Niat jahat genosida: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
edit teks |
|||
(18 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Genosida''' ialah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, [[ras]], [[Kelompok etnik|kelompok etnis]], kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan [[fisik]] atau [[Budi|mental]] yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.<ref>{{Cite web|last=Widiadsih|first=Kezia Rahmameilani|date=2019-12-02|title=Penuntasan Pelanggaran HAM Yang Terhambat Oleh UU Pengadilan HAM Yang Perlu Direvisi|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/8msxa|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-13}}</ref>
== Pengertian Genosida == Secara bahasa [[genosida]] berasal dari dua kata “''geno''” dan “''cidium''”. Kata ''geno'' berasal dari bahasa [[Yunani]] yang artinya “ras” sedangkan kata “''cidium''” asal kata dari bahasa Pengertian genosida dalam [[Konvensi Genosida|konvensi genosida]] tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, [[ras]], [[etnis]] atau [[agama]].<ref>{{Cite journal|last=Ariati|first=Nova|date=2020-11-28|title=KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.36085/jpk.v2i2.1177|journal=Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum|volume=2|issue=2|pages=197–218|doi=10.36085/jpk.v2i2.1177|issn=2622-3724}}</ref> Pandangan lain terkait dengan konsep ''gross violations of human rights'' ini diutarakan juga oleh Thomas van Boven ketika perumusan ''Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (Remedy Principles and Guidelines)'' di tahun 2005. Menurutnya, kejahatan internasional yang terdaftar dalam [[Statuta Roma]], yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, [[kejahatan perang]] dan kejahatan agresi, patut pula untuk dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran berat HAM.<ref>{{Cite book|last=Crawshaw|first=Ralph|date=9/10/2014|url=http://dx.doi.org/10.1163/ej.9789004164819.i-520.170|title=Essential Texts on Human Rights for the Police|publisher=Martinus Nijhoff Publishers|isbn=978-90-04-16481-9|pages=497–506|url-status=live}}</ref> Sementara itu, menurut Dahniar, Adwani, Mujibus salim dan Mahfud, mereka menafsirkan istilah “''gross violations of human rights and fundamental freedoms''” dengan menggolongkan pelanggaran HAM ke dalam 2 (dua) kategori. Adapun kategori yang dimaksud ini adalah pelanggaran HAM biasa atau “''simple''” dan pelanggaran HAM berat atau “''gross''”. Penggolongan jenis-jenis pelanggaran HAM ini sepenuhnya bergantung pada jenis dan ruang lingkup pelanggaran itu sendiri.<ref>{{Cite journal|last=Dahniar|first=Dahniar|date=2017-05|title=Gross Violation of Human Rights in Aceh: Patterns of Violence through the Indonesian Government’s Policy|url=http://dx.doi.org/10.9790/0837-2205011940|journal=IOSR Journal of Humanities and Social Science|volume=22|issue=05|pages=19–40|doi=10.9790/0837-2205011940|issn=2279-0845}}</ref> Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta ''Internasional Criminal Court'' (''[[International Chamber of Commerce|ICC]]'') dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta [[tradisi]] yang sama secara turun temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan genosida. Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia tetapi apabila dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia, di mana kejahatan genosida tertuju pada kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. Kemudian kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi atau syarat dalam hal tersebut.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Parthiana|first=Wayan|date=1981-08-02|title=PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol11.no4.858|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=11|issue=4|pages=344|doi=10.21143/jhp.vol11.no4.858|issn=2503-1465}}</ref> [[Berkas:Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg|al=Gambar. 1|jmpl|Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg]]
== Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional ==
Genosida merupakan [[Kejahatan]] [[Internasional]] ''(International Crimes)'' di mana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta ''Internasional Criminal Court'' (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).<ref
# ''[[google:definition+of+the+jurisdiction+of+the+court&oq=The+jurisdiction+of+the+Court&aqs=chrome.9.69i57j0i19l3j0i19i22i30l6.14018j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8|The jurisdiction of the Court]] shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.''
# ''The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the of tCharterhe United Nations.''
Sesuai dalam jurisdiksi tersebut genosida masuk dalam Kejahatan Internasional. Kejahatan Internasional yang sesuai dalam jurisdisi ini, di antaranya:
# Kejahatan genosida;
# Kejahatan terhadap kemanusiaan;
# Kejahatan perang;
# Kejahatan agresi.<ref>{{Cite web|last=Prasetyo|first=Mujiono Hafidh|date=Oktober-November 2020|title=Kejahatan Genosida Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional|url=https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/9075/4630|website=https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/9075/4630|access-date=19/07/2021}}</ref>
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan hak asasi manusia.<ref>{{Cite web|last=Riski Wahyudi|first=Anak Agung Ngurah|date=1 februari 2021|title=Komparasi Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang
Terjadi di Rwanda dan Myanmar Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Pidana Internasional|url=https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/31466/17391|website=https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/31466/17391|access-date=19/07/2021}}</ref> Kondisi penegakan HAM dari tahun ke tahun masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, terutama menyangkut kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Tegaknya hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari komitmen dan militansi sejumlah individu dan kelompok yang mendedikasikan hidupnya untuk menyadarkan orang lain akan hak-haknya. Sejauh ini, ketidakberdayaan negara menawarkan jaminan yang efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia telah memberi pelajaran kritis bahwa perjuangan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri.<ref>{{Cite journal|last=Nawawi|first=Asror|date=2018-08-20|title=KOMNAS HAM: SUATU UPAYA PENEGAKAN HAM DI INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.33019/progresif.v11i1.198|journal=PROGRESIF: Jurnal Hukum|volume=11|issue=1|doi=10.33019/progresif.v11i1.198|issn=2655-2094}}</ref> Hak asasi manusia, yakni hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya. Jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia dan HAM harus dipahami dan dimengerti secara universal. Memerangi atau menentang keuniversalan HAM berarti memerangi dan menentang HAM.<ref>{{Cite journal|last=Suryatni|first=Luh|date=2014-06-03|title=PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENJAGA KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.35968/jh.v5i1.101|journal=JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA|volume=5|issue=1|doi=10.35968/jh.v5i1.101|issn=2355-3278}}</ref> Instrument internasional dikenal sebagai Undang-undang HAM (''International Bill of Human Rights'') yang diyakini sebagai standard dan menjadi parameter penegakan hukum HAM di dunia. Hukum HAM internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap HAM di semua negara di seluruh dunia. Sekalipun hukum HAM internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negara yang terkait dengan negara-negara di mana praktisi hukum mempunyai kepentingan khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada HAM. Tentunya, sadar dengan eksistensi instrument internasional HAM, maka keterjaminan dan perlindungan HAM bagi masyarakat internasional menjadi agenda bersama, bukan justru didominasi oleh kepentingan sekelompok negara tertentu. Hal inilah yang belum menjelma kuat dalam kebijakan-kebijakan PBB. Peran strategis PBB dalam menciptakan keseimbangan kepentingan hidup dalam lalu lintas kepentingan masyarakat internasional. Penegakan HAM internasional diperankan oleh lembaga-lembaga internasional dan PBB masih menyisakan masalah implementatif yang signifikan.<ref>{{Cite journal|last=Primawardani|first=Yuliana|date=2017-07-27|title=Perlindungan Hak Masyarakat Adat dalam Melakukan Aktivitas Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Maluku|url=http://dx.doi.org/10.30641/ham.2017.8.1-11|journal=Jurnal HAM|volume=8|issue=1|pages=1|doi=10.30641/ham.2017.8.1-11|issn=2579-8553}}</ref> Dalam kerangka hukum HAM internasional, khususnya pendekatan secara tradisional, negara masih merupakan komponen utama yang terlibat dalam proses ratifikasi dan/ atau adopsi terhadap perjanjian-perjanjian HAM internasional. Oleh karenanya melekat tanggungjawab di dalamnya, bahwa negara adalah subyek yang harus memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara. Dalam konteks ini, ''UN Treaty Bodies'' melalui beragam perjanjian internasional yang mengikat negara-negara pihak, telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yakni: pertama, kewajiban untuk melindungi (''obligation to protect''), kedua, kewajiban untuk memajukan (''obligation to promote''), dan ketiga, kewajiban untuk memenuhi (''obligation to fulfill'').
# Kewajiban untuk melindungi HAM: negara dalam hal ini pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara, di antaranya massa intoleran, milisi dan / atau perusahaan. Contoh: negara melalui aparatur keamanan memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara untuk tidak disiksa, tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, dll.
# Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM: negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Contoh: negara tidak mengeluarkan atau memelihara kebijakan yang diskriminatif, semisal peraturan daerah yang melarang dan mengharamkan agama atau aliran tertentu, dll.
# Kewajiban untuk memenuhi HAM: negara harus melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program, dan membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Contoh: negara memberikan atau menyediakan pemulihan (reparasi) bagi setiap warga negara yang menjadi korban atau keluarga korban dari sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.<ref>{{Cite web|last=sitepu|first=Lopiga|date=2019-06-29|title=KASUS PELANGGARAN HAM di INDONESIA YANG MERAJALELA|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/h5jbf|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-19}}</ref>
Hal yang membedakan genosida dari kejahatan berat lainnya adalah niat untuk memusnahkan (sebagian atau seluruhnya) kelompok ras, agama, nasional atau etnis. Hal yang membedakan kejahatan genosida adalah ''dolus specialis'' atau sebuah niat khusus untuk memusnahkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, sebuah kelompok tertentu. Niat khusus ini yang menaikkan status kejahatan dari sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi kejahatan genosida, tanpa niat ini maka tidak ada genosida.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Sidarto|first=Linawati|date=2015-07-01|title=Dewi Anggreini, Tragedi Mei 1998 dan lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014, 214 pp. ISBN: 978-979-709-809-4. Price: IDR 63,000 (soft cover).|url=http://dx.doi.org/10.17510/wacana.v16i2.389|journal=Wacana|volume=16|issue=2|pages=513|doi=10.17510/wacana.v16i2.389|issn=2407-6899}}</ref>
Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama. Kejahatan kemanusiaan mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci, dilakukan sebagai bagian dari agresi menyeluruh atau sistematis terhadap setiap warga sipil. Aksi-aksi termasuk pembunuhan, pengusiran, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan paksa dan kejahatan apartheid.<ref>{{Cite journal|last=Aziz|first=Sari|date=2017-06-22|title=KEDUDUKAN PRINSIP KOMPLEMENTARITAS MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol34.no3.1439|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=34|issue=3|pages=230|doi=10.21143/jhp.vol34.no3.1439|issn=2503-1465}}</ref>
PBB akhirnya mengeluarkan sebuah perjanjian sebagai usaha untuk mencegah dan menghukum kejahatan ini. Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida, dicetuskan pada tanggal 9 Desember 1948, menyatakan bahwa genosida adalah sebuah kejahatan internasional, yang wajib dicegah dan pelakunya wajib dihukum. Pengadilan bagi pelaku genosida dapat dilakukan di negara di mana genosida itu terjadi, atau dalam sebuah pengadilan internasional. Jadi disinilah pertama kali konsep sebuah pengadilan pidana internasional terbentuk. (Dibutuhkan waktu 50 tahun dan ratusan ribu korban kezaliman dan peperangan, sampai akhirnya sebuah kesepakatan tentang mahkamah pidana terbentuk di Roma pada tahun 1998) konvensi ini juga mengkriminalisasi konspirasi untuk melakukan genosida, langsung dan hasutan ''public'' untuk melakukan genosida, percobaan genosida, dan keterlibatan dalam genosida. Negara-negara penanda tangan dapat meminta wewenang dewan keamanan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan genosida yang terjadi di negara lain. Karena kebanyakan negara telah meratifikasi konvensi ini, dan hukumnya telah diterapkan di pengadilan internasional dan domestik, maka konvensi genosida sudah dianggap menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional.<ref name=":1" />
== Teori Mengenai Kejahatan Genosida ==
Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam
# Teori Hak Asasi Manusia (HAM): Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut [[Satjipto Rahardjo|Satjipto Raharjo]] mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum.<ref>{{Cite journal|last=Sujatmoko|first=Andrey|date=2016-10-20|title=Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional|url=http://dx.doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a6|journal=PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)|volume=3|issue=2|doi=10.22304/pjih.v3n2.a6|issn=2460-1543}}</ref> Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya.
# Teori
== Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional ==
=== Metode
Setiap sengketa internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus diselesaikan secara damai. Penyelesaian sengketa secara damai tersebut berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.<ref>{{Cite journal|last=Gautama|first=Sudargo|date=1978-12-02|title=HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG HIDUP|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol8.no6.808|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=8|issue=6|pages=629|doi=10.21143/jhp.vol8.no6.808|issn=2503-1465}}</ref> Istilah sengketa-sengketa internasional (''international disputes'') mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan hukum internasional yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan [[korporasi]] serta badan-badan bukan negara di lain pihak.<ref>{{Cite journal|last=Johnson|first=D. H. N.|date=1965-10|title=Starke's Studies in International Law. By J. G. Starke. [London: Butterworths. 1965. 174 pp. £1 17s. 6d. net.]|url=http://dx.doi.org/10.1093/iclqaj/14.4.1430|journal=International and Comparative Law Quarterly|volume=14|issue=4|pages=1430–1430|doi=10.1093/iclqaj/14.4.1430|issn=0020-5893}}</ref> Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer). Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktekkan lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri negara-negara di jaman dulu.<ref>{{Cite web|last=Puspita|first=Lona|date=2018-12-05|title=MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DITINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/xdfyt|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-17}}</ref>
=== Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat Myanmar ===
[[Myanmar]] yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah dinamai dengan [[Burma]], terkhusus di kawasan [[Tentara Penyelamat Rohingya Arakan|Arakan]] secara objektif baru terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok yang kuat. Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan dengan Burma menjadi tranding topik di mana perbuatan diskriminasi terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan
Adapun suku terbesar di antaranya [[Burma]], [[Chin]], [[Kachin]], [[Arakan]], [[Shan]], Kayah, [[Mon]], dan Karen di mana para akademisi dan juga pemerintah menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di Burma, sebagai berikut:
Baris 33 ⟶ 54:
# Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.
Dimana
Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak
==== Upaya Penyelesaian Sengketa
Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.<ref>{{Cite journal|last=Kania|first=Dede|date=2014-08-03|title=PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.20961/yustisia.v3i2.11088|journal=Yustisia Jurnal Hukum|volume=3|issue=2|doi=10.20961/yustisia.v3i2.11088|issn=2549-0907}}</ref> Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di
=== Kasus konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat ===
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap suku asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik-konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh orang Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipu daya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Ketidak cocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis.
▲Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.<ref>{{Cite journal|last=Alit Putra|first=Ketut|last2=Rai Yuliartini|first2=Ni Putu|last3=Sudika Mangku|first3=Dewa Gede|date=2020-09-21|title=ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28662|journal=Jurnal Komunitas Yustisia|volume=1|issue=1|pages=66|doi=10.23887/jatayu.v1i1.28662|issn=2722-8312}}</ref>
Ketidak adilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.<ref>{{Cite web|last=Hadiyanto|first=Alwan|date=2018|title=ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL
▲=== Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan Etnis Rohingnya Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional ===
DI KALIMANTAN BARAT|url=https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/79/77|website=https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/79/77|access-date=22/07/2021}}</ref>
▲Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.<ref>{{Cite journal|last=Kania|first=Dede|date=2014-08-03|title=PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.20961/yustisia.v3i2.11088|journal=Yustisia Jurnal Hukum|volume=3|issue=2|doi=10.20961/yustisia.v3i2.11088|issn=2549-0907}}</ref> Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di Negara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan Etnis Muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan Etnis Muslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara [[diplomasi]], apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.<ref>{{Cite web|last=Nugroho|first=Fahry|date=2021-06-07|title=PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/wnhd4|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-13}}</ref>
== Kejahatan Genosida dalam RUU KUHP 2019 ==
Baris 44 ⟶ 79:
== Kejahatan terhadap Kemanusiaan ==
Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (''customary international law'').<ref name=":2">{{Cite journal|last=van Schaack|first=Beth|date=2012-03-23|title=Crimes against Humanity|url=http://dx.doi.org/10.1093/obo/9780199796953-0048|journal=International Law|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-979695-3}}</ref> Kejahatan yang disebutkan terakhir ini mempunyai sejarah yang panjang dalam peradaban umat manusia. Untuk pertama kalinya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (''crimes against humanity'') dikembangkan sejak Deklarasi St. Petersburg (''St. Petersburg Declaration'') 1868.<ref>{{Cite journal|last=Ford|first=Stuart|date=2007|title=Crimes against Humanity at the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia: Is a Connection with Armed Conflict Required?|url=http://dx.doi.org/10.5070/p8242022190|journal=UCLA Pacific Basin Law Journal|volume=24|issue=2|doi=10.5070/p8242022190|issn=2169-7728}}</ref> Pemahaman ini dilandaskan pada kenyataan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ancaman terbesar bagi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia.<ref
= Referensi =
<references />
[[Kategori:Pelanggaran
|