Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidakpelupa (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(82 revisi perantara oleh 58 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
{{Riset asli}}}}
{{Infobox military conflict
| conflict
| partof
| image = Munumen Serangan Umum 1 Maret 1949.jpg
|
| caption = Monumen Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta | date
| place
| territory
| result
| combatant1
| combatant2
| commander1
| commander2 =
| units1
| units2
| strength1
| strength2
| casualties1
| casualties2
| casualties3
| notes
| campaignbox
}}
{{Campaignbox Revolusi Nasional Indonesia}}
'''Serangan Umum 1 Maret 1949'''
Serangan ini telah dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan == Latar belakang ==
Merasa frustrasi dalam negosiasi dengan republik dan meyakini bahwa republik telah dilemahkan oleh pemberontakan [[Negara Islam Indonesia|Darul Islam]] dan [[Pemberontakan PKI 1948|Madiun]], [[Belanda]] melancarkan serangan militer pada tanggal 19 Desember 1948 yang mereka sebut sebagai “''[[Agresi Militer Belanda II|Operatie Kraai]]''” (Operasi Gagak). Keesokan harinya, Belanda berhasil menaklukkan [[Kota Surakarta]] dan [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] yang merupakan lokasi ibu kota republik sementara. Pada akhir Desember, semua kota besar yang dikuasai republik di [[Jawa]] dan [[Sumatra]] telah berada di tangan Belanda. [[Soekarno|Presiden]], [[Mohammad Hatta|wakil presiden]], dan semua kecuali enam menteri Republik Indonesia ditangkap oleh pasukan Belanda dan diasingkan ke [[Pulau Bangka]] di lepas pantai timur Sumatra. Di daerah sekitar Yogyakarta dan Surakarta, pasukan republik menolak untuk menyerah dan terus melancarkan perang gerilya di bawah pimpinan kepala staf militer republik Jenderal Sudirman yang berhasil lolos dari serangan Belanda. Pemerintah darurat republik, [[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia|Pemerintah Darurat Republik Indonesia]] (PDRI), didirikan di [[Sumatera Barat]].
==
Tanggal [[1 Maret]] [[1949]], pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibu kota Republik yakni kota [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], serta koar-besaran oleh pasukan [[Brigade X]] yang diperkuat dengan satu Batalyon dari [[Brigade IX]], sedangkan serangan terhadap pertahanan [[Belanda]] di [[Magelang]] dan penghadangan di jalur
Pos komando ditempatkan di desa [[Muto]]. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol [[Soeharto]] langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas [[Malioboro]]. Sektor Timur dipimpin [[Ventje Sumual]], sektor selatan dan timur dipimpim Mayor [[Sardjono]], sektor utara oleh Mayor [[Kusno]]. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan [[Amir Murtono]] dan Letnan
Serangan terhadap kota [[Kota Surakarta|Surakarta]] yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan [[Belanda]] di [[Kota Surakarta|Surakarta]] sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari [[Kota Surakarta|Surakarta]] ke [[Yogyakarta]], yang sedang diserang secara besar-besaran – [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] yang dilakukan oleh [[Brigade IX]], hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan [[Belanda]] dari [[Magelang]] ke [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]. Tentara [[Belanda]] dari [[Magelang]] dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] sekitar pukul 11.00.
== Akibat ==
Dari pihak [[Belanda]], tercatat 6 orang tewas, dan di antaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan [[Belanda]] melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Baris 104 ⟶ 49:
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal [[Meier]] (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), [[Dr. Angent]] (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel [[van Langen]] (komandan pasukan di [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]) dan Residen [[Stock]] (Bestuurs-Adviseur untuk Yogyakarta) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], pihak [[Indonesia]] mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas (Sebagian besar para pejuang berani mati), 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti
== Perkembangan setelah Serangan Umum 1 Maret ==
Baris 121 ⟶ 66:
{{pemastian}}
Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas [[Yogyakarta]] 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di [[Pertempuran Medan Area]] ([[Medan Area]], [[Oktober]] [[1945]]), [[Palagan Ambarawa]] ([[12 Desember|12]] – [[15 Desember]] [[1945]]), [[Bandung Lautan Api]] ([[April]] [[1946]]), Perang [[Puputan Margarana]] [[Bali]] ([[20 November]] [[1946]]), [[Pertempuran 5 hari 5 malam]] di [[Palembang]] ([[1 Januari|1]] – [[5 Januari]] [[1947]]) dan juga tidak melebihi semangat berjuang [[Divisi Siliwangi]], ketika melakukan ''long march'', yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]/[[Kota Surakarta|Surakarta]]/[[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Barat]], dalam rangka melancarkan operasi [[Wingate]] untuk melakukan perang gerilya di [[Jawa Barat]], setelah [[Belanda]] melancarkan [[Agresi II]] tanggal [[19 Desember]] [[1948]]. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan ''arek - arek Suroboyo'' pada [[Pertempuran di Surabaya]] / [[Peristiwa 10 November]] [[1945]], yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal [[10 November]] sebagai [[Hari Pahlawan]].▼
▲Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas [[Yogyakarta]] 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di [[Medan]] ([[Medan Area]], [[Oktober]] [[1945]]), [[Palagan Ambarawa]] ([[12 Desember|12]] – [[15 Desember]] [[1945]]), [[Bandung Lautan Api]] ([[April]] [[1946]]), Perang [[Puputan Margarana]] [[Bali]] ([[20 November]] [[1946]]), [[Pertempuran 5 hari 5 malam]] di [[Palembang]] ([[1 Januari|1]] – [[5 Januari]] [[1947]]) dan juga tidak melebihi semangat berjuang [[Divisi Siliwangi]], ketika melakukan ''long march'', yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]]/[[Kota Surakarta|Surakarta]]/[[Jawa Tengah]] ke [[Jawa Barat]], dalam rangka melancarkan operasi [[Wingate]] untuk melakukan perang gerilya di [[Jawa Barat]], setelah [[Belanda]] melancarkan [[Agresi II]] tanggal [[19 Desember]] [[1948]]. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan ''arek - arek Suroboyo'' pada [[Pertempuran di Surabaya]] / [[Peristiwa 10 November]] [[1945]], yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal [[10 November]] sebagai [[Hari Pahlawan]].
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas [[Yogyakarta]] yang kemudian dilaksanakan pada [[1 Maret]] [[1949]], dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari Panglima Besar [[Sudirman]], untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa [[TNI]] - berarti juga [[Republik Indonesia]] - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan [[PBB]].
Baris 169 ⟶ 113:
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar yang menjadi incaran tentara [[Belanda]]. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi dengan Jenderal [[Sudirman]], walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Kapten [[Soepardjo Rustam|Suparjo Rustam]], ajudan Panglima Besar [[Sudirman]], tercatat kegiatan Panglima Besar, antara lain:
"Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa
Selama perjalanan, Kapten [[Suparjo]] (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
Baris 251 ⟶ 195:
"... kemudian Presiden dan Wapres di [[Gedung Agung]] ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada [[Syafruddin Prawiranegara]] dilain fihak kedudukan kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh [[Sri Sultan HB IX]], merupakan pimpinan [[RI]] yang tetap di [[Yogyakarta]], dimana [[kraton]] berada maka praktis perjuangan kita hanya menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/[[PBB]], dimana hal ini semenjak perpindahan pemerintah [[RI]] di Yogya tersebut [[Sri Sultan HB IX]] dengan telah terbentuknya Laskar Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator Keamanan maka mulailah dia menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda yang mengatakan Pemerintah [[RI]] telah "hilang" semenjak [[Sukarno]]-[[Hatta]] diasingkan Posisi [[TNI]] sudah sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah, kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi dia mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."
Menurut tulisan ini, [[Laskar Mataram]] yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan [[Wehrkreis]]. Agak mengherankan, karena dalam banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram tersebut. Memang ketika [[Belanda]] melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, [[Re-Ra]] (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh [[TNI]] belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke [[TNI]].
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. [[Sri Widodo]], Msc, dalam kata sambutannya, sebagai:"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama dalam penulisan buku ini...".
Baris 285 ⟶ 229:
== Perkembangan Kontroversi Serangan Umum 1 Maret ==
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]], Ibu kota RI waktu itu yang diduduki Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari dua puluh tahun, apabila beberapa pelaku sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B. Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang. Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas, terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.
Baris 306 ⟶ 250:
Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.
== Referensi ==
<references />
== Pranala luar ==
Baris 312 ⟶ 259:
* {{id}} http://sobatjogja.com/upacara-peringatan-serangan-umum-1-maret-hari-ini-berjalan-hikmat/
* {{id}} https://www.blogger.com/u/2/blog/post/edit/6810767847525948453/6929217318365020895
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
Baris 319 ⟶ 265:
[[Kategori:Perang yang melibatkan Indonesia]]
[[Kategori:Perang Kemerdekaan Indonesia]]
<references group="serangan 1 maret 1949" responsive="" />
|