Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
k fix
 
(2 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 5:
# Pendekatan kedua adalah pendekatan yang berupaya untuk menolak penggunaan sikap paternalistic dan mempatonisasi para penyandang [[Difabel|cacat]] tapi dengan memandangnya melalui model medis yang sebagai konsekuensinya memandang mereka sebagai bagian dari anggota komunitas dengan [[Hak asasi manusia|hak-hak]] yang setara.<ref>{{Cite journal|last=Sunyowati|first=Dina|date=2013-03-29|title=HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL (Dalam Perspektif Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Di Indonesia)|url=http://dx.doi.org/10.25216/jhp.2.1.2013.67-84|journal=Jurnal Hukum dan Peradilan|volume=2|issue=1|pages=67|doi=10.25216/jhp.2.1.2013.67-84|issn=2528-1100}}</ref>
 
Salah satu langkah yang dilakukan adalah memberikan perlindungan hukum dalam pemenuhan hak dengan meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional khususnya yang berkaitan dengan penyandang disabilitas, membentuk instrument hukum nasional hingga pada tingkat daerah, serta melihat kebijakan negara-negara lainnya dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Tuntutan akan hak dan diadakannya sarana dan prasarana aksesibilitas [[fisik]] maupun non-fisik bagi penyandang [[Difabel|disabilitas]] telah sering disuarakan oleh para aktivis Organisasi Penyandang Disabilitas (''Disabled People Organisation''). Sebagian hak sudah diupayakan dan direalisasikan oleh pemerintah, seperti: pembangunan sekolah luar biasa, dibangunnya fasilitas-fasilitas di beberapa gedung, penerjemah berita penyandang disabilitas rungu/tuli di televisi (sekarang justru ditiadakan), transportasi khusus disabilitas dan sebagainya, walaupun masih minim dan kadang tidak terurus.<ref>{{Cite journal|last=Ridlwan|first=Zulkarnain|date=2015-10-26|title=PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL PENYANDANG DISABILITAS (RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES)|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no2.382|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=7|issue=2|doi=10.25041/fiatjustisia.v7no2.382|issn=2477-6238}}</ref> Dorongan bagi daerah terus dilakukan karena dalam lingkup pemerintahan di daerah belum banyak tersedia peraturan daerah yang dapat memberikan perlindungan yang dimaksud salah satunya hak aksebilitas. Suatu perlindungan yang mencakup seluruh hak yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum, yang sering disebut aksesibilitas. Pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan [[fisik]], [[sosial]], [[ekonomi]] dan [[kebudayaan]], [[kesehatan]] dan [[pendidikan]], serta [[informasi]] dan [[komunikasi]], yang memungkinkan penyandang [[Difabel|disabilitas]] untuk menikmati sepenuhnya semua [[hak asasi manusia]].<ref>{{Cite journal|last=Ridlwan|first=Zulkarnain|date=2015-11-06|title=Payung Hukum Pembentukan BUMDes|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v7no3.396|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=7|issue=3|doi=10.25041/fiatjustisia.v7no3.396|issn=2477-6238}}</ref> [[Momentum]] [[reformasi]] tahun [[1998]] membawa pengaruh yang cukup besar di dalam perubahan pengaturan hak asasi manusia di [[Indonesia]]. Khususnya dengan adanya [[Amendemen|amandemen]] terhadap [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia]] Tahun [[1945]] (UUD NRI 1945) yang menambah Pasal 2828I I- 28 J28J tentang HAM, yang semula pada naskah asli hanya mengatur tentang hak warga negara.<ref>{{Cite journal|last=Fatah|first=Abdul|date=2013-09-04|title=GUGATAN WARGA NEGARA SEBAGAI MEKANISME PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA DAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA|url=http://dx.doi.org/10.20473/ydk.v28i3.347|journal=Yuridika|volume=28|issue=3|doi=10.20473/ydk.v28i3.347|issn=2528-3103}}</ref> Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) di mana Indonesia juga turut menandatanganinya. Sekalipun perubahan tersebut juga memuat aturan pembatasan. Namun ini menjadi capaian yang baik sejak Indonesia [[merdeka]] Tahun 1945. Penyandang disabilitas sekalipun tidak disebut secara tegas dalam UUD NRI tahun 1945, namun merupakan bagian dari manusia yang kedudukannya sama. Sebagaimana prinsip dalam HAM yang universal, non diskriminasi, tidak dapat dipungkiri, tidak dapat dibagi dan tidak dapat dikurangi. Pemenuhan hak perlu adanya payung hukum, hal ini selaras dengan tujuan pembentukan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 “memajukan [[kesejahteraan]] umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan [[keadilan sosial]] bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada intinya bahwa perwujudannya bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Baik manusia yang terlahir “normal” dan terlahir dengan “ketidaksempurnaan fisik atau mental”. Pada anak-anak disabilitas dibekali dengan pendidikan yang sama sehingga ketika tumbuh dewasa menjadi pribadi yang mandiri, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Jangan sampai hanya berakhir dijalanan karna tidak memiliki pendidikan dan keahlian. Terserapnya penyandang disabilitas diusia kerja pada lapangan pekerjaan baik sebagai pegawai negeri maupun pekerjaan swasta. Keengganan perusahaan mempekerjakan penyandang disabilitas turut menambah jumlah disabilitas yang tidak terserap pada dunia kerja. Diberikannya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk aktif dalam dunia [[politik]]. Sebelum adanya [[ratifikasi]] atas CRPD banyak instrumen-instrumen berkaitan dengan penyandang disabilitas. Dari Undang-Undang, Peraturan Menteri terkait hingga [[Peraturan Daerah (Indonesia)|Peraturan Daerah]]. Undang-undang yang di dalamnya juga menyinggung tentang penyandang disabilitas antara lain ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan [[Pabean|kepabeanan]]. Kondisi ini membuktikan bahwa sesuangguhnyasesungguhnya Indonesia memiliki cukup instrument perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas namun terhambat pada taraf implementasinya. Indonesia juga memiliki organisasi penyandang disabilitas salah satunya adalah Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, yang memiliki kantor perwakilan di berbagai daerah, salah satu yang dilakukannya adalah advokasi terhadap penyandang disabilitas agar hak-haknya dapat dipenuhi oleh pemerintah, serta melakukan penggalangan dana serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan penyandang [[Difabel|disabilitas]].<ref>{{Cite web|last=Setyadi|first=Stefanus Novian|date=2019-12-13|title=MEMAKNAI PENDERITAAN DALAM KATEKESE PENGHARAPAN DILIHAT DARI KITAB AYUB|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/8dkzx|website=dx.doi.org|access-date=2021-06-30}}</ref>
 
== Ragam dari Penyandang Disabilitas ==
Baris 13:
# Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan [[Sindrom Down|down syndrome]].
# Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya [[skizofrenia]], [[Gangguan bipolar|bipolar]], [[Depresi (psikologi)|depresi]], [[anxietas]], dan [[gangguan kepribadian]]; b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan [[interaksi sosial]] di antaranya [[Autisme|autis]] dan [[Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas|hiperaktif]].
# Penyandang disabilitas sensorik adalah adalah terganggunya salah satu fungsi dari [[panca indera]], antara lain disabilitas [[Mata|netra]], disabilitas rungu, dan/atau disabilitas [[wicara]].
# Penyandang disabilitas ganda atau multi, yaitu penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-wicara dan disabilitas netra-tuli. Baik penyandang disabilitas [[fisik]], [[mental]] ataupun ganda memiliki hak yang sama. Terkait dengan hak penyandang disabilitas, perlu diperhatikan tentang makna hak. [[Hak asasi manusia|Hak]] mulai menjadi perbincangan seiring timbulnya negara-negara [[Bangsa|nasional]] yang mempersoalkan hubungan negara dan warga negara.<ref>{{Cite journal|last=Marzuki|first=Marzuki|date=2020-06-17|title=HUKUM DAN PERADILAN DALAM MASYARAKAT MUSLIM PERIODE AWAL ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.24239/blc.v14i1.518|journal=Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah dan Hukum|volume=14|issue=1|pages=1–12|doi=10.24239/blc.v14i1.518|issn=2579-9762}}</ref>
 
Baris 40:
# Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang sosial.<ref>{{Cite web|last=suryaden|title=UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas|url=https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-8-2016-penyandang-disabilitas|website=Jogloabang|language=id|access-date=2021-06-30}}</ref>
 
Teori-teori yang berbasis pada hak memberikan justifikasi terhadap diutamakannya kepentingan pribadi dari pada kepentingan masyarakat. Hukum dirancang untuk sebanyak mungkin melindungi kepentingan individu sebagaimana yang dikemukakan [[Jeremy Bentham]] lewat utilitarianismennyautilitarianismenya. Hak juga merupakan sesuatu hal yang tak terpisahkan dari hakekat [[Humanisme|kemanusiaan]] itu sendiri. Menurut Lord Lloyd of Hamstead dan M.D.A. Freeman terdapat dua teori hakikat dari hak, yaitu teori kehendak yang menitikberatkan kepada kehendak atau pilihan dan yang lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Dan teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum.<ref>{{Cite journal|last=Le Lay|first=Stéphane|date=2004|title=«  Comment loger les plus pauvres si l'on démolit les HLM  ?  » Bah, en reconstruisant  !|url=http://dx.doi.org/10.3917/mouv.036.0175|journal=Mouvements|volume=36|issue=6|pages=175|doi=10.3917/mouv.036.0175|issn=1291-6412}}</ref> Menurut Paton bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum, melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasikan suatu kepentingan, karena kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa (''in vacuo)'' tetapi menginginkan tujuan-tujuan tertentu yaitu kepentingan. [[Ronald Dworkin]] menyampaikan bahwa hak paling tepat dipahami sebagai yang paling tinggi atas justifikasi latar belakang bagi keputusan [[Politik|politis]] yang menyatakan suatu tujuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dworkin menempatkan hak sebagai suatu yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.<ref>{{Cite journal|last=LAÉ|first=Jean-François|date=2002-09-30|title=La main courante en HLM et l’événement|url=http://dx.doi.org/10.7202/001399ar|journal=Sociologie et sociétés|volume=28|issue=1|pages=177–188|doi=10.7202/001399ar|issn=1492-1375}}</ref> Komite [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya|ICESCR]] melalui ''General Comment'' no 5. Dalam ''Comment'' tersebut dinyatakan bahwa Komite mendorong [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa|Majelis Umum]] dan [[Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa|Komisi HAM]] untuk memonitor para negara peserta terkait dengan ketaatannya terhadap hak-hak orang [[Difabel|cacat]]. Sekalipun tidak mengatur secara tegas tentang penyandang cacat namun [[Deklarasi Hak-Hak|Deklatasi]] Umum Hak Asasi Manusia ditunjukkan sekerangka bagi perlindungan atas hak-hak yang berada di dalamnya, termasuk hak bagi penyandang disabilitas dan di dalam [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|Kovenan]] [[Hak sipil dan politik|Hak Sipil dan Politik]], pada dasarnya mendorong partisipasi dan kebebasan yang lebih besar bagi semua individu dan golongan yang ada. Perlindungan terhadap ICESCR pun dapat ditemukan dalam Standar [[Rules|''Rules'',]] di mana Standar ''[[Rules]]'' ini sangat penting dan merupakan bimbingan yang berharga untuk mengidentifikasi secara tepat apa yang menjadi kewajiban para negara peserta. Di mana selaras dengan Kovenan Hak Atas Perlakuan Non Diskriminatif, di mana dalam pengertiannya hak ini harus meliputi penghapusan atas berbagai bentuk diskriminatif yang menjadi para penyandang cacat mampu berintegrasi dan menjalani hidup secara mandiri dan berdaulat.<ref>{{Cite book|last=Koch|first=Raphael|last2=Mrugalla|first2=Finn|date=2018|url=http://dx.doi.org/10.5771/9783845291109-117|title=The General Rules of Chinese Civil Law|publisher=Nomos Verlagsgesellschaft mbH & Co. KG|isbn=978-3-8452-9110-9|pages=117–130}}</ref> Hak-hak lainnya adalah hak atas kesehatan dan pendidikan. Pada tahun [[1970]]-an dengan diundangkannya Deklarasi orang dengan Cacat Mental pada tahun [[1971]] dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Cacat (1975), membuat mengutamakan keberadaan penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM. Dalam Deklarasi Mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat mendefinisikan orang cacat sebagai “setiap orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, secara keseluruhan atau sebagian, sebagaimana layaknya individu normal dan/atau kehidupan sosial sebagai akibat dari kekuarangannya, baik bawaan lahir (''congenital'') atau tidak, dalam mental atau kemampuan fisiknya. Deklarasi ini mendorong agar organisasi-orgasisasi terkait (internasional maupun nasional yang bergerak di bidang advokasi terhadap penyandang disabilitas) harus diikutkan dalam semua hal yang berkaitan dengan hak-hak penyandang cacat. Penyandang cacat dan keluarganya harus diberi informasi mengenai hak-hak yang terkandung dalam Deklarasi. Adapun hak-hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik sebagaimana dimiliki oleh warga negara lainnya, [[hak]] atas berbagai tindakan yang ditujukan supaya meraka menjadi mandiri, hak atas berbagai pelayanan seperti medis dan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan [[kemampuan]] dan keahlian, hak untuk terlibat dalam pekerjaan yang bernilai [[komersial]] dan bergabung dengan serikat pekerja, dan hak atas perlindungan terhadap praktek eksploitatif.<ref>{{Cite journal|last=Hiban|first=Muhammad Ibnu|last2=Purnomo|first2=Eko Priyo|last3=Nurkasiwi|first3=Aulia|date=2020-06-23|title=Smart City dalam Memenuhi Hak-Hak Penyandang Difabel di Yogyakarta "Studi Kasus : Infrastruktur Transportasi Publik dalam Memenuhi Hak Penyandang difabel"|url=http://dx.doi.org/10.36982/jpg.v5i2.1034|journal=Jurnal Pemerintahan dan Politik|volume=5|issue=2|doi=10.36982/jpg.v5i2.1034|issn=2502-2032}}</ref> Deklarasi mengenai Hak-Hak Para Penyandang Cacat Mental dibentuk atas dasar keyakinan bahwa orang yang memiliki [[Retardasi mental|keterbelakangan mental]]<nowiki/>pun memiliki hak-hak yang sama dengan manusia lainnya, deklarasi ini menyatakan beberapa prinsip bahwa para penyandang cacat mental berhak atas perawatan medis yang tepat dan [[pendidikan]] yang mampu mengembangkan kemampuannya secara [[Potensial diri|potensial]], hak atas keamanan [[Ekonomi Indonesia|ekonomi]], untuk melakukan pekerjaan yang [[Produktivitas|produktif]] dan standar hidup yang layak, keluarga yang tinggal bersama dengan orang-orang cacat berhak atas bantuan, hak untuk mendapatkan perlindungan atas berbagai perlakuan yang eksploitatif, merendahkan dan menyalahgunakan wewenang. Dalam hal ketidakmampuan dari orang cacat mental tersebut melaksanakan hak-hak tadi maka prosedur yang ditunjukan sebagai pembatasan tersebut harus memuat ketentuan hukum yang dapat melindunginya dari segala bentuk penyalahgunaan. Kemudian prosedur inipun didasarkan atas evaluasi mengenai kemampuan sosialnya oleh para ahli yang mumpuni dan harus menjadi aspek penilaian ulang secara [[Daftar periode waktu|periodik]] dan memuat hak untuk dilakukan banding.<ref>{{Cite journal|last=Rahmanto|first=Tony Yuri|date=2019-07-19|title=Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia|url=http://dx.doi.org/10.30641/ham.2019.10.19-37|journal=Jurnal HAM|volume=10|issue=1|pages=19|doi=10.30641/ham.2019.10.19-37|issn=2579-8553}}</ref>
 
== Pengaturan Penyandang Disabilitas dalam CRC ==
Pengaturan pengenaian penyandang disabilitas secara khusus pada anak diataurdiatur dalam ''Convention on the Rights of the Child'' (CRC) pada Pasal 23, yaitu;
 
# Para negara peserta mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental dan cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat.
# Para negara peserta mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumber-sumber yang tersedia, pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggungjawab atas perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan diajukan dan yang sesuai dengan keadaan si anak dan keadaan-keadaan orang tua atau orang-orang lain yang merawat anak itu.
# Dengan mengakui kebutuhan-kebutuhan khusus seorang anak cacat, maka bantuan yang diberikan, sesuai dengan ketentuan ayat 2 Pasal ini, harus disediakan dengan cuma-cuma, setiap waktu mungkin, dengan memperhatikan sumber-sumber keuangan orang tua dan orang lain yang merawat si anak, dan harus dirancang untuk menjamin hak anak cacat tersebut mempunyai akses yang efektif dan menerima [[pendidikan]], [[pelatihan]], [[Pelayanan kesehatan|pelayanan]] perawatan [[kesehatan]], pelayanan [[rehabilitasi]], persiapan bekerja dan kesempatan rekreasi dalam suatu cara yang paling sepenuhnya mungkin, dan [[Pengembangan diri|pengembangan]] perseorangan si anak termasuk pengembaganpengembangan budaya dan jiwanya.
# Para negara peserta harus meningkatkan, dalam semangat [[kerjasama internasional]], pertukaran informasi yang tepat, di bidang perawatan kesehatan yang preventif dan perlakuan medis, [[Psikolog|psikologis]] dan fungsional dari anak cacat, termasuk penyebarluasan dan akses ke informasi mengenai metode-metode [[rehabilitasi]], pendidikan dan pelayanan kejuruan, dengan tujuan memungkinkan para negara peserta untuk memperbaiki kemampuan dan keahlian mereka dan untuk memperluas pengalaman mereka di bidang-bidang ini. Dalam hal ini, perhatian khusus harus diberikan mengenai kebutuhan-kebutuhan negara-negara sedang berkembang.
 
Hal ini diperkuat dengan empat prinsip umum yang telah diidentifikasi oleh Komite CRC. Pertama prinsip non diskriminasi yang memuat supaya penerapan hak-hak dalam Konvensi meliputi seluruh golongan anak. Kedua, prinsip kepentingan terbaik untuk anak melalui ini Komite dalam mempertimbangkannya harus menjadikan kepentingan anak penyandang cacat sebagai acuan utamanya. Ketiga, hak untuk hidup dan mempertahankannya dan berkembang yang termuat dalam pasal 6 CRC. Keempat prinsip untuk didengar dan berpartisipasi hal mana melalui ini diharapkan anak-anak penyandang cacat tidak lagi termarjinalisir.<ref>{{Cite journal|last=Iskandar|first=Pranoto|date=2015|title=Reclaiming Human Rights Universality in 'Nonconstitutional' Constitution: Toward a New Reading of the 1945 Constitution|url=http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2589985|journal=SSRN Electronic Journal|doi=10.2139/ssrn.2589985|issn=1556-5068}}</ref>
Baris 70:
# Hak untuk hidup.
# Hak memperoleh jaminan perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi berisiko, termasuk situasi [[konflik]] bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya bencana alam.
# Hak atas [[kesetaraan]] pengakuan di hadapandihadapan hukum.
# Hak atas akses terhadap keadilan
# Hak atas kebebasan dan keamanan.
Baris 86:
 
== Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Dalam Perspektif Hukum HAM ==
Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas juga mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya dan pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi hak bagi para penyandang disabilitas hal itu tercermin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat bahwa: “Setiap'Setiap Penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.' Pasal tersebut jelas menerangkan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga lainnya, tidak ada diskriminasi dan pembedaan, karena HAM tidaklah bertumpuh kepada perbedaan [[suku]], [[agama]] bahkan kelainan [[fisik]] namun nyatanya para penyandang disabilitas masih mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya mereka terima, malah tak jarang mereka menemukan [[diskriminasi]]. Tujuan dari negara Indonesia adalah kesejahteraan rakyat yang berarti negara, pemerintah atau organisasi apapun mengemban kewajiban dalam melindungi HAM pada setiap manusia tanpa terkecuali, ini berarti bahwa HAM adalah tolak ukur dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat. Hak-hak itu melekat pada diri manusia sejak manusia lahir yang tidak dapat diganggu gugat dan bersifat tetap dan HAM sejatinya adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia, bahkan sejak manusia berada dalam kandungan ia sudah memiliki hak asasinya sendiri, “''We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are Life, Liberty and the persuit of Happiness.''” Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa semua orang adalah sama dan memiliki hak dalam kehidupan yang merupakan anugerah dari sang pencipta. Kurangnya perhatian atas pemenuhan hak-hak terhadap penyandang disabilitas menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah dalam menjalankan peraturan sesuai dengan hukum dengan [[Adil|adil,]] begitu juga dalam pemenuhan hukum hak asasi yang seharusnya jaminan dan pengakuan terhadap hak-hak penyandang disabilitas diberikan sebagaimana yang telah di aturdiatur di dalam setiap peraturan negara Indonesia. Kurangnya perhatian pemerintah dalam kehidupan para penyandang disabilitas memberikan dampak buruk dalam kemajuan suatu negara dengan ini memberikan cerminan terhadap kemunduran suatu sistem kenegaraan yang sudah tidak lagi menjadikan hukum sebagai acuan.<ref>{{Cite journal|last=Rompis|first=Kartika Gabriela|date=2016-02-11|title=PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA|url=https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/view/11441|journal=LEX ADMINISTRATUM|language=en|volume=4|issue=2|issn=2337-6074}}</ref>
 
= Referensi =