Ahmadiyyah di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Enwiki Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) →Kontak pertama: ejaan di koran 1927 |
||
(25 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Islam by country}}
'''[[Ahmadiyah]]''' adalah cabang [[Islam]] di [[Indonesia]]. Sejarah awal komunitas di Indonesia dimulai pada masa-masa awal [[Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad|Khalifah Kedua]], ketika selama musim panas tahun 1925, kira-kira dua dekade sebelum [[revolusi Indonesia]], seorang misionaris Komunitas, Rahmat Ali, menginjakkan kaki di pulau terbesar di Indonesia, Sumatra, dan mendirikan gerakan dengan 13 pengikut di [[Tapaktuan]], provinsi [[Aceh]].<ref name="Burhani143">{{cite book | title=Islam and Christian–Muslim Relations | chapter=The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in Indonesia: Controversies and Influences | author=Ahmad Najib Burhani | volume=25 | issue=2 | pages=143–144 | publisher=Taylor & Francis | date=December 18, 2013}}</ref> Komunitas ini memiliki sejarah yang berpengaruh dalam perkembangan agama di Indonesia,<ref name="Burhani151"/> tetapi di zaman modern ini telah menghadapi peningkatan intoleransi dari pendirian agama di negara ini dan permusuhan fisik dari kelompok Muslim radikal.<ref name="Rahman418"/> [[Association of Religion Data Archives]] memperkirakan sekitar 400.000 Muslim Ahmadi,<ref name="ARDA"/> tersebar di 542 cabang di seluruh negeri.▼
[[Berkas:Jemaat Ahmadiyah Indonesia Padang.jpg|jmpl|300x300px|Kompleks kantor [[Jemaat Ahmadiyah Indonesia]] di [[Kota Padang|Padang]], [[Sumatera Barat]]]]
▲'''
Jamaah Muslim Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun [[1925]],<ref>[http://www.alislam.org/indonesia/latar.html#Ahmadiyah Ahmadiyah di Indonesia - Latar] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150108081438/http://www.alislam.org/indonesia/latar.html#Ahmadiyah |date=2015-01-08 }}, alislam.org. Diakses 23 Februari 2015.</ref> dan Gerakan Ahmadiyah Lahore pada tahun [[1924]].<ref>[http://ahmadiyah.org/gerakan-ahmadiyah-indonesia/sejarah-singkat-gai/ Sejarah Singkat GAI], ahmadiyah.org. Diakses 23 Februari 2015.</ref> Kedua organisasi tersebut resmi berdiri di Indonesia dan berbadan hukum.<ref name="gai"/><ref>[http://historia.co.id/artikel/modern/716/25/Majalah-Historia/Ahmadiyah_di_Indonesia Ahmadiyah di Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150317180332/http://historia.co.id/artikel/modern/716/25/Majalah-Historia/Ahmadiyah_di_Indonesia |date=2015-03-17 }}, Majalah Historia. Diakses 23 Februari 2015.</ref>
== Sejarah ==
=== Kontak pertama ===
[[File:ThreePioneersAhmadiyah.gif|thumb|right|300px|Tiga Perintis, pada tahun-tahun terakhir mereka. Dari kiri ke kanan: Ahmad Nurdin, Abubakar bin Oejoep, Zaini Dahlan]]
Sejarah Jemaat Muslim Ahmadiyah di Indonesia dimulai pada tahun 1925, pada masa [[Hindia Belanda|penjajahan Belanda]] di kepulauan Indonesia, kurang lebih dua dekade sebelum [[Revolusi Indonesia]]. Namun, kontak dengan orang-orang Indonesia dan Muslim Ahmadi di [[India]] dimulai beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun 1922, untuk melanjutkan studi agamanya, tiga santri Indonesia, Abubakar bin Oejoep, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan, dari [[Sumatera Thawalib]], sebuah pesantren di [[Sumatra]], pada awalnya berencana untuk melakukan perjalanan ke lembaga-lembaga Islam di [[Mesir]], yang pada masa itu dikenal untuk reputasi mereka di [[dunia Islam]]. Namun, guru mereka menyarankan mereka untuk melakukan perjalanan ke India, yang menurut mereka semakin menjadi pusat pemikiran Islam. Telah dikemukakan bahwa sejumlah jurnal dan buku Muslim Ahmadi yang diterbitkan di India diedarkan secara luas di negara-negara [[Asia Tenggara]] seperti [[Singapura]], [[Malaysia]] dan Indonesia, pada tahun 1920-an.<ref name="IslamicConnection">{{cite book | url=https://books.google.com/books?id=2MyHnPaox9MC&pg=PA138 | title=Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia | page=138 | author=R Michael Feener, Terenjit Seve| year=2009 | isbn=9789812309235 }}</ref> Selain itu, pada bulan Oktober 1920, [[Khwaja Kamal-ud-Din]], pemimpin kelompok sempalan [[Gerakan Ahmadiyah Lahore]] melakukan tur ke Asia Tenggara di mana ia berhasil berhasil mendapatkan kepercayaan di antara beberapa Muslim Indonesia. Ia menyampaikan sejumlah pidato di [[Surabaya]] dan [[Batavia]] yang menjadi tajuk utama di beberapa surat kabar terkemuka. Telah didalilkan bahwa ini mungkin menjadi pemicu bagi para guru untuk merekomendasikan perjalanan ke India.<ref name="Burhani660">{{cite journal | journal=Journal of Social Issues in Southeast Asia | title=Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals | date=2014 | volume=29 | issue=3 | author=Ahmad Najib Burhani | publisher=Sojourn | pages=660–663}}</ref>
[[File:Ahmadi Students Dutch East Indies.png|thumb|left|300px|Santri Ahmadi dan penganut baru dari Hindia Belanda di hadapan Khalifah [[Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad]]]]
Sesuai dengan saran guru mereka, ketiga siswa berangkat secara terpisah dan bersatu kembali di kota [[Lucknow]] di India utara. Selama di kota mereka memulai pendidikan studi Islam di Madrasah Nizhamiyyah Darun Nadwah di bawah bimbingan Abdul Bari-al Ansari. Merasa tidak puas, dan mengingat kembali ceramah Khwaja Kamal-ud-Din di [[Jawa]], mereka segera berangkat menuju kotanya, [[Lahore]], lebih dari 500 mil barat laut Lucknow, dan bertemu dengan anggota Gerakan Ahmadiyah Lahore, yang pada waktu itu sudah berpisah dengan Jamaah Muslim Ahmadiyah utama, yang masih berbasis di [[Qadian]]. Terkesan oleh ajaran Ahmadi di bawah bimbingan Maulana Abdus Sattar, dan sebaliknya, setelah mengetahui perpecahan Ahmadiyah Lahore, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Qadian. Banyak teori berlimpah mengenai pembenaran untuk langkah ini. Disarankan agar para santri ingin mengetahui lebih jauh tentang sumber ajaran Ahmadiyah dan [[Mirza Ghulam Ahmad]]. Namun, pendapat yang lebih populer menunjukkan bahwa Abdus Sattar sendiri yakin akan keunggulan cabang utama, Jamaah Muslim Ahmadiyah dan secara spiritual selaras dengan mereka.<ref name="Burhani660"/> Segera setelah kedatangan mereka, ketiga siswa tersebut memutuskan untuk ber[[baiat]] di tangan Khalifah [[Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad]] dan memilih untuk melanjutkan studi mereka di Qadian. Atas undangan, 23 santri lainnya dari Pesantren Sumatera Thawalib, tiba di Qadian untuk melanjutkan studi Islam dan setelah mempelajari ajaran Ahmadiyah, mereka juga masuk ke gerakan Ahmadiyah.<ref name="75years">{{cite web | url=http://www.alislam.org/indonesia/75thJAI.html | title=75 Tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia | language=id | access-date=March 28, 2015 | archive-url=https://web.archive.org/web/20160304060738/http://www.alislam.org/indonesia/75thJAI.html | archive-date=March 4, 2016 | url-status=dead }}</ref> Pada tahun 1924, khalifah melakukan tur ke [[Timur Tengah]] dan [[Eropa]]. Mengetahui hal ini, sejumlah santri Indonesia, ketika masih belajar di Qadian, menginginkan agar khalifah mereka juga mengunjungi Timur, khususnya [[Daftar pulau di Indonesia|kepulauan Indonesia]]. Dalam pidato resmi yang disampaikan dalam bahasa Arab kepada khalifah, oleh Haji Mahmud, juru bicara mahasiswa Indonesia di Qadian, para mahasiswa mengungkapkan keinginan tersebut. Khalifah, meyakinkan mereka bahwa dia sendiri tidak akan dapat mengunjungi Indonesia tetapi akan segera mengirim perwakilan, seorang misionaris, ke wilayah tersebut. Selanjutnya, pada musim panas 1925, di bawah arahan khalifah, Rahmat Ali, seorang misionaris gerakan Ahmadiyah, tiba di [[Tapaktuan]], [[Aceh]], provinsi utara Pulau Sumatera. Dengan ini, fondasi gerakan Ahmadiyah di Indonesia diletakkan.<ref name="75years"/> Dalam sejarah Jamaah, ketiga mahasiswa tersebut dikenal sebagai pelopor awal gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Melalui upaya perintisan mereka, dan berbagai misionaris Jemaat, Ahmadiyah menyebar ke seluruh Indonesia.<ref name="newsweek2011">{{cite news | url=http://www.newsweek.com/persecution-indonesias-ahmadi-muslims-68737 | title=The Persecution of Indonesia's Ahmadi Muslims | author=Philip Shishkin | date=February 13, 2011 | access-date=March 29, 2015}}</ref>
=== Pembentukan ===
[[File:R. Muhyiddin.gif|thumb|right|250px|R. Muhyiddin. Presiden Pertama Jemaat Ahmadiyah Indonesia''.'' Meninggal tahun 1946.]]
Pada tanggal 2 Oktober 1925, dengan 13 anggota, di bawah pimpinan Rahmat Ali, cabang pertama gerakan ini didirikan di Tapaktuan. Beberapa bulan kemudian, pada tahun 1926, Rahmat Ali pindah ke [[Padang]], di pantai barat Sumatera dan mendirikan cabang gerakan kedua. Setelah ini, beberapa cabang gerakan didirikan di seluruh pulau. Pada tahun 1931, Rahmat Ali pindah ke [[Batavia]] (sekarang dikenal sebagai [[Jakarta]], ibu kota Indonesia), di pantai barat laut [[Pulau Jawa]].<ref name="75years"/> Meskipun Komunitas telah mendirikan sejumlah cabang di seluruh negeri, baru pada bulan Desember 1935 sebuah konferensi diadakan, struktur organisasi Komunitas didirikan.<ref name="Burhani143"/> R. Muhyiddin terpilih sebagai presiden pertama Jemaat Muslim Ahmadiyah di Indonesia.<ref name="75years"/> Cabang Indonesia mengadopsi nama Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia, yang kemudian diubah menjadi Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia pada Juni 1937. Pada akhir tahun 1949, setelah Revolusi Indonesia, nama itu sekali lagi diubah menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan demikian menekankan pada sifat organisasi Jemaat dan hubungannya dengan Jemaat Muslim Ahmadiyah di seluruh dunia.<ref name="Burhani143"/>
Dalam perkembangan terpisah, [[Gerakan Ahmadiyah Lahore]], yang telah berpisah dari Jamaah Muslim Ahmadiyah utama pada tahun 1914, mengirimkan misionaris pertamanya Mirza Wali Ahmad Baig pada tahun 1926. Meskipun Ahmadiyah Lahore didirikan di negara itu pada tanggal 10 Desember 1928, organisasi itu tidak terdaftar secara resmi di negara ini (sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia 'GAI') sampai bulan September berikutnya. Karena kurangnya upaya yang dihasilkan oleh Ahmadi Lahore dalam mencari penganut baru di Indonesia, dan menjadi beriman secara umum, kelompok tersebut gagal menarik pengikut yang cukup besar. Secara khusus, Mirza Wali Ahmad Baig adalah misionaris terakhir kelompok tersebut, berbeda dengan gerakan utama Ahmadiyah, yang mengirim misionaris demi misionaris ke Indonesia.<ref name="Burhani143"/> Karena kekuatan organisasi yang diadopsi dalam kegiatan misionaris di luar negeri, selama era [[Mirza Bashir-ud-Din Mahmood Ahmad|Khalifah kedua]], dan karena berbagai alasan keuangan dan teologis, cabang utama Ahmadiyah menjadi semakin sukses dalam mendapatkan mualaf untuk interpretasi Islam mereka.<ref name="IslamicConnection"/> Dilindungi oleh [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar 1945]], yang menjamin kebebasan beragama, Jemaat Ahmadiyah terus tumbuh, meski menghadapi sedikit penganiayaan hingga [[Kejatuhan Soeharto|jatuhnya pemerintahan Soeharto]].<ref name="newsweek2011"/>
=== Perkembangan awal ===
[[File:Singaparna1925.jpg|thumb|left|400px|Komunitas awal Muslim Ahmadiyah di depan sebuah masjid di [[Singaparna]], [[Jawa]], pada akhir 1920-an.]]
Diskusi, ceramah, dan debat memainkan peran penting dalam awal kemajuan gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Segera setelah Rahmat Ali tiba di Tapaktuan, ceramah pertama yang dia selenggarakan adalah tentang wafatnya [[Yesus]], di mana Muslim Ahmadi memiliki perspektif teologis yang berbeda dari Muslim arus utama dan Kristen. Banyak mualaf awal gerakan Ahmadiyah dikaitkan dengan perdebatan teologis, termasuk, namun tidak terbatas pada kematian Yesus. Namun, banyak konversi membutuhkan lebih dari argumen yang memuaskan, dan bukan hanya perdebatan yang menarik orang. Kharisma, sikap dan 'kekuatan spiritual' para misionaris menarik perhatian publik. Kesabaran yang dicontohkan oleh para pendebat Ahmadiyah dalam menghadapi kritik dan penghinaan memainkan peran penting.<ref name="Burhani663"/>
Setahun kemudian, setelah kedatangan Rahmat Ali, sebuah Komite Mencari Hak dibentuk oleh Tahar Sutan Marajo, seorang Muslim non-Ahmadi di wilayah [[Pasa Gadang, Padang Selatan, Padang|Pasar Gadang]], [[Padang]], Sumatera Barat, untuk membawa Para misionaris Ahmadiyah dan ulama ortodoks bersama-sama berdebat tentang masalah agama. Namun, perdebatan tidak terjadi karena para ulama tidak muncul. Menurut laporan Ahmadi, beberapa anggota komite masuk Ahmadiyah. Beberapa perdebatan yang paling terkenal, pada tahun-tahun awal gerakan, antara Muslim Ahmadi Indonesia dan ulama ortodoks adalah dengan [[Persatuan Islam]], sebuah organisasi Islam Indonesia yang didirikan pada tahun 1923. Perdebatan itu biasa diadakan di [[Bandung]] dan [[Batavia]], yang keduanya terletak di bagian barat Jawa. Debat pertama dengan Persatuan Islam adalah tentang kematian Yesus, dihadiri oleh lebih dari 1.000 orang dan berlangsung selama tiga hari selama April 1933. Debat kedua membahas topik yang lebih luas, diadakan pada bulan September tahun yang sama, dan disaksikan oleh lebih dari 2.000 orang.<ref name="Burhani663">{{cite journal | journal=Journal of Social Issues in Southeast Asia | title=Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals | date=2014 | volume=29 | author=Ahmad Najib Burhani | publisher=Sojourn | pages=663–669}}</ref>
Keyakinan [[milenarian]] lokal tentang kedatangan [[Ratu Adil]] (Penguasa Yang Adil), [[Imam Mahdi]], dan Almasih yang dijanjikan adalah beberapa faktor penarik yang mengiringi kebangkitan gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Sebelum kedatangan Ahmadiyah di [[Cisalada, Cigombong, Bogor|Cisalada]], [[Kabupaten Bogor|Bogor]], penduduk desa percaya bahwa seorang utusan Almasih akan tiba di desa mereka suatu hari nanti. Tradisi dari desa menyatakan bahwa orang-orangnya harus mengikuti utusan ini setiap kali dia datang, bahkan jika dia adalah '[[Tarian ular|pawang ular]]' – praktik umum yang ditemukan di India. Keyakinan serupa tentang kedatangan Imam Mahdi atau Mesias yang dijanjikan berlimpah di banyak budaya, tradisi dan etnis di seluruh [[pulau Jawa]] dan [[Lombok]]. Konversi massal terjadi di desa-desa di seluruh Indonesia.<ref name="Burhani663"/>
===Pengaruh===
[[File:Soekarno Ahmadiyah.gif|thumb|250px|Presiden [[Soekarno]] dengan dua pemimpin Ahmadi: Presiden Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan seorang misionaris, di [[Istana Merdeka|Istana Kepresidenan]], 1950.]]
Laporan oleh misionaris Muslim Ahmadiyah dan juga analis menunjukkan bahwa literatur Ahmadiyah tentang agama [[Kristen]] telah membantu memperkuat kepercayaan di antara penduduk Muslim arus utama dalam agama Islam, terutama ketika menghadapi [[Kristen di Indonesia|aktivitas misionaris Kristen]]. Dengan beberapa pengecualian, tidak ada literatur Indonesia yang memberikan analisis kritis terhadap agama Kristen dan agama lain selain Ahmadiyah.<ref name="Burhani145">{{cite book | title=Islam and Christian–Muslim Relations | chapter=The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in Indonesia: Controversies and Influences | author=Ahmad Najib Burhani | volume=25 | issue=2 | page=145 | publisher=Taylor & Francis | date=December 18, 2013}}</ref> Berbeda dengan gerakan utama Ahmadiyah, kelompok kecil Ahmadiyah Lahore memfokuskan terjemahan literatur Ahmadiyah ke dalam [[bahasa Belanda]], bahasa kaum intelektual Indonesia pada masa itu.<ref name="Burhani147"/> Sehubungan dengan kegiatan dakwah Ahmadiyah, Presiden [[Soekarno]], presiden pertama Indonesia setelah kemerdekaan, konon mengatakan:
{{Quote|Sifat sistemnya dalam menyebarkan Islam adalah melalui metode apologetik, yaitu menyebarkan Islam dengan mempertahankannya dari serangan ofensif dunia Kristen: menyebarkan Islam dengan menunjukkan kebenarannya kepada para kritikus dunia Kristen<ref name="Burhani147"/>}}
Menurut B.J. Boland, karakter apologetik dan polemik sastra Ahmadiyah telah menjadi pedoman dan inspirasi bagi organisasi-organisasi Muslim di seluruh Indonesia yang bergerak dalam kegiatan dakwah. Meskipun ulama [[Sunni]] Indonesia menahan fakta ini dari publik karena takut menimbulkan perlawanan, beberapa mengakui bahwa referensi mereka berasal dari literatur Ahmadiyah. Beberapa orang menganggap metode apologetik Ahmadiyah dapat dibenarkan dalam menghadapi pengaruh Kristen di negara ini, terutama selama dekade-dekade awal kemerdekaan Indonesia, karena para misionaris Kristen banyak menyebarkan agama mereka di tengah-tengah masyarakat mayoritas Muslim. Literatur Ahmadiyah menyediakan alat yang efektif untuk membela Islam melawan tuduhan Kristen, sekaligus menciptakan suasana superioritas Islam. Namun demikian, setelah Indonesia menjadi semakin stabil, setelah jatuhnya aktivitas misionaris Kristen, para pendakwah Sunni arus utama mulai semakin mengabaikan literatur Ahmadiyah,<ref name="Burhani151">{{cite book | title=Islam and Christian–Muslim Relations | chapter=The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in Indonesia: Controversies and Influences | author=Ahmad Najib Burhani | volume=25 | issue=2 | pages=151–152 | publisher=Taylor & Francis | date=December 18, 2013}}</ref><ref name="Burhani147">{{cite book | title=Islam and Christian–Muslim Relations | chapter=The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in Indonesia: Controversies and Influences | author=Ahmad Najib Burhani | volume=25 | issue=2 |page=147 | publisher=Taylor & Francis | date=December 18, 2013}}</ref> sehingga menimbulkan penganiayaan.
==Demografi==
Menurut berbagai perkiraan independen, jumlah Muslim Ahmadi berkisar antara 200.000 hingga 500.000 anggota,<ref>{{cite book|url=https://books.google.com/books?id=N2qFtlLja8gC&pg=PA20| title=Indonesia: Domestic Politics, Strategic Dynamics, and American Interests | access-date=February 22, 2014 | author=Bruce Vaughn | date=November 2010 | page=20 | publisher=Diane Publishing Co.| isbn=9781437927559 }}</ref> tersebar di 542 cabang di seluruh Indonesia.<ref name="Burhani143"/> [[Association of Religion Data Archives]] memperkirakan sekitar 400.000 Muslim Ahmadi di negara ini.<ref name="ARDA">{{cite web| url=http://www.thearda.com/internationalData/countries/Country_109_2.asp | title=Indonesia | publisher=The Association of Religious Data | access-date=April 26, 2014}}</ref> Diperkirakan ada 289 masjid Ahmadi dan sekitar 110 rumah misi.<ref name="IslamicConnection"/> Berbeda dengan perkiraan independen, [[Kementerian Agama Republik Indonesia]] memperkirakan sekitar 80.000 anggota di negara ini.<ref name="Burhani143"/>
Gerakan Ahmadiyah Lahore, juga dikenal sebagai Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) di Indonesia, hanya memiliki 400 anggota hingga tahun 1940-an. Karena kurangnya upaya yang dihasilkan oleh Ahmadi Lahori dalam mencari mualaf di Indonesia, dan menjadi beriman secara umum, kelompok tersebut gagal menarik pengikut yang cukup besar. Pada tahun 1970-an keanggotaan kelompok berdiri antara 500 dan 1000 orang. Pada 1980-an, jumlahnya turun menjadi 708 anggota.<ref name="Burhani143"/>
== Penganiayaan ==
Baris 26 ⟶ 65:
=== 2011 ===
Pada tahun 2011, Ahmadiyah menghadapi seruan-seruan agar aliran ini secara sepenuhnya "dilarang" di Indonesia.<ref>McGeown, Kate. "[http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-13155924 Islamic sect Ahmadiyah faces ban in Indonesia]" ''[[British Broadcasting Corporation|BBC]]''. 21 April 2011. (Video)</ref>
* 6 Februari, Terjadinya [[Penyerangan Cikeusik]], yang mengakibatkan tewasnya 3 Ahmadi.<ref>Allard, Tom. [http://www.smh.com.au/world/trial-begins-after-shocking-mob-violence-ends-in-slaying-20110426-1dv37.html Trial begins after shocking mob violence ends in slaying] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140703125113/http://www.smh.com.au/world/trial-begins-after-shocking-mob-violence-ends-in-slaying-20110426-1dv37.html |date=2014-07-03 }}. ''[[The Sydney Morning Herald]]''. 27 April 2011.</ref>
* 28 Februari, Pemerintah [[Provinsi Jawa Timur]] mengeluarkan Keputusan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011 tentang “Larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur”.<ref>{{Cite web |url=http://e-dokumen.kemenag.go.id/files/F538xgEY1325487092.pdf |title=Kepgub No. 188/94/KPTS/013/2011 |access-date=2015-02-23 |archive-date=2015-02-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150223090608/http://e-dokumen.kemenag.go.id/files/F538xgEY1325487092.pdf |dead-url=yes }}</ref>
* 1 Maret, Pemerintah [[Provinsi Banten]] mengeluarkan Peraturan Gubernur No.5 tahun 2011 tentang "Larangan aktivitas penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di wilayah Provinsi Banten".<ref>{{Cite web |url=http://indonesiatoleran.or.id/wp-content/uploads/2012/12/hukum_lokal_pergub-banten-larangan-ahmadiyah.pdf |title=Pergub No.5 tahun 2011 |access-date=2015-02-23 |archive-date=2015-02-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150223090713/http://indonesiatoleran.or.id/wp-content/uploads/2012/12/hukum_lokal_pergub-banten-larangan-ahmadiyah.pdf |dead-url=yes }}</ref>
* 2 Maret, Pemerintah [[Provinsi Jawa Barat]] mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 12 tahun 2011 tentang "Larangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat".<ref>{{Cite web |url=http://jabar.kemenag.go.id/file/file/ProdukHukum/sbyi1354606249.pdf |title=Pergub No.12 tahun 2011 |access-date=2015-02-23 |archive-date=2014-08-14 |archive-url=https://web.archive.org/web/20140814191419/http://jabar.kemenag.go.id/file/file/ProdukHukum/sbyi1354606249.pdf |dead-url=yes }}</ref>
* 24 Maret, Pemerintah [[Provinsi
* 17 Juni, Pemerintah [[Provinsi Jambi]] mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 27 tahun 2011, tentang "Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Provinsi Jambi".<ref>{{Cite web |url=https://b8d560481afebbec8914059bc3a5ddb8a50fb48d.googledrive.com/host/0B0GMRRWvwXb6Q0lDTk5ZZGRodW8/Peraturan-Gubernur-Jambi-Pelarangan-Kegiatan-JAI-Provinsi-Jambi.pdf |title=Pergub No. 27 tahun 2011 |access-date=2015-02-23 |archive-date=2015-02-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150223073503/https://b8d560481afebbec8914059bc3a5ddb8a50fb48d.googledrive.com/host/0B0GMRRWvwXb6Q0lDTk5ZZGRodW8/Peraturan-Gubernur-Jambi-Pelarangan-Kegiatan-JAI-Provinsi-Jambi.pdf |dead-url=yes }}</ref>
Baris 45 ⟶ 84:
== Referensi ==
{{Reflist|2}}
== Pranala luar ==
* {{YouTube|BJbnT9H3D_U|title=Indonesia: Kekerasan terhadap Minoritas Agama}}
==Bacaan lanjutan==
{{commons category|Ahmadiyya in Indonesia}}
*{{cite journal | journal=Contemporary Islam | title=The KTP Quandary: Islam, the Ahmadiyya, and the reproduction of Indonesian Nationalism | date=2015 | author=Bottomley, Daniel | volume=9 | issue=1 | pages=1–16| doi=10.1007/s11562-014-0302-2 | s2cid=143299198 }}
*{{cite journal | journal=Journal of Social Issues in Southeast Asia | title=Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals | date=2014 | volume=29 | issue=3 | author=Burhani, Ahmad Najib | publisher=Sojourn | pages=657–690| doi=10.1355/sj29-3e | s2cid=144276831 }}
*{{cite book | title=Contemporary Islam | chapter=Treating minorities with fatwas: a study of the Ahmadiyya community in Indonesia | date=November 23, 2013 | author=Burhani, Ahmad Najib | volume=8 | issue=3 | pages=285–301 | publisher=Springer}}
*{{cite book | title=Islam and Christian–Muslim Relations | chapter=The Ahmadiyya and the Study of Comparative Religion in Indonesia: Controversies and Influences | author=Burhani, Ahmad Najib | volume=25 | issue=2 | pages=141–158 | publisher=Taylor & Francis | date=December 18, 2013}}
*{{cite journal | journal=Australian Journal of Political Science | title=State restrictions on the Ahmadiyya sect in Indonesia and Pakistan: Islam or political survival? | author=Rahman, Fatima Zainab | publisher=Routledge | date=2014 | volume=49 | issue=3 | pages=408–422| doi=10.1080/10361146.2014.934656 | s2cid=153384157 }}
{{Islam di Indonesia}}
{{Agama di Indonesia}}
|