Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
 
(48 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{technical}}
[[Berkas:Religions.svg|jmpl|211x211px|Pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69}}).]]
'''Perenialisme agama''' adalah sebuah sudut pandang dalam [[filsafat agama]] yang meyakini bahwa setiap [[agama]] di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal, serta menjadi dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius. Gagasan ini sudah ada sejak zaman kuno dan dapat ditemui dalam berbagai agama dan filsafat dunia. Namun, sudut pandang gagasan tersebut bertentangan dengan [[saintisme]] dalam masyarakat [[sekuler]] modern. Istilah ''philosophia perennis'' (filsafat perenial) sendiri pertama kali digunakan oleh [[Agostino Steuco]] (1497–1548), yang mendasarkannya dari tradisi filosofis sebelumnya, yaitu dari [[Marsilio Ficino]] dan [[Giovanni Pico della Mirandola]].{{sfnp|Schmitt|1966||p=507|ps=}} Pada akhir abad ke-19, gagasan ini dipopulerkan oleh pemimpin masyarakat teosofis seperti [[H.P. Blavatsky]] dan [[Annie Besant]] dengan nama "kebijaksanaan agama" atau "kebijaksanaan kuno". Selanjutnya, gagasan ini dipopulerkan oleh [[Aldous Huxley]] pada abad ke-20 melalui bukunya berjudul ''The Perennial Philosophy'', serta juga tulisan dari para pemikir yang saat ini dikenal dengan nama mazhab tradisionalis.{{sfnp|Blavatsky|1997||p=7|ps=}}
[[Filsafat perenial]] ([[bahasa Latin]]: ''philosophia perennis'') dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. [[Frithjof Schuon]] mengatakan “''The timeless metaphysical truth underlying the diverse religion, whose written source are the revealed scriptures as well as writtings of the great spiritual masters''”. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh [[Aldous Huxley]], yang menyebutkan bahwa filsafat perenial adalah [[metafisika]] yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu, yaitu [[kehidupan]] dan [[pikiran]]; suatu [[psikologi]] yang memperlihatkan adanya sesuatu di dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan illahi itu; serta [[etika]] yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat [[imanen]] maupun [[transenden]] mengenai seluruh [[Keberadaan|eksistensi]]. Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.
 
== EtimologiPerenialisme ==
[[Filsafat perenial]] ([[bahasa Latin]]: ''philosophia perennis'') dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. [[Frithjof Schuon]] mengatakan “''The timeless metaphysical truth underlying the diverse religion, whose written source are the revealed scriptures as well as writtings of the great spiritual masters''”. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh [[Aldous Huxley]], yang menyebutkan bahwa filsafat perenial adalah [[metafisika]] yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu, yaitu [[kehidupan]] dan [[pikiran]]; suatu [[psikologi]] yang memperlihatkan adanya sesuatu di dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan illahi itu; serta [[etika]] yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat [[imanen]] maupun [[transenden]] mengenai seluruh [[Keberadaan|eksistensi]]. Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah {{sfnp|Nurcholish|Dja''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)far|perspektif]].2015|p=70|ps=}} Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.
[[Berkas:Encyclopedia of Religion.JPG|jmpl|211x211px|m ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69}}).]]
Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam tradisi [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[Agama Buddha|Buddha]]), atau ''Tao'' dalam pandangan [[Taoisme]]. Filsafat ini berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, dan sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua [[agama]] yang muncul dari Yang Satu – prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|69–70|p=75|ps=}} Filsafat tersebut adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat itu juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu dan tertinggi.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>
 
Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}}[[Berkas:Encyclopedia of Religion.JPG|jmpl|211x211px|Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70}}).]]
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini menelusuri akar-akar kesadaran religioisitas seseorang atau sekelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman. Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat ini, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|70|p=75|ps=}}
Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam tradisiagama [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[Agama Buddha|Buddha]]), atau ''Tao'' dalam pandangan [[Taoisme]].<ref>{{Cite web|last=I’anati|first=Elivia|date=3 Oktober 2020|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://peacenews.yipci.org/perenialisme-agama-agama/|website=Peace News|access-date=6 Juli 2021|archive-date=2021-07-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20210709182955/https://peacenews.yipci.org/perenialisme-agama-agama/|dead-url=yes}}</ref> Filsafat ini berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, dan sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua [[agama]] yang muncul dari Yang Satu – prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|69–702015|p=7569–70|ps=}} Filsafat tersebut adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat itu juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu dan tertinggi.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>
 
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena [[pluralisme agama]] secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini menelusuri akar-akar kesadaran religioisitas seseorang atau sekelompokkelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=39–40|ps=}} Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat ini, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|702015|p=7570|ps=}}
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah paradigma tertutup, tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara pelbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian dalam dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus yang diilhami oleh Yang Kudus.
 
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah [[paradigma]] tertutup, tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara pelbagaiberbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian dalam dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus yangdan diilhami oleh Yang Kudus.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70|ps=}}
== Subtansi ==
Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apa pun tidak pernah mencapai finalitas atau kesempurnaan. Radikalisasi agama di sisi lain seringkali disebabkan oleh fanatisme agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik. Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam ideologi tertentu, yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, ''agama saya''.
 
== Substansi ==
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap pelbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari Realitas Absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan yang imanen sekaligun transenden dengan Wujud Tertinggi sekaligus dengan sesama manusia.
Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apa pun tidak pernah mencapai finalitasfinal atau kesempurnaan.{{sfnp|Armstrong|2019||p=27–29|ps=}} Radikalisasi agama di sisi lain seringkali disebabkan oleh [[fanatisme]] agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik.{{sfnp|Engineer|1999||p=287–288|ps=}} Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam [[ideologi]] tertentu, yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, ''agama saya''.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=39–40|ps=}}{{sfnp|Fuller|2010||p=59|ps=}}
 
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku, serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap pelbagaiberbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari Realitasrealitas Absolutabsolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan yang imanen sekaligunsekaligus transenden, dengan Wujudwujud Tertinggitertinggi sekaligusdi denganantara sesama manusia.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=40|ps=}}
Dalam keterbatasan ratio, manusia hanya mampu memahami hakikat Tuhan tanpa bisa mendefinisikan eksistensiNya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari Realitas Absolut. Akan tetapi, menurut kaum perenialis, manusia memiliki dalam dirinya suatu kerinduan yang tetap eksis untuk terus menerus mengarahkan diri pada Tuhan. Makhluk rasional memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi (emanasi).Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari Allah sendiri.
 
Dalam keterbatasan ratio, manusiaManusia hanya mampu memahami hakikat [[Tuhan]] dalam keterbatasan rasio, tanpa bisa mendefinisikan eksistensiNyaeksistensi-Nya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari Realitasrealitas Absolutabsolut.{{sfnp|Davies|2012||p=1–3|ps=}} Akan tetapi, menurutMenurut kaum perenialis, manusia memiliki dalam dirinya suatu kerinduan dalam dirinya yang tetap eksis untuk terus -menerus mengarahkan diri padakepada Tuhan.{{sfnp|Darwin|2015||p=36|ps=}} Manusia adalah Makhlukmakhluk rasional yang memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi ([[emanasi]]). Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari AllahTuhan sendiri.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=40–41|ps=}}
Dalam kaitan dengan pengalaman beragama, kultur unik doktrin metafisis dalam filsafat perenial seringkali direduksi sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menyentuh realitas real yang dihadapi oleh manusia. Banyak para pelaku kejahatan beragama yang mengaku mendapat ilham dari Allah untuk membenarkan tindakan anarkis yang dilakukan.
 
Dalam kaitannya dengan pengalaman beragama, doktrin metafisika dalam filsafat perenial seringkali direduksi sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menyentuh realitas riil yang dihadapi oleh manusia.{{sfnp|Davies|2012||p=303–304|ps=}} Banyak para pelaku kejahatan beragama yang mengaku mendapat ilham dari Tuhan untuk membenarkan tindakan [[anarkis]] yang dilakukan. Selain itu, ada kecurigaan dari para pemikir lainnya bahwa konsepsi perenialis sering bisa secara sengaja dipakai untuk mengembangkan sebuah [[inklusivisme]] yang sepihak (Emanuel Wora, 2006: 136). Akan tetapiNamun, penulis mengamini peran filsafat perenialisini yangsebenarnya berperan membawa arah baru bagi perkembangan pengalaman keagamaan jika setiap orang meyadarimenyadari diri sebagai subjek yang imanen sekaligus yangmaupun transenden, sehingga radikalisme agama dalam bentuk apapunapa pun dapat dihindari.{{sfnp|Wora|2006||p=136|ps=}}
 
Setiap orang beragama mestiseharusnya memiliki cara pandang agama secara kontekstual yang bersifat adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial, tanpa merelatifkan nilai-nilai luhur agama yang dianut. Psikologi primordialiniprimordial ini menuntut tugas dan tanggung jawab dari manusia untuk mengakui manusia lain sebagai tuntutan etis yang mesti ada dalam setiap manusia.{{sfnp|Wora|2006||p=136–137|ps=}}
 
== SubtansiHakikat ==
Pengetahuan filsafat ini merekonstruksi seluruh eksistensi yang ada di alam semesta dengan realitas absolut.<ref>{{Cite web|last=Nurchaliza|first=Angelina|date=19 April 2021|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://kabardamai.id/perenialisme-agama-agama-2/|website=Kabar Damai|access-date=5 Juli 2021}}</ref> Hal ini dikarenakan kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta pada dasarnya bersumber dari realitas ilahi.{{sfnp|Fuller|2010||p=156–158|ps=}} Sejak era [[Plotinos|Plotinus]], dalam bukunya berjudul ''The Six Eneals'', realisasi pengetahuan dalam diri manusia hanya bisa dicapai melalui ''soul/spirit'' (intelek), yang "jalannya" pun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennialperenial ini sebagai bersumber dari Tuhan.{{sfnp|Fuller|2010||p=155|ps=}} Dasar-dasar teoritisteoretis pengetahuan tersebut, ada di dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik yangautentik dikenal dengan berbagai [[konsep]].{{sfnp|Rachman|2001||p=86|ps=}}
 
Contoh yang dapat kita paparkan,dipaparkan dalam agama Hindu disebut ''Sanathana Dharma'', yaitu kebijakan abadi yang harus menjadi dasar kontektualisasi agama dalam situasi apapunapa pun, sehingga agama senantiasa memanifestasikan diri dalam bentuk etis, dalam keluhuran hidup manusia. PunDemikian halnya dalam Taoisme, diperkenalkan konsep ''Tao,'' sebagai asas kehidupan manusia yang harus diikuti kalauapabila iaingin maumenjadi alamimanusia sebagai manusiasesungguhnya. DiTaoisme di [[Tiongkok, misalnya Taoisme]] berusaha mengajak manusia untuk berpaling dari dunia kepada ''Tao'' (jalan) yang dapat membawa manusia kepada penyucian jiwa dan kesalehan dalam bahasa [[Islam]]. DenganManusia Taodengan manusia''Tao'' dibawa kepada jati diri yang asli, yang hanya dapat dicapai dengan sikap ''wu-wei'' (tidak mencampuri) jalan semesta yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, Tao mengajak manusia untuk hidup secara alami (atau suci), yang dalam Islam dikenal dengan istilah [[fitrah]]. Begitu punAdapun dalam agama Budha,Buddha diperkenalkan konsep ''Dharma'' yang merupakan jaraajaran untuk sampai kepada ''The Buddha-nature, atau–'' dalam agama Islam disebut ''al-Din'', yang berarti “ikatan’"ikatan" yang harus menjadi dasar beragama bagi seorang Muslim[[muslim]]. InilahHal inilah yang dalam filsafat abad pertengahan diistilahkan dengan sophia''philosophia perennis,'' danpada [[Abad sebagainyaPertengahan]].{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=71|ps=}}
 
[[Berkas:Religion collage updated.jpg|jmpl|211x211px|mHakikat dari agama perenial adalah "mengikatkan manusia dengan Tuhannya". Kata ini sebenarnya biasa dan kerap didengar, tetapi menjadi verbal karena tidak adanya kesadaran perenial, padahal hal ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah demi kebajikannya sendiri ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=6972}}).]]
OlehApabila karenafilsafat itu, jikaini disebut dengan ''perennial religion, itu'' artinyaberarti adaterdapat hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah [[sufi kerap]] diistilahkan dengan ''religion of the heart'', meskipun terbungkus dalam wadah/jalan yang berbeda. IniHal ini sejalan dengan apa yang dikatakan [[Ramakrishna|Sri RamakrisnaRamakrishna]], seorang suci dan filsuf [[India]] pada abad ke-19. Dia mengatakan bahwa, “TuhanTuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, berbagai waktu, dan berbagai negeri. Semua ajaran merupakan jalan . sesungguhnyaSesungguhnya seseorang akan mencapai Tuhan, jika iadia mengikuti jalan manapunmana pun, asalasalkan dengan pengabdian yang sepenuh-penuhnyasepenuhnya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=71|ps=}}
 
Dengan demikian, hakekathakikat dari gamaagama perennialperenial adalah, “mengikatkan"mengikatkan manusia dengan Tuhannya".{{sfnp|Kuswanjono|2006||p=18|ps=}} Kata ini sebetulnyasebenarnya biasa dan kerap didengar. Tetapi, sebagaimanatetapi diuraikanmenjadi Rahman,verbal karena tidak adanya kesadaran perennialperenial, padahal hal ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah, demi kebiakannyakebajikannya sendiri.{{sfnp|Pals||2011|p=234–235|ps=}} ''Religion, yang'' berasal dari kata ''religio'', yang berarti ''to bind with God''. Istilah ini, hakikatnya mengatasi aspek institusional dari agama, termasuk komunitas, sistem simbol, dan ritus pengalaman religious, dan sebagainyareligius yang kini telah menjadi arti sempit dari agama itu sendiri, (BMR, .{{sfnp|Rachman|2001:||p=88).|ps=}}
 
Berangkat dariBerdasarkan pemahaman di atastersebut, memungkinkan kitamanusia untuk mencapai: "kesatuan transenden agama-agama” atau istilah asli yang digunakan Frithjof Schuon adalah The''the Transcendenttranscendent Unityunity of Religionreligion''. Namun, yang mestiharus kita pahamidipahami pula, bahwaadalah kesatuan agama-agama ini hanya berada padadalam level “esoterik” dalam (bahasa yang digunakan oleh [[Huston Smith]]), “esensial” dalam (istilah yang digunakan oleh Baghavas Das), ataudan “transenden” (istilah yang digunakan oleh Schuon dan Seyyed[[Sayyed Hossein Nasr, selain oleh pengikut setia filsafat perennial sendiriNashr]]). OlehFaktor karenainilah itu,yang menyebabkan kesatuan agama-agama tidak terjalin padadalam ranah eksoterisme (lahitiahlahiriah). InilahHal yangini kerap disalahpahami oleh kalangan atau kelompok yang selalu mengkritik konsep pluralisme agama yang dipahaminya sebagai kesamaan atau penyamaan agama-agama, termasuk dalam hal ajaran, syariat, atau ritualnya.{{sfnp|Engineer|1999||p=201–203|ps=}} Jadi, yang menandakan adanya kesatuan agama-agama itu “hanya’"hanya" padadalam level esensi atau subtansi ajaran, bukan padadalam level tata cara ibadah, syariat, atau manhaj[[minhaj]] dalam berteologi.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=72|ps=}}
 
Mari kita simak metapor yang tepat untuk menggambarkan kesatuan agama-agama yang kerap digunakan oleh kaum perennialis. JikaApabila esoterisme adalah cahaya, sehingga setiap agama menangkap cahaya itu dalam berbagai warna (sebagai agama-agama) dan berbagai “daya terang” ada yang sangat terang, terang biasa, dan ada juga yang redup samar. TentuHal ini adalah perumusan doktrin metafisikanya., Tetapi dari sudut pandang filsafat perennial,tetapi adanya aneka warna cahaya berikutbeserta “daya terangnya” tidaklah penting dari sudut pandang filsafat perenial. Ada dua alasan yang menyebabkannya, sebagaimana dikemukakan Budhy Munawar Racman:Rachman.{{sfnp|Rachman|2001||p=88–89|ps=}}
 
* Pertama, meskipun ada berbagai macam cahaya (merah, kuning, hijau, hitam, dan sebagainya), tetapi semua itu tetap dinamakan cahaya. Jadi, kalauApabila agama itu otentikautentik, tetap ada coreinti yang sama. Kesamaan ini adaterletak padadi tataran esoterik, bukan padadi ranah eksoterik.
* Kedua, walaupunmeskipun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya (juga agama) akan mengantarkan manusia padakepada Sumbersumber Cahayacahaya itu (yakni Tuhan), yang sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab, jika iamanusia terus menelusuri cahaya itu, iadia akan tetap sampai kepada Sumbernyasumbernya. “Sampai padakepada Sumber”sumbernya” inilah yang paling penting dalam agama. Karena itu, hakikatHakikat agama adalah Adanyaadanya ''sense of the absolute'' padadalam diri manusia, sehingga iadia merasakan terus-menerus adanya “YangYang Absolute”Absolut pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus-menerus adanya “Yang Absolute” padadalam dirinya. Kehadiran “YangYang Absolute”Absolut inilah yang senantiasa mengawal manusia berada dalam jalan “kebenaran”kebenaran-Nya, yaitu jalan suci yang diajarkan oleh semua agama.{{sfnp|Rachman|2001||p=89|ps=}}
 
PadaBerdasarkan arah ini pula, manusia merasakan makna simboliksimbolis kehadiran Sang Pemilik Kehidupan. Wujud hakikat agama itu, sejatinya merupakan pengetahuan, sekaligus pula kebijaksanaan.{{sfnp|Sujarwa|2001||p=32–33|ps=}} IstilahnyaHal Sopgia,ini katadapat orangdiistilahkan bijakdengan dari''sophia'' (menurut orang [[Yunani Kuno; atau]]), ''spientia'' (menurut istilah orang suciKristen Kristianipada abadAbad pertengahan;Pertengahan), ''jnana'' dan(ungkapan dalam ungkapanagama tradisi Hindhu;Hindu), dan ''al-ma’rifah'' atau ''al-hikmah'' (menurut konsep Sufisufi). ItuItulah sebabnya, hakikat agama kerap disebut sebagai ''scientia sacra'', yang berarti pengetahuan suci atau divine knowledge. Pengetahuan ini dialami dan bukan sekedarsekadar diyakini berasal dari “Alam“alam Surgawisurgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai cara/metode. Oleh karena itu, sekali lagi, harmoni (kesatuan agama-agama) berada dalam “langit Illahi”ilahi” (esoterik, dan transenden), bukabukan dalam “atmosfir“atmosfer bumi” (ekseteriseksoteris), yang kerap memantik perdebatan.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=73–74|ps=}}
Kedua, walaupun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya (juga agama) akan mengantarkan manusia pada Sumber Cahaya itu (yakni Tuhan), yang sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab jika ia terus menelusuri cahaya itu, ia akan tetap sampai kepada Sumbernya. “Sampai pada Sumber” inilah yang paling penting dalam agama. Karena itu, hakikat agama adalah Adanya sense of the absolute pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus-menerus adanya “Yang Absolute” pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus-menerus adanya “Yang Absolute” pada dirinya. Kehadiran “Yang Absolute” inilah yang senantiasa mengawal manusia berada dalam jalan “kebenaran”-Nya, jalan suci yang diajarkan oleh semua agama.
 
Dengan demikian, filsafat perennialperenial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, mestinyadan bisadapat diterima dengan lapang dada dandengan toleransi. SebabHal ini disebabkan karena pada hakekatnya,hakikatnya ajaran (perennialperenial) Tuhan seperti Tuhan itu sendiri hanya satu, tapitetapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran yang diturunkan melalui para Nabi[[nabi]] dan Rasul[[rasul]]. “Yang Satu” ini dalam perspektif parennialperenial adalah “Yang Tidak Berubah” dan merupakan fitrah. Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kehidupan sehari-hari kepada "Yang Tidak Berubah", merupakan pesan dasar dari filsafat parennialperenial, yang pada dasarnya adalah pesan keagamaan – sebagaimana disebut dalam terminologi Islam adalah ''al-din-u ‘l-nashihah'' (“agamaagama itu pesan/nasihat”nasihat). Pesan ini tersurat dalam Q.S,[[Al-Qur'an]] alSurah Ar-Rum (30):ayat ke-30 berikut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=74|ps=}}
Pada arah ini pula, manusia merasakan makna simbolik kehadiran Sang Pemilik Kehidupan. Wujud hakikat agama itu, sejatinya merupakan pengetahuan, sekaligus pula kebijaksanaan. Istilahnya Sopgia, kata orang bijak dari Yunani Kuno; atau spientia menurut istilah orang suci Kristiani abad pertengahan; dan dalam ungkapan tradisi Hindhu; dan al-ma’rifah atau al-hikmah menurut konsep Sufi. Itu sebabnya, hakikat agama kerap disebut sebagai scientia sacra yang berarti pengetahuan suci atau divine knowledge. Pengetahuan ini dialami bukan sekedar diyakini berasal dari “Alam Surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai cara/metode. Oleh karena itu, sekali lagi, harmoni (kesatuan agama-agama) berada dalam “langit Illahi” (esoterik, transenden), buka dalam “atmosfir bumi” (ekseteris), yang kerap memantik perdebatan.
 
{{cquote|''Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui''
Dengan demikian, filsafat perennial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, mestinya bisa diterima dengan lapang dada dan toleransi. Sebab pada hakekatnya, ajaran (perennial) Tuhan seperti Tuhan itu sendiri hanya satu, tapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran yang diturunkan melalui para Nabi dan Rasul. “Yang Satu” ini dalam perspektif parennial adalah “Yang Tidak Berubah,” merupakan pesan dasar dari filsafat parennial, yang dalam terminologi Islam al-din-u ‘l-nashihah (“agama itu pesan/nasihat”). Pesan ini tersurat dalam Q.S, al-Rum (30):30.
––––– Al-Qur'an [[Surah Ar-Rum]] ayat ke-30|}}
 
DariSecara pemaparan ini harapan kita, secara metodologimetodologis, pandangan parennialperenial membawakanmembawa harapan segar di masa depan terhadap tradisi dialog antar umatantarumat beragama. Sebab,karena melalui metode ini diharapakandiharapkan umat beragama tidak saja sesama umat beragama menemukan ''transcendent unity of religionsreligion'', melainkantetapi bahkanjuga mendiskusikannya secara lebih mendalam. Sehingga terbukalah kebenaran, yang betul-betulselanjutnya benar.membuat Dankebenaran tersingkirlahdan kesesatan yangmenjadi benar-benarterbuka sesat meskipun tetap dalamdi lingkup langit kearifan.{{sfnp|Kuswanjono|2006||p=42–44|ps=}} Dan keduanya kebenaran dan kesesatanKeduanya mungkin saja terjadi padadalam sikap kitaseseorang atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada padadi posisi paling atas, sehingga yang lain diklaim berada di bawah. Secara teoretis, pendekatan perenial memberikan harapan, tetapi belum secara luas dipahami dan diterima, kecuali oleh kalangan terbatas. Pendekatan ini mampu mewarnai cakrawala berpikir seseorang dalam memandang agama di tengah keberadaan agama-agama atau keyakinan milik orang lain.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=74|ps=}}
 
Pendekatan perennial inilah, walaupun secara teoritis memberikan harapan dan kesejukan, tetapi karena belum secara luas dipahami dan diterima kecuali oleh kalangan terbatas, ke depan pelan tapi pasti mampu mewarnai belantika cakrawala berfikir kita dalam memandang agama kita di tengah keberadaan agama-agama atau keyakinan milik orang lain.
 
== Lihat pula ==
{{Portal|Filsafat}}
* [[Estetika,Filsafat agama, dan dimensi estetis Tuhan]]
* [[Perenialisme pendidikan]]
* [[Gugatan atas peran agama]]
* [[Pluralisme agama]]
* [[Satu Tuhan banyak sebutan]]
 
== Catatan ==
Baris 58 ⟶ 60:
 
== Rujukan ==
{{reflist|2}}
<references />
 
== Daftar pustaka ==
{{refbegin|2}}
 
'''Buku'''
 
* {{Cite book|last=Armstrong|first=Karen|year=2011|title=Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme|location=Bandung|publisher=Mizan|isbn=978-979-4335-89-5|page=|ref={{sfnref|Armstrong|2011}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Armstrong|first=Karen|year=2019|title=Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia|location=Bandung|publisher=Mizan|isbn=978-602-4410-48-3|page=|ref={{sfnref|Armstrong|2019}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Blavatsky|first=Helena Petrovna|year=1997|title=The Key to Theosophy|location=Mumbay|publisher=Theosophy Company|isbn=
978-091-1500-07-3|page=|ref={{sfnref|Blavatsky|1997}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Darwin|date=2015|title=Filsafat dan Cinta yang Menggebu|location=Yogyakarta|publisher=The Phinisi Press|isbn=978-602-7250-62-8|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Darwin|2015}}}}
* {{Cite book|last=Davies|date=2012|title=Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9483-87-4|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Davies|2012}}|first=Paul}}
Baris 73 ⟶ 77:
* {{Cite book|last=Nurcholish|first=Ahmad|year=2015|title=Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-0265-30-8|page=|ref={{sfnref|Nurcholish|Dja'far|2015}}|url-status=live|last2=Dja'far|first2=Alamsyah Muhammad}}
* {{Cite book|last=Pals|first=Daniel L.|year=2011|title=Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif|location=Yogyakarta|publisher=Ircisod|isbn=978-602-9789-08-9|page=|ref={{sfnref|Pals|2011}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Rachman|first=Budhy Munawar|year=2001|title=Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman|location=Jakarta|publisher=Raja Grafindo Persada|isbn=978-979-8321-60-3|page=|ref={{sfnref|Rachman|2001}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Sujarwa|first=|year=2001|title=Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9075-69-7|page=|ref={{sfnref|Sujarwa|2001}}|url-status=live}}
 
'''Buku lama'''
 
* {{Cite book|last=Hidayat|first=Komaruddin|year=2003|title=Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial|location=Jakarta|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=|page=|ref={{sfnref|Hidayat|Nafis|2003}}|url-status=live|last2=Nafis|first2=Muhammad Wahyudi}}
* {{Cite book|last=Wora|first=Emanuel|year=2006|title=Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme|location=Yogyakarta|publisher=Kanisius|isbn=|page=|ref={{sfnref|Wora|2006}}|url-status=live}}
 
'''Jurnal'''
 
* {{Cite journal|last=Schmitt|first=Charles B.|year=Desember 1966|title=Perrenial Philosophy: From Agostino Steuco to Leibniz|url=https://www.jstor.org/stable/2708338|journal=Journal of the History of Ideas|volume=27|issue=4|pages=|doi=|issn=0022-5037|ref={{sfnref|Schmitt|1966}}}}
 
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
 
* [http://www.worldwisdom.com/public/slideshows/view.aspx?SlideShowID=41 Definisi Filsafat Perenial]
* [https://koran.tempo.co/read/ide/115326/keniscayaan-perenialisme-dan-teologi-baru Keniscayaan Perenialisme dan Teologi Baru]
* [http://www.cutsinger.net/pdf/perennial_philosophy_and_christianity.pdf ''Perennial Philosophy and Christianity'']
* [https://bppauddikmaslampung.kemdikbud.go.id/berita/read/perkembangan-nilai-moral-dan-agama-anak-usia-dini Perkembangan Nilai Moral dan Agama Anak Usia Dini]
* [http://www.jcrt.org/archives/04.3/livingston.pdf ''Religious Pluralism and the Question of Religious Truth in Wilfred C. Smith'']
* [https://web.archive.org/web/20091208001357/http://harmonist.us/2009/05/the-end-of-philosophy/ ''The End of Philosophy'']
 
{{Authority control}}
Baris 84 ⟶ 103:
[[Kategori:Diskriminasi]]
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Ilmu Al-Qur'anKepercayaan]]
[[Kategori:Sosiologi]]
[[Kategori:Sosiologi agama]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Teologi]]
[[Kategori:WikiFilsafat]]