tanah juga memiliki nilai-nilai yang tersimpan
di dalamnya (...)"}}
Baris 180 ⟶ 194:
* [[Rumah Kaki Seribu]]
* [[Suku Arfak]]
* [[Suku Hatam|]]
* [[Suku HattamMeyah]]
* [[Suku Moile dan Suku Meyah]]
 
== KeteranganCatatan ==
{{notes|2}}
 
Baris 193 ⟶ 207:
'''Buku'''
 
* {{Cite book|title=TarianPeranan TumbuPerempuan TanahHattam (Taridalam TradisionalBeberapa Masyarakat Arfak di Kabupaten Arfak, Provinsi Papua Barat)Aspek|last=KondologitAssa|first=EnricoVeibe YoryRibka|publisher=Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan AmaraKepel BooksPress|year=20162015|isbn=978-602-65253560-1062-92|location=Yogyakarta|page=|ref={{sfnref|KondologitAssa|SawakiHapsari|20162015}}|last2=SawakiHapsari|first2=Andi ThompsonWindy}}
* {{Cite book|title=Kembali ke Kampung Adat: Meniti Jalan Perubahan di Tanah Papua|last=Awoitauw|first=Mathius|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|year=2020|isbn=978-602-4815-13-4|location=Jakarta|page=|ref={{sfnref|Awoitauw|2020}}}}
* {{Cite book|title=Arsitektur Tradisional Suku Arfak di Manokwari|last=Frank|first=Simon Abdi K.|publisher=Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura, Papua Kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Studi Kawasan Perdesaan, Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua|year=2012|isbn=978-602-7980-01-3|location=Jayapura|page=|ref={{sfnref|Frank|2012}}}}
* {{Cite book|title=Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk|last=Koentjaraningrat|first=dkk|publisher=Penerbit Djambatan|year=1994|isbn=978-979-4281-70-3|location=Jakarta|page=|ref={{sfnref|Koentjaraningrat, dkk|1994}}}}
* {{Cite book|title=PerananTarian PerempuanTumbu HattamTanah dalam(Tari BeberapaTradisional AspekMasyarakat Arfak di Kabupaten Arfak, Provinsi Papua Barat)|last=AssaKondologit|first=VeibeEnrico RibkaYory|publisher=Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua dan KepelAmara PressBooks|year=20152016|isbn=978-602-35606525-6210-29|location=Yogyakarta|page=|ref={{sfnref|AssaKondologit|HapsariSawaki|20152016}}|last2=HapsariSawaki|first2=WindyAndi Thompson}}
 
'''Jurnal ilmiah'''
 
* {{Cite journal|last=Aprianto|first=Iwan Dwi|last2=|first2=|year=Desember 2019|title=Tari Tumbu Tanah Sebagai Jati Diri Masyarakat Suku Arfak di Manokwari, Papua Barat|url=https://jantra.kemdikbud.go.id/index.php/jantra/article/view/96|journal=Jurnal Jantra|volume=14|issue=2|pages=|doi=|issn=2715-0771|ref={{sfnref|Aprianto|2019}}}}
* {{Cite journal|last=Hastanti|first=Baharinawati W.|last2=Yeny|first2=Irma|year=Maret 2009|title=Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak Menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak di Manokwari Papua Barat|url=http://puspijak.org/uploads/info/2%20BaharinawatIrmayen.pdf|journal=Jurnal Info Sosial dan Ekonomi Kehutanan|volume=9|issue=1|pages=|doi=|issn=1979-5556|ref={{sfnref|Hastanti|Yeny|2009}}|access-date=2019-04-02|archive-date=2019-04-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20190402131413/http://puspijak.org/uploads/info/2%20BaharinawatIrmayen.pdf|dead-url=yes}}
* {{Cite journal|last=Hapsari|first=Windy|year=Maret 2016|title=Iwim (Tato) Orang Hatam di Kabupaten Manokwari|url=https://jurnalbpnbbali.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/penelitian/article/view/.../10|journal=Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional|volume=23|issue=1|pages=|doi=|issn=2615-3483|ref={{sfnref|Hapsari|2016}}}}{{Pranala mati|date=Maret 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{Cite journal|last=Muhammad Hujairin|first=dkk|year=April 2017|title=Revitalisasi Kearifan Lokal Suku Arfak di Papua Barat dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan Wilayah|url=http://jurnalprodi.idu.ac.id/index.php/MP/article/view/59/62|journal=Manajemen Pertahanan (Jurnal Pemikiran dan Penelitian Manajemen Pertahanan)|volume=3|issue=1|pages=|doi=|issn=2654-9700|ref={{sfnref|Hujairin, dkk|2017}}}}
 
'''Esai'''
 
* {{Cite thesis|last=Hernawan|first=J. Budi|title=Gereja-Gereja di Papua: Menjadi Nabi di Tanah Sendiri?|date=2002|degree=|publisher=Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura|url=http://papuaweb.org/dlib/jr/ipenburg/2002c.pdf|doi=|type=Makalah Seminar|ref={{sfnref|Hernawan|2002}}}} {{WebarchiveCite web |url=http://papuaweb.org/dlib/jr/ipenburg/2002c.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2019-04-04 |archive-date=2018-04-17 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180417062603/http://papuaweb.org/dlib/jr/ipenburg/2002c.pdf |date=2018dead-04-17url=yes }}
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
{{commons category|Tari Tumbu Tanah}}
* [http://travel.tribunnews.com/2018/08/21/ada-destinasi-tersembunyi-di-papua-pegunungan-arfak-tawarkan-petualangan-tak-terduga-bagi-traveler Destinasi Tersembunyi di Pegunungan Arfak].
* [https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/menikmati-suara-santai-alat-musik-pikon Pikon, Alat Musik Tradisional Papua].
* [https://belajar.kemdikbud.go.id/petabudaya/repositorys/rumahkakiseribu/ Sejarah Rumah Kaki Seribu]. {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20190417044705/https://belajar.kemdikbud.go.id/petabudaya/repositorys/rumahkakiseribu/ |date=2019-04-17 }}
* [https://www.youtube.com/watch?v=qxPcxBo-AaI&feature=emb_title Video Dokumenter Tari Tumbu Tanah Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua (Bagian 1)].
* [https://www.youtube.com/watch?v=E8Gc7ieB-zk Video Dokumenter Tari Tumbu Tanah Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua (Bagian 2)].
* [https://kabarportnumbay.net/2017/09/08/tarian-tumbu-tanah-pegunungan-arfak/ Video Tari Tumbu Tanah di Situs Kabar Port Numbai].
 
{{artikel pilihan}}
{{Tarian di wilayah pulau Papua|state=autocollapse}}
 
[[Kategori:Budaya Indonesia]]