#alih [[Kedatuan Sidenreng]]
'''Addituang Sidenreng''' Atau '''Kerajaan/Kesultanan Sidenreng''', merupakan kerajaan yang terletak di [[Celebes]] atau tepatnya di Daerah Provinsi [[Sulawesi Selatan]].
Kerajaan ini merupakan '''Cikal bakal''' dari [[Kabupaten Sidenreng Rappang]], yang dulunya tergabung dalam [[Ajatappareng|Konfederasi Limae Ajatappareng]] sebelum resmi bergabung ke [[NKRI]]. Tahun 1960 Mengawali pengangkatan Bupati Pertama Sidrap.
Etnik asli di Sidenreng adalah Suku Bugis sehingga corak budaya yang dominan yaitu budaya Bugis. Sidenreng memiliki beberapa ekspresi kebudayaan yang khas diantaranya Pakkacaping, Tari Marellau Pammase Dewata/ Tuhan Yang Maha Esa (Tari Padduppa), Padendang, Maccera Tappareng, Tudang Sipulung (Musyawarah untuk mufakat),
Sidenreng Rappang memiliki beberapa eksperesi kebudayaan yang merupakan hasil akulturasi dengan berbagai kebudayaan yang lain diantaranya: perpaduan Bugis-Arab dalam bentuk music dan tari Jeppeng, mappanre temme (Khatam Qur’an).
MANUSKRIP
Manuskrip yang terdapat di Sidenreng Rappang adalah satu bilah bambu kering ukuran panjang 40 cm dan Naskah Kuno Khotbah pertama di Mushallah Langgara Tungga.
TRADISI LISAN
Tradisi lisan yang terdapat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah Asal Mula Nama Sidenreng, Tau Accana SIdenreng, Pejuang Usman Balo, La Monri Putra Bungsu Bulucenrana, Nenek Mallomo, La Welle, Nenek Pakande, Meongpolo Bolongngede dan Sang Ayang Sri, Asal Mula Lahirnya Tanru Tedong serta La Buta dan La Peso.
ADAT ISTIADAT
Adat istiadat yang dilaksanakan oleh masyarakat di Sidenreng Rappang diantaranya berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam, dan persembahan. Adat istiadat tersebut diantaranya adalah Tudang Sipulung, Maccera Tappareng, dan Upacara Adat Tolotang.
RITUS
Ritus yang dilaksanakan oleh masyarakat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah Mappaci, dan Mappatettong Bola (mendirikan rumah panggung)
PENGETAHUAN TRADISIONAL
Pengetahuan tradisional masyarakat Sidenreng Rappang diantaranya Ilmu² Pertanian lokal, yg berkaitan dengan obat-obatan, pandai besi/Panre bessi, Pandai Rumah/Panre Bola, dll
TEKNOLOGI TRADISIONAL
Teknologi tradisional yang terdapat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah pembuatan alat rumah tangga, pembuatan Kecapi Bugis Sidrap dan Kerajinan Batu Ukir. Dll
SENI
Kesenian masyarakat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah Cule Cule To Riolo, Manu Gagak (Ayam Ketawa), Paduppa (Marellau Pammase Dewata/ Tuhan yang maha esa), Padendang, Bosara, Massempe Ri Parinyameng, pettenung, Pakkacaping Sarapo, Cule-cule Pakkacaping dan Meong Palo Karelle. Dll
BAHASA
Bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Sidenreng Rappang adalah Bahasa Bugis.
PERMAINAN RAKYAT
Permainan rakyat masyarakat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah Mallebba, Maggoli, Maggetta, Makkenja, Majjalengka, Massanto, Maggalanto, Mappolo Becceng, Massempek, Mammencak, Mappadendang, Makkurung Manuk, Mallanca, Maccukke/ Maccengke, Maggasing, Mabbong, Makkalajang, dll
OLAHRAGA TRADISONAL
Olahraga tradisional masyarakat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah Terompah Panjang, Patok Lele/ Maccukke, Egrang/Malonggak, Gasing/Maggasing, Tarik Tambang, Maggolo, Mattakkoro dll
CAGAR BUDAYA
Cagar budaya yang terdapat di Sidenreng Rappang diantaranya adalah Struktur Makam Syeh Keramat Padomai, Struktur Makam Nenek Petta Bolong Aje, Makam Puatta Punri Mojong, Langgara Tungga, Makam Korban 40.000 Jiwa Kulo, Makam Nene Mallomo, Makam Petta Soppo Batu, Bangunan Kolonial Belanda, Makam Andi Pajala Kitta, dll.<ref name=":0" />
'''Addituang Sidenreng''' memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan [[Suku Bugis|Bugis]] yang cukup disegani di Sulawesi Selatan sejak Periode [[Abad 14]], disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan Wajo. Berbagai literatur yang ada menyebutkan, eksitensi Kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu dari sedikit kerajaan yang tercatat dalam [[Sureq Galigo|Sureq La Galigo]] yang amat melegenda, Sureq yang di salin oleh Perempuan Hebat, budayawan, sejarawan, dan Intelektual Penggerak Zaman jauh sebelum era [[Kartini|R.A Kartini]] beliau YM [[Colliq Pudjie|Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé]].
Sementara masa La Galigo, menurut Christian Pelras yang menulis buku Manusia Bugis, berlangsung pada periode [[Abad ke-11 hingga 20|abad ke 11]] dan [[Abad ke 13|13 Masehi]]. Menurut Jumaidi Secont, Pemuda Pemerhati Adat dan budaya sekaligus penikmat sejarah, memperkirakan berlangsung kurang lebih pada abad Ke 6 atau abad 9 Masehi *Perkiraan, rujukannya ialah dia percayainya bahwa PYM [[Sawerigading|La Maddukkelleng Opuna Ware Sawerigading ToAppanyompa]] lahir pada kira tahun 564 Masehi merujuk pada perbincangan-perbincangan dengan seorang To Mariolo. Dan Naskah berbahasa Jawa Kuno yg tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda dgn nomor registrasi Or. 6379 Vol.7-8 disebutkan bahwa Arung Bondang, seorang arsitek handal yg datang dari Celebes dan menetap di Blora, dialah yg telah membangun Candi Prambanan di Jawa yg dipersembahkannya untuk cucu [[Prabu Angling Dharma|Angling Darma]] yg menjadi Raja Pertama [[Medang|Kerajaan Mendang Kamulan]], masanya jika melihat catatan history of java, itu awal [[abad ke 8]]. ~ Syansanata Ra. Dan juga bisa lihat Buku Robert Dick Read - Petualangan Bahari, dimana dari banyak bukti, merujuk ke orang bugis sebagai pelayar [[nusantara]] yg datang pada abad 5 dan 7 masehi. Maka dapat di katakan Sidenreng adalah juga Kerajaan [[Suku Bugis|Bugis]] Tertua.
== Sejarah dan Asal Usul ==
'''Kerajaan Sidenreng''' yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng karaja) menjadi salah satu negeri yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain. Ini sesuai dengan catatan seorang Portugis di abad ke-16 M yang menuliskan Sidereng sebagai “...Sebuah kota besar dan terkenal, berpusat di sebuah danau yang dapat dilayari, dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman.” (Tiele 1880, IV;413).<ref>{{Cite journal|date=1880-06-26|title=Patents|url=http://dx.doi.org/10.1038/scientificamerican06261880-413|journal=Scientific American|volume=42|issue=26|pages=413–413|doi=10.1038/scientificamerican06261880-413|issn=0036-8733}}</ref>
Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugis lainnya malah sempat menetap selama delapan bulan di Kerajaan Sidenreng dan merekam suasana tahun 1548 M. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai dengan penduduk sekitar 300.000 orang. Ada yang berpendapat bahwa asumsi penduduk di tahun 1548 M yang disebut Pinto terlalu besar. Namun dengan kebesaran dan kejayaan Sidenreng di masa itu, tak menutup kemungkinan bahwa Sidereng mempunyai wilayah yang jauh lebih luas daripada [[Kabupaten Sidenreng Rappang]] atau wilayah [[Ajatappareng]] sekarang ini.
Ia juga menceritakan aktivitas perdagangan di kerajaan ini yang dikunjungi pedangang dari berbagai belahan dunia termasuk Portugis dengan muggunakan jalur laut menuju Tappareng Karaja. Pinto menulis, “Sebuah fusta besar (kapal layar portugis yang panjang dan dilengkapi deretan dayung di kedua sisinya) dapat berlayar dari laut munuju Sidenreng.” (Wicki, Documents Indica, II: 420-2).<ref>{{Cite book|last=Wicki|first=M.|date=1990|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-3-642-74263-7_31|title=Krebs und Alternativmedizin II|location=Berlin, Heidelberg|publisher=Springer Berlin Heidelberg|isbn=978-3-540-50516-7|pages=252–255}}</ref> Hal ini diperkuat oleh Crawfurd pada 1828 (Descriptive Dictionary; 74, 441)<ref>{{Cite book|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-3-540-72816-0_10992|title=Dictionary of Gems and Gemology|location=Berlin, Heidelberg|publisher=Springer Berlin Heidelberg|isbn=978-3-540-72795-8|pages=441–441}}</ref> yang menulis, “pada kampung-kakmpung di tepi (danau)... berlangsung perdagangan luar negeri yang peset. Perahu-perahu dagang dihela ke hulu sungai Cenrana...Kecuali pada musim kemarau, airnya cukup dalam untuk dilewati perahu-perahu paling besar sekalipun.”
Sejarawan lainnya mencatat, “Kerajaan Sidenreng adalah perbatasan wilayah pengaruh Kerajaan [[Kedatuan Luwu|Luwu]] dan Kerajaan [[Kerajaan Siang|Siang]], terletak di antara dataran yang merupakan satu-satunya celah alami antara gugusan gunung yang memisahkan pantai barat dan timur semenanjung Sulawesi Selatan.” (Andaya 2004, Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi di Abad XVII).<ref>{{Cite book|last=Andaya|first=Leonard Y.|date=1981-01-01|url=http://dx.doi.org/10.1163/9789004287228|title=The Heritage of Arung Palakka|publisher=BRILL|isbn=978-90-04-28722-8}}</ref>
Dalam literatur lain, Kerajaan [[Kerajaan Rappang|Rappang]] disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir Sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Kerajaan Sidenreng, Kerajaan [[Kerajaan Sawitto|Sawitto]], Kerajaan [[Kerajaan Alitta|Alitta]], Kerajaan [[Kerajaan Suppa|Suppa]], mereka membentuk persekutuan [[Ajatappareng|Aja’Tappareng]] (wilayah barat danau) untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan itu kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluarga raja-raja mereka.
Cikal Bakal berdirinya Addituang Sidenreng Yakni Kemunculan To Manurungnge.
Addaowang Sidenreng pertama adalah Manurungnge Ri Bulu Lowa. Setelah Mallajang, beliau digantikan oleh anaknya Yakni PYM Sukku Mpulaweng yang kemudian kawin dengan PYM We Pawawoi Arung Bacukiki, putri Labanggenge Manurungnge ri Bacukiki dari perkawinannya dengan Arung Rappang I, We Tipu Linge Mompoe Ri Walamparang
Pertaliam antara Sidenreng dan Rappang sudah ada sejak awal. Itu Sebabnya, kedua kerajaan memiliki hubungan yang sangat erat. Terbukti dengan sumpah kedua kerajaan yang dipegang teguh hingga Addatuang Sidenreng terakhir, yakni: Mate Elei Sidenreng, Mate Arewengngi Rappang (bahasa Bugis), Artinya, Jika Sidenreng mati dipagi hari, sorenya Rappang akan menyusul. Sebuah ikrar solidaritas sehidup semati yang dipegang teguh setiap raja atau arung yang memerintah di kedua kerajaan.
Walau demikian, kedua kerajaan ini juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kerajaan Rappang menerapkan sistem yang Top Down yang dalam bahasa Bugis disebut Massorong Pao, sedangkan Sidenreng dengan menganut sistem Mangelle Pasang (Buttom Up). Namun perbedaan itu tidak memisahkan hubungan keduanya. Malah, pada Tahun 1889, Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang justru diperintah oleh seorang raja bernama Lapanguriseng. Ia menjadi Addituang X sekaligus Arung Rappang XIX. Hal yang sama juga diteruskan oleh putranya, Lasadapotto, Addatuan Sidenreng XII yang naik tahta menggantikan saudaranya, Sumangerukka, yang tidak memiliki keturunan.
Dalam perjalanannya, Kerajaan Sidenreng dan Rappang mengalami pasang surut pemerintahan, hingga pada Tahun 1906 kedua kerajaan yang ketika itu diperintah La Sadapotto, Addatuang Sidenreng XII sekaligus Arung Rappang XX, akhirnya dipaksa kalah kepada kolonial Belanda setelah melalui perlawanan yang sengit. Wilayah kedua kerajaan ini kemudian berstatus distrik dalam wilayah onderafdeling Parepare. Selanjutnya pada Tahun 1917 kedua wilayah tersebut digabung menjadi satu, sebagai bagian dari wilayah pemerintahan Afdeling Parepare yang meliputi:
1. Onderafdeling Sidenreng Rappang
2. Onderafdeling Pinrang
3. Onderafdeling Parepare
4. Onderafdeling Enrekang
5. Onderafdeling Barru
Onderafdeling Sidenreng Rappang di bawah pemerintahan Controleur yang berkedudukan di Rappang, dengan membawahi wilayah administrasi daerah adat yang disebut Regen. Keadaan ini berlangsung hingga masa pendudukan Pemerintahan Jepang yang pada masa itu berada dibawah pengawasan Bunken Kanrikan. Seiring fajar kemerdekaan yang menyingsing pada 17 Agustus 1945, gelora semangat persatuan Indonesia tak terbendung lagi. Maka dengan dukungan penuh seluruh masyarakat, Sidenreng Rappang menyatakan diri sebagai bagian dari negera kesatuan Republik Indonesia.
<nowiki>*</nowiki>Note: Bukan Berarti Addituang/Arung Di gantikan, akan tetapi tetap menduduki posisinya.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor U. P. 7/73-374 tanggal 28 Januari 1960 yang menetapkan Andi Sapada Mappangile sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang yang pertama. Pada 18 Peberuari 1960, Andi Sapada Mappangile kemudian dilantik sebagai Bupati oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Atas dasar pelantikan Bupati tersebut , maka ditetapkan tanggal 18 Pebruari 1960 sebagai hari jadi daerah Kabupaten Sidenreng Rappang yang diperingati setiap tahunnya.
Sejak itu berakhirlah pemerintahan para bangsawan To Manurung yang telah berlangsung berabad-abad. Yang memang Beliau-beliau awalnya yang menyetujui atau menyepakati gabung pada NKRI Selepas Merdeka Daripada Belanda. Meletakkan takhta dan memercayakan, kekayaan, tanah, masyarakat dan alam pada pemerintah untuk di jaga sebagaimana mestinya, tanpa melupakan nilai² luhur, Lempu, Temmappasilaingan, dlsbg<ref>{{Cite web|title=Jumaidi Purnama Sec Ond|url=https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3593839290639241&id=100000396159358|website=m.facebook.com|access-date=2020-12-06}}</ref>...
Al- Fateha Untuk Para Pejuang, YM, Terdahulu, karna tanpa perjuangan gigih dan pengorbanan moral maupun materil beliau², mustahil untuk menundukkan dan mengalahkan Balanda Mata Putewe ... 😇🙏
<nowiki>#</nowiki>Jumaidi2nd #SidenrengRappang
<nowiki>#</nowiki>Sidenreng #Rappang
Ketika kedelapan saudara ini tiba di daerah yang terletak antara Banti, Baraka dan Bunging Riase, Maiwa, mereka menghampiri danau dan sepakat untuk saling bergandengan tangan kedepalan bersaudara (''Sirenreng-renreng Aruwa Mappadaroawane''). Kemudian di tepi danau itu, mereka membangun perkampungan yang bernama Sidenreng.
== Pemimpin ==
Berikut susunan raja-raja Sidenreng<ref name=":0">'''Jumaidi Secont'''
''Dari Beberapa Sumber dan Lontaraq''</ref>
{| class="wikitable"
|-
! No
! Pemimpin
! Gelar
!Masa
|-
|<center>1
|To Manurung'e Ri Bulu Lowa
|<center>Addaowang I
|<nowiki>- 1446</nowiki>
|-
|<center>2
|Songkok Mpulaweng'e
|<center>Addaowang II
|1446 - 1494
|-
|<center>3
|La Batara
|<center>Addaowang III
|1494 - 1519
|-
|<center>4
|La Pasampoi
|<center>Addaowang IV
|1519 - 1523
|-
|<center>5
|La Pateddungi
|<center>Addaowang V
|1523 - 1582
|-
|<center>6
|La Patiroi
|<center>Addaowang VI
|1582 - 1612
|-
|<center>7
|We Yabeng
|<center>Tellu Latte I Sidenreng
|1612 - 1637
|-
|<center>8
|La Makkaraka
|<center>Addituang I
|1637 - 1670
|-
|<center>9
|La So'ni Karaeng Massepe
|<center>Addituang II
|1670 - 1677
|-
|<center>10
|La Todani
|<center>Addatiang III
|1677 - 1681
|-
|<center>11
|La Tenri Tippe Towalennae
|<center>Addituang IV
|1681 - 1698
|-
|<center>12
|La Mallewai
|<center>Addituang V
|1698 - 1724
|-
|<center>13
|We Rakiyah
|<center>Addituang VI
|1724 - 1739
|-
|<center>14
|Taranatie
|<center>Addituang VII
|1739 - 1748
|-
|<center>15
|Towappo
|<center>Addituang VIII
|1748 - 1779
|-
|<center>16
|La Wawo
|<center>Addituang IX
|1779 - 1831
|-
|<center>17
|La Panguriseng
|<center>Addituang X
|1831 - 1882
|-
|<center>18
|Sumangerukka
|<center>Addituang XI
|1882 - 1900
|-
|<center>19
|La Sadapotto
|<center>Addituang XII
|1900 - 1906
|-
|<center>20
|La Cibu
|<center>Addituang XIII
|1906 - 1960
|-
|<center>22
|Andi Patiroi Pawiccangi
|<center>Addituang XV
|2012 - 2019
|-
|<center>23
|Andi Roidah Patiroi
|<center>Addituang XVI
|2020 - Sekarang
|}
== Referensi ==
{{reflist}}
{{indo-sejarah-stub}}
|