Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah tulisan |
k Nyilvoskt memindahkan halaman Perbudakan Modern ke Perbudakan modern Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(17 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Child labor Bangladesh.jpg|jmpl|Salah satu bentuk perbudakan modern: Pekerja anak di Bangladesh]]
'''Perbudakan Modern''' ([[Bahasa Inggris]]: ''Modern Slavery)'' merupakan suatu praktik eksploitatif yang menimpa seseorang atau sekelompok akibat adanya ancaman baik fisik maupun nonfisik (re: [[kekerasan]]), pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.<ref name=":16">{{Cite web|last=Nations|first=United|title=International Day for the Abolition of Slavery|url=https://www.un.org/en/observances/slavery-abolition-day|website=United Nations|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> Perbudakan Modern memiliki beragam jenis, diantaranya adalah perdagangan manusia, kerja paksa, ''bonded labor,'' eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, pengambilan organ tubuh ilegal.<ref name=":6">{{Cite web|title=The horrors of modern slavery, in numbers|url=https://www.weforum.org/agenda/2016/12/the-horrors-of-modern-slavery-in-numbers/|website=World Economic Forum|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> Laporan dari penelitian bersama yang dilakukan oleh [[International Labour Organization]] (ILO), Walk Free Foundation, [[International Organization for Migration]] (IOM), dan [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (PBB) lainnya seperti [[Office of the United Nations High Commissioner for Refugees|Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights]] (OHCHR) memperkirakan bahwa pada tahun 2016 terdapat 40,3 juta orang yang mengalami perbudakan modern, 24,9 juta diantaranya tergolong dalam kategori ''forced labor'' atau [[kerja paksa]]. Dari 24,9 juta orang yang terjebak dalam kerja paksa tersebut, 16 juta orang diantaranya dieksploitasi di sektor swasta seperti pekerjaan rumah tangga, konstruksi atau pertanian, sedangkan 4,8 juta orang dieksploitasi secara seksual, dan 4 juta orang terjebak dalam kerja paksa yang didukung oleh otoritas negara.<ref name=":12">{{Cite web|title=Forced labour, modern slavery and human trafficking (Forced labour, modern slavery and human trafficking)|url=https://www.ilo.org/global/topics/forced-labour/lang--en/index.htm|website=www.ilo.org|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref>
== Sejarah Perbudakan ==
Perbudakan adalah kondisi di mana terjadi penguasaan atau pengontrolan seseorang oleh orang lain dan biasanya terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan buruh atau kegiatan seksual. Orang yang merupakan korban dari kegiatan ini disebut sebagai budak. Menurut para ahli sejarah, perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat [[Sumeria]] (yang sekarang adalah [[Irak]]) lebih dari lima-ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat [[Tiongkok|Cina,]] [[India]], [[Afrika]], [[Timur Tengah|Timur-Tengah]] dan Amerika. Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktik jahat atau tidak adil. Sebagaimana dikatakan oleh [[Aristoteles]], “Seseorang harus memerintah
[[Berkas:SLAVE TRADE.jpg|jmpl|Ilustrasi Perdagangan Budak]]
Perdagangan budak trans-Atlantik yang terjadi di sepanjang [[Samudra Atlantik|Samudera Atlantik]] dari abad ke-15 sampai ke-19 menjadi momentum kelam peristiwa perbudakan global. Sebagian besar orang yang diperbudak dibawa ke Dunia Baru (merujuk pada benua Amerika), mereka adalah orang-orang Afrika dari bagian tengah dan barat benua tersebut yang dijual oleh orang Afrika lainnya kepada pedagang budak dari [[Eropa Barat]].<ref>"The capture and sale of slaves". [[Liverpool]]: [[International Slavery Museum]].
Perbudakan mulai dipandang sebagai tindak kejahatan antara tahun 1777 dan 1804. Di [[Eropa]], Denmark menarik diri dari perdagangan budak pada 1792 dan Inggris pada 1807. Namun, penyelundupan budak terus berlangsung, Angkatan Laut Inggris menutup perdagangan budak sejak 1815. Akan tetapi, perbudakan masih dianggap hal yang sah di tempat lain. Pemberontakan budak di koloni [[Prancis]], [[Santo Domingo]] pada 1791-1793 mendorong penghapusan perbudakan oleh Prancis, tetapi dilegalkan lagi pada 1803. Pada 1831, pemberontakan budak di Virginia, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Nat Turner (1800-1831) menyebabkan dikeluarkannya peraturan baru yang keras terhadap praktik perbudakan dan menyebabkan meningkatnya dukungan bagi anti-perbudakan di antara penduduk kulit putih. Kemudian gerakan abolisionis perbudakan bermunculan sebagai upaya untuk menghentikan perdagangan budak ''trans-atlantic'' dan pembebaskan budak-budak yang berada di koloni negara-negara Eropa dan di Amerika Serikat.
▲Perdagangan budak trans-Atlantik yang terjadi di sepanjang [[Samudra Atlantik|Samudera Atlantik]] dari abad ke-15 sampai ke-19 menjadi momentum kelam peristiwa perbudakan global. Sebagian besar orang yang diperbudak dibawa ke Dunia Baru (merujuk pada benua Amerika), mereka adalah orang-orang Afrika dari bagian tengah dan barat benua tersebut yang dijual oleh orang Afrika lainnya kepada pedagang budak dari [[Eropa Barat]].<ref>"The capture and sale of slaves". [[Liverpool]]: [[International Slavery Museum]]. </ref>Perdagangan budak menjadi peristiwa krusial bagi negara-negara Eropa Barat pada akhir abad ke-17 dan ke-18, kala itu bangsa Eropa saling bersaing memperebutkan wilayah-wilayah jajahan.<ref name=":9">Mannix, Daniel (1962). ''Black Cargoes''. The Viking Press. hlm. Introduction–1–5</ref> Bangsa [[Portugal|Portugis]] merupakan bangsa pertama yang melakukan perdagangan budak di Dunia Baru pada abad ke-16.<ref>Deborah Gray White, Mia Bay, and Waldo E. Martin, Jr., ''Freedom on My Mind: A History of African Americans'' (New York: Bedford/St. Martin’s, 2013), 11</ref>Pada 1526, bangsa Portugis menyelesaikan perjalanan budak trans-atlantik pertama dari Afrika ke benua Amerika, dan negara-negara lainnya.<ref name=":9" />Budak-budak tersebut dijual untuk dipekerjakan di perkebunan kopi, tembakau, kokoa, gula dan kapas, pertambangan emas dan perak, ladang padi, industri pembangunan, penebangan kayu untuk perkapalan, dan sebagai pekerja domestik (asisten rumah tangga).<ref>Weber, Greta (5 Juni 2015). "Shipwreck Shines Light on Historic Shift in Slave Trade". National Geographic Society</ref>
Langkah untuk mengatasi perbudakan dan eksploitasi manusia di tingkat internasional pertama kali diumumkan oleh sebuah deklarasi di Kongres Wina pada 1815. Kemudian [[Liga Bangsa-Bangsa]] (LBB) pada tahun 1922 mengeluarkan resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum yang dimaksudkan untuk menghilangkan perbudakan di Ethiopia.<ref>S. Miers, ''Slavery in the Twentieth Century: e Evolution of a Global Problem'', Walnut Creek, AltaMira Press, 2003, p. 73. See also J. Allain, “Slavery and the League of Nations: Ethiopia as a Civilised Nation”, ''Journal of the History of International Law'', vol. 8, 2006, p. 213-244.
▲Perbudakan mulai dipandang sebagai tindak kejahatan antara tahun 1777 dan 1804. Di [[Eropa]], Denmark menarik diri dari perdagangan budak pada 1792 dan Inggris pada 1807. Namun, penyelundupan budak terus berlangsung, Angkatan Laut Inggris menutup perdagangan budak sejak 1815. Akan tetapi, perbudakan masih dianggap hal yang sah di tempat lain. Pemberontakan budak di koloni [[Prancis]], [[Santo Domingo]] pada 1791-1793 mendorong penghapusan perbudakan oleh Prancis, tetapi dilegalkan lagi pada 1803. Pada 1831, pemberontakan budak di Virginia, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Nat Turner (1800-1831) menyebabkan dikeluarkannya peraturan baru yang keras terhadap praktik perbudakan dan menyebabkan meningkatnya dukungan bagi anti-perbudakan di antara penduduk kulit putih. Kemudian gerakan abolisionis perbudakan bermunculan sebagai upaya untuk menghentikan perdagangan budak ''trans-atlantic'' dan pembebaskan budak-budak yang berada di koloni negara-negara Eropa dan di Amerika Serikat. Pada tahun 1904 di Paris terbentuklah kesepakatan yang menentang adanya perdagangan budak yang ditujukkan untuk tindakan asusila, tertuang dalam ''International Agreement on the Supression of White Slave Traffic''.<ref>Disampaikan dalam Konferensi PBB tahun 1995 mengenai ''the crime prevention and the treatment of offers'' yang diselenggarakan di Cairo, Mesir</ref>
Konvensi Perbudakan 1926 merupakan sebuah perjanjian internasional yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menekan perbudakan dan perdagangan budak. Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa negara-negara yang menandatangani setuju untuk mencegah dan mengapuskan segala bentuk perbudakan seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ''“The parties agreed to prevent and suppress the slave trade and to progressively bring about the complete elimination of slavery in all its forms.”''<ref name=":10">League of Nations Treaty Series, vol. 60, pp. 254–270. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/LON/Volume%2060/v60.pdf</nowiki></ref> Serta sepakat untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang terlibat dalam rantai kejahatan perbudakan yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi tersebut ''“The parties undertook to promulgate severe penalties for slave trading, slaveholding, and enslavement.”''<ref name=":10" /> Dengan berjalannya waktu pada tahun 1926 terdapat 30 anggota Liga Bangsa Bangsa meratifikasi konvensi pelarangan perbudakan
▲Langkah untuk mengatasi perbudakan dan eksploitasi manusia di tingkat internasional pertama kali diumumkan oleh sebuah deklarasi di Kongres Wina pada 1815. Kemudian [[Liga Bangsa-Bangsa]] (LBB) pada tahun 1922 mengeluarkan resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum yang dimaksudkan untuk menghilangkan perbudakan di Ethiopia.<ref>S. Miers, ''Slavery in the Twentieth Century: e Evolution of a Global Problem'', Walnut Creek, AltaMira Press, 2003, p. 73. See also J. Allain, “Slavery and the League of Nations: Ethiopia as a Civilised Nation”, ''Journal of the History of International Law'', vol. 8, 2006, p. 213-244. </ref> Kemudian pada tahun 1924, Dewan Liga Bangsa-Bangsa mendirikan Komisi Perbudakan Sementara, yang terdiri dari para ahli yang bertugas untuk merumuskan Konvensi Perbudakan. Konvensi Perbudakan ini kemudian pertama kali ditandatangani pada 25 September 1926 yang kemudian dikenal dengan ''1926 Slavery Convention or the Convention'' atau ''Suppress the Slave Trade and Slavery''.
Setelah dibubarkannya LBB, Konvensi ini kemudian diamandemen oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Protokol Tambahan yang dikenal dengan ''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'' pada tahu 1956.<ref name=":11" /> Selain itu, pada tahun 1948 ''The United Nations General Assembly'' atau Sidang Umum PBB mengadopsi “''Universal Declaration of Human Right''” (UDHR) yang secara eksplisit mengutuk perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] ini menjadi instrumen HAM internasional yang penting dan telah disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia.▼
▲Konvensi Perbudakan 1926 merupakan sebuah perjanjian internasional yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menekan perbudakan dan perdagangan budak. Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa negara-negara yang menandatangani setuju untuk mencegah dan mengapuskan segala bentuk perbudakan seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ''“The parties agreed to prevent and suppress the slave trade and to progressively bring about the complete elimination of slavery in all its forms.”''<ref name=":10">League of Nations Treaty Series, vol. 60, pp. 254–270. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/LON/Volume%2060/v60.pdf</nowiki></ref>Serta sepakat untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang terlibat dalam rantai kejahatan perbudakan yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi tersebut ''“The parties undertook to promulgate severe penalties for slave trading, slaveholding, and enslavement.”''<ref name=":10" />Dengan berjalannya waktu pada tahun 1926 terdapat 30 anggota Liga Bangsa Bangsa meratifikasi konvensi pelarangan perbudakan dan perdagangan budak antara lain Afghanistan yang berkomitemen untuk menghapuskan perbudakan pada tahun 1923, Nepal pada tahun 1925, Transjordan dan Persia (Irak & Iran) pada tahun 1929, Bahrain pada tahun 1937 dan Ethiopia pada tahun 1942.<ref name=":11">United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref>
▲Setelah dibubarkannya LBB, Konvensi ini kemudian diamandemen oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Protokol Tambahan yang dikenal dengan ''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'' pada tahu 1956.<ref name=":11" />Selain itu, pada tahun 1948 ''The United Nations General Assembly'' atau Sidang Umum PBB mengadopsi “''Universal Declaration of Human Right''” (UDHR) yang secara eksplisit mengutuk perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] ini menjadi instrumen HAM internasional yang penting dan telah disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia.
== Definisi Perbudakan ==
Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “''the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,''<ref>United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref> definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'')
Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “''there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”''<ref name=":3" /> Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional''.'' Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah ''slavery, enslavement, serfdom, servitude''
Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, ''The Appeal Chamber'' (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik ''chattel slavery'' di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.<ref name=":5">Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118</ref> ----
== Definisi Perbudakan Modern ==
Manifestasi perbudakan telah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Lahirnya istilah baru berupa perbudakan modern mencerminkan adanya transformasi bentuk atas perbudakan tradisional.<ref
Dalam konteks modern, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi perbudakan yang dialami oleh individu, diantarannya: (i) tingkat pembatasan hak inheren individu atas kebebasan bergerak ([[Bahasa Inggris]]: ''[[:en:
of slavery|url=https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2018/603470/EXPO_STU(2018)603470_EN.pdf|access-date=28 Juli 2021}}</ref>
Pada tahun 2015, pemerintah Inggris mengeluarkan ''[[:en:
== Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern ==
Perbudakan dapat terjadi dalam berbagai bentuk eksploitasi seperti prostitusi secara paksa, kerja paksa, pengemis paksa, kriminalitas paksa, pembantu rumah tangga, pernikahan paksa, dan pengambilan organ tubuh secara paksa.<ref name=":6" /> Konvensi Tambahan Perbudakan ''(The Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery of 1956)'' mewajibkan setiap negara yang meratifikasi untuk menghapuskan segala praktik perdukunan dan adat kebiasaan yang mirip dengan kondisi “''servile status”'' seperti:
==== Perbudakan Utang atau ''Debt Bondage'' ====▼
Salah satu bentuk paksaan yang digunakan dalam praktik perbudakan modern adalah dengan menggunakan ''[[modus operandi]]'' [[perbudakan utang]].<ref name=":2">{{Cite web|title=What is Modern Slavery?|url=https://www.state.gov/what-is-modern-slavery/|website=United States Department of State|language=en-US|access-date=2021-07-29}}</ref> Berdasarkan Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik-Praktik Serupa Perbudakan (Bahasa Inggris: ''Supplementary Convention to the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery),'' [[perbudakan utang]] didefinisikan sebagai:<blockquote>"Status atau kondisi yang timbul dari jaminan oleh debitur atas jasa-jasa pribadinya atau dari orang-orang yang berada di bawah kendalinya sebagai jaminan utang, jika nilai jasa-jasa itu menurut penilaian yang wajar tidak diterapkan terhadap likuidasi utang atau panjang dan sifat layanan tersebut masing-masing tidak dibatasi dan ditentukan"</blockquote>Di Asia Selatan diperkirakan ada jutaan korban perdagangan manusia yang bekerja untuk melunasi hutang nenek moyang mereka. Yang lain menjadi korban pedagang atau perekrut yang secara tidak sah mengeksploitasi hutang awal yang diasumsikan, disadari atau tidak, sebagai jangka waktu kerja. Para pedagang, agen tenaga kerja, perekrut, dan majikan baik di negara asal maupun negara tujuan dapat berkontribusi pada jeratan hutang dengan membebankan biaya perekrutan pekerja dan tingkat bunga yang terlalu tinggi, sehingga sulit bagi korban praktik perbudakan utang untuk melunasinya. Keadaan seperti itu dapat terjadi dalam konteks pekerjaan temporer atau sementara di mana status hukum pekerja di negara tujuan terikat dengan pemberi kerja sehingga pekerja yang merupakan korban praktik perbudakan utang takut mencari ganti rugi.<ref name=":2" />
Merupakan kondisi yang dialami petani atau lebih tepatnya buruh
Kerja paksa dapat diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang tanpa adanya kehendak pribadi dan dilakukan di bawah ancaman seperti kekerasan, intimidasi, dan bentuk ancaman-ancaman lainnya.atau dengan cara yang lebih halus seperti utang yang dimanipulasi, penyimpanan surat-surat identitas atau ancaman pengaduan kepada otoritas imigrasi.<ref name=":12" />
Kerja paksa atau ''forced labor'' merupakan perbuatan yang dikutuk oleh komunitas internasional, yang mana praktik jenis ini merupakan bentuk baru dari perbudakan. Definisi dari perbudakan terdapat dalam Konvensi tentang Kerja Paksa 1930 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi ''“all work or service which is exacted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily”.''<ref>ILO Forced Labour Convention, 1930 , ''United Nations Treaty Series,'' vol. 39, p. 55.
ILO melalui ''ILO’s Special Action Programme to Combat Forced Labour'' (SAP-FL) telah mengeluarkan 11 indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis praktik kerja paksa atau ''forced labor.'' Indikator tersebut meliputi: (1) memanfaatkan kerentanan atau vulnerabilitas korban; (2) penipuan; (3) pembatasan pergerakan; (4) isolasi; (5) kekerasan fisik dan seksual; (6) intimidasi dan ancaman; (7) perampasan dokumen identitas; (8) pemotongan upah; (9) jeratan hutang; (10) kondisi kerja dan hidup yang tidak layak; dan (11) jam lembur yang berlebihan. Adanya satu indikator tunggal dapat menyiratkan bahwa seorang individu berada dalam situasi kerja paksa, namun dalam banyak kasus yang terjadi adalah kombinasi dari beberapa indikator secara bersamaan.<ref>{{Cite web|last=ILO|title=ILO Indicator of Forced Labor|url=https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---declaration/documents/publication/wcms_203832.pdf}}</ref>
PBB mengilustrasikan secara global terdapat 1 dari 10 anak yang bekerja.<ref name=":16" /> Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (Bahasa Inggris: ''ILO Convention Number 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour)'' mendefinisikan anak sebagai "semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.<ref name=":15">{{Cite web|title=Pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)|url=https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44932}}</ref> Mayoritas pekerja anak yang terjadi saat ini adalah untuk dieksploitasi secara ekonomi. Kondisi tersebut bertentangan dengan [[Konvensi Hak-Hak Anak]] (Bahasa Inggris: ''Convention on the Rights of the Child)'', yang mengakui “hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan pekerjaan apa pun yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan anak, atau berbahaya bagi kesehatan anak atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial.”<ref name=":16" />
Dalam Konvensi Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, disebutkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak meliputi:<blockquote>"(a) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
(b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
(c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
(d) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak."<ref name=":15" /></blockquote>
▲“.... perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan kewenangan dari seseorang untuk mendapatkan kuasa penuh atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. <ref name=":13">{{Cite journal|last=Syamsuddin|first=Syamsuddin|date=2020-04-24|title=BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA DAN MASALAH PSIKOSOSIAL KORBAN|url=https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/1928|journal=Sosio Informa|language=id|volume=6|issue=1|doi=10.33007/inf.v6i1.1928|issn=2502-7913}}</ref></blockquote>Dalam klausa huruf (c) dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' disebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi yang melibatkan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia, sekalipun tidak digunakan cara-cara seperti kekerasan, penipuan, kebohongan, dan lain-lain.<ref name=":13" /> Terjemahan dari Klausa huruf (c) yang dimaksud adalah sebagai berikut:<blockquote>“Perekrutan, penghantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai ‘perdagangan orang’ bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang ditetapkan dalam klausa (a) pasal ini; ‘anak-anak’ artinya mereka yang berusia dibawah delapan belas tahun”.<ref name=":13" /></blockquote>Berdasarkan tujuan pengirimannya, perdagangan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri (Bahasa Inggris: ''internal-trafficking'') dan perdagangan manusia antarnegara/lintas batas (Bahasa Inggris: ''international trafficking''). Perdagangan internal biasanya berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar namun masih berada dalams satu wilayah negara yang sama. Sedangkan perdagangan antarnegara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara yang lain. Perdagangan manusia antarnegara pada umumnya berkaitan dengan masalah keimigrasian. Orang masuk dari dan ke satu negera biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi perdagangan manusia antarnegara melalui jalur tidak resmi.<ref name=":13" />
Pada tahun 2018, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menegaskan bahwa sekitar 40 juta orang menjadi korban Perdagangan Manusia. Sekitar 90 persen dari semua kasus yang terdeteksi adalah untuk eksploitasi seksual atau tujuan kerja paksa. Sisa 10 persen kasus sering disatukan dalam kategori “bentuk lain”—termasuk perdagangan organ ilegal.<ref name=":20">{{Cite journal|last=Gonzalez|first=Juan|last2=Garijo|first2=Ignacio|last3=Sanchez|first3=Alfonso|date=2020-5|title=Organ Trafficking and Migration: A Bibliometric Analysis of an Untold Story|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7246946/|journal=International Journal of Environmental Research and Public Health|volume=17|issue=9|doi=10.3390/ijerph17093204|issn=1661-7827|pmc=7246946|pmid=32380680}}</ref> Karenanya, berdasarkan bentuk eksploitasi secara ekonomi, [[Interpol]] membagi perdagangan manusia menjadi kategori berikut:
Perdagangan Manusia untuk Kerja Paksa dapat terdjadi di sektor domestik dan sektor publik.<ref name=":13" /> Kerja paksa di sektor domestik juga dikenal dengan istilah ''involuntary domestic servitude,'' istilah domestik disematkan karena lokus kejahatan terjadi di dalam rumah. ILO dalam laporannya menggambarkan keadaan eskploitatif yang dialami oleh ''domestic labor,'' bahwa 75 persen ''domestic labor'' yang bekerja di lima Negara (Bangladesh, Indonesia, Nepal, Sri Langka) bekerja lebih dari 8 jam sehari. Selain itu, dokumen legal mereka ditahan oleh majikan atau penyalur tenaga kerja, mereka juga mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, pemerkosaan, kekurangan makanan, pemotongan gaji, dan kondisi atau lingkungan kerja yang tidak layak.<ref name=":13" />
Di sektor publik, korban dapat terlibat dalam pekerjaan pertanian, pertambangan, perikanan atau konstruksi.<ref name=":18">{{Cite web|title=Types of human trafficking|url=https://www.interpol.int/en/Crimes/Human-trafficking/Types-of-human-trafficking|website=www.interpol.int|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Contoh dari perdagangan manusia untuk kerja paksa di sektor publik adalah ekploitasi yang dialami oleh pekerja migran dalam pembangunan fasilitas olahraga dan infrastruktur lainnya di Qatar untuk mempersiapkan [[Piala Dunia FIFA 2002|Piala Dunia 2022.]]<ref name=":17">{{Cite web|date=2013-09-25|title=Revealed: Qatar's World Cup 'slaves'|url=http://www.theguardian.com/world/2013/sep/25/revealed-qatars-world-cup-slaves|website=the Guardian|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Pada tahun 2013, Kedutaan Besar Nepal di Qatar mencatat setidaknya terdapat 44 pekerja yang meninggal dalam kurun waktu 4 Juni-8 Agustus. Investigasi yang dilakukan juga menunjukkan adanya bukti kerja paksa dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022 di Qatar dengan bukti adanya penahanan dokumen dan keengganan penyalur tenaga kerja untuk mengurus dokumen keimigrasian agar status korban menjadi pekerja illegal, penahanan/ pemotongan/ keterlambatan pembayaran gaji, dan pembatasan terhadap akses terhadap air minum dan makanan yang layak.<ref name=":17" />
Berdasarkan dokumen ''Global Report on Trafficking in Persons'' yang dipublikasikan oleh UNODC, bentuk perdagangan manusia yang paling umum (79%) adalah eksploitasi seksual. Korban eksploitasi seksual sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan.<ref>{{Cite web|title=Global Report on Trafficking in Persons|url=https://www.unodc.org/unodc/en/human-trafficking/global-report-on-trafficking-in-persons.html|website=United Nations : Office on Drugs and Crime|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Di Amerika Serikat, melalui ''Trafficking Victims Protection Act'' Tahun 2000 yang kemudian diamandemen dengan ''Justice for Victims of Trafficking Act'' Tahun 2015, mendefinisikan perdagangan seks sebagai:<blockquote>''"
dalam Perdagangan Seks
di Thailand, China dan Vietnam|url=http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jgs9b345b5c312full.pdf|journal=Global & Strategis Universitas Airlangga}}</ref>
Bentuk perdagangan menusia jenis ini memungkinkan jaringan kriminal untuk meraup keuntungan dari berbagai kegiatan terlarang dengan memanfaatkan kerentanan korban untuk meminimalisir risiko penegakan hukum. Korban dipaksa untuk melakukan berbagai kegiatan ilegal, yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Kegiatan ilegal yang dimaksud mencakup pencurian, produksi dan distribusi narkoba, penjualan barang palsu, atau pengemis paksa. Para korban seringkali memiliki kuota atau target minimum yang harus dipenuhi dan dapat menghadapi hukuman berat jika mereka tidak bekerja dengan baik.<ref name=":18" /> Contoh dari perdagangan manusia jenis ini adalah kasus perdagangan manusia, yang menimpa terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso, penduduk [[Filipina]].<ref name=":19">{{Cite web|last=Tempo|title=Filipina Temukan Bukti Mary Jane Korban Perdagangan Manusia|url=https://nasional.tempo.co/read/683745/filipina-temukan-bukti-mary-jane-korban-perdagangan-manusia/full&view=ok}}{{Pranala mati|date=Desember 2022 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> Sebagai informasi, Mary Jane Fiesta Veloso, ditangkap atas tuduhan membawa heroin seberat 2,6 kilogram di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 silam menggunakan penerbangan pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta. Pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, memberikan vonis mati kepada Mary Jane. Putusan tersebut kemudian diperkuat hingga kasasi, bahkan grasinya pun ditolak Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2014.<ref name=":19" />
Perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ bukanlah fenomena baru. Dengan kekurangan organ yang bersumber secara legal di seluruh dunia, diperkirakan perdagangan ilegal organ manusia menghasilkan sekitar 1,5 miliar dolar setiap tahun dari sekitar 12.000 transplantasi ilegal. Perdagangan jenis ini memiliki konsekuensi serius bagi keamanan manusia, terutama bagi populasi yang paling rentan dengan latar belakang kesulitan ekonomi, seperti pengangguran, tunawisma, dan migran. Misalnya, pada tahun 2017, semakin banyak kasus perdagangan organ yang terungkap di Lebanon selaran dengan meningkatnaya jumlah pengungsi Suriah.<ref name=":20" /> Pengambilan organ memiliki konsekuensi yang parah bagi kesehatan para korban, secara fisik, mental dan psikologis (misalnya: rasa malu dan membenci diri sendiri).<ref>{{Cite web|title=Trafficking for the purposes of organ removal|url=https://www.gov.il/en/departments/guides/organ_trafficking|website=GOV.IL|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref>
Dalam kasus perdagangan orang untuk pengambilan organ, korban direkrut melalui penipuan, tidak diberitahu sepenuhnya tentang sifat prosedur, pemulihan dan dampak dari pengambilan organ pada kesehatannya. Persetujuan mereka juga dapat diperoleh melalui paksaan atau penyalahgunaan posisi rentan.<ref>{{Cite web|last=UNODC|title=Trafficking in Persons
Baris 85:
Berdasarkan penelitian menggunakan analisis bibliometrik yang diterbitkan oleh ''International Journal of Environmental Research and Public Health'' pada tahun 2020 menggambarkan organ yang paling umum dibahas dalam literatur perdagangan organ yaitu 85% dari publikasi mengacu pada ginjal, 16% menyebutkan hati, dan sekitar 6% mengacu pada jantung. Peringkat ini konsisten dengan estimasi pengangkatan organ, yaitu ginjal (67%), hati (22%) dan jantung (6%).<ref name=":20" />
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.<ref name=":0" /> Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.<ref name=":0" />
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk ''camp'' pemerkosaan, ''comfort station'' (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa [[Perang Dunia II
Praktik atau adat lainnya yang mana seorang anak di bawah umur 18 tahun, diserahkan oleh orang tuanya atau walinya kepada orang lain untuk dieksploitasi secara seksual atau diperkerjakan secara paksa.<ref name=":8" /> Praktik Perbudakan jenis ini dapat terjadi melalui skenario berikut:
# Serorang perempuan, yang tanpa memiliki hak untuk menolak, dinikahkan secara paksa dengan imbalan berupa uang atau barang yang diberikan kepada orang tuanya, walinya, keluarganya atau orang dan kelompok lainnya.<ref name=":7" />
Baris 100:
== Regulasi Internasional mengenai Perbudakan dan Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern ==
Perbudakan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Perbudakan memiliki status ''jus cogens'' sehingga dilarang dalam hukum kebiasaan internasional dan regulasi internasional (dalam bentuk perjanjian internasional dan instrumen HAM internasional). ''Jus cogens'' berarti prinsip dasar [[hukum internasional]] yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.<ref name=":24">M. Cherif Bassiouni (1996) ''"International Crimes: ‘Jus Cogens’ and ‘Obligatio Erga Omnes'''." Law and Contemporary Problems. Vol. 59, No. 4, hal. 68.</ref> Selain itu, Mahkamah Internasional (ICJ) menganggap larangan perbudakan sebagai kewajiban ''erga omnes.'' Kewajiban ''erga omnes'' berarti kewajiban setiap negara untuk mencegah, mengkriminalisasi dan menghukum pelaku perbudakan.<ref name=":24" />
[[Berkas:The Anti-Slavery Society Convention, 1840 by Benjamin Robert Haydon.jpg|jmpl|Foto oleh Benjamin R. Haydon yang menggambarkan ''The Anti-Slavery Convention Society'']]
Perjanjian universal pertama yang melarang perbudakan dan perdagangan budak adalah Konvensi Perbudakan tahun 1926 ''(''Bahasa Inggris: ''The Slavery Convention 1926)''. Konvensi ini diadopsi oleh [[Liga Bangsa-Bangsa]] (LBB) pada 1926 dan berlaku setahun setelahnya. Dalam pembukaan konvensi tersebut, dengan jelas tertulis negara-negara wajib untuk ''“to prevent and suppress the slave trade, and to prevent forced labour from developing into conditions analogous to slavery”.''<ref name=":11" /> Konvensi ini kemudian diperbaharui pada tahun 1956 dengan dirumuskannya Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik yang mirip dengan Perbudakan (''the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery)''.<ref name=":0" />
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu ''Universal Declaration of Human Rights'' Tahun 1948 (UDHR)'', International Covenant on Civil and Political Rights'' Tahun 1966 (ICCPR)'','' dan ''International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights T''ahun 1966 (ICESCR). Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi ''“No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”''. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “''No one shall be required to perform forced or compulsory labour”.'' Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil.<ref name=":25">Justice, S., Esegbona, S., Arif, Z., & Scullion, J. (2011). Modern slavery. ''Open Learn,'' 22(4), 28–29.</ref> ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak ''non- derogable,'' yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Civil and Political Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref> Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi ''“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”''.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cescr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref>
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: ''United Nations Convention against Transnational Organized Crime).'' Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,<blockquote>“'Perdagangan orang'
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: ''International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environment;'' dan ''Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families).''<ref>University of Minnesota Human Rights Library. (tanpa tahun). ''Ratification of International Human Rights Treaties - Thailand,'' dari <nowiki>http://hrlibrary.umn.edu/research/ratification-</nowiki> thailand.html</ref> Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan ''Forced Labour Convention, 1930 (No. 29).'' Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses ''remedy'' atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik.<ref name=":25" />
Baris 115:
!Jumlah Negara Signatories
!Jumlah Negara Parties
|-
|International Covenant on Civil and Political Rights
|16 Desember 1966
|23 Maret 1976
|74<ref name=":30">{{Cite web|title=United Nations Treaty Collection|url=https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-4&chapter=4&clang=_en|website=treaties.un.org|language=EN|access-date=2021-07-31}}</ref>
|173<ref name=":30" />
|-
|International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
|16 Desember 1966
|3 Januari 1976
|71<ref name=":31">{{Cite web|title=United Nations Treaty Collection|url=https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-3&chapter=4|website=treaties.un.org|language=EN|access-date=2021-07-31}}</ref>
|170<ref name=":31" />
|-
|Slavery Convention
Baris 144 ⟶ 138:
|1 Mei 1932
|
|179<ref name=":32">{{Cite web|title=Ratifications of ILO conventions: Ratifications by Convention|url=https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:11300:0::NO::P11300_INSTRUMENT_ID:312174|website=www.ilo.org|access-date=2021-07-31}}</ref>
|-
|Protocol amending Forced Labor Convention
Baris 150 ⟶ 144:
|9 November 2016
|
|54<ref name=":32" />
|-
|Abolition of Forced Labor Convention
Baris 156 ⟶ 150:
|17 Januari 1959
|
|176<ref name=":32" />
|-
|Equal Remuneration Convention
Baris 162 ⟶ 156:
|23 Mei 1953
|
|173<ref name=":32" />
|-
|Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families
Baris 196 ⟶ 190:
== Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand ==
Praktik perbudakan modern di industri perikanan Thailand menarik perhatian komunitas internasional. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan media internasional seperti The Guardian pada tahun 2014 dan Associated Press pada tahun 2015 yang membahas keterkaitan praktik perbudakan di Thailand dengan rantai pasokan produk olahan ''seafood'' di pasar Amerika Serikat dan Eropa.<ref>Hodal, Kate, Kelly, Chris, & Lawrence, Felicity. (June 10, 2014) ''Revealed: Asian Slave Labour Producing Prawns for Supermarkets in US, UK''. The Guardian, diakses
Survei penelitian ang diterbitkan oleh Jurnal ''Marine Policy'' dengan judul ''Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand'' pada tahun 2018 menunjukkan prakitk kerja paksa berdasarkan indikator yang dikeluarkan oleh ILO SAP-FL yang disajikan dalam tabel di bawah ini.<ref name=":22">Stringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fi shers in Thailand. ''Marine Policy'', 68(June 2016), 1–7. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015</nowiki></ref>
{| class="wikitable"
|+Tabel Praktik Kerja Paksa di Industri Perikanan Thailand
Baris 244 ⟶ 238:
== Kasus Perbudakan Dalam Peradilan Pidana Internasional: Perbudakan Seksual dalam International Military Tribunal for the Far East (IMTFE/ Tokyo Trial) ==
Perbudakan seringkali diasosiasikan dengan perampasan hak-hak fundamental yang melekat pada diri setiap manusia. Perbudakan secara seksual memliki elemen ''right of ownership'' berupa kontrol atau penguasaan terhadap korban''. Right of ownership'' merupakan ''sine qua non'' (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.<ref name=":14">Carmen M. Argibay, (2003). ''Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II'', 21 Berkeley J. Int'l Law. 375; Allain, J (tanpa tahun).
Secara singkat, sejarah dari adanya perbudakan seksual yang dilakukan oleh Jepang terjadi ketika Jepang melancarkan serangan agresi ke beberapa wilayah di Asia seperti Cina, Tiwan dan Korea. Pada tahun 1937, militer Jepang melakukan invasi ke Nanking, Cina. Dalam peristiwa penyerangan itu, tentara Jepang melakukan pemerkosaan secara masal kepada penduduk sipil Nanking. Kejadian tersebut kemudian dikenal dengan ''“The Rape of Nanking”.''<ref name=":14" />
Tokyo Tribunal 2000 telah membahas mengenai kasus ''comfort women. Indicia'' (indikator) yang digunakan adalah; 1) adanya unsur pemaksaan terhadap para korbannya, 2) memperlakukan para korban selakyaknya barang yang dapat dibuang setelah dipakai ''(disposable),'' 3) adanya pembatasan hak-hak fundamental dan kebebasan, 4) ketiadaan persetujuan, 5) kerja paksa, dan 6) perlakuan diskriminatif. Satu atau lebih indikator tersebut bisa saja tidak terdapat dalam beberapa kasus tertentu, namun apabila indikator yang lain ditemukan maka telah cukup untuk mengindikasikan adanya status atau kondisi perbudakan, secara spesifik perbudakan seksual. Dalam proses penyelidikan lebih lanjut Tokyo Tribunal 2000 menemukan bahwa semua indikator tersebut terdapat dalam kasus ''comfort woment.''
== Referensi ==
{{Uncategorized|date=Februari 2023}}
|