Perang Besar Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
YBI85 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Newcomer task: copyedit
 
(13 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 51:
'''Perang Besar Cirebon''' merupakan sebuah peristiwa perjuangan seluruh elemen masyarakat [[Cirebon]] termasuk didalamnya para ulama, santri, petani, buruh dan abdi keraton yang berkesinambungan untuk berjuang melawan penjajah.
 
[[Kesultanan Cirebon]] resmi dibagi menjadi [[kesultanan Kanoman]] dan [[kesultanan Kasepuhan]] pada tahun 1679,. dikatakan padaPada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon. karena adanyaAdanya perbedaan pendapat dikalangandi kalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, membelah pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa,. makaMaka, [[Ageng Tirtayasa dari Banten|Sultan Ageng Tirtayasa]] menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677,. duaDua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton.<ref name=ekajati1>Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. [[kota Bandung|Bandung]]: Pustaka Jaya</ref>
 
== Masuknya pengaruh awal Belanda ==
 
Belanda masuk ke dalam urusan internal Cirebon melalui perjanjian 1681.
 
 
=== Gerilya [[kesultanan Banten]], Misi [[Jacob van Dyck]] dan Pembagian Kesultanan Cirebon ===
Baris 94 ⟶ 93:
==== Misi [[Rijckloff van Goens]] menghancurkan [[kesultanan Banten]] ====
 
Pada 4 Januari 1678, [[Rijckloff van Goens]] ditunjuk sebagai pengganti Gubernur Jenderal [[Joan Maetsuycker]] kemudian pada 31 Januari 1679 [[Rijckloff van Goens]] menulis surat kepada pemerintah Belanda, dia menuliskan bahwa<ref>Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. [[Serang]] : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten</ref>
{{cquote | yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan [[Banten]], [[Banten]] harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap}}<ref>Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. [[Serang]] : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten</ref>
 
{{cquote | yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan [[Banten]], [[Banten]] harus ditaklukan atau kompeni akan lenyap}}<ref>Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian seorang wartawan. [[Serang]] : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten</ref>
 
=== Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681 ===
Baris 123 ⟶ 121:
 
==== Perjanjian 1681 ====
[[Berkas:AMH-4653-NA Map of the city and fort of Cheribon.jpg|jmpl|Peta buatan Isaac de Graaff yang menunjukan struktur tembok ''Kuta Cirebon'' yang masih ada di sebelah selatan dan timur keraton Pakungwati (periode 1690 - 1705)]]Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah [[Rijckloff van Goens]] (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke [[Cirebon]], iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.<ref name=deviani/>,<ref name=Molsbergen>Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. [[Bandung]] : Nix </ref>
 
Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa [[Cirebon]] menjadi sekutu setia dari [[Vereenigde Oostindische Compagnie]].<ref name=Dirjenbud/>
 
Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.<ref name=deviani/><ref name=Molsbergen/>.
 
Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dan para penguasa Cirebon serta memaksa mereka untuk menyetujuinya<ref name=Dirjenbud/> dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon.<ref name=sartono1>Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia</ref><ref>Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia</ref>.

Pada tanggal 27 Februari 1681 dilakukanlah tindak lanjut berkenaan draf perjanjian 7 Januari 1681<ref name=slands1>van der Chijs, Jacobus Anne. 1882. Slands Archief Batavia 1602-1816). Batavia : Batavia Landsdrukkerij</ref>. Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon<ref name=sartono1/>. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs,<ref name=henri>Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. [[Jakarta]]: Yayasan Obor Indonesia</ref>.

Pada tanggal 31 Juli 1681 perjanjian 7 Januari 1671 tersebut kemudian diratifikasi<ref name=slands1/>.

Perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula,<ref name=henri/> lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).<ref name=Dirjenbud/>Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref>
 
Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] memperoleh hak di sana<ref name=Blink/> Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.<ref name="ninakota">Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint Jatinangor</ref>
 
Semenjak [[kesultanan Cirebon]] dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu ([[bahasa Cirebon]]: ''pribawa'') dalam kekeluargaan di [[kesultanan Cirebon]] dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak [[Belanda]] mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.
 
Pada tahun 1681 ditunjuklah Letnan Benamin van der Meer sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.<ref name="mason6mason4">Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. [[New York]] : Cornell University Press</ref> Jan Mulder dan van der Meer pernah memberikan laporan berkaitan dengan hubungan antara keluarga bangsawan di Cirebon, mereka menyebut bahwa Sultan Anom (Kartawijaya) masih terhitung sebagai kerabat [[kesultanan Banten]] sementara Pangeran Nasiruddin (Wangsakerta) sama sekali bukan kerabat [[kesultanan Banten]], menurut Sudjana (budaywan Cirebon) laporan dari Jan Mulder dan van der Meer tersebut sejalan dengan naskah ''wawacan'' yang selama ini beredar terbatas di kalangan para kerabat keraton Cirebon dimanadi mana dikisahkan bahwa Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom) sesungguhnya berbeda ibu dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Wangsakerta.<ref name="ekajati12">Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. [[Kota Bandung|Bandung]]: Pustaka Jaya</ref>
 
Pada tahun 1684 Belanda menunjuk Jacob Couper sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.<ref name="mason3mason4">Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. [[New York]] : Cornell University Press</ref>
 
Pada 1685 Belanda menunjuk Marten Samson sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.<ref name="mason3mason4" />
 
==== Perjanjian 1685, ''Fort Beschermingh'' dan penghancuran tembok ''Kuta Cirebon'' ====
[[Berkas:AMH-4654-NA Map of Cheribon.jpg|jmpl|Fort de Beschermingh dalam peta 1719]]
Pada tanggal 3 November 1685 (empat tahun setelah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon),<ref name="rifcky2">al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. [[Cirebon]] : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati</ref> [[Belanda]] mengirimkan pejabat penghubung Belanda yaitu Francois de Tack.<ref name=mason/> Pada akhirnya terciptalah sebuah perjanjian baru yang ditandatangani ketiganya pada tanggal 4 Desember 1685, isi perjanjian tersebut diantaranya berisi penyataan tentang pemerintahan dan hal-hal yang harus dipatuhi oleh para Sultan Cirebon, bahwa [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] adalah penguasa Cirebon, masalah pemerintahan di Cirebon akan dipimpin oleh masing-masing sultannya seperti yang telah dijelaskan pada perjanjian sebelumnya, para sultan Cirebon tetap menjalankan pemerintahannya akan tetapi tetap dibawah kekuasaan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], para sultan Cirebon tidak boleh mengeluarkan perintah sendiri-sendiri melainkan harus melalui perundingan dengan para ''mantri'' (pejabat kesultanan), masing-masing sultan Cirebon memiliki lebih dari satu ''mantri,'' Sultan Sepuh memiliki 3 ''mantri'', Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin (gusti Panembahan) masing-masing memiliki 2 ''mantri,'' para ''mantri'' harus dipilih oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] maka seluruh keputusan para ''mantri'' harus dengan sepengetahuan pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] , pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] diperkenankan untuk membangun benteng di Cirebon sementara pihak kesultanan dilarang untuk membangun pertahanan disekitar keraton.<ref name="rosita2rosita3">Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. [[Yogyakarta]] : Universitas Negeri Yogyakarta</ref>
 
Setahun kemudian setelah ditandatangani perjanjian 1685, pada tanggal 30 Maret 1686, pada masa kepemimpinan Adriaan Williamson<ref name="hoadleyvillage2">Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. [[Hove]] : Psychology Press</ref> sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon, berdasarkan hasil rapat pemerintahan tinggi, Gubernur Jenderal [[Johannes Camphuys]] atas usulan Francois de Tack maka akan dibangun sebuah benteng yang diberi nama ''Fort de Beschermingh,''<ref name="rifcky2" /> sejak itu Belanda mulai menghancurkan tembok ''Kuta Seroja'' atau tembok ''Kuta Cirebon,'' material dari tembok yang diperkirakan telah dibangun sebelum 1596<ref name="graafbenteng2">de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers</ref> dengan bantuan Danang Sutawijaya dari Mataram ini kemudian dipergunakan oleh Belanda untuk membangun ''Fort de Beschermingh'' yang berlokasi di sekitar pelabuhan Cirebon. ''Fort de Beschermingh'' dipergunakan oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] sebagai tempat tinggal sekaligus kantor bagi Residen Belanda untuk Cirebon.<ref name="rosita2rosita3" />
 
{{cquote|bahwa dalam hubungan-hubungan yang sifatnya keluar, kesultanan-kesultanan di Cirebon hanya diwakili oleh seorang syahbandar (yang pada waktu itu adalah Tumenggung Raksanegara). Hal itu dimaksudkan agar perpecahan yang terjadi di kesultanan-kesultanan di Cirebon tidak diketahui oleh pihak asing}}
 
Namun perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar [[kesultanan Cirebon]], hal tersebut dikarenakan Francois de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut,<ref name="iswara12">[http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. ] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20161225115911/http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ |date=2016-12-25 }}[[Kota Bandung|Bandung]]<span>: Universitas Pendidikan Indonesia</span></ref> terlebih pembagian wewenang dan kekuasaan atas wilayah belum ditentukan.<ref name="rosita2rosita3" />
 
==== Kasus Braja Pati dan hilangnya peran ulama dalam pengadilan di Cirebon ====
Pada awal tahun 1688 ada sebuah kasus perampokan bersenjata yang dikenal dengan nama kasus ''Braja Pati'', dalam kasus tersebut terdapat dua orang yang merupakan bawahan Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya yang menjadi tersangkanya, hal ini kemudian memaksa Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya dan Willem de Ruijter (pejabat penghubung Belanda untuk kesultanan Cirebon) untuk membuka dialog. Pada dasarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya berkeinginan agar bawahannya yang menjadi tersangka dalam kasus tersebut permasalahan hukumnya dapat dilimpahkan kepada para ulama, melalui puteranya yaitu Pangeran Adi Wijaya, beliau mengutarakan keinginannya agar para bawahannya dihakimi dan dihukum oleh para ulama sesuai dengan aturan syariah yang terdapat dalam al Qur'an, dalam hal ini sebenarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya tidak berkeinginan jika para bawahannya mendapat hukuman, sebaliknya Pangeran Adi Wijaya berkeinginan agar mereka dihukum.<ref name="mason7mason4">Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. [[New York]] : Cornell University Press</ref>
 
Willem de Ruijter sebagai perwakilan Belanda dan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] di Cirebon memiliki pemikirannya sendiri berkaitan dengan lembaga mana yang lebih pantas dalam mengadili kasus ''Braja Pati'' tersebut, ketika Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya berpendapat agar kasus tersebut ditangani oleh para ulama, Willem de Ruijter mengemukakan bahwa
Baris 158 ⟶ 162:
{{Cquote|bahwa sesungguhnya [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] telah menjalin dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat dengan para pangeran dan tidak dengan para ulama Cirebon, sehingga tidak pantas rasanya untuk mengganggu kami dengan pembicaraan tidak berarti seperti ini (seperti mengizinkan ulama untuk menentukan hukuman)}}
 
Pangeran Adi Wijaya kemudian melakukan intervensi terhadap kasus ini walau bertentangan dengan keinginan ayahnya dan ketua ''mantri'', hal tersebut bertujuan untuk mencegah konflik antara [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dengan para penguasa Cirebon dalam hal masalah keislaman yang sensitif. Para tersangka akhirnya dibebaskan, hal tersebut dikarenakan kurangnya bukti yang dapat digunakan untuk memberatkan mereka.<ref name="mason7mason4" />
 
Implikasi dari tinjauan kasus ''Braja Pati'' tersebut adalah dituangkannya permasalahan kompetensi dibidang pengadilan dalam Perjanjian 1688 dan Layang Ubaya 1690 dimanadi mana para ulama tidak diikut sertakan dalam proses pengadilan di Cirebon.<ref name="mason7mason4" />
 
==== Perjanjian 1688, stempel keraton dan keluarga Gamel ====
{{Utama|Perjanjian Cirebon 1688}}
Pada tahun 1688, pada masa [[Johannes Camphuys|Gubernur Jenderal Johannes Camphuys]] dan pejabat penghubung Belanda untuk wilayah [[kesultanan Cirebon]] masih dipegang oleh Kapten Willem de Ruijter<ref name="mason">>Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. [[New York]] : Cornell University Press</ref>,, terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu [[Belanda]] mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog<ref name="iswara1iswara12">[http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. ][[Kota Bandung|Bandung]]<span>: Universitas Pendidikan Indonesia</span></ref> untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh ''Ki'' Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata<ref name=rosita>Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. [[Yogyakarta]] : Universitas Negeri Yogyakarta<"rosita3"/ref> (keluarga Gamel) untuk mewakilinya.
 
Pada masalah pembuatan stempel masing-masing keraton, agar tidak terjadi kekacauan maka ''Ki'' Raksanegara dan Pangeran Suradinata mempertimbangkan seorang tua yang bijak, stempel harus dibuat serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom, beratnya masing-masing satu kati dua tail dan berbentuk bulat. Sultan Sepuh dan Sultan Anom diperkenankan mengganti ahli pembuat stempel yang telah ditunjuk oleh ''Ki'' Raksanegara dan Pangeran Suradinata dengan syarat stempel yang akan dibuat sesuai dengan yang ada.<ref name="rositarosita3" />
 
Perihal urusan syahbandar, maka disetujui untuk mengangkat ''Ki'' Raksanegara, syahbandar Cirebon akan bekerja atas nama para penguasa Cirebon, syahbandar dalam hal ini adalah ''Ki'' Raksanegara bertugas untuk menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Sultan Sepuh, Sultan Sepuh berkewajiban meneruskan laporan yang diterimanya kepada para penguasa lainnya yakni Sultan Anom dan Pangeran Nasiruddin<ref name="rositarosita3" />
 
Perihal masalah pendapatan hasil tanah, ''Ki'' Raksanegara yang telah diangkat menjadi Syahbandar Cirebon diperkenankan untuk mengurus pendapatan hasil tanah yang mana setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh dan setengahnya lagi diserahkan kepada Pangeran Nasiruddin, sementara Pangeran Suradinata dari [[Gamel, Plered, Cirebon|Gamel]] diperkenankan untuk mengambil hasil tanah dari para orang-orang cina ([[bahasa Cirebon]] : s''inko'') untuk Sultan Anom.<ref name="rositarosita3" />
 
Perihal gelar untuk Pangeran Nasiruddin, Sultan Sepuh dan Sultan Anom sepakat memberi gelar ''Gusti Panembahan Cirebon'' kepada Pangeran Nasiruddin setelah sebelumnya bermusyawarah dengan utusan Belanda Johanes de Hartog dengan syarat bahwa Pangeran Nasiruddin harus tetap sebagaimana adanya dan tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom.<ref name="rositarosita3" /> Pangeran Nasiruddin diberi wewenang untuk mengurus kesejahteraan rakyat, mengangkat dan menentukan hakim serta para ''mantri'' yang bertugas dalam suatu penyelidikan untuk ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon sesuai saran dari [[Vereenigde Oostindische Compagnie]].<ref name="rositarosita3" />
 
Pada urusan menjalankan pemerintahan Cirebon disepakati agar diangkat 12 ''Mantri'', Kasepuhan mendapatkan hak untuk mengangkat lima orang ''mantri,'' Kanoman mendapatkan hak untuk mengangkat empat orang ''mantri'' sementara ''Gusti Panembahan'' diberikan hak untuk mengangkat tiga orang ''mantri,'' dalam perjanjian 1688 yang dimediasi oleh Belanda ditegaskan bahwa ketiga penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh Syamsuddin, Sultan Anom Badruddin dan Gusti Panembahan Cirebon Nasiruddin berjanji untuk menyerahkan kepengurusan Cirebon kepada Pangeran Depati Anom (yang merupakan anak dari Sultan Sepuh) dan Pangeran Ratu.<ref name="rositarosita3" />
 
namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688<ref name="iswara1iswara12" /> dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan [[Belanda]] (VOC)<ref name="ball1">Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. [[Sydney]]: Oughtershaw Press</ref> tersebut tidak membuahkan hasil.
 
==== Perjanjian 1699, Belanda dalam masalah ''pribawa'' ====
 
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon), kedua orang putera Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan tahta almarhum ayahnya, hal tersebut dikarenakan sebelum meninggal, Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya belum menunjuk penggantinya, Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat bahwa ia berhak mewarisi tahta ayahnya dikarenakan dia adalah putera tertua, pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak, masalah ini kemudian dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya sama dengan perjanjian 1688 hanya saja ditambahkan klausul berkenaan dengan ''pribawa'' (derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya.<ref name="rosita3">Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. [[Yogyakarta]] : Universitas Negeri Yogyakarta</ref> Pada perjanjian 1688 sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya) akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak akan tahta ayahnya, namun dengan timbulnya permasalahan ini membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan Pangeran Adi Wijaya.<ref name="rifckyrifcky2">al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. [[Cirebon]] : Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati</ref> Pangeran Adi Wijaya kemudian membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal<ref name="irianto2">Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. [[Yogyakarta]]: Deepublish</ref> dengan gelar Pangeran Arya Cirebon.<ref name="rifckyrifcky2" /> Perjanjian 1699 ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699 di Batavia.<ref name="rifckyrifcky2" />
 
Belanda atas dasar ''pribawa'' dengan berbekal perjanjian 1699 menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kamarudin<ref name="arsiparya2">[https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/search_letters/?ruler=Pangeran%20Arya%20Cirebon%20Kamaruddin Tim Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013. Arsip Nasional - Surat Surat Diplomatik 1625-1812. ] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220412170338/https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/search_letters/?ruler=Pangeran%20Arya%20Cirebon%20Kamaruddin |date=2022-04-12 }}[[Jakarta]] Arsip Nasional Republik Indonesia</ref> berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan<ref name="irianto2" />(pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808)
==== Belanda menguasai politik Cirebon ====
Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Depati Halal Rudin atau yang dikenal dengan nama Qadirudin,<ref name="aris1" /> putera keduanya yang berasal dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696 sebagai tempat pendidikan agama Islam, kedua puteranya ini sepakat untuk melakukan ''lijdelijk verzet'' (perlawanan diam-diam) melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan strategi ''lijdelijk verzet'' (perlawanan diam-diam) menemukan tantangan setelah Belanda pada tahun [[1699]]<ref name="mason5mason4">Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. [[New York]] : Cornell University Press</ref> mengangkat Letnan Jacob Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk wilayah [[kesultanan Cirebon]]. Belanda setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon dengan alasan perjanjian persahabatan, ikut campur memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan turut serta dalam hal ''pribawa'' yang sebelumnya tidak terlalu meruncing (hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal Belanda ke Cirebon tahun 1681 pada perjanjian tersebut ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi ketiganya diakui) Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai pejabat penghubung untuk wilayah [[Kesultanan Cirebon]], dalam buku Sejarah Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada tahun 1700 telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya pengangkatan Letnan Jacob Palm.<ref name="ps">P.S. Sulendraningrat. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka</ref>
 
Pada tahun 1701, Belanda kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon<ref name="mason4">Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. [[New York]] : Cornell University Press</ref>
 
Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar [[kesultanan Cirebon]]), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Depati Halal Rudin dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan ''peguron'' [[Kaprabonan]] pada tahun 1696 sekaligus menjadi ''rama guru'' disanadi sana.
 
Kemudian Pangeran Depati Halal Rudin diresmikan sebagai penguasa keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Depati Halal Rudin.<ref>[{{Cite web |url=http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/down.php?id=33&lang=en |title=Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan, Cirebon] |access-date=2015-09-15 |archive-date=2015-09-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150923215341/http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/down.php?id=33&lang=en |dead-url=yes }}</ref>
 
Pada tahun 1705, Pejabat penghubung Belanda untuk wilayah [[kesultanan Cirebon]] resmi berkantor di Cirebon, guna menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa [[kesultanan Cirebon]] adalah wilayah bawahannya maka diadakanlah perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda, perjanjian tersebut menyebutkan bahwa batas wilayah [[kesultanan Cirebon]] sebagai bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di sebelah utara (sekarang batas antara [[Jawa Barat|provinsi Jawa Barat]] dengan [[Jawa Tengah|provinsi Jawa Tengah]]) dan sungai Donan di sebelah selatan (sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap Tengah dengan kecamatan Kawunganten di [[kabupaten Cilacap]])<ref name="iswara1iswara12" />
 
Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun 1714, maka sekitar tahun 1715 – 1733 berkali-kali diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam menduduki tingkatan di antara keluarga besar [[kesultanan Cirebon]] yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan Sepuh II di [[kesultanan Kasepuhan]] dan Pangeran Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin yang telah membentuk cabang keluarga sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama, demikian juga anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Depati Halal Rudin yang telah menggantikan ayahnya sebagai penguasa [[kesultanan Kanoman]] serta Pangeran Adipati Kaprabon yang menguasai ''peguron'' [[Kaprabonan]] begitupun anak dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin ''peguron'' (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.
Baris 204 ⟶ 208:
==== ''Besluit'' 1706 dan Jabatan ''Overseer'' Pangeran Adi Wijaya ====
{{Utama|Kepangeranan Kacirebonan}}
Pembagian kuasa dan warisan Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya kepada kedua putranya yakni Pangeran Depati Anom Tajularipin dan Pangeran Adi Wijaya yang disepakati dalam perjanjian 1699 dimanadi mana Pangeran Adi Wijaya kemudian mendapat gelar Pangeran Arya Cirebon dan membentuk cabang keratonnya sendiri kemudian berimbas kepada diangkatnya beliau menjadi ''Overseer'' (pengawas) Belanda untuk wilayah Priyangan sebelah timur yang berada dibawah kendali Cirebon<ref name="rosita2rosita3" /> melalui ''Besluit'' yang dikeluarkan pada tanggal 9 Februari 1706<ref name=ninapolitikcirebon> Lubis, Nina Herlina. 2010. Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad Ke 17 - 18. [[Bandung]] : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPNB) Bandung </ref>
 
==== Permasalahan pembagian kuasa Cirebon antara Sultan Abdul Karim dan Pangeran lainnya ====
Pada masa ditawannya Sultan Abdul Karim di Mataram oleh Amangkurat, Mataram mengakui bahwa di Cirebon ada Pangeran yang memiliki kuasa sejajar dengan Sultan Cirebon, diantara Pangeran yang diakui adalah Pangeran Surya Negara.<ref name="mason" /> Pada saat terjadi perjanjian Cirebon - Belanda 1681 yang menjadikan Cirebon sebagai daerah proktektorat (daerah dalam perlindungan) Belanda, Pangeran Surya Negara memilih untuk tidak ikut serta dalam perjanjian tersebut dan menjaga agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen,<ref name="mason" /> permasalahan ini tidak bisa diterima Belanda yang berfikir bahwa di Cirebon hanya ada satu penguasa untuk seluruh wilayah kesultanan sementara para pangeran lainnya yang memiliki kuasa semi-otonom pada masa Sultan Abdul Karim dianggap Belanda hanyalah sebagai bawahan kesultanan Cirebon saja.<ref name="mason" /> Permasalahan pembagian kuasa ini kemudian berlarut-larut hingga mencapai tahun 1700an, pada tanggal 12 Juli 1721, Pangeran Surya Negara mengirimkan sebuah surat kepada residen Belanda Willem Tersmitten yang menyatakan bahwa dia dan Sultan Cirebon Abdul Karim memiliki derajat kuasa yang sama, oleh karenanya dia berhak memilih agar wilayah dan kepemilikannya di Cirebon tetap independen<ref name="mason" />
 
Pada tahun 1729 dimasa Residen Jan Donker van der Hoff, dilakukan pendataan kepemilikan tanaman kopi dan masyarakat di wilayah kesultanan Cirebon, pendataan dilakukan oleh Kopral Jacob Titter atas perintah residen Belanda yang diawasi pelaksanaannya oleh para ''mantri'' (pegawai kesultanan) yang ditunjuk oleh masing-masing penguasa Cirebon<ref name=hoadleyvillage>Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast Asia. [[Hove]] : Psychology Press<"hoadleyvillage2"/ref>
 
Pada pendataan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa di desa [[Sayana, Jalaksana, Kuningan|Sayana]] (yang merupakan desa dibawah kekuasaan Sultan Sepuh III Djaenuddin) misalnya terdapat kepemilikan 300 pohon kopi milik Pangeran Surya Negara, begitupula di wilayah lainnya<ref name="hoadleyvillagehoadleyvillage2" />
 
==== Hilangnya aksara Sunda dan Rikasara Cirebon ====
Baris 262 ⟶ 266:
Pada tahun 1733, Pangeran Chaeruddin Rahim menjadi pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom Chaeruddin menggantikan ayahnya Sultan Anom Alimuddin, pada saat naik tahta beliau baru berusia 10 tahun, sebagai walinya ditunjuklah ''Tumenggung'' Bahu Madenda, ''Tumenggung'' Bahu Madenda menjadi wali dari Sultan Anom Chaeruddin hingga tahun 1744,<ref name="lasmiyatianom">Lasmiyati. 2013. Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya). Bandung : Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung</ref> surat pernyataan kedewasaan bagi Sultan Anom Chaeruddin yang dikeluarkan masa [[Gustaaf Willem baron van Imhoff|Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff]] pada tanggal 18 Februari 1744 menjadi legalisasi bagi Sultan Anom Chaeruddin untuk mengambil alih kekuasaan dari walinya ''Tumenggung'' Bahu Madenda, karena sebelumnya Sultan mengalami kesulitan ketika akan mengambil alih kekuasaannya.<ref name="lasmiyatianom" />
 
Semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama Sultan Anom Chaeruddin dari permaisurinya) Pada waktu itu telah lama melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang pernah berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788 yang mendapatkan bantuan tokoh agama, tetapi perjuangan Mirsa dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut pada tahun 1793<ref>[{{Cite web |url=http://lms.aau.ac.id/library/Ebook/R_2185_04_H/files/res/downloads/download_0231.pdf |title=Akademi Angkatan Udara - Kesultanan Cirebon] |access-date=2015-09-15 |archive-date=2014-12-06 |archive-url=https://web.archive.org/web/20141206040553/http://lms.aau.ac.id/library/Ebook/R_2185_04_H/files/res/downloads/download_0231.pdf |dead-url=yes }}</ref>,<ref name="tukiranmirsa">Taniredja, Tukiran. Supriyadi, Acep. Harmanto. 2016. Indonesia Negara Paripurna. [[Purwokerto]] : Universitas Muhammadiyah Purwokerto Press</ref> dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun [[1796]], baik upaya mematahkan perjuangan Mirsa maupun penangkapan terhadap Pangeran Raja Kanoman dilakukan pada masa [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Willem_Arnold_Alting Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting]. Pada tahun 1795, setahun sebelum penangkapan Pangeran Raja Kanoman, di Belanda terjadi revolusi yang dimotori oleh Perancis yang memaksa penguasa Belanda yaitu [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/William_V,_Prince_of_Orange William Batavus (William V)] untuk mengasingkan diri ke Inggris, negara Belanda yang telah jatuh ke tangan revolusioner tersebut diubah namanya dari ''Dutch Republic'' ([[bahasa Indonesia]]: Republik Belanda) menjadi ''Batavian Republic'' ([[bahasa Indonesia]]: Republik Batavian (secara harafiah berarti Republik Orang-Orang Belanda). Di Inggris, William Batavus kemudian mengeluarkan ''Kew Letter'' sebuah surat perintah yang menugaskan para pejabat [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)]] di wilayah Hindia Belanda menyerahkan pos pos mereka kepada British, hal inilah yang kemudian memudahkan British untuk menguasai Hindia Belanda, berbekal ''Kew Letter'' tersebut [[Melaka]], [[Padang]] dan [[Ambon]] berhasil dikuasai oleh British dengan mudah,<ref name="cribb">Cribb, Robert. 2000. Historical Atlas of Indonesia. [[Honolulu]]: University of Hawai'i Press</ref> pada tahun ini sebenarnya [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Willem_Arnold_Alting Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting] sudah menyadari ada dinamika di negara asalnya bahwa kini ''Dutch Republic'' telah dikuasai oleh Perancis dan diubah namanya menjadi ''Batavian Republic''.
 
Pada tahun [[1798]], pada masa itu [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Willem_Arnold_Alting Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting] yang telah menangkap Pangeran Raja Kanoman dan mengasingkannya ke Ambon dan yang proyek pembuatan rumah ''Raad van Indie''-nya ([[bahasa Indonesia]]: Dewan Hindia) di Indramayu pada tahun tahun sebelumnya yang diperkirakan dibantu oleh Sultan Muhammad Chaeruddin <ref name=Pudjiastuti>Pudjiastuti, Titik. 2014. Kajian Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon (COD. OR. 2241 ILLB 17 (No. 80)). [[Depok]]: Universitas Indonesia</ref> baru saja pensiun dengan telah datang penggantinya [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Pieter_Gerardus_van_Overstraten Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten] yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin untuk pesisir utara Jawa bagian timur pada 17 Februari 1797, pada masa [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Pieter_Gerardus_van_Overstraten Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten] ini di kesultanan Kanoman terdapat permasalahan karena tidak adanya putera mahkota ditempat jika seandainya terjadi sesuatu dengan Sultan Muhammad Chaeruddin, maka pada tahun itu, 1798, Sultan membuat keputusan untuk mengangkat Imamuddin, adik lain ibu dari Pangeran Raja Kanoman (Putra Mahkota kesultanan Kanoman yang dibuang oleh Belanda ke Ambon) guna menggantikan posisinya sebagai Putera Mahkota kesultanan Kanoman,<ref name=Pudjiastuti/> dijelaskan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) dalam tulisannya menarasikan bahwa Imamuddin adalah anak dari Sultan Muhammad Chaeruddin dengan istrinya yang bukan permaisuri.<ref name=monique>Zaini-Lajoubert, Monique. 2008. Karya lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri: Bayan al-asmaʼ, Hikayat Mareskalek, Arsy al-muluk, Cerita Siam, Hikayat tanah Bali. [[Jakarta]]: Gramedia</ref> Pada masa [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Pieter_Gerardus_van_Overstraten Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten] ini [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)]] dibubarkan, British berhasil mengambil alih wilayah Tidore<ref name=cribb/> serta menghancurkan benteng-benteng pertahanan Batavia di pulau Onrust dan sekitarnya pada tahun 1800.<ref name=dinascagarbudayadki>Tim Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. 2000. Bangunan Cagar Budaya Di Propinsi DKI Jakarta. [[Jakarta]]: Dinas Museum dan Pemugaran, Propinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta</ref> Pada 22 Agustus 1801 [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Pieter_Gerardus_van_Overstraten Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten] meninggal dunia<ref>Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and Printing in the East Indies to 1850: Batavia. [[New Rochelle, New York|New Rochelle]]: Aristide D. Cararzas</ref> dan kemudian posisinya digantikan oleh [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Johannes_Siberg Gubernur Jenderal Johannes Siberg] (menantu dari [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Willem_Arnold_Alting Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting]) yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin di pantai utara Jawa bagian barat. Pada masa kepemimpinan [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Johannes_Siberg Gubernur Jenderal Johannes Siberg] diwarnai oleh berbagai perjuangan para penguasa lokal di nusantara yang memanfaatkan situasi kacau di Hindia Belanda untuk bisa menguatkan kembali posisi mereka.
Baris 268 ⟶ 272:
==== Pejabat penghubung Johan Lubbert Umbgrove dan pengurangan jumlah Pangeran ====
 
Pada tahun 1792, pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon Johan Lubbert Umbgrove memandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu dengan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat.<ref>{{Cite web |url=http://www.cirebontrust.com/dongeng-dari-negeri-kanoman-2.html |title={{!}} Noer, Noerdin. 2015. Dongeng dari Negeri Kanoman (bagian 2). &#91;&#91;kota Cirebon{{!}}Cirebon&#93;&#93;: Cirebon Trust |access-date=2016-06-04 |archive-date=2016-06-30 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160630171729/http://www.cirebontrust.com/dongeng-dari-negeri-kanoman-2.html |dead-url=yes }}</ref><ref name=setiawan>Setiawan, D A. 2018. Catatan Van der Kemp di Cirebon. [[Cirebon]] : Radar Cirebon</ref> Kejadian tersebut mirip dengan peristiwa surat pengakuan gelar kesultanan oleh [[Belanda]] pada masa Sultan Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan Jaenudin II yang bertahta dari 1753 - 1773 (menggantikan Sultan Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 - 1753) dimanadi mana para keluarga kesultanan yang tidak diakui lagi gelarnya diharuskan menjadi abdi masyarakat tanpa tunjangan bulanan, karena hanya mereka yang diakui [[Belanda]] yang akhirnya mendapatkan tunjangan bulanan, hal tersebut dilakukan oleh [[Belanda]] dengan alasan penghematan agar kekayaan Cirebon tidak habis ditangan kesultanan, tetapi hal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat karena pada masa yang sama [[Belanda]] bekerjasama dengan para penguasa swasta kaya (kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Cina) untuk menguasai tanah-tanah di Cirebon dan menerapkan pajak tanah (''landrente'') yang tinggi pada masyarakat.<ref>[{{Cite web |url=http://www.fajarmuda.com/opini/post/399955883/perang.kedongdong.gerakan.perlawanan.rakyat.cirebon.1818 |title=Rosyidi, Abdul. 2014. Perang Kedongdong Gerakan Perlawanan Rakyat Cirebon 1818. [[&#91;&#91;Cirebon]]&#93;&#93;: Fajar Muda] |access-date=2016-06-04 |archive-date=2016-08-19 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160819212415/http://www.fajarmuda.com/opini/post/399955883/perang.kedongdong.gerakan.perlawanan.rakyat.cirebon.1818 |dead-url=yes }}</ref>
 
=== Perjuangan Bagus Rangin ===
Baris 284 ⟶ 288:
 
[[File:Albertus_Henricus_Wiese_(1810).jpg|thumb|200px|left|Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese]]
Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan British pada tahun 1800,<ref name="dinascagarbudayadki" /> pulau [[Onrust]] yang merupakan benteng pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Johannes_Siberg Gubernur Jenderal Johannes Siberg] (menantu dari [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Willem_Arnold_Alting Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting]) berusaha direstorasi kembali,<ref>[https://amp.kompas.com/properti/read/2019/01/19/070000821/onrust-pulau-pengasingan-yang-jadi-rebutan-inggris-dan-belanda Haryanti, Rosiana. 2019. Onrust, Pulau Pengasingan yang Jadi Rebutan Inggris dan Belanda. ][[Jakarta]]: Kompas</ref> sementara itu di Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal dunia dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu Soleh Imamuddin<ref>Suryawan. 2014. Srabad Dalam Seni Rupa Tradisi Cirebon. [[Yogyakarta]]: Institut Seni Indonesia Yogyakarta</ref> dan hal ini disetujui oleh Belanda,<ref name="monique" /> dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18, mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.<ref name="paramita1">Paramita R. Abdurachman, 1982, Cerbon, Jakarta: Sinar Harapan</ref>, dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam,<ref name="monique" /> permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke [[Ambon]] tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, perwakilan masyarakat Cirebon sekitar 1000 orang berdatangan guna melakukan ''long march'' (berjalan kaki) untuk menemui Gubernur Jenderal mereka datang untuk menuntut hak Pangeran Raja Kanoman bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom Muhammad Chaeruddin<ref name="bochari" /> yang telah meninggal pada [[1803]],<ref name="lasmiyatianom" /> perwakilan masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan meninggal hingga kejadian dimanadi mana bulir bulir padi yang ditanam namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman,<ref name="monique" /> Pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu Simon Hendrik-Rose kemudian mengajukan permohonan pada tanggal 26 Februari 1805<ref name=":2" /> agar pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan nasyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal, permohonan Simon Hendrik-Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya surat keputusan (''besluit'') 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan masyarakat Cirebon, berdasarkan ''besluit'' tersebut maka bupati [[Karawang]] diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing (sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan masyarakat Cirebon dan pada tanggal 7 Mei 1805 rombongan tersebut kembali ke Cirebon,<ref name=":2">Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di daerah Jawa Barat. [[Jakarta]]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional</ref> mendengar hal ini [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Albertus_Henricus_Wiese Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese] yang secara resmi mulai menjabat pada 15 Juni 1805<ref name=biltjava>van der Bilt la Motte, Cornelis van Erlach. 1858. Java : Schetsen en omtrekken uit de portefeuille. [[Dordrecht]] : H. Lagerweij</ref> dikemudian hari mengabulkan permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah banyak korban dari pihak Belanda,<ref name="monique" />
 
Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan Anom Chaeruddin Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada putera mahkotanya yaitu ''Pangeran Raja Kanoman'' yang telah diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan sendiri oleh residen itu.
Baris 290 ⟶ 294:
=== Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya [[kesultanan Kacirebonan]] ===
 
Pada resolusi 25 Februari 1806 pejabat Belanda di Cirebon yaitu van Lawick menjelaskan bahwa di daerah perbatasan Sumedang dan Cirebon, di daerah Jatitujuh dan sekitarnya ada pergerakan kelompok orang yang berjumlah sekitar 1000 orang,<ref name="bochari" /> guna mengantisipasi pergerakan tersebut, [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Albertus_Henricus_Wiese Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese] mengirimkan beberapa pasukannya.<ref name="bochari" /> [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Albertus_Henricus_Wiese Gubernur Jenderal [[Albertus Henricus Wiese]] dengan persetujuan dewan penasehat pemerintah Hindia Belanda di Batavia segera menugaskan Nicolas[[Nicolaus Engelhard]] (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) sebagai pemimpin pasukan guna membereskan masalah Bagus Rangin, pasukannya kemudian diperkuat oleh pasukan dari putera bupati Mangkudiningrat (bupati Bangkalan),<ref name="bochari" /> dalam pertempuran melawan kelompok Bagus Rangin, dua orang putera Patih Sumedang menjadi korban dan dua puluh lima orang pasukan Sumedang yang berhasil ditawan kemudian dihukum mati sementara pasukan Bagus Rangin banyak yang berhasil meloloskan diri.<ref name="bochari" />
 
Laporan berkenaan dengan kekuatan kelompok Bagus Rangin juga didapat dari seorang perempuan bernama Nyi Jaya. Nyi Jaya yang dipercaya sebagai warga Bantarjati melaporkan kepada bupati Indramayu<ref name=hatabagus>Hata, Nur. 2012. Babad Darmayu : Catatan Perlawanan Masyarakat Indramayu Terhadap Kolonialisme pada Awal Abad ke 19. [[Cirebon]] : Institut Studi Islam Fahmina</ref> pada masa itu Raden Benggala bin Raden Sawerdi (Adipati Wiralodra)<ref name="opan" /> bahwa terdapat 1000 pemberontak bersenjata lengkap yang dipimpin oleh Bagus Rangin, selain itu Nyi Jaya juga melaporkan bahwa dia melihat ada Bagus Serit dan Bagus Kondar<ref name=kasimbagus>Kasim, Supali. 2015. Perjuangan Bagus Rangin di Indramayu. [[Cirebon]] : Radar Cirebon</ref>
Baris 306 ⟶ 310:
[[Berkas:Posthumous Portrait of Herman Willem Daendels, Governor-General of the Dutch East Indies - Rd Saleh.jpg|200px|kiri|jmpl|Potret anumerta Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, berdasarkan miniatur tanggal 1816 oleh seniman Prancis SJ Rochard. Bagian dari seri Gubernur Jenderal.]]
 
Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda mengirimkan [[Herman Willem Daendels]] sebagai Gubernur Jendral [[Hindia Belanda]] yang tiba di Batavia ''(sekarang Jakarta)'' pada tahun 1808 <ref>Carey, Peter. 2013. Daendels and the Sacred Space of Java, 1808-1811: Political Relations, Uniforms and the Postweg. Nijmegen: Vantilt</ref> yang memimpin dengan cara kediktaktoran. [[Herman Willem Daendels]] dikirimkan untuk menggantikan [[Albertus Wiese | Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiese]].
 
Pada musim kemarau tahun 1808 surat-surat karesidenan di Jawa penuh dengan nota antara perwira intendans [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] dengan para pejabat, banyaknya permintaan masuk mengenai kuda, pelana, seragam, cambuk, sepatu, beras, dendeng rusa serta keperluan militer lainnya, bahkan J W Winter (penterjemah resmi Belanda untuk Surakarta) menyarankan agar seorang penenun yang terampil dari wilayah kabupaten di pantai selatan agar dikirim ke Semarang untuk membantu membuat kain Linen berwarna biru tua guna dijadikan seragam. Pada salah satu contoh surat dari residen Surakarta Willem Nicolaas Servatius kepada [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] menerangkan tentang tibanya Gordon seorang ''Ridder Kolonel'' (Kolonel tituler) untuk mengambil contoh kain dari Surakarta.<ref name="carey3">Carey, Peter. 2011. Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawam 1785 - 1855. [[Jakarta]] : Kepustakaan Populer Gramedia </ref>
 
Pada masa yang sama pihak keraton Jawa juga didesak untuk mengizinkan agar kayu diwilayah sebelah timur ditebang guna membantu pembangunan benteng di Gresik yang berfungsi untuk melindungi selat Madura dan pelabuhan Surabaya, perkataan [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] bahwa penebangan hanya untuk jangka waktu enam bulan tidak dipercaya oleh pihak keraton karena pembangunan benteng di pantai Marsekal tersebut merupakan proyek jangka panjang yang lebih dari enam bulan, wilayah kesultanan Yogyakarta yang diminta agar dibuka akses ke hutan Jati oleh Belanda adalah wilayah Padangan, Panolan dan Madiun (wilayah yang dikuasai oleh bupati wedana kesultanan Yogyakarta, Raden Ronggo)<ref name="carey4">Carey, Peter. 2014. Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). [[Jakarta]] : Kompas</ref> berbagai permintaan ini dicurigai secara khusus terkait dengan bupati wedana kesultanan Yogyakarta tersebut.<ref name=carey3/> Pada masa awal kedatangan [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] dia berusaha menunjukan kekuatan militernya untuk menekan pihak kesultanan Yogyakarta yang kemudian balas oleh Sultan Hamengkubuwono II dengan mengadakan parade militer besar-besaran di [[Yogyakarta]] dengan Raden Ronggo selaku delegasi dari kesultanan Yogyakarta, selain itu ada peristiwa dimanadi mana [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] memaksakan agar digelar upacara penerimaan Gubernur Jenderal di keraton Yogyakarta yang kemudian oleh Raden Ronggo dan kelompok yang anti terdahap Belanda hal tersebut dianggap sebagai pelecehan karena merendahkan Sultan Yogyakarta,<ref name=carey4/> walaupun hubungan antara kesultanan Yogyakarta dengan [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] semakin rawan terlebih dengan disorotnya Raden Ronggo pada beberapa peristiwa yang telah disebutkan diatas namun tidak menyurutkan niat Sultan Hamengkubuwono II untuk menempatkan Raden Ronggo digaris terdepan dalam hubungannya dengan Belanda<ref name="carey3" />
 
Pada periode yang sama [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] memaksakan agar kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta menandatangani perjanjian yang antara lain ialah kesepakatan hukum, ketertiban dan pekerjaan serikat buruh panggul, pada masa itu [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] tengah membangun jalan raya pos antara [[Anyar, Serang|Anyer]] hingga [[Panarukan, Situbondo|Panarukan]] selain proyek pertahanan terhadap serangan Inggris yang sedang berlangsung, berkenaan dengan persoalan buruh, pihak Kasunanan Surakarta juga mengalami tekanan yang besar, hal tersebut terkait permintaan [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] agar pihak Kasunanan Surakarta menyediakan 500 orang buruh dari wilayah Banyumas untuk ikut serta dalam pembangunan jalan raya pos di daerah ''Bataviasche Bovenlanden'' ([[Bahasa Indonesia]] : dataran tinggi Batavia) yang membuat Sunan Pakubuwono IV kesal,<ref name="carey3" /> namun seandainya pihak kesultanan Yogyakarta atau kasunanan Surakarta ingin mengadakan perlawanan terhadap apa yang dilakukan oleh [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] maka peristiwa yang menimpa Kyai Kulur dan Kyai Durrahman yang merupakan dua dari tiga pimpinan perjuangan rakyat di Cirebon bisa membuat para penguasa Jawa tersebut berfikir dua kali, hal tersebut dikarenakan, Kyai Kulur dan Kyai Durrahman ketika mereka tertangkap pada bulan Oktober 1808 hidup mereka berakhir dalam sekejap, Kyai Kulur tubuhnya dicincang oleh ''Hussar'' (kavaleri) sementara Kyai Durrahman dibakar hidup-hidup.<ref name="carey3" />
 
==== Surat Raden ''Depati'' Natadireja berkenaan dengan tiga serangkai Bagus Rangin, Kyai Kulur dan Kyai Durrahman ====
 
<gallery widths="120" heights="120px" style="border: 5px solid #a86; box-shadow: 0.1em 0.1em 0.5em rgba(0,0,0,0.75); -moz-box-shadow: 0.1em 0.1em 0.5em rgba(0,0,0,0.75); -webkit-box-shadow: 0.1em 0.1em 0.5em rgba(0,0,0,0.75); border-radius: 0.5em; -moz-border-radius: 0.5em; -webkit-border-radius: 0.5em;">
Berkas:Reynan-ANRI-Raden-Natadireja-1 - image 1596165764113.jpg|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Alih aksara dan terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Pertama'''
Berkas:Reynan-ANRI-Raden-Natadireja-1 - image 1596165764113.jpg|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Alih aksara dan terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Pertama'''<br><br>Punika serat saka sungkem hurmat kawula ngabdi dalem Raden Dipati Nata Direja, ing nagari Garage, kahunjuk ing gusti kawula kajeng Tuwan ingkang ageng, ingkang kinawasa Herman Wilem Dandeles senapati angalaga ing nagari Walandi saha Gurnadur Jendral, saking tanah Hindiya, ingkang kinawasa amarentahken ing saketahipun abdinipun ingkang sinuhun Raja ing nagari walandi, ingkang wonten ing Bawa Angin sedaya. Sesampuning kadyaha punika awiyos, Tuwan Petor ing Garage sampun andawahaken timbalan dalem dumateng kawula, supados kawula panjenengan dalem karsahaken apapariksah dumateng abdi dalem alit ing Garage, punapa ingkang dados sawab durunanipun abdi dalem alit taksih ugi sami hanggade imannah salampa ingkang sakelangkung boten prayoginipun kalampahan kantos sami purun anglampah dados Berandal malih saha kawula sampeyan Dalem kersakaken anyahos panapa pratelanipun, ingkang punika gusti kawula inggih anyahosaken pejah gesang, Sira kawula sageluntung kunjuka panjenengan dalem, inggi amung panjenengan dalem ugi ingkang anggadahi pangawasa anggesangi amejahi dumateng jasad kawula, sawab panjenengan dalem gusti kawula ingkang sayektos, wonten dening menggah prakawis punika gusti abdi dalem anyahosaken unjuk ingkang sayektos sawa(b). <br><br>Bersama dengan surat ini disampaikan dengan rasa hormat saya, Abdi Dalem Raden Depati Natadireja di Nagari Gerage (Cirebon), diperuntukan untuk majikan saya yang agung, yang terhormat Herman Willem Daendels, Senopati yang datang dari negeri Belanda sebagai Gubernur Jenderal dari tanah hindia-belanda, yang mendapat kuasa untuk memerintahkan pasukan dari raja di negeri Belanda, yang ada di bawa angin semua. Sesudah itu seperti mendengarkan tuan petor di Grage sudah menginstruksikan diwakili oleh saya agar saya dan tuan berkenan memeriksa terhadap <nowiki>''</nowiki>abdi dalem alit<nowiki>''</nowiki> (pegawai rendahan) di Gerage, apa yang menjadi sebab pembangkangan pegawai rendahan masih juga sama tidak berubah keyakinan sedikitpun, tetap bertindak sama tetap mau menjadi berandalan lagi, maka saya dan tuan agar sudi menjelaskan perihal itu semua, yang itu tuanku bisa menetapkan hidup mati kepala saya terlepas ada di keputusan tuan, benar hanya tuan juga yang memiliki kuasa untuk memberi hidup dan mati terhadap diri saya sebab tuan adalah raja saya yang sebenarnya, terkait dengan adanya perkara tersebut tuan, saya hendak menyampaikan sebab yang sebenarnya.
 
Berkas:Reynan-ANRI-Raden-Natadireja-1 - image 1596165764113.jpg|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Alih aksara dan terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Pertama'''<br><br>Punika serat saka sungkem hurmat kawula ngabdi dalem Raden Dipati Nata Direja, ing nagari Garage, kahunjuk ing gusti kawula kajeng Tuwan ingkang ageng, ingkang kinawasa Herman Wilem Dandeles senapati angalaga ing nagari Walandi saha Gurnadur Jendral, saking tanah Hindiya, ingkang kinawasa amarentahken ing saketahipun abdinipun ingkang sinuhun Raja ing nagari walandi, ingkang wonten ing Bawa Angin sedaya. Sesampuning kadyaha punika awiyos, Tuwan Petor ing Garage sampun andawahaken timbalan dalem dumateng kawula, supados kawula panjenengan dalem karsahaken apapariksah dumateng abdi dalem alit ing Garage, punapa ingkang dados sawab durunanipun abdi dalem alit taksih ugi sami hanggade imannah salampa ingkang sakelangkung boten prayoginipun kalampahan kantos sami purun anglampah dados Berandal malih saha kawula sampeyan Dalem kersakaken anyahos panapa pratelanipun, ingkang punika gusti kawula inggih anyahosaken pejah gesang, Sira kawula sageluntung kunjuka panjenengan dalem, inggi amung panjenengan dalem ugi ingkang anggadahi pangawasa anggesangi amejahi dumateng jasad kawula, sawab panjenengan dalem gusti kawula ingkang sayektos, wonten dening menggah prakawis punika gusti abdi dalem anyahosaken unjuk ingkang sayektos sawa(b). <br><br>Bersama dengan surat ini disampaikan dengan rasa hormat saya, Abdi Dalem Raden Depati Natadireja di Nagari Gerage (Cirebon), diperuntukan untuk majikan saya yang agung, yang terhormat Herman Willem Daendels, Senopati yang datang dari negeri Belanda sebagai Gubernur Jenderal dari tanah hindia-belanda, yang mendapat kuasa untuk memerintahkan pasukan dari raja di negeri Belanda, yang ada di bawa angin semua. Sesudah itu seperti mendengarkan tuan petor di Grage sudah menginstruksikan diwakili oleh saya agar saya dan tuan berkenan memeriksa terhadap <nowiki>''</nowiki>abdi dalem alit<nowiki>''</nowiki> (pegawai rendahan) di Gerage, apa yang menjadi sebab pembangkangan pegawai rendahan masih juga sama tidak berubah keyakinan sedikitpun, tetap bertindak sama tetap mau menjadi berandalan lagi, maka saya dan tuan agar sudi menjelaskan perihal itu semua, yang itu tuanku bisa menetapkan hidup mati kepala saya terlepas ada di keputusan tuan, benar hanya tuan juga yang memiliki kuasa untuk memberi hidup dan mati terhadap diri saya sebab tuan adalah raja saya yang sebenarnya, terkait dengan adanya perkara tersebut tuan, saya hendak menyampaikan sebab yang sebenarnya.
Berkas:Reynan-2_-_image_1596165848797.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Alih aksara dan terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Kedua'''<br><br>Saderengipun wonten bawa dalem punika, kawula sampun apapariksa, saha angyektosaken dumateng abdi dalem para kapala tuwin titiyang ngalit, inggi boten wonte(n) ingkang katingalan, ing maripat kawula punapa dening ingkang sami agadaha, aturan saking dening wonten ingkang andadosaken, sawab punapa-punapa, menggahing ngabot kawratanipun, inggi boten, malihing pamireng saka paningal kawula ingkang sampun kawula yektosaken ingkang temen, sami anggada kiwirahosan ecah saha enteng, punapadene katingalan ing tingkang solahipun sami tumemen, girang majeng ing sumadayadipun padamelan, mila dados ing mangke kawula boten saged angrahosaken menggah abdo dalem alit kantos kalampahan sami purun anggahi manah saha ngalampahan, ingkang sakelangkung boten prayogidipun punika, rehing boten wonten ingkang katingalan tuwin ingkang kawula pireng menggahing kadados sawab darunanipun ing ngot kawratanipun kedik kadika, inggi ugi sami suka lirang, saha kajeng ing pedamelan wonten dening mengga pandugi pangrahos sing manah kawula ingkang sayektos, ingkang mawi dados margi sawab Darunanipu(n)
 
Bersama dengan surat ini disampaikan dengan rasa hormat saya, Abdi Dalem Raden Depati Natadireja di Nagari Gerage (Cirebon), diperuntukan untuk majikan saya yang agung, yang terhormat Herman Willem Daendels, Senopati yang datang dari negeri Belanda sebagai Gubernur Jenderal dari tanah hindia-belanda, yang mendapat kuasa untuk memerintahkan pasukan dari raja di negeri Belanda, yang ada di bawa angin semua. Sesudah itu seperti mendengarkan tuan petor di Grage sudah menginstruksikan diwakili oleh saya agar saya dan tuan berkenan memeriksa terhadap <nowiki>''</nowiki>abdi dalem alit<nowiki>''</nowiki> (pegawai rendahan) di Gerage, apa yang menjadi sebab pembangkangan pegawai rendahan masih juga sama tidak berubah keyakinan sedikitpun, tetap bertindak sama tetap mau menjadi berandalan lagi, maka saya dan tuan agar sudi menjelaskan perihal itu semua, yang itu tuanku bisa menetapkan hidup mati kepala saya terlepas ada di keputusan tuan, benar hanya tuan juga yang memiliki kuasa untuk memberi hidup dan mati terhadap diri saya sebab tuan adalah raja saya yang sebenarnya, terkait dengan adanya perkara tersebut tuan, saya hendak menyampaikan sebab yang sebenarnya.
Berkas:Reynan-4_-_image_1596165904264.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Ketiga'''<br><br>n abdi-abdi dalem alit sami kalampahan purun adamel ingkang kalangkung boten prayogi punika, inggi namung awit saking asanget bodonipun abdi-abdi dalem alit, mangka kajujug kahajak dateng kapala titiga kang sakelangkung dening awo(r)nipun punika, kawosta pun Kulur, Pun Rangin, saha Pun Draham, dados saking samiya sanget kabodohannipun abdi-abdi dalem alit, mila kalampahan samiyanderek ing pambujukipun wahu kapala titiga ingkang sakelangkung dening awoning punika. Saha pirahos kawula, bili wahu kapala titiga ingkang sakelangkung dening awonipun dereng kecepeng, amasti dereng waged sahe karta pisan abdi-abdi dalem alit, sawab panitikan kawula saking asanget bodonipun abdi-abdi dalem alit. Inggi taksi ugi sami amireng kali mirenna ing pambujukipun wahu kapala titiga kang sakelangkung dening awonipun punika. Kali dening tuwan Petor acacriyos dateng kawula, aprakawis dening abdi dalem Pun Dermang Sura Prasandah ingkang kasuhun ing panjengan dalem supados kenging ngaharante. Ingkang punika gusti mengga sapaningal saha pamireng kawula, inggih sampun dumugi ing kahukumanipun sapuni(ka).
 
Berkas:Reynan-5_2_-_image_1596165930965_image_1596165848797.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. TerjemahanAlih aksara dan terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar KeempatKedua'''<br><br>ka, sawab boten sapisan kaping kali kemawon enggenipun katigalan ing cindranipun tuwan boten angestokaken in parenta. Mala kantos wahu kapala ingkang sakelangkung dening awonipun ingkang kawasta Pun Rangin, umpetan wonten dusun bawa rerehanipun boten pisan wahu abdi dalem Pun Sura Prasanda, Yen angatingalena ing ketemenanipun amuri anyepeng wahu Pun Rangin, tansa ugi katingalan engenipun angubeng-ubeng ambrih ing bubaripun wahu Pun Rangin kimawon. Ingkang punika gusti, menggah sakatah katahipun unjuk kawula ing panjenengan dalem punika, inggi sampun kawula tingali, saha ingkang kawula pireng punika sadaya, kaserat ing Nagari Garage, kala tanggal ping Gangsal sasi Jumadilakir tahun Dal Hijrah 1223
</gallery>
 
Berkas:Reynan-2_-_image_1596165848797.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Alih aksara dan terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Kedua'''<br><br>Saderengipun wonten bawa dalem punika, kawula sampun apapariksa, saha angyektosaken dumateng abdi dalem para kapala tuwin titiyang ngalit, inggi boten wonte(n) ingkang katingalan, ing maripat kawula punapa dening ingkang sami agadaha, aturan saking dening wonten ingkang andadosaken, sawab punapa-punapa, menggahing ngabot kawratanipun, inggi boten, malihing pamireng saka paningal kawula ingkang sampun kawula yektosaken ingkang temen, sami anggada kiwirahosan ecah saha enteng, punapadene katingalan ing tingkang solahipun sami tumemen, girang majeng ing sumadayadipun padamelan, mila dados ing mangke kawula boten saged angrahosaken menggah abdo dalem alit kantos kalampahan sami purun anggahi manah saha ngalampahan, ingkang sakelangkung boten prayogidipun punika, rehing boten wonten ingkang katingalan tuwin ingkang kawula pireng menggahing kadados sawab darunanipun ing ngot kawratanipun kedik kadika, inggi ugi sami suka lirang, saha kajeng ing pedamelan wonten dening mengga pandugi pangrahos sing manah kawula ingkang sayektos, ingkang mawi dados margi sawab Darunanipu(n)
 
Berkas:Reynan-4_-_image_1596165904264.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Ketiga'''
 
Berkas:Reynan-4_-_image_1596165904264.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Ketiga'''<br><br>n abdi-abdi dalem alit sami kalampahan purun adamel ingkang kalangkung boten prayogi punika, inggi namung awit saking asanget bodonipun abdi-abdi dalem alit, mangka kajujug kahajak dateng kapala titiga kang sakelangkung dening awo(r)nipun punika, kawosta pun Kulur, Pun Rangin, saha Pun Draham, dados saking samiya sanget kabodohannipun abdi-abdi dalem alit, mila kalampahan samiyanderek ing pambujukipun wahu kapala titiga ingkang sakelangkung dening awoning punika. Saha pirahos kawula, bili wahu kapala titiga ingkang sakelangkung dening awonipun dereng kecepeng, amasti dereng waged sahe karta pisan abdi-abdi dalem alit, sawab panitikan kawula saking asanget bodonipun abdi-abdi dalem alit. Inggi taksi ugi sami amireng kali mirenna ing pambujukipun wahu kapala titiga kang sakelangkung dening awonipun punika. Kali dening tuwan Petor acacriyos dateng kawula, aprakawis dening abdi dalem Pun Dermang Sura Prasandah ingkang kasuhun ing panjengan dalem supados kenging ngaharante. Ingkang punika gusti mengga sapaningal saha pamireng kawula, inggih sampun dumugi ing kahukumanipun sapuni(ka).
 
Berkas:Reynan-5_-_image_1596165930965.jpg|thumb|Surat Raden Depati Natadireja untuk [[Herman Willem Daendels]] pada 5 Jumadil akhir 1223 hijriah atau sekitar 25 Juli 1808, ditulis dalam Carakan Cirebon gaya Joharuddin. Terjemahan dalam [[bahasa Indonesia]] oleh Raden Anom Panuratrahsa. '''Lembar Keempat'''
 
ka, sawab boten sapisan kaping kali kemawon enggenipun katigalan ing cindranipun tuwan boten angestokaken in parenta. Mala kantos wahu kapala ingkang sakelangkung dening awonipun ingkang kawasta Pun Rangin, umpetan wonten dusun bawa rerehanipun boten pisan wahu abdi dalem Pun Sura Prasanda, Yen angatingalena ing ketemenanipun amuri anyepeng wahu Pun Rangin, tansa ugi katingalan engenipun angubeng-ubeng ambrih ing bubaripun wahu Pun Rangin kimawon. Ingkang punika gusti, menggah sakatah katahipun unjuk kawula ing panjenengan dalem punika, inggi sampun kawula tingali, saha ingkang kawula pireng punika sadaya, kaserat ing Nagari Garage, kala tanggal ping Gangsal sasi Jumadilakir tahun Dal Hijrah 1223
</gallery>
 
==== Pembentukan ''Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen'' dan Sultan sebagai pegawai Belanda ====
Baris 333 ⟶ 346:
* Kedua, ''Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger Regentschappen (wilayah'' kesultanan Cirebon dan Priangan-Cirebon), yang meliputi wilayah [[kesultanan Cirebon]], Limbangan (sekarang bagian dari [[kabupaten Garut]]), Sukapura (sekarang bagian dari [[kabupaten Tasikmalaya]]) dan Galuh (sekarang [[kabupaten Ciamis]] dan [[kota Banjar]])<ref>Sunardjo, Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon: 1479 - 1809. Bandung: Tarsito</ref>
 
Di daerah Cirebon, dikatakan [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] memperoleh hak untuk mengangkat pegawai kesultanan menjadi pegawai Belanda, hal ini senada dengan proses reformasi administrasi yang dilakukan oleh [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] di pulau Jawa dimanadi mana dia mengangkat semua bupati menjadi pegawai Belanda dengan maksud menyetarakan mereka dengan para pegawai yang berasal dari eropa, hal ini dilakukan oleh [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] untuk menghentikan penyalahgunaan wewenang oleh para bupati Jawa yang memperoleh keuntungan langsung dari penduduknya.<ref name=dalope>Dalope, Leonard Bayu Laksono. 2018. Berharap dari Tanah Pangharepan : Kajian Sosio-Historis di Seputar Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda pada Komunitas Kristen di Jawa Barat periode Tahun 1870-1920. [[Salatiga]] : Universitas Kristen Satya Wacana</ref> [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] juga mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan keuangan, tidak hanya di Cirebon, [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] juga memperketat pengawasan administrasi dan keuangan atas para penguasa pribumi lainnya.<ref name=lipidaendels>Tim Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional. 1986. Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IV, Jakarta, 8-12 September 1986, Volume 4. [[Jakarta]] : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia</ref> [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] juga masih ikut campur dalam pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809 dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikan pegawai pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral, wilayah-wilayahnya kemudian diawasi oleh ''prefect'' (kepala wilayah) yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.<ref name="hazmirullah" />
 
Pada ''Algemeene Bepalingen'' (ketentuan umum) selain memecah wilayah [[kesultanan Cirebon]] menjadi dua ''prefectuur'' (wilayah) yakni ''Kesultanan Cheribon Landen'' (termasuk didalamnya wilayah kepangeranan Gebang) dan ''Cheribonsche-Preanger Landen'' yang masing-masing dikepalai oleh seorang ''prefect'' (kepala wilayah), ketentuan umum tersebut juga menjelaskan bahwa kedudukan para penguasa Cirebon dengan terbitnya ''Reglement op het beheer van Cheribonsche Landen'' (peraturan tentang pengelolaan wilayah Cirebon) menjadi seorang pegawai Belanda dengan posisi yang berada langsung dibawah ''prefect'' (kepala wilayah), ketiga penguasa Cirebon kemudian diberikan gelar ''hoofd-regent'' dan tetap diperkenankan untuk menggunakan tanda atau simbol-simbol kebesaran serta tata cara penghormatan yang selama ini berlaku di lingkungan kesultanan guna menjaga citra dari para penguasa Cirebon.<ref name="hazmirullah" />
 
''Prefectuur'' (wilayah) ''Kesultanan Cheribon Landen'' dibagi menjadi 12 distrik dan dikepalai oleh seorang ''districts-tommongong'' (''Tumenggung'' wilayah), para penguasa Cirebon yang diberikan jabatan ''hooft-regent'' diwajibkan untuk menyediakan beras sebesar 2.000 ''koyan'' (1 ''koyan'' = 1.853 kilogram) atau sekitar 3.706.000 kilogram per tahun dan pengakuan hutang sebesar 30.000 ''Rijksdaalder'' ([[bahasa Cirebon]] : Reyal Selaka) atau ringgit<ref>{{Cite web|title=Sejarah – Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang|url=http://dbmtr.jabarprov.go.id/sejarah/|language=en-US|access-date=2021-02-10|archive-date=2021-02-10|archive-url=https://web.archive.org/web/20210210143002/http://dbmtr.jabarprov.go.id/sejarah/|dead-url=yes}}</ref> per tahun.<ref name="hazmirullah" />
 
Pada tanggal 13 Maret 1809, [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]] menunjuk Sultan Sepuh yang pada masa itu dijabat oleh Djoharuddin untuk mengepalai wilayah kabupaten Cirebon dan Kuningan, Sultan Anom Imamuddin ditunjuk sebagai kepala wilayah di Maja (Majalengka) sementara Pangeran Raja Kanoman yang sudah naik tahta sebagai Sultan Kacirebonan dijadikan kepala wilayah Indramayu.<ref name="bochari" /> Pada detail penjelasannya, peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 13 Maret 1809 tersebut menyatakan bahwa wilayah yang berada dibawah pengelolaan masing-masing penguasa Cirebon adalah sebagai berikut:<ref name="hazmirullah" /><ref name=donaldprefect>Mackay, Donald Jacob. 1861. De handhaving van het Europeesch gezag en de hervorming van het regtswezen onder het bestuur van den gouverneur-generaal Mr. H. W. Daendels over Java en onderhoorigheden (1808-1811). s'Gravenhage : Martinus Nijhoff</ref>
Baris 349 ⟶ 362:
 
==== Pertempuran Jawura dan Bantar Jati ====
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Kusumahdinata IX dan Raden Surialaga II kemudian bergerak menuju wilayah Jatitujuh, Bagus Rangin yang mengetahui hal ini berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya untuk memulai serangan terlebih dahulu, cara yang ditempuh oleh Bagus Rangin adalah dengan memasang umbul-umbul di lapangan Jawura guna menantang Belanda untuk berperang, lapangan Jawura merupakan sebuah lapangan yang memanjang dari timur ke barat dengan luas sekitar lima hektar yang berada di sebelah barat desa [[Kertajati, Kertajati, Majalengka|Kertajati]].<ref name="bochari" />
 
Raffan Hasyim (sejarahwan Cirebon) dalam penelitiannya tentang Bagus Rangin yang mengutip sumber-sumber tradisional Cirebon menyatakan bahwa strategi perang yang digunakan oleh Bagus Rangin memiliki kesamaan dengan strategi yang digunakan oleh Sultan Sepuh V Muhammad Syafiuddin yaitu menggunakan strategi perang ''Buaya Mangap'', strategi perang ''Buaya Mangap'' merupakan strategi perang yang menggabungkan antara kekuatan pasukan gerilya, kesenian tradisional seperti tayub dan kemampuan untuk menyamar dan bersembunyi.<ref name="opan" /> Bagus Rangin memerintahkan anak buahnya untuk memasang lengkungan-lengkungan janur, umbul-umbul merah dan ranting-ranting dari pohon beringin, setiap lengkungan janur dijaga oleh tiga orang prajurit Bagus Rangin, ada sekitar dua puluh lengkungan janur yang dipasang sebelum menuju ke tenda kesenian, antara satu tenda dengan tenda lainnya dijaga sekitar lima puluh pasukan Bagus Rangin yang bersembunyi, di dalam tenda kesenian tersebut para penari dan ''wiyaga'' (penabuh gamelan) yang juga merupakan para prajurit Bagus Rangin sibuk memainkan keseniannya,<ref name="opan" /> ketika sudah menjelang tengah malam pasukan Bagus Rangin mulai mengadakan serangan, dalam kesempatan tersebut banyak pasukan dari ''Ngabehi Dalem'' Indramayu yang memihak Belanda tewas, bahkan ''patih'' Indramayu yang bernama Astrasuta juga ikut tewas.<ref name="opan" />
 
Bagus Rangin pada persiapannya di lapangan Jawura menempatkan pasukannya di bagian utara dari lapangan tersebut, para komandan dari pasukan Bagus Rangin yang bersiap di lapangan Jawura diantara adalah ''Ki Buyut'' Merat, ''Ki Buyut'' Deisa, ''Ki Buyut'' Sena, ''Ki Buyut'' Jayakusuma, ''Ki Buyut'' Jago, ''Ki Buyut'' Teteg, ''Ki Buyut'' Huyung, ''Ki Buyut'' Bongkok, dan ''Ki Buyut'' Jasu. Pasukan Belanda yang melihat umbul-umbul yang dipasang oleh Bagus Rangin di lapangan Jawura kemudian segera membagi pasukannya, untuk menyerang pasukan Bagus Rangin.<ref name="bochari" />
 
Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan [[Napoleon Bonaparte]] melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar ini diterima oleh [[Herman Willem Daendels|Gubernur Jendral Herman Willem Daendels]], Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera Perancis<ref name=darmawan1>Darmawan, Joko. 2017. Sejarah Nasional “Ketika Nusantara Berbicara”. [[Sleman]] : Deepublish</ref>, hal ini kemudian diketahui oleh [[Thomas Stamford Raffles]] dan mengunjungi [[Lord Minto]] Gubernur Jendral Britania di India untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh [[Lord Minto|Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto]]. Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I Muhammad Chaeruddin II<ref name="irianto2" /> yang dahulunya adalah Pangeran Raja Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap selalu menentang pemerintah Belanda,<ref>Rosidi, Ajip. Dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). [[Jakarta]]: Pustaka Jaya</ref> rakyat Cirebon pada masa itu dikatakan marah dengan keputusan yang diambil oleh Pemerintah Belanda dikarenakan sosok Sultan Kacirebonan dikenal sebagai pemimpin yang selalu berpihak kepada rakyat.<ref name="bochari" />
 
Pemecatan Sultan Cirebon I Muhammad Chaeruddin oleh Belanda sebagai ''Overseer'' (pengawas) mengakibatkan wilayah-wilayah yang seharusnya berada dalam pengelolaannya kemudian dibagi dua kepada Sultan Anom Imamuddin dan Sultan Sepuh Djoharuddin<ref>Meinsma, Johannes Jacobus. 1873. Geschiedenis van de Nederlandsche Oost-Indische bezittingen: I-II deel. [[Gravenhage]] : Joh Ijkema</ref>
 
Pada tanggal 22 Juli 1810, pasukan Bagus Rangin dapat mengalahkan pasukan Belanda yang dipimpin Pangeran Kusumahdinata IX dari Sumedang dekat wilayah [[Bantarjati, Kertajati, Majalengka|Bantarjati,]] sementara pasukan Bagus Rangin lainnya dibawah komando ''Ki Buyut'' Merat dan ''Ki Buyut'' Deisa dapat mematahkan pertahanan dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Raden Surialaga II, dengan keterbatasan persenjataan dan personil, pasukan Bagus Rangin kemudian terpaksa mundur, hal ini dimanfaatkan oleh pasukan Belanda untuk melawan balik dengan memblokade wilayah [[Jatitujuh, Majalengka|Jatitujuh,]] hal tersebut dilakukan untuk memutus hubungan antar kelompok pasukan Bagus Rangin sekaligus mempersempit ruang geraknya, Pangeran Kusumahdinata IX kemudian dapat membangun kekuatan pasukannya kembali dan memukul mundur pasukan Bagus Rangin hingga ke wilayah [[Panongan, Jatitujuh, Majalengka|Panongan]].<ref name="bochari" />
 
=== Invasi Britania ke Hindia Belanda ===
[[Berkas:Sir Thos. Stamford Raffles.png|jmpl|200px|left|Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk wilayah Jawa setelah mengalahkan Belanda dan terjadi [[Kapitulasi Tuntang]].]]
Pada bulan Desember 1810, Britania membentuk lima batalion baru pasukan yang berjumlah 4.000 orang di Bengali, [[India]], dimanadi mana didalamnya terdapat Batalion Infanteri Ringan, untuk ditempatkan dalam pasukan ekspedisi Britania yang pada waktu itu tengah dipersiapkan di [[Penang]] dan [[Melaka]] untuk menyerang pasukan Belanda (yang pada masa itu telah berada dibawah Perancis) di pulau Jawa, hampir setengah dari batalion yang dibentuk tersebut beranggotakan orang-orang yang berasal dari wilayah [[Kepresidenan Benggala|Kepresidenan Bengali]], [[India]], anggota-anggota batalion Bengali diantaranya diambil dari wilayah [[Bihar]], [[Rajputana]] (kini sebagian besar menjadi negara bagian [[Rajasthan]]), wilayah Oudh (kini bagian dari negara bagian [[Uttar Pradesh]]) dan ada pula anggota batalion yang berasal dari daerah-daerah barat laut India lainnya. Anggota pasukan batalion yang kebanyakan berasal dari wilayah utara [[India]] tersebut sebagian besar merupakan anggota keluarga Hindu dari kasta yang tinggi serta mereka merupakan anggota dari keluarga-keluarga pemilik tanah yang kaya raya, hal ini berbeda dengan komposisi pasukan Britania yang berasal dari [[kepresidenan Bombay]] (Mumbai) atau Madras ([[Chennai]]), bahkan perwira dan bintara muda yang merupakan bagian dari anggota batalion Bengali banyak yang berasal dari keluarga kelas atas tersebut,<ref name=careysepoy>Carey, Peter. 2004. Asal Usul Perang Jawa ; Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh. [[Yogyakarta]] : Lkis Pelangi Aksara</ref> masalah yang timbul dari komposisi pasukan Bengali yang demikian adalah sisi senioritas anggotanya, kenaikan pangkat yang terjadi pada batalion Bengali tidaklah melihat kemampuan yang ditunjukan oleh anggotanya, hal ini berkebalikan dengan proses kenaikan pangkat anggota batalion yang berasal dari [[kepresidenan Bombay]] (Mumbai) atau Madras ([[Chennai]]) yang fokus melihat pada kemampuan yang ditunjukan oleh anggotanya, sehingga pada masa tersebut para perwira yang berasal dari batalion Bengali seringkalisering kali diisi oleh para anggota batalion yang sudah berusia lanjut dan lemah fisiknya.<ref name="careysepoy" />
 
Pada tahun 1796, Britania pernah melakukan reorganisasi resimen (pasukan yang terdiri dari beberapa batalion), bahwa para perwira resimen pasukan ''Sepoy'' (pasukan yang terdiri dari orang-orang India) yang berbangsa eropa terdiri atas orang-orang yang berusia muda, kebanyakan dari perwira muda eropa ini diambil langsung dari anggota-anggota resimen Britania dari wilayah perbatasan di India yang pada masa itu dikenal sebagai resimen-resimen raja (''King's Regiments)'', kekurangan para perwira muda yang berasal dari resimen-resimen raja ini adalah mereka kurang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan dalam pemahaman bahasa dan budaya India setempat sehingga menyebabkan hubungan antara para perwira eropa muda dengan bawahannya pada masa tersebut menjadi lebih longgar.<ref name="careysepoy" />
Baris 381 ⟶ 396:
* Kewajiban untuk membangun dan memperbaiki sarana umum
* Kewajiban untuk menanam dan menyetorkan komoditas ekspor (terutama kopi)
* Pajak keagamaan sebesar satu per dua puluh dari total padi hasil panen (namun pada kenyataannya yang diambil adalah sepersepuluh dari total padi hasil panen)
 
==== Para penguasa Cirebon dan invasi Britania ====
 
Pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah atau sekitar tanggal 26 April 1811, Sultan Sepuh Joharuddin menerima surat bertanggal 19 Desember 1810 dari [[Thomas Stamford Raffles | Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles]] yang dibawa oleh Tengku Pangeran Sukmadilaga<ref name="haz2"> Hazmirullah. 2016. Surat Balasan Sultan Sepuh VII Cirebon Untuk Raffles : Kajian Strukturalisme Genetik. [[Sumedang]] : Universitas Padjajaran</ref> (nama aslinya Sayid Zain dari kerajaan Siak)<ref name="hazmirullah">Hazmirullah. Titin Nurhayati Ma’mun, Undang A. Darsa. 2017. Jumantara : Surat Pengunduran Diri Sultan Sepuh VII Cirebon: Suatu Kajian Filologis. [[Jakarta]] Perpustakaan Nasional</ref> ketika beliau sedang berada di wilayah desa [[Singaraja, Indramayu, Indramayu|Singaraja, Indramayu]] menjalankan perintah dari Belanda untuk berjaga-jaga jika Britania akan datang menyerang, dengan ditemani oleh Raden Ngabehi Balah Ludur (dalam penelitiannya Hazmirullah mentranslasikannya sebagai Ngabehi Wiralodra<ref name="haz2" />) Tengku Pangeran Sukmadilaga selain membawa surat resmi dari [[Thomas Stamford Raffles | Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles]] beliau juga membawa enam orang bangsawan Cirebon dari [[Melaka]], mereka adalah Pangeran Arya Kidul, Pangeran Raja Kartaningrat, Pangeran Arya Suminta Raja, Raden Sudirabrata, Tumenggung Mangkunegara dan seorang Imam Qadhi, namun Sultan Sepuh Joharuddin menyatakan tidak bisa menerima ke enam orang tersebut karena takut ketahuan oleh Belanda dan meminta agar Pangeran Sukmadilaga membawa mereka kembali ke [[Melaka]].<ref name="haz2" />
 
Surat yang dibawa Pangeran Sukmadilaga tersebut berisi mengenai penyerangan Britania kepada pihak Belanda di Jawa, dalam suratnya [[Thomas Stamford Raffles | Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles]] berjanji tidak akan memperlakukan para penguasa dan rakyat secara kejam seperti yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan Perancis.<ref name=haz2/>
 
Pada surat balasannya yang ditulis tengah malam pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah, Sultan Sepuh Joharuddin yang juga mengatasnamakan Sultan Anom Cirebon menyatakan persetujuannya atas rencana invasi Britania ke Jawa<ref name=haz2/>
Baris 393 ⟶ 408:
==== [[Jan Willem Janssens|Gubernur Jendral Jan Willem Janssens]] dan kekalahan [[Belanda]] ====
[[Berkas:Jonkheer Jan Willem Janssens (1762-1838). Gouverneur van de Kaapkolonie en gouverneur-generaal van Nederlands Oost Indië, SK-A-2219.jpg|200px|kiri|jmpl|Gubernur Jendral Jan Willem Janssens]]
Pada tanggal 16 Mei 1811 kedudukan [[Herman Willem Daendels | Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels]] sebagai penguasa Hindia Belanda digantikan oleh [[Jan Willem Janssens|Gubernur Jendral Jan Willem Janssens]]<ref name="carey3" /> seorang pejabat [[Belanda]] yang sebelumnya telah mengalami kekalahan dan akhirnya menyerahkan wilayah koloni [[Belanda]] di [[Tanjung Harapan]], [[Afrika]] kepada Britania<ref name=merle>Ricklefs, Merle Calvin. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. [[Jakarta]] : Penerbit Serambi</ref>
 
Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada sekitar bulan Juni 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan Semenanjung Melayu mulai berlayar dari [[Melaka]] menuju Batavia, mereka membawa sekitar 100 kapal dengan 12.000 prajurit, [[Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto|gubernur Jenderal ''East Indies Company (EIC)'' Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto]] dan [[Thomas Stamford Raffles]] juga turut berada didalam rombongan tersebut.<ref name=mahruf-pasemah>Mahruf, Kamil. Nanang S. Soetadji. 1999. Pasemah Sindang Merdika, 1821-1866. [[Palembang]] : Paguyuban Masyarakat Peduli Musi</ref> Pada tanggal 3 Agustus 1811, pasukan Britania telah sampai di Batavia<ref name="mahruf-pasemah" /> dan pada tanggal 4 Agustus 1811 pasukan Britania telah mendarat di pulau Jawa,<ref name="ball1" /> pada bulan yang sama tepatnya tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang sampai akhirnya Belanda di bawah [[Jan Willem Janssens|Gubernur Jendral Jan Willem Janssens]] yang menggantikan [[Herman Willem Daendels]] pada tanggal 16 Mei 1811 kemudian menyerah kepada Britania di Salatiga dan menandatangani [[kapitulasi Tuntang]] pada tanggal 18 September 1811.<ref name="ball1" /> Kemenangan ini kemudian menjadikan [[Thomas Stamford Raffles]] diangkat sebagai Letnan Gubernur Britania (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa.
Baris 405 ⟶ 420:
 
==== Pengunduran diri Sultan Sepuh Joharuddin dari jabatan politik ====
Pada surat tertanggal 25 Rabiul Awal 1227 hijriah atau 25 Mulud 1739 tahun alip Jawa yang bertepatan dengan tanggal 8 April 1812 Sultan Sepuh Joharuddin menulis surat kepada [[Thomas Stamford Raffles| Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles]] yang berisi penerimaan dirinya untuk pensiun dari jabatan politik.<ref name="hazmirullah" />
 
Besaran uang yang diterima oleh Sultan Sepuh Joharuddin sebelum memutuskan untuk menerima keputusan pensiun pada masa pemerintahan [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles]] adalah sebesar 4000 ''[[Rijksdaalder]]'' atau 4000 uang perak ([[bahasa Cirebon]] : ''reyal selaka'') per tahun<ref name="hazmirullah" />
Baris 413 ⟶ 428:
 
==== Reformasi agraria oleh [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] ====
Pada tanggal 14 Juni 1813, [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] menyatakan akan merubah secara radikal sistem di tanah Jawa, tiga  poin utama dalam skema reformasi agraria oleh [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] yaitu;<ref name="hazmirullah" />
 
* Penghapusan ''verplichte leverantie'' atau pengiriman paksa produk tertentu (seperti kewajiban upeti dan kewajiban pengiriman barang komoditas dengan harga yang tidak memadai) serta penghapusan semua layanan feodal dengan memberikan kebebasan dalam hal budi daya dan perdagangan.
Baris 419 ⟶ 434:
* Penyewaan tanah diasumsikan dalam bentuk perkebunan dan disewakan hanya untuk jangka menengah.
 
[[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] merasa perlu agar secepatnya melakukan pengambilalihan kepemilikan lahan dari para penguasa setempat, dimanadi mana pada masa lalu keuntungan dari penyewaan lahan ini dinikmati oleh para bupati.<ref name="hazmirullah" />
 
==== Kesepakatan antara Raffles dengan Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I ====
Pada bulan Juli 1813, [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] menyatakan puas karena telah mencapai kesepakatan dengan para Sultan di Cirebon (pada masa itu dijabat oleh Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I<ref name="aris1" />), menurut [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] para Sultan merasa lega mendapat jaminan masa depan dan penyeleseian masalah kerja atau pelayanan paksa, para Sultan setuju bahwa administrasi internal harus dikelola oleh pemerintah dengan syarat mereka memperoleh jaminan dalam hal kepemilikan terhadap bidang tanah tertentu dan adanya pemberian uang pensiun tahunan yang berkelanjutan.<ref name="hazmirullah" />
 
Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I mendukung pandangan pemerintah dan yakin bahwa sistem yang diterapkan terdahulu mengenai pelayanan dan pengiriman paksa memiliki kecenderungan yang buruk, Sultan Sepuh Joharuddin dan Sultan Anom Komaruddin I juga setuju terhadap rencana penghapusan pajak kapitasi dan perlunya memperkenalkan kebijakan tentang penyewaan tanah dimanadi mana sewa tanah dihitung berdasarkan hasil produksi lahan, kebijakan tersebut ditujukan untuk mengganti semua kewajiban akan upeti yang sebelumnya diberlakukan.<ref name="hazmirullah" />
 
Pada tanggal 20 Juli 1813 melalui penegasan ''(resolution statement)'' dinyatakan bahwa Sultan Sepuh Joharuddin berhak atas tanah [[keraton Kasepuhan]] dan petak tanah di blok Sunyaragi<ref name=pncn2019-18>Pengadilan Negeri Cirebon. 2019. Putusan Pengadilan Negeri Cirebon No. 18/Pdt.G/2019/PN Cbn. [[Cirebon]] : Pengadilan Negeri Cirebon</ref>
Baris 433 ⟶ 448:
 
==== Pembentukan karesidenan Cirebon ====
Pada tahun 1815 [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] melakukan penataan wilayah dan administrasi di wilayah Hindia Belanda dengan tujuan mengoptimalkan sistem pemeritahan langsung, Jawa kemudian dibagi menjadi enam belas karesidenan yang diperintah oleh seorang residen dari kalangan orang eropa, salah satu karesidenan yang dibentuk pada masa itu adalah karesidenan Cirebon.<ref name=hendarti>Hendarti, Latipah. 2008. Menepis Kabut Halimun : Rangkaian Bunga Rampai Pengelolaan Sumberdaya Alam di Halimun. [[Jakarta]] : Yayasan Pustaka Obor Indonesia</ref> Residen Britania yang pernah menjabat di Cirebon diantaranya adalah W. J Davy<ref name=Loedin>Loedin, A. A. 2005. Sejarah kedokteran di bumi Indonesia. [[Jakarta]] : Grafiti</ref> (1815) yang bertugas ketika [[Thomas Stamford Raffles|Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles]] memandang perlunya dilakukan pelatihan ''inheemschen'' tentang kiat inokulasi cacar dan pengobatan penyakit kelamin di rumah sakit - rumah sakit di kota besar.<ref name="Loedin" /> kemudian Letnan Hanson (1816)<ref name="asiatic1-2">Team Asiatic Journal. 1816. The Asiatic Journal and Monthly Miscellany, Series 1 Volume 2. [[LOndon]] : Wm. H. Allen & Co</ref>
 
==== Masa akhir kekuasaan Britania dan berkuasanya kembali Belanda ====
Baris 453 ⟶ 468:
 
== Akhir perang besar Cirebon ==
[[Berkas:AMH-5470-NA Map of the fort De Bescherming at Cheribon.jpg|jmpl|Peta oleh Isaac de Graaff yang menggambarkan wilayah sungai Sikaro dan sungai besar Indramayu (Cimanuk) (kiri), Pos Dagang Belanda (kanan atas) yang terletas pada pertemuan sungai Sikaro dan sungai besar Indramayu serta ''Fort de Beschermingh'' (kanan bawah) pada sekitar tahun 1690 - 1743 ]]
[[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen]] yang menjabat pada masa itu memerintahkan untuk mengirimkan pasukan secara besar-besaran dalam menyikapi masalah perang di Cirebon. Pada tanggal 25 Januari 1818 sebuah kapal meriam dikirim dari Batavia ke Cirebon dibawah pimpinan Letnan W H Hunter, sementara dari Semarang satu detasemen pasukan Belanda dibawah pimpinan kapten Couvreur juga dikirim ke Cirebon.<ref name="bochari" />
 
Baris 464 ⟶ 479:
Nairem kemudian dapat ditangkap pada tanggal 25 Februari 1818, setelah ditangkapnya Nairem, wilayah Rajagaluh, Kedongdong dan Palimanan dapat dikendalikan dan untuk menjaga keamanan daerah-daerah tersebut disepakati untuk dibangun sarana militer dan penempatan pasukan,<ref name="bochari" /> akhirnya kedua perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.
 
Pada saat Belanda sedang membangun sarana militer di Palimanan, Bagus Serit bersama dengan 50 orang pasukannya datang menghancurkan sarana dan prasarana militer tersebut serta merampas senjata dan pakaian yang berada disanadi sana, pasukan Belanda kemudian mundur ke wilayah kali Tanjung, disanadi sana pasukan Belanda yang dipimpin oleh Krieger berusaha untuk menghimpun kekuatan.<ref name="bochari" />
 
Bagus Serit sebenarnya pernah berusaha untuk mengajak para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Sultan Kacirebonan untuk membantu perjuangannya sekaligus membebaskan Cirebon dari penjajahan Belanda, beliau mengirimkan surat yang dibawa oleh kurirnya, namun ajakan Bagus Serit tersebut ditolak oleh Sultan Sepuh, Sultan Sepuh kemudian menangkap kurir Bagus Serit tersebut dan melaporkan permasalahan ini kepada Belanda, Belanda kemudian mengumumkan akan memberikan 2.200 Gulden kepada siapa saja yang dapat menangkap Bagus Serit hidup atau mati.<ref name="bochari" /> Pada tanggal 8 Agustus 1818 terjadi pertempuran antara pasukan perjuangan rakyat dengan pasukan Belanda disekitar wilayah [[Sumber, Cirebon|Sumber]], Cirebon dimanadi mana pasukan Belanda sempat mengalami kekalahan sebelum akhirnya pasukan Sultan Sepuh Raja Udaka datang untuk membantu Belanda, dalam pertempuran tersebut akhirnya Bagus Serit dapat ditangkap oleh pasukan Sultan Sepuh Raja Udaka dan untuk keberhasilannya menangkap Bagus Serit, Sultan Sepuh Raja Udaka kemudian diberikan penghargaan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.<ref name="bochari" />
 
Berdasarkan keputusan pengadilan, Nairem bersama dengan Bagus Serit dijatuhi hukuman mati pada tanggal 31 Oktober 1818.<ref name="bochari" />
Baris 491 ⟶ 506:
[[Kategori:Perang|Cirebon]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Belanda|Cirebon]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]