Keraton Sumenep: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pendiri: Perbaikan kesalahan ketik
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Sedjati88 (bicara | kontrib)
 
(12 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
}}
 
'''Keraton Sumenep''' adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. [[Kadipaten Sumenep|Kerajaan Sumenep]] sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum wilayah Sumenep dikuasai [[VOC]] wilayah Sumenep sendiri masih haruskerabat membayardari upetiKertanegara dan Raden Wijaya seduluran kepada kerajaan-kerajaan besar seperti ([[Singhasari]], ditahun 1269 dan [[Majapahit]], danditahun Kasultanan1293 [[Mataram]])disaat itu.
 
'''Keraton Sumenep''' sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.
 
'''Keraton Sumenep''' sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan [[Raden Ario natanagara|Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I]] (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana daripada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja".
 
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecilsama dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana daripada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja".
 
== Pendiri ==
Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton SongennepSumenep dibangun di atas tanah pribadi milik [[Panembahan Somala]] penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur karaton milik [[Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro]] dan [[Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro]] (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua dia. Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak masa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.
 
== Kompleks Bangunan Karaton ==
[[Berkas:Symbol Keraton Sumenep.jpg|jmpl|300px|''Lambang Kadipaten Sumenep'' Pada tahun 1811 - tahun 1965]]
[[Keraton]] Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi [[Panembahan Somala|Pangeran Natakusuma I]] (Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik [[Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara]]). Kompleks bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Karaton kerajaan[[Kesultanan Mataram]], bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa bangunan Pribadi Keluarga Karaton.
 
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.
 
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu LabangLabhang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala aktivitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan ''Labhang Mesem'' berdiri ''Taman Sare'' (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
[[Berkas:Pemandian Taman Sare.jpg|jmpl|300px|Taman Sare]]
 
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada zaman pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng. Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu "kantor koneng" (''bahasa belanda:konenglijk=kantor raja/adipati''). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
[[Berkas:Kereta kencana melor.jpg|jmpl|300px|Kereta kencana keraton Sumenep]]
 
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu oleh kebayan.
Baris 32 ⟶ 34:
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri [[Adipati]]. Sekarang ''Sagaran'' tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.
 
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang [[Nyi Roro Kidul|Nyai Roro Kidul]] yang konon istri dari [[Sultan Agung]] yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( LautanLaut IndonesiaSelatan ). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.
Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.
 
[[Berkas:Mandiyoso.jpg|jmpl|300px|''Mandiyoso'', salah satu ruang di dalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan Karaton Dhalem dan Pendopo Agung]]
Baris 52 ⟶ 53:
 
* '''Tari Gambuh''',
[[Berkas:Tari Gambu.jpg|jmpl|300px|Tari Gambu Keraton Sumenep]]Pada awalnya tari Gambu lebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambu disebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
 
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama [[Pangeran]] Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).
 
Baris 68 ⟶ 70:
 
{{Topik Sumenep}}
{{Istana di Indonesia}}
{{indo-sejarah-stub}}
 
 
[[Kategori:Istana di Indonesia]]
[[Kategori:WisataTempat wisata di Kabupaten Sumenep]]
[[Kategori:Kabupaten SumenepKeraton]]