Requiem aeternam deo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:WikiFilsafat menggunakan HotCat
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(21 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{judul miring}}
[[Berkas:Nietzsche187a.jpg|al=|jmpl|271x271px|Friedrich Nietzsche.]]
Ungkapan ''requiem'''Requiem aeternam deo''''' adalah ungkapan[[idiom]] rekayasa yang diucapkandiciptakan untukoleh menghormati[[Friedrich danNietzsche]] mendoakandari orangidiom yang[[bahasa meninggalLatin]] dunia''requiem aeternam''. UngkapanIdiom ini kira-kira berartibermakna "semoga engkau[[Tuhan]] beristirahat dalam kedamaian abadi". Namun, [[Friedrichsedangkan Nietzsche]]idiom menggantiasalnya ungkapan itu dengan ''requiem aeternam deo!'' yang berartibermakna "semoga [[Tuhan]]engkau beristirahat dalam kedamaian abadi!" dan diucapkan untuk menghormati orang yang meninggal dunia. Inilah salah satu ungkapan yang termasyhurNietzsche dalam sebuah [[aforisme]] Nietzsche ketika dia berseru “[[Tuhan sudah mati|Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya]]”.
 
== ''The Màdman'' (Orang Gila) ==
Ungkapan Nietzsche initersebut dapat ditemukan dalam bukunya yang mulai ditulis di [[Genova]] ([[1880|1882]]), yaitu ''Die Fröhliche Wissenschaft'' (Ilmu yang Gembira)''.'' Dengan gaya bahasa yang penuh [[metafora]], dia memaklumkan bahwa Tuhan sudah dibunuh dan sudah dikuburkan secara beramai-ramai sudah dikuburkan.<ref>{{Cite book|last=Vahanian|first=Gabriel|date=2009|url=https://archive.org/details/deathgodcultureo00vaha|title=The Death of God: The Culture of Our Post-Christian Era|location=Oregon|publisher=Wipf and Stock Publishers|isbn=978-160-6089-84-2|pages=20|url-status=live}}</ref> Rumusan yang dapat ditemukan dalam aforisme yang berjudul ''Der tolle Mensch'' atau ''The Màdman'' (Orang Gila) dan masih akan diulang berkali-kali dalam karya Nietzsche sesudahnya. Kegilaannya dapat ditemui dari seluruh aforismenya yang berjudul ''Orang Gila'' berikut.<ref name=":1" />
 
<blockquote>''Tidakkah kau dengar orang gila yang menyalakan pelita di pagi yang cerah. Dia berlari-lari menuju alun-alun kota dan tak henti-hentinya berteriak "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!". Ketika orang banyak yang tidak percaya kepada Tuhan datang mengerumuninya, orang gila itu mengundang banyak gelak tawa. "Apakah dia ini orang yang hilang?" tanya seseorang. "Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Apakah dia baru saja mengadakan pelayaran? Apakah dia seorang perantau?" Demikianlah, mereka saling bertanya sinis dan tertawa.''<ref name=":0">{{Cite book|last=Sunardi|first=St.|date=2006|title=Nietzsche|location=Yogyakarta|publisher=LKIS Pelangi Aksara|isbn=978-979-8451-60-7|pages=35–42|url-status=live}}</ref>
 
''Orang gila itu lalu melompat dan menyusup ke tengah-tengah kerumunan dan menatap mereka dengan pandangan yang tajam. "Mana Tuhan?", serunya. "Aku hendak berkata kepada kalian. Kita telah membunuh Tuhan – kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Bagaimana mungkin kita telah melakukan perbuatan semacam ini? Bagaimana mungkin kita telah meminum habis lautan? Siapakah yang memberikan penghapus kepada kita untuk melenyapkan seluruh [[cakrawala]]? Apa yang kita lakukan jikalau kita melepaskan [[bumi]] ini dari mataharinya? Lalu ke mana bumi ini akan bergerak? Ke mana kita bergerak? Menjauhi seluruh [[matahari]]? Tidakkah kita jatuh terus-menerus? Ke belakang, ke samping, ke depan, ke semua arah? Masih adakah atas dan bawah? Tidakkah kita berkeliaran melewati ketiadaan yang tak terbatas? Tidakkah kita merasa menghirup ruangan yang kosong? Bukankah hari sudah menjadi semakin dingin? Tidakkah [[malam]] terus-menerus semakin meliputi kita? Bukankah pada [[siang]] hari lentera pun kita nyalakan? Tidakkah kita mendengar kebisingan para penggali liang kubur yang sedang memakamkan Tuhan? Tidakkah kita mencium bau busuk Tuhan? Ya, para Tuhan juga membusuk! Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!"''<ref name=":0" />
 
''"Bagaimanakah kita – pembunuh para pembunuh – merasa terhibur? Dia yang Mahakudus dan Mahakuasa yang dimiliki dunia kini telah mati kehabisan darah karena pisau-pisau kita – siapakah yang hendak menghapuskan darah ini dari kita? Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita? Perayaan tobat apa, pertunjukan kudus apa, yang harus kita adakan? Bukankah tindakan ini terlalu dahsyat bagi kita? Tidakkah kita harus menjadikan diri kita sendiri sebagai Tuhan supaya tindakan itu kelihatan bernilai? Belum pernah ada perbuatan yang lebih besar, dan siapa saja yang lahir setelah kita – demi tindakan ini – akan termasuk ke dalam sejarah yang lebih besar daripada seluruh sejarah sampai sekarang ini!''<ref name=":0" />
Baris 24:
Dengan berseru “Tuhan sudah mati”, Nietzsche pertama-tama tidak bermaksud ingin membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan tidak ada bagi Nietzsche merupakan “kebenaran” yang tidak perlu dipersoalkan lagi.<ref>{{Cite book|last=Darwin|date=2015|title=Filsafat dan Cinta yang Menggebu|location=Yogyakarta|publisher=The Phinisi Press|isbn=978-602-7250-62-8|pages=86–94|url-status=live}}</ref> Seruan ini lebih menunjuk kepada Tuhan yang dulu pernah dibiarkan hidup, kini secara beramai-ramai sudah mulai dikuburkan banyak orang, bahkan kini sudah mulai membusuk. Tuhan dulu pernah hidup bisa dimakluminya. Orang-orang sebelum Nietzsche masih membiarkan Tuhan hidup karena mereka memang belum cukup kuat untuk membunuhnya. Pembuktian mengenai “pembuktian”, “Tuhan itu ada” atau “Tuhan itu tidak ada”, bukanlah cara berbicara Nietzsche. Ini adalah cara berbicara para metafisikawan yang hanya bersandar kepada prinsip-prinsip logika saja, sedangkan Nietzsche dalam prinsip nihilismenya juga menolak keabsahan logika itu. Dengan kata lain, dia menolak baik isi maupun cara berbicara kaum metafisikawan.<ref name=":1">{{Cite book|last=Jackson|first=Roy|title=Friedrich Nietzsche|location=Yogyakarta|publisher=Narasi|isbn=978-979-1684-41-5|pages=98–112|url-status=live}}</ref>
 
Dengan matinya Tuhan, kini orang seolah ''der leere raum'' (merasa menghirup udara kosong) dan seluruh cakrawala dihapuskan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Tuhan dalam perjalanan sejarah sebelum Nietzsche. Sejak zaman [[Yunani]] sampai [[Renaisans]], manusia dibayang-bayangi oleh jaminan absolut ''–'' (Tuhan ''–'') untuk memberikan makna dan nilai bagi dunia dan hidupnya. Orang mengira bahwa jaminan absolut itu memang benar-benar ada. Pudarnya Tuhan selalu diikuti reformasi supaya Tuhan tetap hidup. Menurut Nietzsche, para tokoh reformasi ini meliputi [[Pythagoras]], [[Plato]], [[Empedokles]], dan [[Martin Luther]]. Namun, semua reformasi yang mereka lakukan semua gagal. Proses kematian Tuhan tidak dapat dielakkan. Dikarenakan jaminan absolut sudah kehabisan darah, nilai-nilai yang diturunkan darinya pun runtuh. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya proses [[nihilisme]].<ref name=":2" />
 
== Nihilisme ==
Nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan memang harus terjadi. Nihilisme adalah hasil yang tidak terelakkan dari seluruh gerak sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Dalam gerak sejarah ini, roh manusia semakin kuat. Bersamaan dengan itu, Tuhan yang pernah diakui sebagi tujuan dan dasar bagi dunia dan hidup manusia semakin pudar. Sia-sialah setiap usaha untuk menghidupkannya kembali. Usaha-usaha itu justru menimbulkan berbagai konflik dan situasi yang menyulitkan, hingga akhirnya mempercepat proses nihilisme. Situasi ini dilukiskan Nietzsche sebagai bumi yang kehilangan matahari: bumi kehilangan orientasi, tidak tahu lagi yang harus dikelilingi, serta tidak ada lagi atas dan bawah. Dikarenakan keadaan ini berada di luar kekuasaan manusia perorangan, dapat dikatakan bahwa nihilisme lebih merupakan semangat zaman daripada sebuah doktrin atau sikap para filsuf secara individual.<ref>{{Cite book|last=Megill|first=Allan|date=1987|url=https://archive.org/details/prophetsextremit00megi|title=Prophets of Extremity: Nietzsche, Heidegger, Foucault, and Derrida|location=California|publisher=University of California Press|isbn=978-052-0060-28-9|pages=28–30|url-status=live}}</ref>
 
Sepintas, gagasan Nietzsche mengenai pudarnya Tuhan ini mirip dengan pemikiran [[Auguste Comte]] ([[1798]]''–''[[1857]]). Tokoh positivistik asal [[Prancis]] ini membagi perkembangan sejarah menjadi tiga tingkatan atau zaman, yaitu [[teologi]] atau [[mitologi]], [[metafisika]], dan [[positivistik]]. Dalam teologi atau mitologi, seseorang masih percaya kepada kekuatan adikodrati (Tuhan) sebagai penyebab segala peristiwa fenomenal yang dihadapi. Pada tahap kedua, peran Tuhan diganti dengan metafisika yang bersifat abstrak; misalnya substansi dan kodrat. Pada tahap positivistik, seseorang meninggalkan kekuatan-kekuatan adikodrati maupun konsep-konsep metafisik, kemudian membatasi diri hanya kepada fakta yang disuguhkan dan dihadapinya. Namun, Nietzsche masih menolak gagasan Comte yang seolah-olah berhasil memudarkan Tuhan. “Comte ingin mengantar orang-orang Prancis ke [[Roma]] melalui jalan ilmu pengetahuan!” Dengan kata lain, Comte secara tidak sadar telah menciptakan agama baru bagi dirinya dan bangsanya dengan jalan memutlakkan ilmu pengetahuan.<ref name=":0" />
 
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dalam arti sempit, matinya Tuhan menunjuk kepada runtuhnya jaminan absolut, yaitu Tuhan yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme. Namun, lebih dari itu, dia sebenarnya mengartikan kata “Tuhan” lebih luas daripada pengertian sebagaimana dipahami orang-orang yang termasuk zaman teologisnya Comte. Bagi Nietzsche, “Tuhan” hanyalah suatu model untuk menunjuksetiap bentuk jaminan kepastian untuk hidup dan manusia. Oleh karena itu, sekalipun seseorang sudah membunuh Tuhan, dia belum tentu tidak menghidupkan tuhan-tuhan lainnya.<ref name=":0" />
 
== Lihat pula ==
{{Portal|Filsafat}}
 
* [[Friedrich Nietzsche]]
* ''[[Maka Berbicaralah Zarathustra]]''
Baris 52:
 
{{Nietzsche}}
 
[[Kategori:Friedrich Nietzsche]]
{{Authority control}}
[[Kategori:Filsafat]]
 
[[Kategori:Anti-Kekristenan]]
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Teologi]]
[[Kategori:Friedrich Nietzsche]]
[[Kategori:WikiFilsafat]]