Wayang sadat: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
|||
(12 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
== Sejarah ==
Wayang Sadat mulai dipentaskan pada tahun 1985 di [[Trucuk, Klaten|Desa Trucuk, Klaten]]. Wayang Sadat dibuat oleh seorang seniman sekaligus [[dai]] bernama Suryadi.<ref>{{Cite web|url=https://tirto.id/berdakwah-lewat-wayang-sadat-chw7|title=Berdakwah Lewat Wayang Sadat|last=Aziz|first=Abdul|date=24 Januari 2017|website=Tirto.id|access-date=27 Juni 2020}}</ref> Mengamati kembali perspektif budaya, wayang adalah perwujudan [[sinkretisme]] dan serpihan dari beragam budaya yang mengkonstruksinya. Sifat ini menunjukkan pluralitas dan sifat [[eklektisisme]] budaya sebagai akibat budaya Jawa yang terbuka dan toleran terhadap berbagai budaya lain. Selaras dengan hal tersebut, wayang sadat hadir dari produksi akulturasi [[Jawa]]-[[Islam]] untuk menjadi sarana penyampaian ajaran tauhid ke-Islaman. Perlu digarisbawahi bahwa sejauh ini banyak wayang yang telah lahir dan berkembang memiliki nilai religiuitas, tetapi hanya dalam tataran normatif dan belum menyentuh ke aspek mendasar dari esensi keagamaan Islam yaitu Tauhid. Tauhid dalam ajaran Islam merupakan
== Etimologi ==
Secara [[
== Refleksi Tauhid ==
Wayang sadat memiliki [[esensi]] tauhid yang termuat dalam lakon, ketokohan, dan simbol-simbol di dalamnya. Secara [[Arti harfiah|harfiah]], kata tauhid dari bahasa [[Arab]] yaitu ''Wahhada Yuwahhidu-tauhid'' yang artinya “meng-Esakan”. Jadi, bertauhid artinya meng-Esakan Tuhan pencipta semesta yang tidak ada sesuatu bagi-Nya dengan keyakinan yang bulat sehingga yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Mahakuasa tidak ada tandingannya. Tauhid merupakan suatu pegangan, pengilmuan, dan sesuatu yang bersabit dengan penghayatan tentang pengesaan dan Keesaaan Allah Ta’ala. Konsep tauhid terdiri dari tiga asas yaitu iman (kepercayaan), ilmu (pengetahuan) dan amal (perlakuan). Dalam tauhid terdapat enam rukun iman, yaitu: Iman kepada Allah, Iman kepada [[Malaikat]], Iman kepada [[Kitabullah]], Iman kepada [[Rasul]], Iman kepada [[Akhirat|Hari Akhir]], dan Iman kepada Takdir Tuhan. Keenam rukun iman tersebut terdapat pada pementasan wayang sadat dalam Lakon Ki Ageng Pengging.<ref>{{Cite book|title=Ilmu Tauhid|last=Jafar|first=Ahmad|date=1974|publisher=CV. Siti Syamsiah|isbn=|location=Solo|pages=11|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|title=Pengertian Tauhid|last=Al-Qardawi|first=Yusuf|date=1993|publisher=Pustaka Salam Sdn. Bhd|isbn=|location=Kuala Lumpur|pages=12|url-status=live}}</ref>
* Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama dan menunjukkan kewajiban bagi pemeluk agama Islam untuk percaya kepada ke-Esaan Allah dengan segala kebesarannya. Lakon Ki Ageng Pengging ini dapat terefleksikan pada vokal tunggal dalang yang berbunyi: ''“Niyatingsun amiwiti, anyebut asmaning Allah, ingkang sipat rahman-rahiim, Mahamurah Mahaasih, (mengucapkan doa:
* Iman Kepada Kitab Tuhan
Umat Islam percaya bahwa dogma yang tersurat dalam [[Al-Qur'an]] merupakan firman Allah SWT. Oleh karena itu, umat Islam ditekankan untuk mempelajari, mendalami, dan mengamalkan perintah
Ki Ageng Pengging: ''Ngaten mbakyu, anggen kula badhe ngawontenaken perpisahan kaliyan anak kula Mas Karebet mangke, Kula sarengaken kalian upacara kataman santri angkatan taun menika. Mila lajeng menika wonten pahargyan saben taun mbakyu.'' Percakapan antaran Ki Anggeng Pengging dengan Nyi Ageng Tingkir tersebut menyampaikan akan mengadakan upacara perpisahan antara Ki Ageng Pengging (bapak) dengan anaknya yaitu Mas Karebet. Upacara perpisahan tersebut dibarengkan dengan acara Kataman. Kataman adalah tes membaca Al Qur'an dari [[juz 1]] sampai dengan [[juz 30]] secara baik dan benar sesuai dengan [[tajwid]] yaitu panjang pendek pengucapan, pelafalan, intonasi, jeda, dan pemberhentian.<ref>{{Cite book|title=Dakwah Islam dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging|last=Murtana|first=I Nyoman|date=2011|publisher=ISI Press|isbn=978-602-8755-33-7|location=Surakarta|pages=65|url-status=live}}</ref>
* Iman Kepada Nabi
Percaya kepada nabi dalam pertunjukan Wayang Sadat lakon Ki Ageng Pengging, dimunculkan dalam ''[[jineman]]'' (rangkaian akhir dari sulukan jejer pertama). Syair ''jineman'' dalam ''sulukan'' diambil dari syair [[selawatan]]. Syair selawatan ini juga dipakai dalam bagian akhir ''sulukan pathet sanga wantah''. Berikut ini kutipan syair selawatan: ''
Dalam ayat di atas digunakan kata
*Iman Kepada Hari Akhir
Baris 32 ⟶ 34:
Ki Ageng Pengging: ''Unine piye?''
Mengkreng: ''Ngaten,
Ki Ageng Pengging: ''Ya bener, tegese?''
Mengkreng: ''Tegesipun, apa kowe apa sira kepriye Gusti Allah nganakake perlambang tumrap kalimah Toyibah Lailahaillallah. Pepindhane kaya dene wit kang gedhe, oyote kukuh bakuh tumanem ing bumi, pucuke rumangsang langit''.
Ki Ageng Pengging: ''Ya terjemahane wis bener, njur tegese maknane kepiye?''
Baris 41 ⟶ 44:
Mengkreng: ''Ngaten Ki Ageng, tiyang gesang menika sanadyan mawi gegebengan agami, tujuan ingkang pungkasan menika kamulyan mbenjang wonten ing akherat samawiyah mrika, nanging menika kedah tumapak ing bumi, liripun kedah alandhesan realitas ngaten lho Ki Ageng''.<ref>{{Cite book|title=Dakwah Islam dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging|last=Murtana|first=I Nyoman|date=2011|publisher=ISI Press|isbn=978-602-8755-33-7|location=Surakarta|pages=70|url-status=live}}</ref>
Apabila direfleksikan, dialog tersebut mempunyai makna yang sangat dalam yaitu semua makhluk hidup apabila berusaha dengan sungguh-sungguh, Allah akan selalu memberi petunjuk dan mengabulkan permohonannya. Hal ini sesuai dengan [[Surah Ibrahim]] ayat 25 yang artinya sebagai berikut: “Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.<ref>{{Cite book|title=Al-Qur’an dan Terjemahannya|last=Departemen Agama RI|first=|date=1990|publisher=Yayasan Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an|isbn=|location=Jakarta|pages=383|url-status=live}}</ref> Dialog tersebut juga mengandung makna bahwa orang hidup itu meskipun sudah beragama diwajibkan mengingat akan kematian. Hal ini sesuai dengan Al-Quran [[Surah At-Taubah|Surah At-Taubat]] ayat 35 yang berbunyi: “Kullu nafsin dzaaiqatil mauut” yang artinya: “Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasai mati”. Oleh karena itu, manusia hidup patut mempersiapkan diri menghadapi mati itu tanpa memohon kematian, sebab setiap orang sudah punya ajal masing-masing. Kematian orang lain hendaknya menjadi pelajaran. Oleh karena itu, Nabi bersabda: “Cukuplah sudah dengan kematian itu, menjadi peringatan dan pelajaran di mana kematian tak mengenal usia seseorang di mana dan kapan saja. Tua-muda, kaya-miskin semuanya akan mati”.<ref>{{Cite book|title=Tafsir Al-Maraghi Juz XV|last=Mustafa|first=Ahmad|date=1985|publisher=CV. Toha Putra|isbn=|location=Semarang|pages=86|url-status=live}}</ref>
Dari refleksi di atas, dapat digarisbawahi bahwa pagelaran wayang sadat khususnya dalam lakon Ki Ageng Pengging memuat ajaran Tauhid yang tampak dari berbagai ketokohan, percakapan, dan simbolisasi di dalamnya. Ajaran
== Lihat pula ==
Baris 57 ⟶ 60:
{{Wayang}}
[[Kategori:Kabupaten Klaten]]
[[Kategori:Wayang]]
|