Wayang sadat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 7:
== Etimologi ==
 
Secara [[Etimologi|etimologisetimologi]]s, kata Sadat berasal dari kalimat “syahadat” yang merupakan rukun islam yang pertama bagi pemeluk agama Islam. Iman yaitu meyakini sepenuh hati bahwa [[Allah]] adalah Tuhan yang Maha Esa dan [[Muhammad]] adalah Rasulullah. Suryadi memiliki dua tujuan dalam pementasan wayang sadat. Pertama, wayang sadat digunakan untuk berdakwah ajaran tauhid keislaman. Sejauh ini para penyebar agama Islam sudah menggunakan seni pewayangan sebagai dakwah, tetapi dapat diamati bahwa hanya terdapat sedikit porsi dakwah di dalam pagelaran wayang tersebut. Selain itu, pertunjukan wayang yang telah ada sebelumnya, umumnya bersumber dari [[Mahabharata|Epos Mahabharata]] dan [[Ramayana]] yang kental nuansa Hindu-Budha. Kedua, melalui pertunjukan wayang sadat, Suryadi ingin merangsang apresiasi umat Islam, khususnya masyarakat Trucuk dan sekitarnya pada tahun [[1980-an]], yang dinilainya masih rendah terhadap seni tradisi. Dengan berdasarkan pada kreativitas seni dan landasan dakwah Islam, Suryadi membuat lakon-lakon yang terlepas dari epos Hindu-Budha. Lakon-lakon baru muncul dari rekonstruksi cerita dakwah Wali songo. Selain bersumber dari karya sastra kuno berupa ''[[babad]]'' dan ''serat'', Suryadi menguatkan citra wayang sadat sebagai wayang dakwah Islam dengan menciptakan tokoh-tokoh wayang yang mengadopsi Wali songo, yaitu [[Sunan Bonang]], [[Sunan Ampel]], [[Sunan Kudus]], [[Sunan Kalijaga]], dan para tokoh dari zaman Kerajaan Islam [[Kabupaten Demak|Demak]] yaitu [[Raden Patah]], Ki Ageng Pengging, dan [[Joko Tingkir]].<ref>{{Cite webnews|url=https://m.merdeka.com/semarang/kabar-semarang/mengenal-wayang-sadat-media-dakwah-islam-koleksi-museum-peradaban-islam-majt-180603z.html|title=Mengenal Wayang Sadat, Media Dakwah Islam Koleksi Museum Peradaban Islam MAJT|last=Salam|first=Nur|date=3 Juni 2018|websitework=[[Merdeka.com]]|access-date=27 Juni 2020|archive-date=2020-06-29|archive-url=https://web.archive.org/web/20200629145031/https://m.merdeka.com/semarang/kabar-semarang/mengenal-wayang-sadat-media-dakwah-islam-koleksi-museum-peradaban-islam-majt-180603z.html|dead-url=yes}}</ref>
 
== Refleksi Tauhid ==
Baris 23:
 
* Iman Kepada Nabi
Percaya kepada nabi dalam pertunjukan Wayang Sadat lakon Ki Ageng Pengging, dimunculkan dalam ''[[jineman]]'' (rangkaian akhir dari sulukan jejer pertama). Syair ''jineman'' dalam ''sulukan'' diambil dari syair [[selawatan]]. Syair selawatan ini juga dipakai dalam bagian akhir ''sulukan pathet sanga wantah''. Berikut ini kutipan syair selawatan: ''“Lailahaillallah muhammadarrasulullah.”'' Makna yang tersirat di dalam syair selawatan itu adalah mengagungkan nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW. Dalam ajaran Islam, membaca selawatan itu bermaksud untuk mengagungkan nama Allah dan Nabi Muhammad SAW. Ajaran itu terdapat dalam Al-Quran [[Surah Al-Ahzab|Surah Al Ahzab]] ayat 44 dan 56 yang artinya: “Menyatakan bahwa Dialah yang memberi rahmat (selawat) kepadamu dan malaikat-Nya (44). (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang (56)”.<ref>{{Cite book|title=Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran|last=Shihab|first=Quraish|date=2006|publisher=Lentera Hati|isbn=978-979-9048-08-0|location=Jakarta|pages=71|url-status=live}}</ref>
 
Dalam ayat di atas digunakan kata selawat. Ucapan selawat itu berasal dari Allah SWT dan malaikatnya. Orang-orang beriman dianjurkan untuk berselawat kepada Nabi. Ucapan selawat dari malaikat berarti permohonan ampun untuk Nabi Muhammad SAW walaupun Nabi SAW terbebas dari dosa-dosa. Demikian juga orang-orang yang beriman mengucapkan selawat untuk Nabi sebagai penghormatan kepada Nabi.<ref>{{Cite book|title=Dakwah Islam dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging|last=Murtana|first=I Nyoman|date=2011|publisher=ISI Press|isbn=978-602-8755-33-7|location=Surakarta|pages=67|url-status=live}}</ref>
Baris 36:
Mengkreng: ''Ngaten, “A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim. Bismillahirrahmannirrahiim. Alamtara kaifadharaballahumatsalan kalimatan thayyibatan kasyajaratin hayyibatin ashluhaa tsaabituw wafaruhaa fissama''.
 
Ki Ageng Pengging: ''Ya bener, tegese?''
 
Mengkreng: ''Tegesipun, apa kowe apa sira kepriye Gusti Allah nganakake perlambang tumrap kalimah Toyibah Lailahaillallah. Pepindhane kaya dene wit kang gedhe, oyote kukuh bakuh tumanem ing bumi, pucuke rumangsang langit''.
 
Ki Ageng Pengging: ''Ya terjemahane wis bener, njur tegese maknane kepiye?''
Baris 46:
Apabila direfleksikan, dialog tersebut mempunyai makna yang sangat dalam yaitu semua makhluk hidup apabila berusaha dengan sungguh-sungguh, Allah akan selalu memberi petunjuk dan mengabulkan permohonannya. Hal ini sesuai dengan [[Surah Ibrahim]] ayat 25 yang artinya sebagai berikut: “Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.<ref>{{Cite book|title=Al-Qur’an dan Terjemahannya|last=Departemen Agama RI|first=|date=1990|publisher=Yayasan Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an|isbn=|location=Jakarta|pages=383|url-status=live}}</ref> Dialog tersebut juga mengandung makna bahwa orang hidup itu meskipun sudah beragama diwajibkan mengingat akan kematian. Hal ini sesuai dengan Al-Quran [[Surah At-Taubah|Surah At-Taubat]] ayat 35 yang berbunyi: “Kullu nafsin dzaaiqatil mauut” yang artinya: “Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasai mati”. Oleh karena itu, manusia hidup patut mempersiapkan diri menghadapi mati itu tanpa memohon kematian, sebab setiap orang sudah punya ajal masing-masing. Kematian orang lain hendaknya menjadi pelajaran. Oleh karena itu, Nabi bersabda: “Cukuplah sudah dengan kematian itu, menjadi peringatan dan pelajaran di mana kematian tak mengenal usia seseorang di mana dan kapan saja. Tua-muda, kaya-miskin semuanya akan mati”.<ref>{{Cite book|title=Tafsir Al-Maraghi Juz XV|last=Mustafa|first=Ahmad|date=1985|publisher=CV. Toha Putra|isbn=|location=Semarang|pages=86|url-status=live}}</ref>
 
Dari refleksi di atas, dapat digarisbawahi bahwa pagelaran wayang sadat khususnya dalam lakon Ki Ageng Pengging memuat ajaran Tauhid yang tampak dari berbagai ketokohan, percakapan, dan simbolisasi di dalamnya. Ajaran ketauhidan yang termuat dalam wayang sadat yaitu: iman kepada Allah, iman kepada Rosullullah, iman kepada kitab (Al-Quran), dan iman kepada hari akhir.<ref name=":0" /><ref>{{Cite book|title=Tafsir Al-Maraghi Juz XV|last=Mustafa|first=Ahmad|date=1985|publisher=CV. Toha Putra|isbn=|location=Semarang|pages=105|url-status=live}}</ref><ref name=":0" />
 
== Lihat pula ==
Baris 60:
 
{{Wayang}}
 
{{wayang-stub}}
[[Kategori:Kabupaten Klaten]]
[[Kategori:Wayang]]