Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Referensi sebelum tanda baca) |
|||
(36 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Women at work, Gujarat (cropped).jpg|jmpl|Perempuan bekerja di persawahan di Gujarat, India]]
'''Perubahan iklim dan gender''' merupakan cara untuk menganalisis dampak
Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah [[bencana alam]], antara lain [[banjir]], [[tanah longsor]], [[kekeringan]], dan [[badai]]
Krisis iklim mungkin tidak hanya berdampak pada perempuan dan laki-laki, tapi juga kelompok non biner. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa memperburuk kondisi masyarakat [[gender non-biner]] di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner masih terbatas.{{sfn|The Lancet|2020}} Isu gender dalam masalah iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, antara lain usia, kelas sosial, status perkawinan, dan [[Kelompok etnis|kelompok etnik]].{{sfn|ASSAR}}
== Perubahan iklim sebagai isu hak asasi manusia ==
Perubahan iklim mengancam kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tak langsung. Selain itu, [[hak asasi manusia]] mereka juga berpotensi tidak terpenuhi. Kerusakan lingkungan dan dampak kesehatan krisis iklim mengancam hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk [[hak untuk hidup]], akses ke makanan dan air bersih, kesehatan, keamanan, tempat tinggal, dan budaya.{{sfn|Levy|Patz|2015|p=310-311}} Hilangnya kegiatan-kegiatan kultural, seperti mata pencaharian tradisional, dapat menyebabkan tekanan psikologis, kecemasan, dan ketidakpastian
Selain faktor kemiskinan, menurut peneliti, perempuan menjadi kelompok paling terdampak akibat kesenjangan historis. Sejak lama, perempuan memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya sosial dan ekonomi.
== Dampak gender perubahan iklim ==
Perubahan iklim membawa dampak ke berbagai sektor penting, seperti [[pertanian]] dan [[ketahanan pangan]], [[keanekaragaman hayati]] dan [[ekosistem]], sumber daya air, kesehatan manusia, [[permukiman]] dan pola migrasi, [[energi]], [[transportasi]], [[industri]], dan [[margasatwa]].{{sfn|UN Women Watch|2009}}
=== Kesehatan ===
[[Berkas:Medical examination, pregnant women.jpg|jmpl|Pemeriksaan
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan di [[The Lancet]] pada 2019, perempuan termasuk paling rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem.{{sfn|Watts|Amann|Arnell|Ayeb-Karlsson|2019|p=1836}} Mereka rentan terhadap paparan panas tinggi. Panas yang ekstrem dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya, risiko yang dihadapi antara lain kelahiran prematur, cacat bawaan, [[tekanan darah tinggi]] (hipertensi gestasional), dan [[pre-eklampsia]]. Peningkatan suhu udara juga berpotensi meningkatkan penularan malaria. Wanita hamil, menurut studi, lebih rentan tertular malaria daripada wanita yang tidak hamil.{{sfn|World Health Organization|2014|p=10}} Perempuan sebagai gender dengan kebutuhan spesifik, misalnya kebutuhan nutrisi yang cukup saat hamil, bisa terganggu kesehatannya akibat kurangnya ketersediaan pangan. Bencana alam juga memicu [[Kegelisahan|kecemasan]] dan [[Depresi (psikologi)|depresi]] pada perempuan. Selain itu, perempuan yang melahirkan saat bencana juga berisiko mengalami komplikasi [[kehamilan]], seperti pre-eklampsia, [[perdarahan]], dan kelahiran bayi bobot kurang.{{sfn|Sorensen|Murray|Lemery|Balbus|2018|p=3}}
Badai yang merupakan salah satu efek perubahan iklim juga memengaruhi kehidupan perempuan. [[Hurikan Katrina]] yang terjadi di [[New Orleans]], Amerika Serikat, pada 2005 membuat banyak perempuan miskin harus hidup sebagai ibu tunggal. Selain itu, kesehatan mereka juga terganggu akibat fasilitas [[sanitasi]] yang kurang memadai di lokasi pengungsian. Tempat penampungan yang bercampur antara laki-laki dan perempuan menjadikan pengungsi perempuan rentan terhadap [[kekerasan seksual]] dan fisik.{{sfn|Sartika|2018}}
Berdasarkan laporan [[Oxfam]] di tiga negara terdampak [[tsunami]] pada 2004, yaitu Indonesia, India, dan [[Sri Lanka]], jumlah perempuan yang berhasil menyelamatkan diri lebih rendah daripada laki-laki.
Pria juga rentan terhadap bencana iklim. Dampak lingkungan dari perubahan iklim berupa tingkat hujan ekstrem, banjir, dan kekeringan yang mengakibatkan gagal panen memicu kenaikan angka bunuh diri petani di [[India]].{{sfn|Nandi|2020}} Jumlah petani pria India yang bunuh diri lebih tinggi daripada petani wanita.{{sfn| Parida|2020}} Laki-laki di [[negara maju]] dilaporkan lebih rentan mengalami gangguan [[kesehatan jiwa]] yang bisa mengarah pada aksi [[bunuh diri]] dan [[isolasi sosial]].{{sfn|Watts|Amann|Arnell|Ayeb-Karlsson|2019|p=1836}}
Menurut WHO, tingkat kerentanan dan kemampuan adaptasi masyarakat dalam merespon dampak kesehatan krisis iklim ditentukan oleh norma, peran, dan relasi gender. Bencana alam terkait iklim, seperti kekeringan, banjir, dan badai lebih banyak membunuh perempuan daripada laki-laki dan di usia perempuan yang lebih muda. Karakteristik bencana, peran, dan status sosial ikut memainkan peran di dalamnya. Perempuan umumnya diharapkan berperan utama dalam pengasuhan keluarga, sehingga saat bencana, beban mereka berlipat ganda. Pengaruh kesenjangan gender terhadap harapan hidup semakin terlihat dalam bencana alam berskala besar dan di lokasi dengan penduduk perempuan berstatus sosial ekonomi rendah.{{sfn|World Health Organization|2014|p=3}}
=== Pertanian dan ketahanan pangan ===
[[Berkas:Farmer irrigates crops.jpg|jmpl|Seorang wanita
Krisis iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap [[pertanian]] dan [[ketahanan pangan]]. Perempuan perdesaan, dalam hal ini, merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Berdasarkan hasil studi UNDAW dan [[UNESCO]], petani wanita di Asia Selatan lebih cenderung menanam tanaman pangan, sedangkan petani pria lebih memilih tanaman komersial.{{sfn|Chatterjee|2021}} Perubahan iklim berdampak pada risiko menurunnya produksi pangan di kawasan tersebut pada 2050, seperti beras (menurun 14%), gandum (49%), dan jagung (9%).{{sfn|Chatterjee|2021}} Wanita juga bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen. Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan [[ternak]] dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga. Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh.{{sfn|FAO|2021}}
Dalam masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen. Relasi kuasa yang tidak seimbang ini menghambat perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen.{{sfn|FAO|2012}} Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang terdiri atas lahan, ternak, pasokan benih, peralatan pertanian, [[pupuk]], tenaga buruh tani, dan dukungan penyuluhan.{{sfn|FAO|2012}} Laki-laki juga lebih mudah mengakses pinjaman usaha dan layanan pasar.{{sfn|Hariharan|Mittal|Rai|Agarwal|2018|p=78}} Tanpa dukungan finansial yang memadai, perempuan rentan kehilangan aset saat terjadi kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya.{{sfn|Chatterjee|2021}}
Wanita perdesaan cenderung berpenghasilan lebih rendah dan bergantung secara ekonomi daripada pria. Dengan akses terbatas terhadap sumber daya, mereka tidak dapat berkontribusi pada pendapatan nasional resmi.
=== Ketersediaan air bersih ===
[[Berkas:Collecting water, Rajastan (10687417623).jpg|jmpl|Perempuan di Rajastan, India, sedang menunggu giliran mengumpulkan air]]
Perubahan iklim memicu krisis air bersih. Sekitar 71% populasi dunia atau 4.3 milyar orang telah mengalami kelangkaan air dari kategori sedang hingga berat setidaknya selama beberapa kali setiap tahun.{{sfn|Sinharoy|Caruso|2019|p=e202-e203}} Sumber air bersih dapat terganggu akibat bencana iklim, seperti banjir dan peningkatan salinitas air.{{sfn|Vineis|Chan|Khan|2011|p=9}} Perempuan memiliki peran sentral dalam pengumpulan dan pengawasan air bersih. Mereka bertanggung jawab atas lebih dari 70% pengelolaan air dan kegiatan domestik terkait air, seperti mengangkut air, memasak, dan mencuci. Peneliti mengatakan bahwa semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan air, maka semakin kecil kemungkinan laki-laki mengambil peran sebagai pengangkut. Akibatnya, perempuan lebih rentan terhadap tekanan fisik, ekonomi, dan psikososial saat menjalani tugas tersebut.{{sfn|Sinharoy|Caruso|2019|p=e202-e203}} Terlepas dari perannya yang penting, perempuan belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan. Menurut para pegiat air bersih, perempuan dan laki-laki perlu bekerja sama dalam mencari solusi terkait masalah ketersediaan air.
Masalah kenaikan salinitas air dilaporkan terjadi di banyak negara berkembang. Salinisasi air juga memengaruhi tanaman yang bisa berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Pada 2011, diperkirakan ada sekitar 884 juta orang di seluruh dunia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih. Menurut ilmuwan, desalinisasi air dengan tujuan mengurangi kadar garam dan mineral lainnya tidak bisa menjadi solusi jangka panjang bagi negara berkembang. Kenaikan kadar garam pada air dapat menimbulkan efek kesehatan seperti [[tekanan darah tinggi]] dan masalah kesehatan masyarakat lainnya.{{sfn|Sinharoy|Caruso|2019|p=e202-e203}}
=== Keanekaragaman hayati ===
[[Berkas:Jakarta farmers protest10.jpg|jmpl|Unjuk rasa petani di Jakarta, Indonesia]]
Para ilmuwan berpendapat bahwa krisis iklim menjadi faktor dominan yang memengaruhi hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam jangka panjang, kerugian yang muncul adalah menipisnya pasokan air bersih, energi, dan
Keanekaragaman hayati dan sumber daya alam berperan besar dalam mencukupi kebutuhan dan menjadi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya. Di wilayah Sub-Sahara Afrika, sekitar 30-50% sumber pendapatan masyarakat berasal dari sektor non pertanian. Di Afrika Selatan, mencapai 80-90%. Di Asia Selatan, sekitar 60% pendapatan rumah tangga pedesaan berasal dari sumber non pertanian. Namun, akibat keanekaragaman hayati yang mulai hilang, lebih dari 60% orang termiskin di dunia tinggal di daerah yang rentan secara ekologis. Kerusakan ini ini tidak hanya mengancam spesies dan habitat di suatu wilayah, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kemiskinan masyarakatnya. Masyarakat miskin dan [[Pribumi|penduduk asli]] memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hasil alam
=== Transportasi ===
[[Transportasi]] menyumbang emisi [[Karbondioksida|karbon dioksida]] sebesar 24,5% di seluruh dunia {{sfn|GenderCC|2019}} dan merupakan salah satu dari tiga besar penyumbang [[gas rumah kaca]]. Berdasarkan penelitian, laki-laki dan perempuan memiliki pola perjalanan yang berbeda sehingga berpotensi menghasilkan emisi karbon dioksida yang juga berbeda.{{sfn|Budiarti|Nurhadi|
Sejumlah studi kasus di beberapa negara mengangkat pola transportasi masyarakat berbasis gender dan hasilnya cukup variatif. Studi terhadap data perilaku lingkungan di 10 negara anggota [[Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi|OECD]] menemukan bahwa tidak ada hubungan kuat antara jenis kelamin dan perilaku hemat energi. Namun, pria, baik yang sudah menikah maupun lajang, mengemudi lebih sering daripada perempuan. Di Swedia, laki-laki mengeluarkan anggaran lebih banyak untuk kendaraan dan belanja bahan bakar dibandingkan perempuan. Studi di [[Uni Eropa]] dan Amerika Serikat juga menemukan bahwa laki-laki secara keseluruhan menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi dari aktivitas mereka berkendara.{{sfn|Rastogi|2010}}
Dari hasil riset di beberapa negara, perempuan pada umumnya memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim, termasuk dalam bidang transportasi.{{sfn|Rastogi|2010}} Studi kasus di [[Swedia]]{{sfn|Kronsell|Rosqvist|Hiselius|2016|p=703|ps=:"Based on the Swedish case, women still on average have transportation behavior with lower environmental impact than men have
=== Energi ===
[[Berkas:Maasai collect wood.jpg|jmpl|Perempuan suku Maasai di Afrika sedang mengumpulkan kayu]]
[[Kemiskinan energi]] menjadi salah satu isu penting dalam perubahan iklim dan gender, terutama di negara berkembang. Perempuan di negara berkembang memiliki akses ke energi yang terbatas. Di perdesaan [[Asia]] dan [[Afrika]], perempuan bertanggung jawab mengumpulkan energi guna memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, seperti memasak dan sumber panas. Para perempuan tersebut cenderung mengandalkan pertanian berskala kecil dan sumber daya yang ada di sekitar mereka untuk mencukupi kebutuhan energi rumah tangga harian. Mereka memanfaatkan energi biomassa yang berasal dari kayu, arang, sampah, dan sisa produksi pertanian.{{sfn|UN Women Watch|2009}} Di Asia dan kawasan Pasifik, jumlah mereka diperkirakan mencapai 2.7 milyar orang atau sekitar 40% penduduk dunia. Akibat perubahan iklim, [[keanekaragaman hayati]] terancam dan perempuan pun kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber energi tersebut. Kemiskinan energi membuat mereka harus bekerja lebih keras dan semakin terpapar risiko kesehatan. Mereka juga semakin tidak punya waktu mengerjakan hal-hal lain, seperti bekerja yang menghasilkan pemasukan,
Polusi di dalam ruangan yang dihasilkan oleh pembakaran energi biomassa berisiko menyerang kesehatan perempuan dan [[balita]]. Sampai 2030, diperkirakan ada 1.5 juta kematian per tahun yang diakibatkan oleh polusi tersebut. Beban pekerjaan yang tinggi dan kurangnya nutrisi membuat perempuan terserang anemia dan mengalami [[kematian perinatal]]. Pekerjaan mengumpulkan bahan bakar meningkatkan risiko kematian prenatal dan komplikasi pasca melahirkan.{{sfn|UNDP|2013}}
Baris 66:
=== Permukiman dan pola migrasi ===
[[Berkas:Bangladesh-climate refugee.jpg|jmpl|Pengungsi korban bencana alam di Bangladesh]]
Dampak perubahan iklim terhadap suatu wilayah dapat termanifestasi secara berbeda bergantung pada letak geografisnya. Beberapa negara di Asia Selatan dan [[gurun Sahara]], misalnya, menghadapi bencana kekeringan yang merupakan salah salah satu efek dari [[pemanasan global]]. Negara kepulauan, seperti Indonesia dan [[kepulauan Pasifik]], dapat terimbas banjir dan terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Peningkatan permukaan air laut mengancam kelangsungan hidup warga di area pesisir dan memaksa mereka untuk berpindah tempat. Menurut sejumlah studi, beberapa wilayah pesisir di Indonesia yang terancam tenggelam pada 2050 antara lain Jakarta, Banda Aceh, dan kota-kota di pesisir utara Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Tegal, serta Pekalongan
Migrasi menjadi salah satu strategi adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat yang terdampak langsung.{{sfn|UN Women Deutschland|2020}} Beberapa jenis migrasi meliputi mobilitas internal, pengungsian dari bencana, mobilitas mikro dalam wilayah tertentu, dan relokasi ke tempat yang jauh dari daerah rawan bencana. Perpindahan bisa ke wilayah dengan jarak tempuh pendek hingga sampai ke luar negeri, bisa dalam jangka pendek, musiman, ataupun permanen. Berdasarkan studi pada 2019 oleh SLYCAN Trust, sebuah organisasi nirlaba di Sri Lanka, sebanyak 80% rumah tangga di distrik Trincomalee, Sri Lanka, memiliki paling tidak satu anggota keluarga yang bermigrasi. Kepergian anggota keluarga tersebut didorong oleh [[kekeringan]], [[kelangkaan air]], dan kegagalan panen. Mereka umumnya pergi ke [[Kolombo]] dan kota-kota lainnya untuk bekerja di pabrik semen, konstruksi, pembangunan jalan dan pekerjaan serupa lainnya. Mereka hanya kembali setiap beberapa bulan sekali atau saat musim panen.{{sfn|Mombauer|2021}}
Perpindahan manusia akibat perubahan iklim juga memiliki aspek gender. Sejumlah literatur telah mengkaji dampak gender dari pola mobilitas. Beberapa aspek yang memengaruhi mobilitas laki-laki dan perempuan antara lain peran seks laki-laki dan perempuan, stratifikasi dan struktur tenaga kerja yang menentukan akses dan ketersediaan sumber daya dan peluang untuk bermigrasi, dan bagaimana proses tersebut dialami secara berbeda oleh pria dan wanita. Gender, bersama dengan identitas-identitas sosial dan politik yang lain, seperti ras, kelas, usia, kelompok etnik, dan kasta, menentukan tingkat kerentanan seseorang ketika memutuskan bermigrasi.{{sfn|Lama|Hamza|Wester|2021|p=326-327}} Studi kasus di [[Bahama]] tentang efek pengungsian akibat bencana [[badai Dorian]] menemukan bahwa komunitas LGBTI dan perempuan [[Haiti]] rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan berbasis gender di tempat pengungsian. Dari penelitian tersebut, gender, usia, kecacatan, status kewarganegaraan, status imigrasi, dan orientasi seksual menentukan kerentanan dan juga sedikit banyaknya kesempatan yang mereka peroleh pasca bencana.{{sfn|Bleeker|2021}}
[[Urbanisasi]] telah mendorong pertumbuhan populasi di wilayah perkotaan, dan hal ini menyumbang kerentanan pada penduduk karena banyaknya kota besar di dunia yang berada di dekat pantai dan garis patahan. Sebanyak 14 persen penduduk kota di negara berkembang hidup di zona pesisir dataran rendah. Urbanisasi, [[perencanaan perkotaan]] dan implementansi pengembangannya yang buruk, serta krisis iklim menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat miskin yang tinggal di perkampungan kota dan permukiman kumuh. Berdasarkan studi oleh peneliti di Lagos, Nigeria, beberapa dampak buruk tersebut antara lain eksklusi sosial (hak dan akses yang terbatas terhadap infrastruktur publik, hukum, jaminan kepemilikan atas tanah dan perumahan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup mereka) dan kerentanan terhadap bencana alam dan polusi. Para peneliti menyatakan kelompok yang paling terdampak dari hal-hal tersebut adalah [[tunawisma]] dan mayoritas warga berpenghasilan rendah. Mereka terdiri atas orang lanjut usia, orang cacat, perempuan, dan
=== Kekerasan terhadap perempuan dan anak ===
Perubahan iklim juga dapat menjadi salah satu pemicu peningkatan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.{{sfn|Pusat Penelitian Politik LIPI}} Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), ada ribuan kasus [[kawin paksa]] di Afrika yang terjadi akibat krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Keluarga petani miskin yang mengalami gagal panen dan kekurangan makanan umumnya menikahkan anak perempuannya yang masih remaja. Hal ini mereka lakukan untuk mengurangi jumlah tanggungan
Kekerasan lain yang mungkin mengancam para perempuan di Afrika adalah kekerasan seksual. Kelangkaan sumber air dan semakin meluasnya permukaan gurun mengharuskan perempuan berjalan semakin jauh untuk mengumpulkan air dan mendapatkan makanan. Risiko yang mungkin meningkat adalah paparan terhadap kekerasan seksual di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok kejahatan bersenjata.{{sfn|Cwienk|2021}} UNDP melaporkan bahwa di [[Uganda]], perempuan dan anak-anak perempuan dipaksa berhubungan seksual untuk mendapatkan air dan makanan. Para penjual makanan, petani, dan pemilik tanah memaksa mereka meski para perempuan tersebut telah berusaha menawarkan penyediaan tenaga kerja sebagai pengganti hubungan seksual. Anak-anak perempuan yang sibuk dengan urusan pengumpulan makanan dan air juga tidak sempat lagi belajar dan harus putus sekolah. Kelelahan akibat beban bertumpuk membuat perempuan terlalu lelah untuk berhubungan seksual dan sebagian suami meresponnya dengan tindak kekerasan. Perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual karena hidup sendiri di rumah sementara suami dan anggota keluarga laki-laki bekerja di tempat yang jauh.{{sfn|Gevers|2021}}
Dengan peran tradisional sebagai pekerja dan kepala keluarga, para pria di negara-negara tersebut juga mengalami berbagai tekanan. Sumber pencaharian mereka terdampak oleh gagal panen, kematian hewan ternak, berkurangnya pendapatan dan kerentanan pangan. Sebagian dari mereka melarikan diri
== Dampak gender perubahan iklim pada masyarakat adat ==
[[Berkas:Indigenous land management not corporate greed - - Melbourne climate strike - IMG 4063 (40419621683).jpg|jmpl|Demonstrasi perubahan iklim di Melbourne, Australia]]
[[Pribumi|Penduduk asli]] merupakan penjaga kawasan, teritorial, dan sumber daya di tanah tradisional mereka. Menurut data FAO pada 2019, ada sekitar 476.6 juta warga pribumi di seluruh dunia yang terdiri atas 238.4 juta perempuan dan 238.2 juta laki-laki. Berdasarkan studi, 80% keanekaragaman hayati di seluruh dunia ada dalam penjagaan mereka. Warga pribumi memiliki pengetahuan dan kearifan turun menurun tentang cuaca dan iklim yang dapat berkontribusi untuk ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan hidup.{{sfn|Bhattachan|2020}}
Masyarakat asli merupakan salah satu korban pertama dan merasakan langsung dampak perubahan iklim.
Seperti halnya wanita di komunitas-komunitas lain, perempuan pribumi belum terwakili secara memadai dan belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang iklim. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memaksimalkan potensi
Christiana Saiti Louwa, perempuan dari suku El Molo, [[Kenya]], menyatakan para perempuan di sukunya terdampak secara fisik, mental, dan emosional akibat kerusakan lingkungan dan kekeringan yang melanda wilayah mereka. Selama bertahun-tahun, suku El Molo hidup dengan mencari ikan dan memelihara ternak. Namun, akibat penyusutan air di danau Turkana, mereka harus berpindah ke dataran tinggi dan terpaksa belajar bercocok tanam. Di Indonesia, suku-suku asli di [[Kalimantan]] dan [[Sumatra]] telah kehilangan hutan warisan akibat [[Pengawahutanan|deforestasi]] yang dipicu oleh perluasan industri kelapa sawit. Mereka dipaksa menjual tanah dan berpindah ke tempat lain.
[[Berkas:Indigenous representatives COP21.jpg|jmpl|Patricia dan José Gualinga dari Sarayaku, Ekuador
Untuk memengaruhi kebijakan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka, suku-suku asli di dunia berhimpun dan memulai gerakan [[keadilan iklim]] untuk masyarakat adat
Kesadaran akan tanggung jawab mereka terhadap keberlangsungan lingkungan hidup mendorong sejumlah perempuan adat untuk mengambil posisi kepemimpinan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
== Perbedaan gender tentang persepsi mengenai perubahan iklim ==
Pandangan seseorang atau kelompok mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain [[Ras manusia|ras]], [[kelompok etnik]], status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender. Terkadang juga ditambah dengan pandangan dan orientasi politik. Faktor-faktor tersebut secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang krisis iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kelompok dalam mempertimbangkan solusinya.{{sfn|Pearson|Ballew|Naiman|Schuldt|2017|p=1}}
Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan hidup dan perubahan iklim. Hasil penelitian di [[Amerika Serikat]] menemukan perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.{{sfn|Ballew|2019}} Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, mereka sedikit lebih ragu tentang apakah mayoritas ilmuwan mempercayai bahwa perubahan iklim tengah terjadi saat ini. Dalam studi lain di negara yang sama, perempuan ditemukan memiliki pengetahuan perubahan iklim yang lebih baik daripada laki-laki. Namun, dibandingkan dengan pria, wanita lebih cenderung menganggap remeh pengetahuan yang mereka miliki.{{sfn|McCright|2010|p=66-67|ps=:"Contrary to expectations from scientific literacy research, women convey greater assessed scientific knowledge of climate change than do men.
== Perbedaan gender tentang pendekatan kebijakan perubahan iklim ==
[[Berkas:Constitution of the 9th legislature of the European Parliament (48180207532).jpg|jmpl|Anggota Parlemen Eropa sedang bersidang]]
Menurut sejumlah penelitian, representasi perempuan dalam parlemen menentukan sikap parlemen terhadap kebijakan perubahan iklim. Sampel data yang dikumpulkan dari 91 negara menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan memengaruhi pendekatan negara dalam adaptasi perubahan iklim, termasuk di antaranya dengan mengadopsi kebijakan yang lebih ketat.{{sfn|Mavisakalyan|Tarverdi|2019|p=151|ps=:"Based on data from a large sample of countries, we demonstrate that female representation leads countries to adopt more stringent climate change policies."}} Sebuah studi di AS menyebutkan bahwa anggota parlemen perempuan memiliki pandangan yang lebih pro lingkungan hidup dibandingkan anggota laki-laki.{{sfn|Fredriksson|Wang|2011|p=230|ps=:"In a study of roll call voting on environmental policy issues, we adjust for the gender of the members of the U.S. House of Representatives.
== Partisipasi perempuan dalam penanganan bencana alam ==
[[Berkas:Defense.gov News Photo 050923-F-3066T-025.jpg|jmpl|Perawat militer Angkatan Udara AS memeriksa kondisi korban hurikan Rita di Houston, Texas]]
Kajian mengenai [[riskscapes]] di tiga daerah di Indonesia, yaitu [[Aceh]], [[Bantul]], dan [[Gunung Merapi|Merapi]] mengindikasikan bahwa intervensi berbasis gender perlu dilakukan dalam penanganan bencana alam. Peneliti studi tersebut menulis "ketika perempuan diberdayakan, memiliki partisipasi dan lebih setara dalam ruang publik dan sipil, serta diberi peluang untuk mengembangkan modal sosial dan pengalaman kepemimpinan, maka para perempuan tersebut bersama keluarga serta komunitasnya memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi bahaya yang menandai riskscapes bencana".{{sfn|Tickamyer|Kusujiarti|2020|p=246-247|=ps:"Where women are empowered, have greater equality and participation in public and civic spheres and have opportunities to develop social capital (...)"}} Mereka juga merekomendasikan para peneliti riskscapes untuk memasukkan aspek gender ke dalam penelitian, perencanaan, dan aksi penanganan bencana alam dan perubahan iklim.
Menurut Satoshi Takada, profesor Ilmu Kesehatan Masyarakat di [[Universitas Kobe]], keterlibatan perempuan dalam upaya mitigasi bencana sangat diperlukan. Ia berpendapat bahwa perempuan bisa berperan dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terdampak. Dalam penanganan bencana, perempuan memiliki tugas yang berbeda dengan laki-laki. Dengan bekal kemampuan mereka dalam berbagai pekerjaan rumah tangga, menurut Satoshi, perempuan dapat terlibat untuk merawat anak-anak dan orang lanjut usia.{{sfn|Marwati|2017}} Namun, untuk terlibat lebih jauh dalam urusan pengambilan keputusan, terutama terkait tata kelola penanganan bencana, perempuan seringkali menghadapi beragam hambatan.{{sfn|Hemachandra|Amaratunga|Haigh|2018|p=1191-1192}}
Sedangkan karakteristik pribadi yang menghambat keterlibatan perempuan dalam tata kelola bencana adalah tingkat pendidikan dan minat pribadi. Pendidikan dan kemampuan yang rendah, serta tidak adanya minat untuk terjun ke masyarakat menjadi faktor penghambat dari dalam. Perempuan di negara berkembang, menurut peneliti, kurang memiliki minat untuk masuk ke dalam bidang politik dan ikut mengambil peran sebagai pengambil/perumus kebijakan. Faktor penghambat dari unsur institusi dan hukum antara lain budaya organisasi, lingkungan politik, dan hambatan kebijakan dan hukum. Perempuan belum terepresentasikan secara memadai di level lokal maupun nasional. Budaya organisasi yang patriarkis juga menghambat partisipasi perempuan, terkadang ditemui pula diskriminasi berbasis gender di dalamnya. Faktor terakhir adalah terkait tingkat pendapatan keluarga. Status sosial ekonomi yang lebih rendah membuat perempuan kurang terlibat dalam pengambilan keputusan, baik di
== Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender ==
Beberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya. Kajian [[interseksionalitas]] sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan
Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.{{sfn|ASSAR}} Laki-laki dan perempuan bukan merupakan kategori yang homogen. Memandang perempuan sebagai kelompok homogen, menurut ilmuwan, sama dengan mengabaikan pentingnya faktor-faktor sosial yang lain dan tidak mengakui konteks sosial rumah tangga yang dikepalai perempuan.{{sfn|Djoudi|Locatelli|Vaast|Asher|2016|p=258}} Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, [[kasta]], usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama dan lokasi geografis.{{sfn|FAO|2012}}
== Studi kasus di sejumlah negara ==
Baris 124:
[[Pengarusutamaan gender]] telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini. Namun, dalam konteks perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki. "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".{{sfn|Murdiyarso|Herawaty|2005|p=177-178}} Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh [[Center for International Forestry Research|CIFOR]] terhadap [[mekanisme pendanaan iklim]], ditemukan adanya kesenjangan pemahaman antara
Urban and Regional Development Institute, Indonesia, meneliti aspek kesetaraan gender dalam adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Para peneliti melakukan studi kasus di Cirebon dengan menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Cirebon dipilih karena mewakili daerah di Indonesia yang berlokasi di area pesisir. Peneliti menggunakan sampel dari populasi yang hidup di [[kota Cirebon]] dan [[kabupaten Cirebon]], tepatnya di Kesepuhan dan Pegagan Lor. Kesepuhan merupakan daerah perkotaan yang rawan banjir dengan permukiman dan fasilitas perkotaan yang mendekati pantai, sedangkan Pegagan Lor masuk wilayah kabupaten yang terancam kekeringan. Petani dan lahan pertanian di Pegagan Lor rentan terhadap krisis iklim. Peneliti mengkaji perbedaan gender pada kondisi sosial ekonomi dengan menggunakan model sosio-ekologis dengan beragam variabel yang terdiri dari literasi dan pendidikan, mata pencaharian, akses dan kontrol atas sumber daya, kesehatan, mobilitas, kepala keluarga perempuan, dan peran dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kapasitas adaptif gender antara perkotaan dan perdesaan
=== Filipina ===
[[Filipina]] memiliki undang-undang yang sensitif gender. Dalam hal upaya penghapusan kesenjangan gender, negara ini selalu di urutan pertama di Asia Tenggara. Meski demikian, Filipina menghadapi tantangan di tingkat implementasi. Untuk merespon dampak gender perubahan iklim, Filipina telah mengesahkan UU Republik nomor 9729, 7192 dan 10121. Di dalamnya, ada Magna Carta Perempuan yang merupakan undang-undang untuk menjamin hak perempuan atas ketahanan pangan dan hak perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Selanjutnya, Undang-Undang Perubahan Iklim diamandemen untuk menciptakan dana adaptasi bagi pemerintah daerah atau dikenal dengan Dana Ketahanan Masyarakat. Untuk mendapatkan bantuan ini, proyek harus peka terhadap kerentanan berbasis gender. Sejak 1995, setiap tahun pemerintah FIlipina mengalokasikan 5% dari total anggarannya untuk gender dan pembangunan.{{sfn|Leoni|2019}}
Sekitar 13.6 juta masyarakat Filipina merupakan warga pesisir yang paling terpapar efek krisis iklim berupa kenaikan permukaan air laut, badai, dan banjir. Di antara mereka merupakan perempuan yang rentan karena menggantungkan hidup pada hasil alam. Mereka adalah petani,
=== India ===
[[Indeks Pembangunan Manusia]] 2020 menempatkan India di posisi ke-131 dari 189 negara dengan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.{{sfn|Krishnan|2020}} Menurut [[Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa|UNDP]], kesenjangan gender dalam perubahan iklim di India diperparah oleh norma-norma sosial, stigma, mobilitas terbatas, angka buta huruf yang tinggi, sumber daya finansial yang rendah, pembatasan hak-hak, serta pengabaian terhadap aspirasi perempuan dalam penyusunan kebijakan perubahan iklim.{{sfn|Chatterjee|2021}} Salah satu kelompok perempuan paling rentan adalah mereka yang hidup di daerah kering dan semi-kering di India. Akibat beban kerja berlebih, banyak perempuan di kawasan tersebut tidak dapat mengakses pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya dampak-dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan keterbatasan air bersih untuk kepentingan memasak, air minum, sanitasi, dan kepentingan produktif lainnya. Para perempuan tersebut bertanggung jawab mengumpulkan dan mengangkut air, mengumpulkan kayu untuk bahan bakar, serta terlibat dalam pekerjaan di pertanian.{{sfn|Yadav|Lal|2018|p=3|ps=:"Literature shows that women in rural India and South Asia have lower ducation and high poverty.
Avantika Singh, akademisi ilmu politik di [[Universitas Delhi]], mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari anggota dewan yang masih didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan ke bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim tersebut, tidak ada pelibatan perwakilan dari Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak, praktisi yang bekerja di masyarakat bawah, maupun LSM perempuan.{{sfn|Singh|2020|p=4-5|ps=:"NAPCC which is a result of a high-powered, male-dominated Council headed by Prime Minister does not have in its council, representatives from Ministry of Women and Child Development, practitioners working at ground level or women-centric NGOs.
=== Tiongkok ===
Menurut sejumlah peneliti, kebijakan perubahan iklim dan gender di Tiongkok telah mengalami perkembangan cukup baik selama sepuluh tahun terakhir, meski masih ditemui kelemahan dan cenderung terfragmentasi. Sebelumnya, mereka dikritik karena menunjukkan komitmen lemah terhadap pengurangan emisi dan penanganan krisis iklim. Sejumlah peneliti menduga perubahan sikap ini dipicu oleh laporan kenaikan kadar [[karbon dioksida]], [[metana]], dan [[dinitrogen monoksida]] oleh Administrasi Meteorologi Tiongkok pada 2017. Tiongkok merilis kebijakan lingkungan pertamanya pada Juni 2007. Dalam rencana aksi perubahan iklim nasional tersebut, mereka menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi GHG ([[gas rumah kaca]] global) dengan tanpa mengorbankan kepentingan ekonomi Cina. Berbeda dengan di negara-negara lain, pembahasan mengenai aspek gender dalam perubahan iklim di Cina umumnya dimasukkan ke dalam kebijakan mengenai kesetaraan gender, bukan di kebijakan perubahan iklim.{{sfn|Zhou|Sun|2020|p=2-3|ps=:"A decade ago, scholars read China’s domestic policy situation as incompatible with emissions reduction and suggested that China was unlikely to make serious commitments to redress climate change in the near future.
Penelitian di perdesaan Tiongkok mengungkap adanya perbedaan dampak gender pada isu perubahan iklim. Para perempuan lebih terdampak secara negatif daripada laki-laki. Salah satu contohnya adalah riset di kalangan petani di [[Yunnan]]. Pada Januari hingga Maret 2008, komunitas petani di Yunnan terdampak hujan salju lebat yang mengakibatkan banjir. Kerugian yang mereka hadapi antara lain bekerja lebih berat karena terlibat dalam upaya kesiapsiagaan sebelum bencana dan pemulihan setelah bencana, berkurangnya pendapatan, serta kesehatan yang terganggu.{{sfn|Zhou|Sun|2020|p=7|ps=:"The population of this village consists of 2,379 Tibetans, 1,084 of whom are women.
Berbeda dengan hasil penelitian di Eropa dan Amerika, dari beberapa studi didapati bahwa laki-laki Tiongkok lebih menunjukkan kepedulian lebih terhadap isu perubahan iklim dibandingkan perempuannya. Salah satu contohnya adalah studi di sebuah desa di provinsi [[Ningxia]]. Partisipan laki-laki lebih mampu menjelaskan dampak perubahan iklim yang mereka rasakan, seperti adanya perubahan [[suhu]] dan [[kelembapan]] yang sifatnya musiman
Partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim di Cina masih cukup rendah, baik di tingkat lokal maupun nasional. Meski sekitar 20-50% staf pemerintah yang bekerja di bagian perumusan kebijakan lingkungan adalah perempuan, mereka belum cukup terwakili di posisi kepemimpinan. Persentase pejabat perempuan hanya sekitar 5-20%. Sejak berdiri pada 1984, kementerian lingkungan hidup belum pernah sekalipun dipimpin oleh seorang perempuan.{{sfn|Zhou|Sun|2020|p=17|ps=:" The Chinese environmental ministry has been led by men since its foundation in 1984, as has the NLGCC (as mentioned earlier).
== Referensi ==
Baris 153 ⟶ 152:
=== Buku ===
{{refbegin|2}}
*{{cite book|title=Carbon Forestry, who Will Benefit? Proceedings of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods|url=https://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BMurdiyarso0501.pdf|
*{{cite book|title=Gender, climate change and health|url=http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/144781/9789241508186_eng.pdf;jsessionid=81832A888E9A3B98BBB69B0194B40830?sequence=1|last=World Health Organization|first=|publisher=World Health Organization|year=2014|isbn=9789241508186|location=Geneva|pages=3-4|ref=harv|url-status=live}}
{{refend|2}}
Baris 191 ⟶ 190:
*{{cite journal|title=Race, Class, Gender and Climate Change Communication|first=Adam R.|last=Pearson|first2=Matthew T.|last2=Ballew|first3=Sarah|last3=Naiman|first4=Jonathon P.|last4=Schuldt|journal=Oxford Research Encyclopedias, Climate Science|url=https://oxfordre.com/climatescience/view/10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|date=2017|ref=harv|publisher=Oxford University|doi=https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228620.013.412}}
*{{cite journal|title=The effects of gender on climate change knowledge and concern in the American public|first=Aaron M.|last=McCright|journal=Population and Environment|url=https://www-jstor-org.wikipedialibrary.idm.oclc.org/stable/40984168?seq=1#metadata_info_tab_contents|volume=32|pages=66-87|number=1|date=2010|ref=harv|publisher=Springer}}
*{{cite journal|title=The role of indigenous peoples in combating climate change|first=Linda|last=Etchart|journal=Palgrave Communications|url=https://www.nature.com/articles/palcomms201785|volume=3|date=2017|ref=harv|publisher=Nature|doi=10.1057/palcomms.2017.85}}
{{refend|3}}
=== Sumber daring ===
{{refbegin|3}}
*{{cite web|url=https://www.un.org/womenwatch/feature/climate_change/downloads/Women_and_Climate_Change_Factsheet.pdf|title=Women, gender equality and climate change|last=UN Women Watch|first=|date=2009|website=UN Women Watch|access-date=1 Juni 2021|ref={{sfnref|UN Women Watch|2009}}}}
*{{cite web|url=https://unfccc.int/gender/|title=Introduction to gender and climate change|last=United Nations Framework Convention on Climate Change|first=|date=2021 |website=United Nations Framework Convention on Climate Change|access-date=1 Juni 2021|ref={{sfnref|United Nations Framework Convention on Climate Change|2021}}}}
*{{cite web|url=http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/175-perempuan-dan-dampak-perubahan-iklim.html|title=Perempuan dan dampak perubahan iklim|last=Pusat Penelitian Politik LIPI|first=|website=Pusat Penelitian Politik LIPI|access-date=27 Juni 2021|ref={{sfnref|Pusat Penelitian Politik LIPI}}|archive-date=2021-06-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20210627124017/http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/175-perempuan-dan-dampak-perubahan-iklim.html|dead-url=yes}}
*{{cite web|url=https://www.cbd.int/climate/doc/biodiversity-gender-climate-change-en.pdf|title=Biodiversity, gender and climate change|last=Convention on Biological Diversity|first=|website=Convention on Biological Diversity|access-date=30 Juni 2021}}
*{{cite web|url=https://www.unwomen.org/en/how-we-work/intergovernmental-support/climate-change-and-the-environment|last=UN Women|first=|title=Climate change and the environment|website=UN Women|access-date=3 Juni 2021}}
*{{cite web|url=https://www.
*{{cite web|url=
*{{cite web|url=
*{{cite web|url=https://www.earthday.org/climate-change-is-a-human-rights-issue/|title=Climate change is a human rights issue|last=Earth Day|first=|date=2019|website=Earth Day |access-date=2 Juli 2021|ref={{sfnref|Earth Day|2019}}}}
*{{cite web|url=https://www.noaa.gov/education/resource-collections/climate/climate-change-impacts/|title=Climate change impacts|last=National Oceanic and Atmospheric Administration|first=|date=2019-02-01 |website=National Oceanic and Atmospheric Administration|access-date=2 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.cnbc.com/2020/08/17/southeast-asia-faces-more-severe-impacts-of-climate-change-mckinsey-says.html |title=Southeast Asia faces more severe effects of climate change than the rest of the world, McKinsey says|last=Choudhury|first=Saheli Roy|date=2020-08-16|website=CNBC News|access-date=2 Juni 2021|ref={{sfnref|Choudhury|2020}}}}
*{{
*{{cite web|url=https://www.osce.org/mission-to-serbia/428348 |title=Strengthening the Role of Women in Disaster Management|last=Organization for Security and Co-operation|first=|date=2019-08-21 |website=Organization for Security and Co-operation|access-date=1 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.hindustantimes.com/india-news/extreme-rains-lead-to-more-rural-farmer-suicides-than-droughts-study/story-Pk9BZ6A5QZGtuny9q5qJMO.html|title=Extreme rains lead to more rural farmer suicides than droughts: Study|last=Nandi|first= Jayashree|date=2020-09-11|website=Hindustan Times |access-date=2 Juni 2021|ref={{sfnref|Nandi|2020}}}}
*{{cite web|url=https://www.thehindubusinessline.com/opinion/weather-woes-add-to-farmer-suicide-cases/article30802206.ece|title=Weather woes add to farmer-suicide cases|last=Parida|first=Yashobanta|date=2020-02-13|website=The Hindu Business Line|access-date=2 Juni 2021|ref={{sfnref| Parida|2020}}}}
*{{cite web|url=https://lib.icimod.org/record/35157/files/HimalDoc2021_Gender-Agriculture-and-Climate_IB.pdf|title=Why gender matters: climate change and agriculture in India (issue brief)|last=Chatterjee|first=Somiha|date=2021-03-01|website=The International Centre for Integrated Mountain Development (ICIMOD)|access-date=10 Juni 2021|ref={{sfnref|Chatterjee|2021}}}}
*{{cite web|url=http://www.fao.org/3/md280e/md280e.pdf |title=Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development (training guide)|last=FAO|first=|date=2012|website=FAO|access-date=2 Juni 2021|ref={{sfnref|FAO|2012}}}}
*{{cite web|url=https://ccafs.cgiar.org/news/climate-change-shrinks-worlds-resources-gap-between-men-and-women-widens|title=As climate change shrinks the world’s resources, gap between men and women widens|last=Celeridad|first=Renz Louie|date=2019-02-14|website=CGIAR|access-date=2 Juli 2021|ref={{sfnref|Celeridad|2019}}}}
*{{cite web|url=https://theprint.in/india/india-slips-two-spots-to-131-on-human-development-index-2020-ranks-low-on-gender-equality/568742/|title=India slips two spots to 131 on human development index 2020, ranks low on gender equality |last=Krishnan|first=Revathi|date=2020-12-17|website=The Print|access-date=8 Juni 2021|ref={{sfnref|Krishnan|2020}}}}
*{{cite web |url=http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32200|title=Pengarusutamaan Gender, Indonesia Masih Jauh dari Harapan|last=Setjen DPR RI|first=|date=2021-03-18|website=DPR RI|access-date=8 Juni 2021}}
*{{cite web|url=https://www.cifor.org/publications/pdf_files/infobrief/7871-infobrief.pdf|title=Making climate finance work for women and the poor: Insights from national climate finance mechanisms in Indonesia|last=Atmadja|first=Stibniati|date=Desember 2020|website=CIFOR|access-date=8 Juni 2021|ref={{sfnref|Atmadja|2020}}}}
*{{cite web|url=https://www.preventionweb.net/news/view/69673|title=Can laws tackling gender inequality help to enhance disaster resilience in the Philippines? |last=Leoni|first=
*{{cite web|url=https://ugm.ac.id/en/news/15433-women-have-role-in-disaster-risk-management|title=Women Have Role in Disaster Risk Management |last=Marwati|first=Marwati|date=2017-12-22|website=Universitas Gadjah Mada|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Marwati|2017}}}}
*{{cite web|url=https://climatecommunication.yale.edu/publications/gender-differences-in-public-understanding-of-climate-change/|title=Gender Differences in Public Understanding of Climate Change|last=Ballew|first=Matthew|date=22 November 2018|website=Yale Program on Climate Change Communication|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Ballew|2019}}}}
*{{cite web|url=https://minorityrights.org/wp-content/uploads/2015/07/MRG_Brief_ClimateC.pdf/|title=Voices that must be heard: minorities and indigenous people combating climate change|last=Mihlar|first=Farah|date=2008|website=Minority Rights Group International|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Mihlar|2008}}}}
*{{cite web|url=https://www.dw.com/id/dampak-perubahan-iklim-terhadap-perempuan/a-52466076/|title=Perubahan Iklim Lebih Berbahaya Bagi Perempuan dan Anak |last=Cwienk|first=Jeannette|date=2020-02-22|website=Deutsche Welle|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Cwienk|2021}}}}
*{{cite web|url=https://www.undp.org/blogs/why-climate-change-fuels-violence-against-women|title=Why climate change fuels violence against women |last=Gevers|first=Anik|date=2020-01-28|website=UNDP|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Gevers|2021}}}}
*{{
*{{cite web|url=https://www.unwomen.de/informieren/klima-und-gender/cop23-die-klimakonferenz-2017-in-bonn/migration-as-a-climate-change-adaptation-strategy-a-gender-perspective.html|title=Migration as a climate change adaptation strategy: A gender perspective|last=UN Women Deutschland|first=|date=2020-02-28|website=UN Women Deutschland|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|UN Women Deutschland|2020}}}}
*{{cite web|url=https://www.ft.lk/ft-lite/Human-mobility--in-the-context-of-climate-change/6-718501|title=Human mobility in the context of climate change|last=Mombauer|first=Dennis|date=2021-05-21|website=Daily FT|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Mombauer|2021}}}}
*{{cite web|url=https://www.cepal.org/sites/default/files/publication/files/46737/S2000992_en.pdf|title=Advancing gender equality in environmental migration and disaster displacement in the Caribbean|last=Bleeker|first=Amelia|date=2021|website=Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin dan Karibia (CEPAL)|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Bleeker|2021}}}}
*{{cite web|url=https://slate.com/technology/2010/11/which-is-the-greener-gender.html|title=Which is the greener gender?|last=Rastogi|first=Nina Shen|date=2010-11-16|website=Slate Magazine|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Rastogi|2010}}}}
*{{cite web|url=https://www.macfound.org/media/files/csd_gender_white_paper.pdf|title=Gender, Poverty and the Conservation of BiodiversityA Review of Issues and Opportunities|last=Bechtel|first=Jamie D.|date=2010|website=MacArthur Foundation|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Bechtel|2010}}}}
*{{cite web|url=https://th.boell.org/en/2019/02/26/threatened-biodiversity-and-empty-wombs-climate-change-and-womens-plight-central-java|title=Threatened Biodiversity and Empty Wombs: Climate Change and Women’s Plight in Central Java|last=Candraningrum|first=Dewi|date=2019-02-26|website=Heinrich-Böll-Stiftung|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|Candraningrum|2019}}}}
*{{cite web|url=https://www.gendercc.net/gender-climate/transport.html|title=Gender CC - Women for climate justice|last=GenderCC|first=|date=2019-02-26|website=GenderCC|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|GenderCC|2019}}}}
*{{cite web|url=https://www4.unfccc.int/sites/SubmissionsStaging/Documents/201903292347---Gender%20and%20Climate%20Change_ITF.pdf|title=Gender and Climate Change|last=International Transport Forum|first=|date=2019|website=United Nations Framework Convention on Climate Change|access-date=1 Juli 2021|ref={{sfnref|International Transport Forum|2019}}}}
*{{cite web|url=https://www.undp.org|title=Gender and energy|last=UNDP|first=|date=2013|website=United Nations Development Programme|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|UNDP|2013}}}}
*{{cite web|url=https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/climate-change.html|title=Climate Change|last=
*{{cite web|url=https://indigenousclimatehub.ca/2021/03/international-participantion-and-leadership-of-indigenous-women-in-climate-change-action/|title=International Participation and Leadership of Indigenous Women in Climate Change Action|last=Viswanathan|first=Leela|date=|website=Indigenous
*{{cite web|url=https://www.climateinvestmentfunds.org/sites/cif_enc/files/knowledge-documents/study-of-the-impacts-of-climate-change-on-the-women-and-men-in-the-caribbean-pilot-programme-for-climate-resilience-countries.pdf/|title=International Participation and Leadership of Indigenous Women in Climate Change Action|last=Inter-American Development Bank|first=|date=2020|website=Climate Investment Funds|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|Inter-American Development Bank|2020}}|archive-date=2022-01-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20220119023135/https://www.climateinvestmentfunds.org/sites/cif_enc/files/knowledge-documents/study-of-the-impacts-of-climate-change-on-the-women-and-men-in-the-caribbean-pilot-programme-for-climate-resilience-countries.pdf|dead-url=yes}}
*{{cite web|url=https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lanplh/PIIS2542-5196(20)30001-2.pdf/|title=Climate change and gender-based health disparities|last=The Lancet|first=|date=2020|website=The Lancet|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|The Lancet|2020}}|archive-date=2020-03-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20200301175415/https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lanplh/PIIS2542-5196(20)30001-2.pdf|dead-url=yes}}
*{{cite web|url=https://www.osce.org/mission-to-serbia/428348/|title=Strengthening the Role of Women in Disaster Management|last=Organization for Security and Cooperation in Europe|first=|date=2019|website=Organization for Security and Cooperation in Europe|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|Organization for Security and Cooperation in Europe|2019}}}}
*{{cite web|url=http://www.fao.org/climate-smart-agriculture-sourcebook/enabling-frameworks/module-c6-gender/chapter-c6-1/en/|title=Gender-differentiated impacts of climate change|last=FAO|first=|date=2021|website=FAO|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|FAO|2021}}}}
*{{cite web|url=https://cdn.sei.org/wp-content/uploads/2020/07/climate-justice-for-indigenous-women-urgency-and-way-forward-web.pdf|title=Climate justice foe indigenous women: urgency and way forward|last=Bhattachan|first=Krishna B.|last1=Magar|first1=Sushila Kumari Thapa|date=2021|website=FAO|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|Bhattachan|2020}}|archive-date=2021-07-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20210709182731/https://cdn.sei.org/wp-content/uploads/2020/07/climate-justice-for-indigenous-women-urgency-and-way-forward-web.pdf|dead-url=yes}}
*{{cite web|url=https://www.hrw.org/news/2019/09/22/indonesia-indigenous-peoples-losing-their-forests|title=Indonesia: Indigenous Peoples Losing Their Forests|last=Human Rights Watch|first=|date=2019|website=Human Rights Watch|access-date=7 Juli 2021|ref={{sfnref|Human Rights Watch|2019}}}}
{{refend|3}}
|