Penghapusan hukuman mati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Perbaikan dan penambahan ringkasan.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(31 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[File:Capital punishment in the world.svg|jmpl|'''Perkembangan penghapusan hukuman mati pada negara-negara di dunia:'''<br>{{color box|Red}} = Memberlakukan [[hukuman mati]] untuk jenis kejahatan tertentu.<br>{{color box|Goldenrod}} = Memberlakukan hukuman mati, tetapi belum mengadakan eksekusi dalam [[dasawarsa]] terakhir. Diyakini memberlakukan [[moratorium]] hukuman mati secara de facto atau de jure.<br>{{color box|GreenYellow}} = Menghapuskan hukuman mati kecuali untuk kejahatan luar biasa (seperti [[kejahatan perang]])<br>{{color box|CadetBlue}} = Menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan]]
 
'''Penghapusan hukuman mati''' dilandasi oleh adanya [[pandangan dunia]] bahwa [[hukuman mati]] merupakan bentuk [[penghinaan]]hukuman yang bersifat kejam dan, tidak manusiawi, terhadapdan melanggar [[martabat]] [[manusia]].{{Sfn|Ahmad|2021|p=62}} HukumanPenghapusan hukuman mati jugatersebut dianggaptidak sebagaidiberlakukan bentuk pelanggaran atasterhadap [[hak asasi manusiaKorupsi]]., [[Pengadilan|Sistem peradilanTerorisme]] dan tindak pidana [[pidanaNarkoba]], dikarena faktanya narkoba mempengaruhi berbagai [[negara]]aspek kehidupan, di [[dunia]]Indonesia mulaidarurat menghapuskannarkoba hukumandilihat pula dari kuantitas dan kualitas tindak kriminal hingga kerugian yang timbul, di Indonesia narkoba telah merugikan negara hingga lebih dari 50 triliun pada tahun 2010 hingga 2011 dari 26.000 kasus menjadi 29.000 kasus<ref>https://promkes.kemkes.go.id/bahaya-narkoba-dan-pencegahannya</ref>. Hukuman mati dalamjuga dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas [[konstitusihak asasi manusia]] negara.{{Sfn|Ahmad|2017|p=175}} Penghapusan hukumanHukuman mati telah diterapkandihapuskan oleh sedikitnya ¾ dari jumlah keseluruhan [[negara]] yang ada di [[dunia]]. Proses penghapusan [[hukuman mati]] padadi negara-negara tersebut berlangsung secara bertahap dan perlahan-lahan. Negara-negara tersebut telah menerima penghapusanmenghapuskan hukuman mati baik secara [[hukum]] atau dalam praktiknya secara nyata.{{Sfn|Berrih|2019|p=9}} Beberapa [[instrumen hak asasi manusia internasional]] juga mendukung penghapusan hukuman mati untuk [[kejahatan yang paling serius]]. Instrumen ini utamanya ialah [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia]] (1948), [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] (1966), dan [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya]] (1966).<ref>{{Cite book|last=Budiman, A.A., dan Rahmawati M.|date=2020|url=https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/11/ICJR_Fenomena-Deret-Tunggu-Terpidana-Mati-di-Indonesia.pdf|title=Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di Indonesia|location=Jakarta Selatan|publisher=Institute for Criminal Justice Reform|isbn=978-623-7198-03-1|pages=11|url-status=live}}</ref>
 
Sejak tahun 1971, penghapusan hukuman mati secara [[universal]] juga dijadikan sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai oleh [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa]].{{Sfn|Hoyle|2021|p=7}} [[Dokumen]]-dokumen [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] juga merekomendasikan tahap-tahap penghapusan hukuman mati selama pengadilan berlangsung. Rekomendasi ini berupa pemberian [[grasi]], [[amnesti]] dan keringanan hukuman lainnya bagi [[narapidana]].{{Sfn|Abidin, Z., dkk.|2019|p=19}} Beberapa [[gerakan sosial]] berusaha mempercepat penetapan penghapusan hukuman mati untuk semua jenis tindak [[pidana]]. Dukungan atas penghapusan hukuman mati secara jelas dilakukan melalui [[Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]]. Dalam [[protokol]] ini, tiap negara pesertanya diwajibkan untuk menghentikan hukuman mati dan mengambil semua [[prosedur]] yang layak untuk menghapuskannya. [[Dewan Eropa]] dan [[Organisasi Negara-Negara Amerika]] turut mendukung penghapusan atau pemberhentian hukuman mati melalui persetujuan terhadap [[protokol]]-protokol yang serupa.{{Sfn|Smith, R.K.M., dkk.|2008|p=99}}
 
Walaupun sebagian negara telah menghapuskan hukuman mati, beberapa [[traktat|konvensi]] [[hak asasi manusia internasional]] masih mengakui penerapan hukuman mati.{{Sfn|Ahmad|2017|p=108}} Sikap negara-negara di dunia terhadap penghapusan hukuman mati terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negara abolisionis dan negara retensionis. Negara abolisionis merupakan negara yang mendukung atau telah menerapkan penghapusan hukuman mati, sedangkan negara retensionis merupakan negara-negara yang menolak penghapusan hukuman mati atau masih menerapkan hukuman mati. Penghapusan hukuman mati masih diperdebatkan oleh [[ahli hukum]] dari berbagai negara di dunia. Dalam perkembangannya, jumlah negara retensionis makin berkurang, sedangkan jumlah negara abolisionis makin bertambah.{{Sfn|Budiyono, dkk.|2019|p=45}} HinggaSementara tahun 2007itu, kecenderungan [[global]] terhadap penghapusan hukuman mati bersifat positif. Kebijakan penghapusan hukuman mati secara ''[[de jure]]'' atau ''[[de facto]]'' telah diterapkan oleh mayoritas negara di dunia. Hanya sedikit negara yang masih melaksanakan hukuman mati.{{Sfn|Hasani|2013|p=320}} [[Organisasi]]organisasi-organisasi anti -hukuman mati sedunia jugatelah membuatmencanangkan [[hari anti hukuman mati]].|Hari IniAnti sebagaiHukuman bentukMati]] dukunganyang terhadap penghapusan hukuman mati. Setiap tahun peringatannya diadakanjatuh pada tanggal 10 [[Oktober]]. Penetapan tanggal disepakati pada sebuah [[kongres]] yang diadakan pada [[bulan]] [[Mei]] tahun 2002 di [[Roma]], [[Italia]].{{Sfn|Budiman, A.A., dkk.|2017|p=5}}
 
== Sejarah ==
[[Berkas:D._Luís_I_fotografado_por_Augusto_Bobone_em_1885.png|jmpl|370x370px|[[Luís I dari Portugal|Luís I]] dari [[Kerajaan Portugal|Portugal]] (1885), salah satu [[raja]] di [[Eropa]] yang paling awal melakukan penghapusan hukuman mati di dalam [[konstitusi]] [[kerajaan]]<nowiki/>nyakerajaannya. ]]
Pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati mulai muncul sejak masa [[puncak Abad Pertengahan]]. Pada tahun 1066 [[Masehi]], raja William I ([[William Sang Penakluk]]) sebagai [[raja]]Raja [[Inggris]] memilih menghapuskan hukuman mati bagi penjahat untuk segala jenis kejahatan, kecuali bagi [[kejahatan perang]]. [[Hukuman gantung]] yang menjadi metodeMetode hukuman mati padayang masadigunakan saat itu hanyaadalah diberlakukan[[hukuman untuk pelaku kejahatan peranggantung]]. Penghapusan hukuman mati ini hanya berlaku hingga awal abad ke-16. Setelah rajaRaja [[Henry VIII dari Inggris|Henry VIII]] berkuasa di Inggris, hukuman mati kembali diterapkan untuk kasus penyimpangan [[moral]], [[pungutan liar]] dalam [[pajak]], penolakan untuk mengakui kejahatan, dan [[pengkhianatan]] terhadap [[kerajaan]]. Sekitar 72 ribu orang dihukum mati selamapada masa pemerintahan Henry VIII dengan metode [[eksekusi pembakaran]], hukuman gantung, dan [[pemancungan]].{{Sfn|Ahmad|2021|p=54}}
 
Penghapusan hukuman mati mulai kembali diusulkan oleh para [[cendekiawan]] [[Eropa]] yang hidup pada [[abad]] ke-18 [[Masehi]]. Selama berlangsungnya [[Revolusi Prancis]], [[gagasan]] mengenai penghapusan hukuman mati dikemukakan oleh berbagai tokoh seperti [[Jean-Paul Marat]] dan [[Maximilien de Robespierre]]. PemikiranGagasan keduapenghapusan tokohhukuman inimati kemudianjuga menyebar kedi wilayah ber[[bahasa Jerman]] melalui karya-karya [[penyair]]berbagai penulis. Beberapa di antaranya ialah [[Gotthold Ephraim Lessing]], [[Friedrich Gottlieb Klopstock]], [[Justus Möser]], dan [[Friedrich Schiller]].{{Sfn|Ahmad|2021|p=98}}
 
Kebijakan penghapusan hukuman mati kembali muncul dari beberapa raja yang berkuasa di wilayah [[Eropa Utara]] dan [[Eropa Barat]] pada abad ke-19 Masehi. Beberapa di antaranya ialah rajaRaja [[Luís I dari Portugal|Luís I]] dari [[Kerajaan Portugal|Portugal]], rajaRaja [[Johann (1801-1873)|Johann]] dari [[Kerajaan Sachsen|Sachsen]], dan rajaRaja [[Oscar II dari Swedia|Oskar]] dari [[Kerajaan Swedia|Swedia]].{{Sfn|Ahmad|2021|p=59}} [[Kerajaan Belanda]] juga menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870 untuk semua jenis kejahatan kecuali yang berkaitan dengan [[militer]]. Selain itu, negara [[Denmark]] dan [[Rumania]] turut menghapuskan hukuman mati dalam [[konstitusi]]<nowiki/>nya. Perkembangan penghapusan hukuman mati kemudian diikuti oleh negara-negara di [[Amerika Selatan]] dan [[Amerika Tengah]] pada abad ke-19 Masehi, yaitu [[Venezuela]], [[Kolombia]], [[Brasil]], [[Uruguay]], [[Chili]], dan [[Kosta Rika]].{{Sfn|Ahmad|2021|p=62}}
[[Berkas:Jean-Paul_Marat_portre.jpg|jmpl|[[Jean-Paul Marat]], salah satu tokoh [[Revolusi Prancis]] yang mengembangkan [[gagasan]] penghapusan hukuman mati.]]
Pada [[dasawarsa]] terakhir abad ke-20 Masehi, perkembangan [[hukum hak asasi manusia internasional]] mempercepat proses penghapusan hukuman mati dalam konstitusisistem hukum negara-negara di dunia. Berbagai instrumen hak asasi manusia internasional (instrumen HAM internasional) mulai digunakandirumuskan setelah [[Perang Dunia II]] berakhir. Tujuannya untuk mempercepat penghapusan hukuman mati. Sasaran utama dalam penghapusan hukuman mati ialah negara [[Dunia Ketiga|dunia ketiga]] yang sebelumnya memperoleh [[kemerdekaan]] setelah mengalami [[imperialisme]] dan [[kolonialisme]]. Instrumen HAM internasional yang digunakan utamanya ialah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KHISPKIHSP). Kovenan ini telah menghasilkan seperangkat instrumen universal yang mendukung perlindungan [[Kewarganegaraan|warga negara]] dari [[kekuasaan politik]] dan membatasi penerapan hukuman mati hanya untuk kejahatan yang paling serius.{{Sfn|Hoyle|2021|p=12}}
 
== Landasan pemikiran ==
[[Berkas:Cesare_Beccaria.jpg|jmpl|[[Cesare Beccaria]], [[cendekiawan]] berkebangsaaan [[Italia]] yang menulis [[esai]] berjudul ''[[OnDei Crimesdelitti ande Punishmentsdelle pene]]'' yang menginspirasi penghapusan hukuman mati di [[dunia]].]]
Dalam [[sejarah dunia|sejarah]], hampir seluruh negara di dunia pernah menerapkan hukuman mati bagi [[narapidana]]. Perubahan [[politik hukum]] di beberapa negara menyebabkan timbulnya pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati. Pemikiran ini mulai muncul pada negara-negara yang menjadikan hak asasi manusia sebagai bagian dari politik negara.{{Sfn|Samsul|2015|p=4}} Penghapusan hukuman mati dilandasi oleh pemikiran bahwa hukuman mati hanyalah [[sanksi]] yang bersifat pembalasan atas kejahatan yang diperbuat oleh narapidana. Hukuman mati dianggap tidak dapat memberikan kesempatan bagi narapidana untuk memperbaiki [[perilaku sosial]]<nowiki/>nya. PemikiranSelain itu, pemikiran tentang penghapusan hukuman mati jugaturut dipengaruhi oleh pemikiran mengenai hak asasi manusia di masing-masing negara. Landasan dasarnyaLandasannya adalah adanya [[hak untuk hidup]].{{Sfn|Samsul|2015|p=2}}
 
Pada permulaan abad ke-17 Masehi mulai ada usaha untuk menghapuskan hukuman mati. Pemikiran awalnya ialah ketidakmampuan hukuman mati dalam mengurangi jumlah kasus kejahatan. Pemikiran lain yang turut mendukung penghapus hukuman mati pada masa ini ialah gerakan sosial yang menganggap hukuman mati bersifat kuno, kejam, dan bengis.{{Sfn|Hasani|2013|p=322}} Pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati diawali oleh gerakan penghapusan hukuman mati yang dimulai pada tahun 1767. Gagasan pembentukan gerakan penghapusan hukuman mati diperoleh dari sebuah [[esai]] berjudul ''OnDei Crimesdelitti ande Punishmentsdelle pene.'' Esai ini merupakan [[Karya Tulis Ilmiah|karya tulis ilmiah]] yang dibuat oleh [[Cesare Beccaria|Cessare Beccaria]]. Inti pembahasan di dalam esai ini ialah bahwa negara tidak mempunyai [[kewenangan]] untuk mengambil hak untuk hidup seseorang. Gerakan penghapusan hukuman mati ini dikenal sebagai gerakan abolisionis. Negara-negara di dunia mulai mengurangi jenis-jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati setelah gerakan abolisionis dimulai.{{Sfn|Ahmad|2021|p=100}}
 
Pemikiran-pemikiran awal dari gerakan abolisionis berasal dari karya tulis cendekiawan [[Eropa]] antara lain [[Montesquieu]], [[Voltaire]], [[Jeremy Bentham]], [[John Bellers]], dan [[John Howard (cendekiawan Inggris)|John Howard]]. Perhatian khusus dalam gerakan abolisionis ialah penentangan terhadap praktik hukuman mati yang kejam. Secara tidak langsung, gerakan ini mempengaruhimemengaruhi [[Monarki Habsburg|Austria]] dan [[Toskana]] untukdalam menghapuskan hukuman mati di dalam konstitusi wilayahnya masing-masing. Karya tulis dari Beccaria juga mempengaruhi para cendekiawan di [[Amerika Serikat]]. Pengaruhnya nampaktampak dalam penyusunan [[rancangan undang-undang]] mengenai hukuman mati oleh [[Thomas Jefferson]]. Rancangan undang-undang ini dibuat sebagai perbaikan terhadap [[undang-undang]] hukuman mati yang berlaku di [[Virginia]].{{Sfn|Ahmad|2021|p=100}}
 
Pemikiran mengenai penghapusan hukuman mati oleh gerakan abolisionis juga mempengaruhi negara-negara yang terletak di [[Amerika Selatan]]. Pada tahun 1863, [[Venezuela]] menjadi negara pertama yang menghapuskan hukuman mati untuk semua jenis kejahatan., Sedangkansedangkan di kawasan Eropa, gerakan abolisionis mempengaruhimemengaruhi [[San Marino]] untuk menjadi negara pertama di Eropa yang menghapuskan hukuman mati. San Marino memulainya dengan menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa pada tahun 1848. Kemudian, pada tahun 1865, San Marino menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan. SelainDi itusisi lain, [[Rumania]] bersama dengan San Marino merupakan negara abilisionis di Eropa hingga beberapa dasawarsa. Gerakangerakan abolisionis di luar [[benua]] Amerika Selatan dan Eropa tidak mengalami perkembangan yang pesat.{{Sfn|Tim Institute for Criminal Justice Reform|2017|p=15-16}}
 
=== HakHukum untukhak hidupasasi manusia internasional ===
[[Hak untuk hidup]] merupakan hak yang paling mendasar dibandingkan dengan hak asasi manusia yang lainnya. Hukuman mati dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak untuk hidup. Beberapa instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia telah mengaitkan antara hak untuk hidup dengan penghapusan hukuman mati.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=20}} Salah satunya adalah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan protokol-protokolnya.''{{Sfn|Hasani|2013|p=322}}'' Dua protokol yang membahas hak untuk hidup ialah Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Protokol Opsional II KIHSP), dan Protokol Nomor 13 Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar tentang Penghapusan Hukuman Mati dalam Segala Keadaan.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=20-21}} Pasal 6 ayat (5) dalam KIHSP menegaskan perlindungan hak untuk hidup terhadap anak yang belum [[Kelahiran (disambiguasi)|lahir]] dengan memberikan larangan untuk melaksanakan hukuman mati terhadap [[wanita]] yang sedang dalam masa [[kehamilan]].{{Sfn|Smith, R.K.M., dkk.|2008|p=97-98}} Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komite HAM PBB) sebagai [[badan traktat]] KIHSP juga telah mengeluarkan Komentar Umum Nomor 6 yang diadopsi pada 27 Juli 1982. Di dalam komentar ini, Komite HAM PBB menjelaskan pandangannya mengenai pemberlakuan dan pembatasan hukuman mati untuk kejahatan yang paling serius.{{Sfn|Hasani|2013|p=326}} Di tingkat regional, landasan-landasan hukum untuk penghapusan hukuman mati meliputi putusan-putusan [[Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia]] yang mengawasi penegakkan [[Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia]] (KEHAM), serta salah satu protokol [[Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia]] (KAHAM), yaitu Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=3}}
[[Hak untuk hidup]] merupakan hak yang paling mendasar dibandingkan dengan hak asasi manusia yang lainnya. Keberadaan hak untuk hidup menjadi langkah awal bagi pemenuhan hak asasi manusia yang lainnya. Pengaturan hak untuk hidup oleh instrumen [[hukum internasional]] menjadi sangat penting khususnya dalam penegakan hak asasi manusia. Kedudukan hak untuk hidup lebih tinggi dibandingkan hak-hak asasi lainnya dalam kemanusiaan. Kondisi ini membuat pemenuhan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman bagi narapidana dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak untuk hidup. Sebaliknya, penghapusan hukuman mati dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap hak untuk hidup. Beberapa instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia telah mengaitkan antara hak untuk hidup dengan penghapusan hukuman mati.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=20}}
 
AdaTerdapat 3pula dua instrumen hak aasasiasasi internasional lain (bukan [[perjanjian]]) yang membahas tentang hak untuk hidup dan penghapusan hukuman mati. Instrumen-instrumen ini ialah [[Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 tentang Hak Asasi Manusia]], dan [[Resolusi Dewan Umum PBB tentang Moratorium Pelaksanaan Hukuman Mati,]] dan Komentar Umum Nomor 6 ayat (16) KIHSP. Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 membahas tentang adanya proses hukum yang tidak adil dan tidak sesuai dengan standar internasional dalam hal pemberlakuan hukuman mati di beberapa negara. Selain itu, resolusi ini juga meminta penghentian penerapan hukuman mati kepada negara-negara yang masih memberlakukannya. Resolusi Dewan Umum PBB tentang Moratorium Penggunaan hukuman mati terbagi menjadi 3 yaitu Resolusi A/RES/62/149 (18 Desember 2007), resolusi A/RES/63/168 (18 Desember 2008), dan resolusi A/RES/65/206 (21 Desember 2010). Sedangkan Komentar Umum Number 6 (16) KIHSP merupakan hasil adopsi dari pertemuan Komite HAM PBB yang membahas tentang hak hidup pada tanggal 27 Juli 1982. [[Topik]] utamanya ialah pengurangan angka [[kematian bayi]], peningkatan [[harapan hidup]], serta peninjauan pemberlakuan dan pembatasan hukuman mati untuk kejahatan yang paling serius.{{Sfn|Hasani|2013|p=326}}
Dalam pandangan hak asasi manusia klasik, hak hidup diartikan sebagai hak untuk bebas dari hukuman mati. Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus memisahkan [[hak sipil dan politik]] dengan [[Hak ekonomi, sosial, dan budaya|hak ekonomi, sosial dan budaya]]. Dalam aspek sosial dan [[budaya]], hak untuk bebas dari hukuman mati tidak diperlakukan setara dengan hak hidup lainnya.{{Sfn|Smith, R.K.M., dkk.|2008|p=26}} Pertentangan antara hak untuk hidup dan penerapan hukuman mati dinyatakan dalam Pasal 3 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).{{Sfn|Smith, R.K.M., dkk.|2008|p=257}} Hak untuk hidup juga dibahas di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan salah satu protokolnya.''{{Sfn|Hasani|2013|p=322}}'' Dua protokol yang membahas hak untuk hidup ialah Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Protokol Opsional II KIHSP), dan Protokol Nomor 13 Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar tentang Penghapusan Hukuman Mati dalam Segala Keadaan.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=20-21}} Hak untuk hidup diberikan sejak kehidupan dimulai. [[Konvensi Bélem do Pará]] menetapkan bahwa hak untuk hidup berlaku sejak [[pembuahan]] berlangsung. Pasal 6 ayat (5) dalam KIHSP menegaskan perlindungan hak untuk hidup terhadap anak yang belum [[Kelahiran (disambiguasi)|lahir]] dengan memberikan larangan untuk melaksanakan hukuman mati terhadap [[wanita]] yang sedang dalam masa [[kehamilan]].{{Sfn|Smith, R.K.M., dkk.|2008|p=97-98}}
 
Ada 3 instrumen hak aasasi internasional bukan [[perjanjian]] yang membahas tentang hak untuk hidup dan penghapusan hukuman mati. Instrumen-instrumen ini ialah [[Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 tentang Hak Asasi Manusia]], [[Resolusi Dewan Umum PBB tentang Moratorium Pelaksanaan Hukuman Mati,]] dan Komentar Umum Nomor 6 ayat (16) KIHSP. Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 membahas tentang adanya proses hukum yang tidak adil dan tidak sesuai dengan standar internasional dalam hal pemberlakuan hukuman mati di beberapa negara. Selain itu, resolusi ini juga meminta penghentian penerapan hukuman mati kepada negara-negara yang masih memberlakukannya. Resolusi Dewan Umum PBB tentang Moratorium Penggunaan hukuman mati terbagi menjadi 3 yaitu Resolusi A/RES/62/149 (18 Desember 2007), resolusi A/RES/63/168 (18 Desember 2008) dan resolusi A/RES/65/206 (21 Desember 2010). Sedangkan Komentar Umum Number 6 (16) KIHSP merupakan hasil adopsi dari pertemuan Komite HAM PBB yang membahas tentang hak hidup pada tanggal 27 Juli 1982. [[Topik]] utamanya ialah pengurangan angka [[kematian bayi]], peningkatan [[harapan hidup]], serta peninjauan pemberlakuan dan pembatasan hukuman mati untuk kejahatan yang paling serius.{{Sfn|Hasani|2013|p=326}}
 
=== Hukum hak asasi manusia internasional ===
[[Mahkamah konstitusi]] di berbagai negara telah menggunakan [[hukum hak asasi manusia internasional]] (hukum HAM internasional) sebagai sumber pedoman dalam menafsirkan konstitusi negaranya masing-masing. Di dalam hukum HAM internasional dinyatakan hak untuk hidup, pelarangan [[Siksaan|penyiksaan]] dan pemberian [[kebebasan]] mendasar yang bersifat universal. Hukum HAM internasional diterapkan menggunakan instrumen HAM internasional yang meliputi konvensi HAM internasional dan protokol yang melengkapinya. Kondisi ini membuat penghapusan hukuman mati secara berangsur-angsur dilakukan pada rancangan konstitusi atau undang-undang di beberapa negara. Penghapusan metode hukuman mati antara lain terdapat dalam [[resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (resolusi PBB) dan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), [[Mahkamah Eropa]] dan [[Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia]] (KAHAM). PBB membahas penghapusan hukuman mati di dalam Protokol Opsional II KIHSP dan Resolusi Majelis Umum PBB 44/128. Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia membahasnya selama penyelenggaraan [[Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia]] (KEHAM) yang diselenggarakan di [[Strasbourg]] pada tahun 1950 serta pada Protokol 6 dan Protokol 13 KEHAM. Sedangkan KAHAM diselenggarakan di [[San José, Kosta Rika|San José]], [[Kosta Rika]] pada tangggal 22 November 1969. Hasilnya ialah Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=3}}
 
== Instrumen hak asasi manusia internasional ==
=== Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia ===
[[Berkas:Eleanor_Roosevelt_UDHR.jpg|jmpl|[[Eleanor Roosevelt]] sedang memegang [[poster]] [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia]] atau disebut pula Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM merupakan instrumen [[hak asasi manusia]] internasional yang pertamamelindungi berkaitanhak denganuntuk penghapusanhidup, hukumantetapi matitidak disecara duniaeksplisit membahas soal hukuman mati.]]
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan pernyataan internasional yang menyatakan bahwa hak asasi manusia harus dilindungi dalam skala internasional. [[Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa|Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (Negara-negara anggota PBB) menyepakati bersama tentang [[Norma (disambiguasi)|norma]]-norma HAM yang terkandung di dalam DUHAM.{{Sfn|Hasani|2013|p=322-323}} Perlindungan[[Majelis HAMUmum diPerserikatan dalamBangsa-Bangsa]] DUHAM(Majelis bersifatUmum umum.PBB) Konsep perlindungan HAM di dalammengadopsi DUHAM menjadipada landasantanggal awal10 untukDesember pembentukan1948.{{Sfn|Baso, dua instrumen HAM dengan penjelasan yang lebih spesifikA., yaitudkk.|2012|p=1-2}} Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak EkonomiNamun, Sosial dan Budaya (KIHESB). DUHAM tidak membahas secara langsung mengenai hukuman mati. Keterkaitan DUHAM dengan penghapusan hukuman mati hanya terdapat pada Pasal 3 berupa perlindungan terhadap hak hidup.{{Sfn|Hasani|2013|p=322-323}}
 
Selain hak untuk hidup, DUHAM juga mencakup hak asasi manusia yang terdapat dalam Piagam PBB. Hak-hak ini meliputi pelarangan penyiksaan atau perlakuan penghukuman lain yang bersifat kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Selain itu, ada pelarangan penangkapan sewenang-wenang dan pelarangan hukuman berlaku surut. Hak dasar lainnya yang juga dibahas ialah hak atas peradilan yang adil dan hak atas [[praduga tak bersalah]].{{Sfn|Abidin, Z., dkk.|2019|p=34}}
 
Perkembangan pemikiran dari DUHAM kemudian membentuk hukum HAM internasional. Organisasi di seluruh dunia yang membidangi hak asasi manusia telah menerima DUHAM sebagai dokumen hukum HAM internasional. [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (Majelis Umum PBB) mengadopsi DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM dianggap sebagai pencapaian dalam perjuangan atas kemerdekaan dan martabat manusia. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, pernyataan-pernyataan di dalam DUHAM bersifat tidak memihak maupun menentang hukuman mati.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=1-2}}
 
=== Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ===
Baris 51 ⟶ 42:
[[Berkas:ICCPR-members2.PNG|jmpl|'''Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik:'''{{legend|#008000|Negara anggota}}{{legend|#00ff00|Penandatangan yang belum meratifikasi}}{{legend|#FF7F27|Negara anggota yang mencoba keluar
{{legend|#b9b9b9|Negara yang belum menandatangani dan belum meratifikasi}}</div>}}]]
Perkembangan instrumen hukum internasional mengenai hukuman mati berlanjut padadengan tahun 1966. PBB membentuk dua instrumen hukum internasional yaitudirumuskannya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). Dalam KIHSP, PBB memberikan perlindungan HAM dalam rumusan hukum yang mengikat. Dalam Pasal 6 Ayat (1) KIHSP dijelaskan bahwa hak hidup dimiliki oleh setiap orang, tidak dapat dihilangkan dan diberi perlindungan secara hukum.{{Sfn|Baso, A., dkk.|2012|p=2}} [[Definisi]] hak untuk hidup diperluas lagi pada Pasal 6 Ayat (2) KIHSP dengan pembahasan pembatasan penggunaan hukuman mati. Kovenan ini menyatakan bahwa negara-negara yang belum menghapus hukuman mati hanya dapat memberlakukan hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius.''{{Sfn|Hasani|2013|p=323}}'' Pemberlakuan hukuman mati juga tidak boleh bertentangan dengan [[Konvensi Genosida|Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida]] (Konvensi GenodisaGenosida)''.'' Syarat pemberlakuan hukuman mati yang ditetapkan ialah melalui keputusan akhir yang diselenggarakan dengan pengadilan yang kompeten''.{{Sfn|Abidin, Z., dkk.|2019|p=36-37}}''
 
Peluang penghapusan hukuman mati juga terdapat dalam Pasal 6 ayat (4). Pasal ini memberikan hak kepada narapidana untuk memohon [[amnesti]] atau penggantian hukuman. Hak ini berlaku dalam semua kasus yang berakhir dengan putusan hukuman mati. SedangkanSementara padaitu, Pasal 6 Ayat (5) ditetapkanmenetapkan bahwa anak berusia kurang dari 18 [[tahun]] tidak boleh menerima hukuman mati. Hal ini juga berlaku bagi wanita yang sedang dalam masa kehamilan.{{Sfn|Abidin, Z., dkk.|2019|p=38}} Selanjutnya pada Pasal 6 Ayat (6) ditegaskan mengenai pelarangan penggunaan pasal-pasal KIHSP oleh negara peserta KIHSP untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati.{{Sfn|Equitas|2006|p=92}}
 
KIHSP merupakan perjanjian [[Multilateralisme|multilateral]]. Isi KIHSP merupakan hasil [[Adopsi (hukum)|adopsi]] dari DUHAM.''{{Sfn|Abidin, Z., dkk.|2019|p=36}}'' Proses adopsi KIHSP telah dimulai sejak tahun 1966, tetapi baru diberlakukan pada tahun 1976. Peserta kovenan berjumlah 154 negara pada tanggal 24 November 2004 dengan 7 negara [[Tanda tangan|penandatangan]]. Di dalam KIHSP juga terdapat dua protokol opsional. [[Protokol Opsional Pertama Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] (Protokol Opsional I KIHSP) berisi penjelasan tentang ketentuan-ketentuan pengaduan perorangan. Hingga 9 Juni 2004, sebanyak 104 negara menerima protokol pertama dengan 5 negara penandatangan. Sedangkan [[Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] (Protokol Opsional II KIHSP) dibuat dengan tujuan untuk menghapus hukuman mati. Protokol kedua diikuti oleh 50 Negara dengan 7 negara penandatangan.{{Sfn|Equitas|2006|p=82}}
Baris 64 ⟶ 55:
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memiliki dua protokol opsional. Protokol Opsional I KIHSP berisi pemberian kewenangan kepada [[Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (Komite HAM PBB) untuk menerima pengaduan oleh perorangan yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran hak.{{Sfn|Organisasi Perburuhan Internasional|2006|p=65}} Penerimaan ini dilakukan jika pelanggaran yang diadukan tercantum dalam kovenan.{{Sfn|Equitas|2006|p=88}} Sedangkan Protokol Opsional IIKIHSP dibuat khusus untuk pelaksanaan penghapusan hukuman mati.{{Sfn|Organisasi Perburuhan Internasional|2006|p=52}}
 
Protokol Opsional II KIHSP ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1989 oleh Majelis Umum PBB.{{Sfn|Organisasi Perburuhan Internasional|2006|p=45}} Pembentukan protokol ini melalui Resolusi PBB 33/148. Isi Protokol Opsional Kedua KIHSP merupakan hasil adopsi dari KIHSP. Adopsi ini dilakukan karena KIHSP masih memiliki beberapa kekurangan dalam pengaturan mengenai praktik hukuman mati. Perubahan utama di dalam protokol opsional ini ialah norma yang digunakan. Protokol ini melarang pemberlakuan hukuman mati dengandalam duakeadaan alasanapapun. Pertama, adanya hak mendasar manusia untuk hidup sehingga [[risiko]] dari menghukum mati orang yang tidak bersalah tidak dapat diterima.{{Sfn|Budiman|2017|p=7}} Kedua, belum ada bukti yang kuat mengenai efek jera yang dihasilkan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan.''{{Sfn|Hasani|2013|p=337}}'' Protokol Opsional II KIHSP dibuat berdasarkan kesadaran dan kesepakatan bersama dari negara peserta bahwa penghapusan hukuman mati merupakan bentuk peningkatan dan penghormatan atas martabat manusia.{{Sfn|Hasani|2013|p=324}}
 
== Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa ==
Baris 130 ⟶ 121:
 
=== Resolusi Majelis Umum PBB 71/187 ===
Resolusi Majelis Umum PBB 71/187 diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 19 Desember 2016. Resolusi ini juga membahas moratorium hukuman mati. Unsur tambahan di dalam reesolusi ini ialah penegasan kembali akan hak [[kedaulatan]] dari semua negara untuk mengembangkan sistem hukum mereka sendiri. Negara anggota PBB berhak menentukan hukuman pidana yang sesuai dengan kewajiban-kewajiban hukum internasional mereka. Resolusi ini juga meminta setiap negara anggota PBB untuk memberikan kesempatan amnesti dan kesempatan membicarakan penggantian hukuman mati dengan hukuman lain. Proses [[komunikasi]] harus dilakukan secara terbuka dan adil dengan proses pemberian informasi yang cepat.{{Sfn|Budiman|2017|p=18}} Mayoritas negara anggota PBB menyetujui resolusi ini. Persetujuan diberikan oleh 117 negara dan penolakan sebanyak 40 negara menolak. Sebanyak 31 negara memilih tidak memberikan suara. Beberapa negara mengubah sikapnya dengan kecenderungan kepada penghapusan hukuman mati. Negara ini di antaranya ialah [[Malawi]] dan [[ESwatini|Eswatini]]. Negara yang awalnya tidak memberikan suara kemudian menyetujuinya ialah [[Sri Lanka]]. Sedangkan negara yang dulunya menolak kemudian memilih tidak memberikan suara ialah [[Zimbabwe]]. Kondisi ini membuat Resolusi Majelis Umum PBB 71/187 mulai mengalihkan topik penundaan hukuman mati menjadi penghapusan hukuman mati.{{Sfn|Budiman|2017|p=19}}
 
== Perdebatan ==
Baris 138 ⟶ 129:
Negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati menggunakan [[konsep]] tentang kejahatan-kejahatan yang paling serius untuk mempertahankan dukungannya.''{{Sfn|Budiyono, dkk.|2019|p=48}}'' Pasal 6 KIHSP mengizinkan putusan hukuman mati diberikan pada kasus kejahatan-kejahatan yang paling serius.''{{Sfn|Berrih|2019|p=14}}'' Kondisi ini merupakan akibat dari pernyataan dalam Pasal 6 KIHSP ayat (2) terkait kejahatan yang paling serius. Dalam pasal ini tidak ada pemberian definisi mengenai kejahatan yang paling serius. Hukuman mati dapat diberikan asalkan sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut serta tidak bertentangan dengan ketentuan [[Konvensi Genosida]]. Keputusan akhir dari pengadilan yang berwenang juga menjadi penentu pemberlakuan hukuman mati. Kondisi ini membuat konsep kejahatan paling serius ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap negara. Penafsiran dipengaruhi oleh kondisi budaya, [[agama]], [[tradisi]], serta keadaan [[politik]] dari masing-masing negara.{{Sfn|Tim Institute for Criminal Justice Reform|2017|p=195}}
 
Ketidakjelasan konsep mengenai kejahatan paling serius juga terjadi dalam Protokol Opsional II KIHSP. Tambahan informasi mengenai kejahatan yang paling serius hanya pada Pasal 2 Ayat (1)., yang Suatumembahas kejahatan hanya akan dianggap sebagaisoal "kejahatan paling serius jika kejahatan iniyang bersifat [[militer]] dan dilakukan dalam situasi [[perang]]".{{Sfn|Tim Institute for Criminal Justice Reform|2017|p=196}} Sebaliknya, instrumen-instrumen [[hukum pidana internasional]] yang paling mutakhir memberikan kecenderungan khusus terhadap pemaknaan mengenai kejahatan paling serius. Tolok ukurnya ialah kejahatan yang menjadi perhatian khusus dari [[masyarakat internasional]]. Kejahatan paling serius sesuai dengan pandangan ini ialah [[genosida]], [[kejahatan kemanusiaan]], dan kejahatan perang. Instrumen-instrumen ini juga mendukung penghapusan hukuman mati. Hal ini dapat dilihat pada ketiga [[statuta]] pendirian [[Mahkamah Pidana Internasional|mahkamah pidana internasional]] oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni [[Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Wilayah Yugoslavia]], [[Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda]], dan [[Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone]]. Hukuman penjara seumur hidup sebagai hukuman maksimal juga ditetapkan sebagai hukuman maksimal dalam [[Statuta Roma]].{{Sfn|Tim Institute for Criminal Justice Reform|2017|p=17}}
 
Definisi lain terhadap kejahatan paling serius diberikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Kejahatan paling serius diartikan sebagai kejahatan yang disengaja dengan [[konsekuensi logis]] yang bersifat mematikan atau sangat berat.''{{Sfn|Hoyle dan Batchelor|2021|p=12}}'' Definisi ini awalnya diberikan dalam [[Pengamanan untuk Menjamin Perlindungan Hak-hak Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati]]. Pada tahun 1984, definisi ini diadopsi oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dengan sedikit revisi. Definisi ini tetap tidak membatasi hukuman mati hanya untuk [[pembunuhan berencana]]. Akibatnya, negara-negara tertentu terus memberlakukan hukuman mati untuk [[pasar gelap]] bagi [[narkoba]], tindak pidana politik dan agama serta [[Kegiatan seksual manusia|perilaku seksual]] yang di negara lain tidak termasuk tindak pidana.{{Sfn|Hoyle|2021|p=12}} Negara retensionis menolak pandangan bahwa hukuman mati merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan, khususnya dalam kasus narkoba. Dalam pandangan negara retensionis, narkoba merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam hak hidup banyak orang, sehingga hukuman mati bukan juga dianggap tidak menjadi pelanggaran atas konstitusi negara.''{{Sfn|Ahmad|2017|p=176-177}}''
Baris 148 ⟶ 139:
 
=== Efek jera ===
Salah satu alasan dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati oleh golongan retensionis yaitu anggapan bahwa hukuman mati merupakan satu-satunya [[hukuman]] yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan yang berat dan yang sukar diampuni. Efek menakutkan dari hukuman mati secara [[Psikologi|psikologis]] dianggap dapat digunakan untuk melindungi masyarakat. Hukuman mati juga dapat mencegah penjahat mengulangi kejahatan yang sama atau kejahatan lain di [[masa depan]]. Hukuman mati dijadikan sebagai pelajaran agar kejahatan tidak terulang sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi jumlah kasus kejahatan.{{Sfn|Ahmad|2021|p=88}} Fakta mengenai anggapan ini ialah pada negara [[Arab Saudi]] yang menerapkan hukuman mati untuk kasus [[pembunuhan]] dan narkoba. Dari [[data]] yang dikumpulkan oleh [[Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan]], tingkat pembunuhan di Arab Saudi hanya 1 per 100 ribu orang pada tahun 2012. Dalam perbandingan yang sama, jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan [[negara maju]] seperti [[Finlandia]] (2,2), dan Belgia (1,7) dan [[Rusia]] (10,2).{{Sfn|Ahmad|2017|p=176}}
 
DalamDi [[fakta]]sisi lain, pemberlakuan hukuman mati juga belum memberikan efek jera terhadap para pelaku pidana bila dibandingkan dengan [[penjara seumur hidup]]. Pada tahun 1998 dan 2002, PBB mengadakan [[Metodologi survei|survei]] yang menunjukkan bahwa jumlah narapidana tetap meningkat di negara-negara yang memberlakukan hukuman mati khususnya pada kasus pembunuhan.''{{Sfn|Hasani|2013|p=319}}'' Di Amerika Serikat diadakan survei kepada sejumlah ahli [[kriminologi]] dengan kesimpulan bahwa penerapan hukuman mati tidak menimbulkan efek jera.{{Sfn|Riwanto|2016|p=149}} Survei ini dilakukan sebanyak dua kali pada tahun yang berbeda dengan rentang waktu yang berjauhan. Survei pertama pada tahun 1996 dengan jumlah ahli kriminologi yang dijadikan sebagai [[subjek penelitian]] sebanyak 84% dari total keseluruhan ahli kriminologi di Amerika Serikat. Survei kedua diadakan pada tahun 2009, dengan persentase peserta sebanyak 88%. Pandangan para ahli kriminologi ini didasarkan pada [[pengalaman]], [[Karya Tulis Ilmiah|karya tulis ilmiah]], serta [[penelitian]] yang pernah mereka lakukan di bidang kriminologi.<ref>{{Cite book|last=Akbari, A.R., dkk.|date=2019|url=https://jentera.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Membedah-Konstruksi-Buku-1-Rancangan-KUHP_Ebook-1.pdf|title=Membedah Konstruksi Buku 1 Rancangan KUHP|location=Jakarta Selatan|publisher=Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera|isbn=978-623-90027-0-1|pages=75|url-status=live|access-date=2021-07-30|archive-date=2021-10-24|archive-url=https://web.archive.org/web/20211024101225/https://jentera.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/Membedah-Konstruksi-Buku-1-Rancangan-KUHP_Ebook-1.pdf|dead-url=yes}}</ref> Selama lima dasawarsa, Amerika Serikat juga tidak mengalami penurunan jumlah narapidana kasus narkoba, meskipun hukuman mati diberlakukan. Kondisi ini membuat pandangan efek jera melalui hukuman mati oleh negara retensionis masih belum dapat dibuktikan dalam [[kenyataan]].{{Sfn|Hoyle|2021|p=14-15}}
 
=== Rasionalisasi hukum ===
Hukuman mati merupakan bentuk utama dari rasionalisi hukum dengan sifat pembalasan atas tindak kejahatan. Dalam [[ilmu]] hukum, rasionalisasi merupakan bagian dari [[teori keadilan retributif]]. Masyarakat memberikan pidana atas suatu kejahatan karena kejahatan dianggap sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan asusila.{{Sfn|Budiyono, dkk.|2019|p=46}} Perkembangan pemikirannya terbentuk dengan sendirinya di dalam masyarakat. Paham [[demonologi]] menjadi landasan perkembangan pemikiran mengenai hukuman mati.<ref>{{Cite book|last=Widyawati, A., dan Adhari, A.|date=2020|url=http://repository.untar.ac.id/13526/1/buktipenelitian_10216001_2A095716.pdf|title=Hukum Penitensier di Indonesia: Konsep dan Perkembangannya|location=Depok|publisher=Rajawali Pers|isbn=978-623-231-460-3|pages=30|url-status=live|access-date=2021-07-30|archive-date=2021-07-30|archive-url=https://web.archive.org/web/20210730003711/http://repository.untar.ac.id/13526/1/buktipenelitian_10216001_2A095716.pdf|dead-url=yes}}</ref> Pada abad ke-19 Masehi, muncul aliran rasionalisasi hukum modern yang memusatkan rasionalisasi dari [[sudut pandang]] penjahat dan bukan dari kejahatannya. Hukuman pidana ditentukan oleh kondisi pelaku tindak pidana. Pada aliran ini berkembang [[doktrin]] [[determinisme]] yang cenderung menghendaki penghapusan hukuman mati.<ref>{{Cite book|last=Wahyuningsih|first=Sri Endah|date=2013|url=http://research.unissula.ac.id/file/publikasi/210390025/2835full_text_dan_HAKI.pdf|title=Perbandingan Hukum Pidana dari perspektif Religious Law System|location=Semarang|publisher=Unissula Press|isbn=978-602-7525-12-2|pages=54|url-status=live}}</ref> Kondisi yang bertentangan masih terdapat pada hukum internasional yang berusaha menghapuskan hukuman mati dari hukum negara yang ada di dunia. Pada beberapa pernyataan masih diberikan peluang pelaksanaan hukuman mati. Kondisi ini merupakan akibat dari penghapusan hukuman mati yang belum menjadi pandangan moral yang universal dari masyarakat internasional. Hukum-hukum internasional ini diantaranya ialah KIHSP, Statuta Roma, dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Negara-negara anggota [[Organisasi Kerja Sama Islam]] masih banyak yang melaksanakan hukuman mati. Landasan pemikirannya ialah adanya keterkaitan yang kuat antara hukuman mati dalam kasus-kasus hukum khusus dalam [[syariat Islam]]. Dalam [[Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam]] yang ditetapkan di [[Kairo]], Mesir pada tanggal 5 Agustus 1990, ditetapkan bahwa hak untuk hidup adalah pemberian dari [[Tuhan]] yang harus dilindungi kecuali oleh keputusan syariat Islam.{{Sfn|Riwanto|2016|p=146-147}}
 
== Penerapan ==
Baris 184 ⟶ 175:
Penerapan penghapusan hukuman mati di Eropa mulai banyak dilakukan oleh negara-negara Eropa antara tahun 1950 hingga tahun 1980. Dalam konstitusi masing-masing negara, penghapusan hukuman mati belum terjadi secara ''de facto''. Faktor yang mempercepat penghapusan hukuman mati di Eropa ialah DUHAM. yang disahkan oleh PBB. Faktor lain yang turut mempengaruhi ialah seruan [[Paus Yohanes Paulus II]] bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB tentang moratorium hukuman mati pada tahun 1999.{{Sfn|Ahmad|2021|p=92}} Penghapusan hukuman mati juga di Eropa juga didukung oleh Pasal 2 dalam Piagam Hak Asasi Uni Eropa yang dibentuk pada tahun 2000. Dalam Pasal ini, negara-negara anggota Uni Eropa dilarang untuk menerapkan hukuman mati.{{Sfn|Ahmad|2021|p=175}}
 
Pada tahun 1989, [[Kamboja]] menjadi negara di kawasan Asia yang pertama menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan. Hal yang sama dilakukan oleh negara [[Timor Leste]], [[Nepal]], dan [[Turkmenistan]]. Di kawasan [[Afrika]], [[Tanjung Verde]] menghapuskan hukuman mati pada 1981 disusul oleh [[Mozambik]], [[Namibia]], dan [[SãoSao ToméTome dan PríncipePrincipe]] pada tahun 1990. Di kawasan Oseania, [[Kepulauan Solomon]] dan [[Tuvalu]] menghapuskan hukuman mati bersamaan dengan kemerdekaannya pada tahun 1978. {{Sfn|Tim Institute for Criminal Justice Reform|2017|p=16}} Pada periode 1990-an terdapat 5 negara yang menghapuskan hukuman mati karena bertentangan dengan konstitusi negaranya. Penghapusan hukuman mati dilakukan secara hukum melalui mahkamah konstitusi di masing-masing negara. Kelima negara ini ialah [[HongariaHungaria]], [[Afrika Selatan Terbuka 2011 – Kualifikasi Tunggal|Afrika Selatan]], Lituania, Ukrania, dan Albania.{{Sfn|Hasani|2013|p=337}}
 
=== Awal abad ke-21 Masehi ===
Baris 203 ⟶ 194:
*{{cite book|last=Baderin|first=Mashood A.|date=2010|year=|url=https://www.komnasham.go.id/files/20161021-hukum-internasional-hak-asasi--$VK9YT4B.pdf|title=Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam|location=Jakarta|publisher=Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|isbn=978-979-26-1433-6|edition=2|ref={{sfnref|Baderin|2010}}|url-status=live|translator-last=Kazhim|translator-first=Musa|orig-year=2003|trans-title=International Human Rights and Islamic Law|translator-last2=Arifin|translator-first2=Edwin}}
*{{cite book|last=Baso, A., dkk.|first=|date=2012|year=|url=https://perpustakaan.komnasham.go.id/dokng/files/laporan/Hukuman_Mati.pdf|title=Pengkajian Proses Peradilan Pidana Mati di Indonesia: Situasi Terpidana Mati dan Upaya Penegak Hukum Pasca Reformasi|location=Jakarta|publisher=Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|isbn=|ref={{sfnref|Baso, A., dkk.|2012}}|url-status=live|pages=}}
*{{cite book|last=Berrih|first=Carole|date=2019|year=|url=https://www.ecpm.org/wp-content/uploads/rapportindon%C3%A9sie_bahasa.pdf|title=Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan bagi Terpidana Mati di Indonesia|location=Paris|publisher=ECPM|isbn=978-2-49135-401-5|ref={{sfnref|Berrih|2019}}|url-status=live|access-date=2021-06-01|archive-date=2021-06-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210602213818/https://www.ecpm.org/wp-content/uploads/rapportindon%C3%A9sie_bahasa.pdf|dead-url=yes}}
*{{cite book|last=Budiman, A.A., dkk.|first=|date=Oktober 2017|year=|url=http://icjr.or.id/wp-content/uploads/2017/10/Menyiasati-Eksekusi-Mati1.pdf|title=Menyiasati Eksekusi dalam Ketidakpastian: Melihat Kebijakan Hukuman Mati 2017 di Indonesia|location=Jakarta Selatan|publisher=Institute for Criminal Justice Reform|isbn=978-602-6909-68-8|ref={{sfnref|Budiman, A.A., dkk.|2017}}|url-status=live|pages=}}
*{{cite book|last=Budiman|first=Adhigama Andre|date=2017|year=|url=http://icjr.or.id/wp-content/uploads/2017/11/Pidana-Mati-dan-Posisi-Indonesia-terhadap-Resolusi-Majelis-Umum-PBB-dan-Resolusi-Dewan-HAM-PBB.pdf|title=Pidana Mati dan Posisi Indonesia terhadap Resolusi Majelis Umum PBB dan Resolusi Dewan HAM PBB|location=Jakarta|publisher=Institute for Criminal Justice Reform|isbn=978-602-6909-69-5|ref={{sfnref|Budiman|2017}}|url-status=live|pages=}}
Baris 213 ⟶ 204:
*{{cite book|last=Organisasi Perburuhan Internasional|first=|date=2006|year=|url=https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_117195.pdf|title=Hak-hak Pekerja Migran: Buku Pedoman|location=Jakarta|publisher=Organisasi Perburuhan Internasional|isbn=978-92-2-819592-7|ref={{sfnref|Organisasi Perburuhan Internasional|2006}}|url-status=live|pages=}}
*{{cite book|last=Riwanto|first=Agus|date=2016|year=|url=https://layanan.hukum.uns.ac.id/kepeg/buku/agusriwanto/article/view_2/002.pdf|title=Sejarah Hukum: Konsepsi, Teori dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum|location=Karanganyar|publisher=Oase Pustaka|isbn=978-602-6259-90-5|ref={{sfnref|Riwanto|2016}}|url-status=live|pages=}}
*{{cite journal|last=Samsul|first=Inosentius|date=Januari 2015|url=http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-2-II-P3DI-Januari-2015-6.pdf|title=Politik Hukuman Pidana Mati|6=|journal=Info Singkat|volume=VII|issue=2|issn=|publisher=Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI|ref={{sfnref|Samsul|2015}}|url-status=live|access-date=2021-06-06|archive-date=2021-06-06|archive-url=https://web.archive.org/web/20210606225722/http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-2-II-P3DI-Januari-2015-6.pdf|dead-url=yes}}
*{{cite book|last=Smith, R.K.M., dkk.|first=|year=2008|url=http://e-pushamuii.org/files.php?type=pdf&id=107|title=Hukum Hak Asasi Manusia|location=Yogyakarta|publisher=Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia|isbn=|ref={{sfnref|Smith, R.K.M., dkk.|2008}}|url-status=live|pages=|editor-last=Asplund, K.D., Marzuki, S., dan Riyadi, E.|access-date=2021-06-01|archive-date=2021-06-02|archive-url=https://web.archive.org/web/20210602213455/http://e-pushamuii.org/files.php?type=pdf&id=107|dead-url=yes}}
*{{cite book|last=Tim Institute for Criminal Justice Reform|first=|date=2017|year=|url=http://icjr.or.id/wp-content/uploads/2018/01/Politik-Kebijakan-Hukuman-Mati-Indonesia-Dari-Masa-ke-Masa.pdf|title=Politik Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia Dari Masa ke Masa|location=Banda Aceh|publisher=|isbn=|ref={{sfnref|Tim Institute for Criminal Justice Reform|2017}}|url-status=live}}
*