Ayat-Ayat Setan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
RizzleValikaze (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(57 revisi perantara oleh 14 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{tentang|riwayat ayat-ayat setan|novel karya Salman Rushdie|The Satanic Verses}}
 
Insiden '''ayat-ayat setan''', atau dikenal juga dalam literatur [[Islam]] sebagai ''Qissat al-Gharaniq'' (''Kisah Burung-Burung Bangau''), adalah nama sebuah dugaan kejadian ketikadi masa kenabian [[Nabi Muhammad]]. Dalam insiden ini, Muhammad disebutkan telahpernah secara keliru mengira ayat-ayatperkataan yangdari "dibisikkansetan sebagai [[setanwahyu]]" sebagaidari Tuhan (''[[wahyuAllah]]'').<ref name="Ahmed">{{cite journal|last1=Ahmed|first1=Shahab|title=Ibn Taymiyyah and the Satanic Verses|journal=Studia Islamica|date=1998|volume=87|issue=87|pages=6767–124|jstor=1595926|publisher=Maisonneuve & Larose|doi=10.2307/1595926}}</ref> Penggunaan pertama ungkapan "ayat-124ayat setan" dalam bahasa Inggris dikaitkan dengan orientalis Sir [[William Muir]] pada tahun 1858.<ref name="Esposito2003">{{cite book|author=John L. Esposito|title=The Oxford dictionary of Islam|url=httphttps://wwwbooks.jstorgoogle.orgcom/stable/1595926books?id=Bcis07kDq30C&pg=PT563|year=2003|publisher=MaisonneuveOxford University Press|isbn=978-0-19-512558-0|page=563|url-status=live|archive-url=https://web.archive.org/web/20160611043905/https://books.google.com/books?id=Bcis07kDq30C&pg=PT563|archive-date=11 LaroseJune 2016}}</ref>
 
NarasiRiwayat yangmengenai melibatkan tuduhan atas terjadinya insiden ayat-ayatperistiwa ini, dapat ditemukan dalam beberapa sumber, seperti ''[[Sirah|Sirah nabawiyah]]'' yang ditulis oleh [[al-Waqidi|al-Wāqidī]], [[IbnIbnu Sa'dad]] (juru tulis dari Waqidi) dan [[IbnIbnu Ishaq]], (yangdemikian direkonstruksipula pada [[tafsir]] oleh [[AlfredMuhammad Guillaumebin Jarir al-Tabari|at-Thabarī]]),<ref. name="IbnIshaq">{{CitePara book|lastpemuka =agama Ibnmencatat Ishaq|firstkisah =tersebut Muhammad|titleselama =dua Ibnabad Ishaq'spertama Sirathijriyah. RasulNamun, Allahpenolakan keras terhadap historisitas insiden Ayat-Ayat TheSetan Lifetelah ofdiajukan Muhammadsejak Translatedabad bykesepuluh Amasehi.<ref Guillaume.|publishername=":1">{{Cite book |title=Encyclopaedia Oxfordof Universitythe Press|locationQurʾān: =EQ Oxford|page date=2001 165|datepublisher=Brill |isbn=978-90-04-14743-0 1955|urleditor-last=McAuliffe |editor-first=Jane Dammen https://archive.org/stream/TheLifeOfMohammedGuillaume/The_Life_Of_Mohammed_Guillaume#page/n105/mode/1up|isbnlocation=Leiden |pages=9780196360331533}}</ref> demikianPada jugaabad darike-13 masehi, sebagian besar [[tafsirulama]] olehIslam [[Muhammadmulai ibnmenolaknya Jarirkarena dianggap tidak konsisten dengan prinsip teologis 'iṣmat al-Tabari|al-Tabarī]]anbiyā (kesempurnaan para nabi) dan prinsip metodologis kritik isnad.<ref name="Ahmed" />
 
Peristiwa ini diterima sebagai kebenaran oleh beberapa orientalis, dengan menyatakan tidak masuk akal para penulis biografi Muslim awal mengarang cerita yang sangat tidak menyenangkan tentang nabi mereka.<ref>{{Cite book|last=Watt|first=William Montgomery|date=2009|title=Muhammad at Mecca|location=Karachi|publisher=Oxford Univ. Press|isbn=978-0-19-577278-4|edition=9. impr; Repr. [of the ed.] 1953}}</ref> Namun, [[Carl W. Ernst]] menulis bahwa keberadaan sisipan-sisipan selanjutnya dalam surah-surah Mekkah awal menunjukkan bahwa Al-Qur'an direvisi dalam dialog dengan pembaca pertamanya, yang sering membaca Surah-surah ini dalam ibadah dan mengajukan pertanyaan tentang bagian-bagian yang sulit. Penerapan prinsip ini pada Surah 53 ("An-Najm") mengarah pada kesimpulan bahwa apa yang disebut "Ayat-Ayat Setan" kemungkinan besar tidak pernah ada sebagai bagian dari Al-Qur'an. Ia berpendapat bahwa komposisi sastra dari Bab tempat ayat-ayat tersebut diduga telah dibacakan, sangat berfokus pada penolakan terhadap politeisme yang membuat penyertaan kutipan Ayat-Ayat Setan tidak realistis. Ketidakhadirannya dalam koleksi hadis kanonik ([[Kutubus Sittah|kutubus sittah]]) mendukung klaimnya.<ref>{{Cite book |last=Ernst |first=Carl W. |title=How to read the Qur'an: a new guide, with select translations |date=2011 |publisher=The University of North Carolina Press |isbn=978-0-8078-3516-6 |location=Chapel Hill}}</ref> Penulis lain berpendapat bahwa ceritanya mungkin dibuat-buat untuk alasan teologis.<ref>{{Cite journal |last=Hoyland |first=Robert |date=March 2007 |title=Writing the Biography of the Prophet Muhammad: Problems and Solutions |url=https://compass.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1478-0542.2007.00395.x |journal=History Compass |volume=5 |issue=2 |pages=581–602 |doi=10.1111/j.1478-0542.2007.00395.x |issn=1478-0542}}</ref>
Istilah 'ayat-ayat setan' pertama kali disebutkan dan dipopulerkan oleh Sir [[William Muir]] (1858).<ref name="Esposito2003">{{cite book|author=John L. Esposito|title=The Oxford dictionary of Islam|url=http://books.google.com/books?id=Bcis07kDq30C&pg=PT563|year=2003|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-512558-0|page=563}}</ref>
 
== Ikhtisar kisah Kisah==
[[File:Relief of the Arabian goddess Al-Lat, Manat and al-Uzza from Hatra. Iraq Museum.jpg|thumb|Dewi-dewi Arab pada zaman [[jahiliah]], yaitu Al-Lat, Manat, dan al-Uzza.]]
Ada beberapa sumber melaporkan peristiwa yang berbeda dalam pembentukan dan perincian riwayat.<ref name="EoQ">{{Citation
Ada beberapa kisah tentang insiden tersebut, yang berbeda dalam konstruksi dan detail narasinya, tetapi kisah-kisah itu dapat dirangkum secara luas untuk menghasilkan suatu kisah dasar.<ref name="EoQ">{{Citation
| last =Ahmed
| first =Shahab
| author-link =
| last2 =
| first2 =
| author2-link =
| year =2008
| publication-date =14 August 2008
Baris 21 ⟶ 18:
| editor-last =Dammen McAuliffe
| editor-first =Jane
| editor-link =
| editor2-last =
| editor2-first =
| editor2-link =
| title =Encyclopaedia of the Qurʾān
| location =Georgetown University, Washington DC
| edition =
| series =
| place =
| publication-place =Georgetown University, Washington DC
| publisher =Brill
}}{{Dead link|date=September 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Versi-versi cerita yang berbeda tercatat dalam tafsir-tafsir Al-Qur'an awal dan [[Sirah nabawiyah|sirah nabawiyyah]], seperti milik Ibnu Ishaq.<ref name="IbnIshaq">{{Cite book|last=Ibn Ishaq|first=Muhammad|date=1955|url=https://archive.org/stream/TheLifeOfMohammedGuillaume/The_Life_Of_Mohammed_Guillaume#page/n105/mode/1up|title=Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah - The Life of Muhammad Translated by A. Guillaume.|location=Oxford|publisher=Oxford University Press|isbn=9780196360331|page=165}}</ref> Kisah ini pada dasarnya menyatakan bahwa ketika Muhammad sedang memimpin salat di dekat Ka'bah, ia membaca Surah An Najmn ayat 19-20:
| volume =
| pages =
| id =
| isbn =
| doi =
| oclc =
| url =
}}</ref> Semua versi yang berlainan dapat ditelusuri merujuk kepada seorang periwayat, Muhammad bin Kaab, yang terpisah dua generasi dari perawi riwayat nabi, Ibn Ishaq. Intinya, cerita melaporkan bahwa Nabi Muhammad sangat ingin mengajak [[Quraisy|kaumnya]] dan tetangga-tetangga warga [[Mekkah]] agar memeluk [[Islam]]. Ketika dia menyebut [[Surah An-Najm]],<ref>([[wikisource:The Holy Qur'an/An-Najm|Q.53]])</ref> yang diwahyukan oleh malaikat [[Jibril]], [[Setan]] mengambil kesempatan untuk membisikkan ayat berikut setelah [[ayat al-Quran|ayat]] 19 dan 20:
 
"Apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (dua berhala) al-Lata dan al-‘Uzza, serta Manat (berhala) ketiga yang lain (sebagai anak-anak perempuan Allah yang kamu sembah)?"
<blockquote>Pernahkah kamu memikirkan [[Lātta|Al-Lat]], [[‘Uzzá|Al-‘Uzzá]],
<br/>dan [[Manāt]], yang ketiga, yang lain?<br/>Ini adalah ''gharāniq'' yang dimuliakan, dan perantaraannya diharapkan.</blockquote>
 
Kemudian segera setelah ia membaca ayat-ayat tersebut, ia berkata, "Itulah gharaniq (burung bangau) yang terbang tinggi dan sesungguhnya syafaat mereka harus diharapkan" sehingga suku Quraisy sangat gembira ketika Muhammad berbicara begitu positif tentang Tuhan mereka, mereka pun ikut bersujud bersama kaum Muslim setelah Muhammad membaca ayat-ayat tersebut. Setelah itu, Allah menurunkan sebuah ayat yang menegur Muhammad dan juga menurunkan sebuah ayat yang membatalkan "ayat-ayat setan".
Allāt, Al-'Uzzā dan Manāt adalah tiga [[dewi]] [[pagan]] yang disembah oleh penduduk Mekkah pada permulaan penyebaran Islam di Jazirah Arab. Menafsirkan makna "''gharāniq''" adalah sukar, karena kata ini bagaikan ''[[hapax legomenon]]''. Penulis menduga bahwa kata ini bermakna burung [[bangau]]. Istilah dalam bahasa Arab ini memang pada umumnya bermakna seekor "bangau" - muncul dalam bentuk tunggal seperti ''ghirnīq, ghurnūq, ghirnawq'' dan ''ghurnayq'', dan mempunyai bentuk kerabat kata lain untuk menyebut berbagai jenis burung, termasuk "gagak" dan "elang".<ref>{{Citation
 
| last =Militarev
Al-Lāt, al-'Uzzā, dan Manāt adalah tiga dewi Arab pra-Islam yang disembah oleh orang Mekkah. Sulit untuk memahami arti kata gharāniq secara tepat, karena kata tersebut merupakan hapax legomenon (hanya digunakan satu kali dalam teks). Para komentator menulis bahwa kata tersebut berarti "burung bangau". Kata Arab tersebut secara umum berarti "burung bangau" – muncul dalam bentuk tunggal sebagai ghirnīq, ghurnūq, ghirnawq, dan ghurnayq, dan kata tersebut memiliki bentuk sepupu dalam kata lain untuk burung, termasuk "gagak, burung gagak", dan "elang".<ref>{{Citation
| first =Alexander
| last1 =Militarev
| author-link =
| first1 =Alexander
| last2 =Kogan
| first2 =Leonid
| author2-link =
| publication-date =
| year =2005
| title =Semitic Etymological Dictionary 2: Animal Names
| edition =
| volume =278/2
| series =Alter Orient und Altes Testament
| publication-placelocation =Münster
| place =
| publisher =Ugarit-Verlag
| pages =131–132
| page =
| id =
| isbn =3-934628-57-5
}}</ref> Jika diambil sebagai satu segmen, "gharāniq yang ditinggikan" telah diterjemahkan oleh orientalis [[William Muir]] sebagai "wanita yang ditinggikan", sementara akademisi kontemporer [[Muhammad Manazir Ahsan]] telah menerjemahkan segmen yang sama sebagai "dewi-dewi yang menjulang tinggi". Jadi, apakah frasa tersebut dimaksudkan untuk mengaitkan sifat ilahi kepada tiga "berhala" tersebut masih menjadi bahan perdebatan.<ref>{{Cite web|url=https://brians.wsu.edu/2017/02/08/the-satanic-verses/|title=The "Satanic Verses" &#124; Common Errors in English Usage and More &#124; Washington State University|date=8 February 2017 }}</ref> Pada kedua interpretasi tersebut, para peneliti pada umumnya sepakat mengenai makna bagian kedua ayat tersebut, yaitu "yang diharapkan syafaatnya".
| doi =
 
| oclc =
== Tanggapan Dalam Tafsir Muslim ==
| url =
 
| accessdate =}}</ref>
=== Islam Awal ===
Sirah Nabawiyyah yang paling awal, yaitu sirah yang ditulis oleh [[Ibnu Ishaq]] (761–767) telah hilang Akan tetapi, koleksi tradisinya masih ada terutama dalam dua sumber: [[Ibnu Hisyam]] (833) dan [[al-Tabari]] (915). Kisah tersebut muncul dalam al-Tabari, yang memasukkan Ibnu Ishaq dalam rantai transmisi, tetapi tidak dalam Ibnu Hisyam, di mana banyak hal yang telah dicatat oleh generasi sebelumnya tentang Nabi, ia berkomentar dengan tegas, adalah palsu, atau tidak relevan, atau tidak pantas.<ref>{{cite book|last1=Holland|first1=Tom|date=2012|url=https://books.google.com/books?id=1f_BR2DulRIC&q=%22matters+which+would+distress+certain+people%22&pg=PT51|title=In the Shadow of the Sword|publisher=Doubleday|isbn=978-0385531368|pages=42}}</ref> [[Ibnu Sa'ad|Ibn Sa'ad]] dan [[Al-Waqidi]], dua penulis sirah nabawiyyah awal Muhammad lainnya menceritakan kisah tersebut.<ref name="EoQM">{{Citation|last=Rubin|first=Uri|date=14 August 2008|contribution=Muḥammad|contribution-url=http://www.brillonline.nl/subscriber/entry?entry=q3_COM-00126|editor-last=Dammen McAuliffe|editor-first=Jane|title=Encyclopaedia of the Qurʾān|location=Georgetown University, Washington DC|publisher=Brill}}{{Dead link|date=April 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}}</ref>
 
Shahab Ahmed, penulis buku tentang ayat-ayat setan pada masa awal Islam, mengamati bahwa pada era tafsir awal dan literatur [[Sirah nabawiyah|sīrah/maghazi]], insiden ayat-ayat setan hampir diterima secara universal oleh komunitas Muslim awal dan menggambarkan konsep kenabian yang melibatkan perjuangan yang berkelanjutan. Kemudian, hal itu ditolak ketika logika era pengumpulan hadis dan ortodoksi berikutnya didasarkan pada dua prinsip epistemologis: prinsip teologis 'ismat al-anbiyā' (kemaksuman para nabi) dan prinsip metodologi hadis dalam memverifikasi laporan, yaitu berdasarkan isnad mereka.<ref name="AhmedBeforeOrthodoxy">{{cite book |last=Ahmed |first=Shahab |date=2017 |title=Before Orthodoxy: The satanic verses in early Islam |location=Cambridge, Massachusetts; London, England |publisher=Harvard University Press |isbn=978-0-674-04742-6}}</ref>{{rp|265, 301.}}
 
[[Ibnu Katsir]] menolak riwayat tersebut dengan mengatakan: "Inti dari riwayat tersebut bersumber dari riwayat yang shahih, sedangkan riwayat Gharaniq terputus dan tidak memiliki mata rantai periwayatan yang shahih."<ref>Ibn Kathir. [[iarchive:TafsirIbnKathirVolume0110English_201702/page/n3/mode/1up|''Tafsir Ibn Kathir'']] Archive.org. The Interpretation of Ibn Kathir. ''Darussalam''</ref> Ini adalah referensi kepada hadis yang diriwayatkan oleh para ulama seperti Al-Bukhari dan Al-Muslim yang menyebutkan tentang bacaan An Najm ayat 19-20 dan sujud kaum muslimin bersama orang-orang kafir atas bacaan ayat-ayat tersebut. Namun, hadisnya tidak menyebutkan tentang campur tangan setan (kisah gharaniq)<ref>Rubin, Uri (1997), ''The eye of the beholder: the life of Muḥammad as viewed by the early Muslims: a textual analysis'', Princeton, NJ: Darwin Press (published 1995), p. 161</ref>
 
[[Ibnu Hazm]] menilai kisah itu sebagai rekayasa, katanya: "Hadits yang memuat kalimat, 'Sesungguhnya mereka adalah orang-orang Gharaniq yang agung, dan mereka diharapkan syafaatnya,' adalah dusta belaka. Tidak sahih dari segi periwayatan dan tidak patut untuk dianut, karena rekayasa dusta itu berada dalam kemampuan siapa pun."<ref>{{Cite book |last=Ibn |first=Hazm |url=https://ketabonline.com/ar/books/104783/read?part=1&page=2737&index=2382135 |title=Al Fasl fi Al Ahwa wa Al Nihal |pages=2/311 |language=Arabic}} Full text: [https://www.islamweb.net/ar/article/143584/%D9%82%D8%B5%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%BA%D8%B1%D8%A7%D9%86%D9%8A%D9%82-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%8A%D8%B2%D8%A7%D9%86 Islamweb.net]</ref>
 
Menurut [[Ibnu Taimiyah]], ada dua pendapat tentang hal ini. Diriwayatkan bahwa para ulama terdahulu (Salaf) mempercayai kisah tersebut, sedangkan para ulama yang datang kemudian (Khalaf) mengatakan bahwa riwayat tersebut tidak dapat dipercaya.<ref name="Ahmed" />
 
===Periode Abad Pertengahan===
Karena sifatnya yang kontroversial, tradisi Ayat-Ayat Setan tidak pernah masuk ke dalam kompilasi hadis kanonik ([[Kutubus Sittah|kutubus sitah]]) mana pun.<ref name="EoB">{{Citation|last=Rubin|first=Uri|publication-date=1995|year=1997|title=The eye of the beholder: the life of Muḥammad as viewed by the early Muslims: a textual analysis|location=Princeton, NJ|publisher=Darwin Press|page=161|isbn=0-87850-110-X}}</ref> Referensi dan tafsir tentang Ayat-ayat tersebut muncul dalam sejarah-sejarah awal.<ref>
{{Citation
| last2 =Ibn Hishām
| first2 =ʻAbd al-Malik
| last1=ibn Isḥāq ibn Yasār
| first1=Muḥammad
| author-link=Ibn Ishaq
| title =Sīrat Rasūl Allāh
}}</ref><ref>{{Citation
| last =Ṭabarī
| first =Ṭabarī
| author-link =Muhammad ibn Jarir al-Tabari
| title =Tārīkh ar-Rusul wal-Mulūk
}}</ref><ref>{{Citation
| last =Ṭabarānī
| first =Sulaymān ibn Aḥmad
| title =al-Mu'jam al-Kabīr
}}</ref> Selain muncul dalam tafsir Tabarī, ia digunakan dalam tafsir Muqātil karya ʽAbd al-Razzaq al-Sanʽani dan Ibnu Katsir serta naskh Abu Ja'far an-Nahhās, kumpulan asbāb Wāhidī dan bahkan kompilasi al-Durr al-Manthūr fil-Tafsīr bil-Mathūr karya as-Suyūtī.
 
Penolakan terhadap insiden tersebut telah diajukan sejak abad keempat Islam, seperti dalam karya an-Nahhās dan terus diajukan pada generasi berikutnya oleh para ulama seperti [[Abu Bakr Ibnul Arabi|Abu Bakr ibnu al-‘Arabi]] (w. 1157), [[Fakhruddin ar-Razi|Fakhruddin Ar-Razi]] (1220) serta [[Al-Qurthubi|al-Qurtubi]] (1285). Argumen paling komprehensif yang diajukan terhadap fakta insiden tersebut muncul dalam ash-Shifa' karya [[Qadhi Iyadh|Qadi Iyad]].<ref name="EoQ"/> The incident was discounted on two main bases. Peristiwa itu ditolak karena dua alasan utama. Pertama, peristiwa tersebut bertentangan dengan doktrin ismat al-Anbiya. kedua, uraian tentang rantai transmisi yang ada sejak periode itu tidak lengkap (mursal) dan tidak sahih.<ref name="EoQ"/>
 
[[Fakhruddin ar-Razi]] mengomentari Al-Quran 22:52 dalam Tafsir al-Kabir-nya dan menyatakan bahwa "para ahli tafsir" menyatakan bahwa kisah tersebut adalah rekayasa belaka, dengan mengutip argumen-argumen pendukung dari Al-Qur'an, Sunnah, dan akal. Ia kemudian meriwayatkan bahwa Muhaddith [[Ibnu Khuzaimah]] yang terkemuka berkata: "itu adalah rekayasa kaum bid'ah" ketika ditanya tentang hal itu. Ar-Razi juga mencatat bahwa [[Al-Baihaqi|al-Bayhaqi]] menyatakan narasi kisah tersebut tidak dapat dipercaya karena para perawinya memiliki integritas yang dipertanyakan.
 
[[Al-Shaukani]] menyatakan bahwa kisah tersebut tidak shahih, dengan mengatakan: "Dan tidak ada satu pun dari kisah ini (kisah Gharaniq) yang shahih, tidak pula terbukti [kecuali] karena ke-tidak shahih-annya dan kepalsuan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama ahli hadis karena bertentangan dengan Kitab Allah Ta'ala". Ia kemudian mengutip ulama lain yang juga menganggapnya tidak shahih, seperti Al-Bazzar, Al-Baihaqi, dan Ibnu Khuzaymah.<ref>{{Cite book |last=Shawkānī |first=al- |title=Fath al-Qadīr |date=2007 |publisher=Dār al-Maʿrifah |year=2007 |volume= |pages=969-970}}</ref>
 
Para ulama yang mengakui historisitas kejadian tersebut tampaknya memiliki metode yang berbeda untuk menilai laporan daripada yang telah menjadi metodologi Islam standar. Misalnya, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa karena laporan tafsir dan sira-maghazi umumnya disampaikan melalui isnad yang tidak lengkap, laporan-laporan ini tidak boleh dinilai menurut kelengkapan mata rantai tetapi lebih pada dasar penyampaian makna umum yang berulang-ulang di antara laporan-laporan tersebut.<ref name="EoQ"/> Ibnu Taimiyah mengganggap insiden tersebut tidak menyalahi konsep ismat al-Anbiya, dan ia menganggap bahwa peristiwa tersebut dapat menjadi bukti atas kebenaran dan kejujuran Muhammad, karena insiden ini menunjukkan kesediaan Muhammad untuk menyampaikan Wahyu Ilahi dengan setia, meskipun dengan risiko memberatkan dirinya sendiri dengan mengakui kesalahannya.<ref name="Ahmed" />
Makna yang tersirat dari peristiwa ini adalah; Nabi Muhammad sempat berpaling dari [[tauhid]] atau [[monoteisme]] sejati, dengan berkompromi dengan pemujaan selain Allah, dan mengatakan bahwa dewi-dewi ini adalah benar dan pengantaraan mereka adalah efektif. Penduduk Mekah bersuka cita mendengar ini dan turut [[sujud]] bersama Nabi Muhammad di ujung ''surah''. Penghijrah Muslim yang telah melarikan diri ke [[Ethiopia|Abesinia]] yang mendengar berakhirnya penindasan, mulai kembali ke Mekkah. Tradisi Islam menyebutkan bahwa Malaikat Jibril menghardik Nabi Muhammad karena telah mengelirukan firman Allah.{{Quran-usc|22|52}}
<blockquote>
<br/>Tidak pernah Kami mengirim seorang utusan atau nabi sebelum kami,
<br/>tetapi apabila dia membaca (wahyu) yang dibisikkan setan (pembangkang) dalam seperti mana yang dia membaca yang disebutkan.
<br/>Tetapi Allah mematahkan apa yang setan bisikkan.
<br/>Kemudian Allah meneguhkan wahyu-Nya.
<br/>Allah adalah yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.
<br/></blockquote>
 
===Ulama Islam Modern===
Nabi Muhammad menarik kembali kata-katanya dan penindasan oleh penduduk Quraisy Mekkah kembali berlanjut. Ayat {{Quran-usc-range|53|21|23}} telah diberikan, di mana dewi-dewi ini telah direndahkan. Ayat tersebut, dari 53:19, berbunyi:
Banyak cendekiawan Muslim modern yang menolak cerita tersebut. Argumen penolakan mereka terdapat dalam artikel Muhammad Abduh “Masʾalat al-gharānīq wa-tafsīr al-āyāt”, Hayat Muhammad karya Muhammad Husain Haykal (1933), Fi Zilal al-Quran karya Sayyid Qutb (1965), Tafhim-ul-Quran karya Abul Ala Maududi (1972) danNasb al-majānīq li-nasf al-gharānīq karya al-Albani.<ref name="EoQ" />
<blockquote>
<br/>Pernahkah kamu menganggapkan Al-Lat dan Al-'Uzza
<br/>serta Manat, yang ketiga, yang lain?
<br/>Adakah yang milik kamu lelaki dan milik-Nya perempuan?
<br/>Itu sudah tentu adalah pembagian yang tidak adil!
<br/>Mereka hanyalah nama-nama yang telah kamu dan bapak-bapak kamu berikan, yang mana tidak diizinkan Allah (melalui firman-Nya).
<br/>Mereka hanya mengikuti dugaan yang (mereka) inginkan sendiri.
<br/>Dan kini kebenaran dari Tuhan telah tiba kepada mereka.
<br/></blockquote>
 
==Perdebatan Historisitas==
== Ketidak benaran ==
Sejak zaman orientalis [[William Muir]], historisitas cerita ini telah diterima oleh akademisi sekuler.<ref name="EnQ">Orientalis yang tidak menerima historisitas narasi ini bisa dilihat di:
Kebanyakan cendekiawan Muslim menolak keabsahan sejarah dari insiden ini, berdasarkan argumen bahwa kisah ini mempunyai ''[[isnad]]'' (rantai penyampaian) yang lemah (''dha'īf''), serta berpegang pada doktrin ''[[isma]]'' dalam teologi Islam; yaitu Ketidakbersalahan Nabi; perlindungan Illahiah bahwa Allah melindungi Nabi Muhammad agar terhindar dari melakukan segala perbuatan salah.<ref name="Ahmed" /> Sekalipun Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir menganggap sahih, tetapi [[Al-Baihaqi]] mengatakan bahwa kisah ini tidak tetap (''tsabit'') dari sisi penukilan (pengutipan) di isnadnya." Qadhi 'Iyadh<ref>Lihat {{aut|[[Qadhi 'Iyadh|'Iyadh, Qadhi]]}}, ''Asy-Syifā'', jilid 2, halaman 116.</ref> menganggap serupa; karena hampir semunanya lemah dan sangat lemah. Tidak pernah hadits ini dikeluarkan seorangpun yang konsisten dalam hadits-hadits ''shahīh'', juga tiada yang meriwayatkannya oleh seorang ''tsiqah'' (tepercaya) dalam sanad yang baik dan ''marfū''. Anehnya, hadits ini disukai benar oleh ahli tarikh, dan para mufasir (ahli tafsir) dalam menghiasi kitab-kitab mereka dengan semua yang shahih dan dha'if. Adapun riwayat yang ''marfū'' (sampai sanadnya kepada Nabi {{saw}}) adalah dari Syu'bah, dari Abu Basyar, dari [[Sa'id bin Jubair]], dari Ibnu Abbas - dalam keraguan menyambungkan hadits. Walau demikian, yang memarfu'kan sanad ini cuma Umayyah bin Khalid — walaupun sebenarnya tidak begitu sanadnya. Al-Kalbi — seorang ''kadzdzāb'' (penipu ulung dalam ilmu hadits)- juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, namun sayang, Al-Kalbi adalah seorang penipu, yang tak boleh dipercaya hadits-haditsnya. [[Ibnu Khuzaimah]] pernah mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa "kisah ini adalah karangan orang-orang zindik (orang yang menampakkan keIslamannya, tetapi menyembunyikan kekafirannya)". Prof. [[Muhammad Abu Syahbah|Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah]] menganggap cerita ini batil dan bertentangan dari sisi ''aqli'' dan ''naqli'', serta banyak sekali kerancuan riwayat mengenai kisah ini.<ref name=abusyahbah>{{aut|[[Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah|Syahbab, Muhammad bin Muhammad Abu]]}} (2014). ''Isrăǐliyyat & Hadits-Hadits Palsu Tafsir Al-Qur'an''. hal.448{{spaced ndash}}464. [[Depok]]:Keira Publishing. ISBN 978-602-1361-29-0.</ref>
 
* Michael Cook, ''Muhammad.'' In ''Founders of Faith,'' Oxford University Press, 1986, p. 309.
Selain itu, [[Ibnu Katsir]], Abubakr al-Bazzar, penafsir Imam Fakhr ar-Razi, juga menolak hal ini, sebagaimana dikutipkan oleh [[Buya Hamka]] dalam ''Tafsir al-Azhar''-nya.<ref name=hamka1>Hamka (tanpa tahun), hlm.191{{spaced ndash}}94</ref> Penafsir-penafsir Quran kontemporer seperti Syaikh [[Muhammad Abduh]] juga menolak ini, berdasar pada pemakaian kaidah kebahasaan yang dangkal pada kisah ini.<ref name=hamka2>Hamka (tanpa tahun), hlm.195</ref> ''Gharānīq'' berasal daripada kata ''al-ghurnūq'', sebangsa burung air, yang warnanya hitam atau putih. Ada pula ''ghurnīq'' yang bermakna pujian kepada anak muda yang putih, cantik, dan lembut sifatnya. Ada pula ''gharānīqah'', yang bisa berarti rambut yang halus, dan kilat kerna disisir baik-baik. Ia juga bermakna sesuatu yang lemah gemulai karena ditiup angin. Sebab itu, tak ada satupun yang jadi suatu yang bersifat dituhankan atau diberhalakan.<ref name=hamka2/>
* Montgomery Watt, ''Muhammad: Prophet and Statesman.'' Oxford University Press 1961, p. 60.</ref> Namun, beberapa orientalis menentang autentisitas historis ayat-ayat ini dengan berbagai alasan.<ref>Orientalis yang tidak menerima historisitas narasi ini bisa di lihat di:
 
* "Kuran", ''[[Encyclopaedia of Islam]]'', 2nd Edition, Vol. 5 (1986), p. 404
Ibnu Hazm dalam ''al-Milal wan-Nihal'' mengatakan cerita ini bohong dan palsu. Karena kalau ditilik dari sumberpun, tidak ada sumbernya, dari yang memang sesuatu yang tak ada.<ref name=hamka3>Hamka (tanpa tahun), hlm.196</ref> [[Sayyid Quthb]] juga turut mengatakan, meskipun ulama-ulama telah jauh mengatakan bahwa kisah palsu ini bikinan orang-orang zindiq dan mulhid (menyeleweng), kaum [[orientalisme|orientalis]] selalu memperbaharui kisah ini, dan membangkitkannya terus.<ref name=hamka3/>
* "Muḥammad," [[Encyclopaedia of Islam]], Second Edition. Edited by [[P. J. Bearman]], [[Th. Bianquis]], [[C. E. Bosworth]], [[E. van Donzel]], [[W. P. Heinrichs]] et al. Brill Online, 2014</ref> [[Sean W. Anthony]] mengamati tren kajian orientalis terkini yang cenderung menolak historisitas cerita tersebut setelah masa ketika para orientalis lebih terpecah belah dan bervariasi.<ref name="Anthony2019">{{cite journal |last1=Anthony |first1=Sean |date=2019 |title=The Satanic Verses in Early Shiʿite Literature: A Minority Report on Shahab Ahmed's Before Orthodoxy |url=https://www.academia.edu/38941116 |journal=Shii Studies Review |volume=3 |issue=1–2 |pages=215–252 |doi=10.1163/24682470-12340043 |s2cid=181905314 |access-date=16 August 2022}}</ref>{{rp|220}}
 
== Lihat juga ==
Baris 110:
* {{Citation | author=G. R. Hawting | title=The Idea of Idolatry and the Emergence of Islam: From Polemic to History | publisher=Cambridge University Press | year=1999 | isbn=0-521-65165-4}}
* {{Citation | author=Nāsir al-Dīn al-Albānī | title=Nasb al-majānīq li-nasfi qissat al-gharānīq (The Erection of Catapults for the Destruction of the Story of the Gharānīq) | year=1952 }}
* Shahab Ahmed (2018), Before Orthodoxy: The Satanic Verses in early Islam, Harvard University Press, ISBN 978-0-674-04742-6
* {{cite book |title=Tafsir Al Azhar |volume=XVII |author=[[Hamka|Prof. Dr. Hamka]] |location=[[Jakarta]] |publisher=PT Pustaka Panjimas |ref=harv}}
 
== Pranala luar ==
=== Pengulas ===
* [http://www.islamic-awareness.org/Polemics/sverses.html "Those Are The High Flying Claims" (Refutation of the Christian missionary writings on the so-called "Satanic verses")]
* [http://www.witness-pioneer.org/vil/Books/MH_LM/story_of_the_goddesses.htm The Story of the Goddesses]
Baris 121 ⟶ 120:
 
[[Kategori:Sastra Islam]]
[[Kategori:Quranal-Qur'an]]