Tambo Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>") |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) k Mengembalikan suntingan oleh Orangpadaeng (bicara) ke revisi terakhir oleh Amaikpiliang Tag: Pengembalian |
||
(32 revisi perantara oleh 20 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Tambo
''Tambo'' berasal dari [[bahasa Sanskerta]], ''tambay'' yang artinya ''bermula'', kata ini berkerabat dengan ''tembey'' dalam [[bahasa Sunda]]. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan.<ref>Sangguno Diradjo, Dt. (1954), ''Tambo Alam Minangkabau'', Balai Pustaka.</ref> Kata ''tambo'' atau ''tarambo'' dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Maknanya sama dengan kata [[babad]] dalam [[bahasa Jawa
== Edisi ==
Penulisan
Tambo di
* Tambo alam, yang mengisahkan asal usul nenek moyang serta tentang [[Pagaruyung|kerajaan di Minangkabau]].
* Tambo adat, yang mengisahkan adat, sistem pemerintahan, dan undang-undang tentang pemerintahan
Penyampaian kisah pada tambo umumnya tidak tersistematis, sementara kisahnya kadang kala disesuaikan dengan keperluan dan keadaan, sehingga isinya dapat berubah-ubah menurut kesenangan pendengarnya.<ref name="Navis"/>
Namun demikian pada umumnya Tambo
== Tambo Alam
Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang raja bernama ''Iskandar Zulkarnain'' yang berasal dari Makadunia, di benua Ruhum. Raja Iskandar telah menaklukkan banyak daerah hingga ia tiba di Tanah Basa kemudian tiba di suatu Negeri yang damai. Disana ia menikah dengan putri India dan memiliki tiga orang putra di perkirakan pada abad ke-7 Masehi masa kekuasaan zaman itu.
''"Manuruik Warih nan bajawek, pusako nan ditolong, ado usuanyo kalu dikaji, iyo di dalam tambo lamo, sapiah balahan tigo jurai"''
Baris 24:
Mahkota tiruan itu lalu diberikan kepada putra ketiga. Saat dua kakaknya terbangun, betapa terkejutnya mereka mendapati adik bungsunya mengenakan mahkota itu. Terjadi pertengkaran hebat yang akhirnya membuat ketiga saudara itu berpisah. Anak yang pertama kembali ke Ruhum dan menjadi raja disana bergelar ''Sri Maharaja Alif''. Anak kedua pergi ke Cina dan menjadi raja bergelar ''Sri Maharaja Dipang''. Anak ketiga bergelar ''Sri Maharaja Diraja'' dan ia meneruskan perjalanan ke tenggara menuju pulau Jawa Alkibri.
Sayangnya kapalnya dihempaskan oleh badai dan terombang-ambing berminggu-minggu di samudra luas. Para penumpang kapal sudah sangat putus asa dan persediaan makanan hampir habis. Untungnya terlihat sebuah daratan sebesar telur itik di kejauhan yakni pulau percha yang dikenal dengan nama lain adalah [[Sumatra]]. Sri Maharaja Diraja atau ''Saimaharaja Diraja'' memerintahkan bawahannya untuk mendayung ke pulau itu. Tempat mereka berlabuh dinamakan ''Labuhan Si Tembaga'', dan pulau itu diberi nama ''Sirangkak Nan Badangkang'' karena bentuknya yang mirip kepiting. Darah yang menetes dari Maharaja Diraja yang tertua yaitu Raja Nusirwan, Raja Maghrib, Baruna Wangsa, Punku Saiharidewa, Bacitram Syah, Ampu Ratu Mamelar Paksi, Umpu Ngegalang Paksi.
Sesampai di pulau, kapal mengalami kerusakan. Sang raja memerintahkan siapa yang dapat memperbaiki kapal maka akan dinikahkan dengan putri-putrinya. 4 orang pengawal menyanggupi tugas itu mereka ialah ''Harimau Campo, Anjing Mualim, Kambing Hutan, dan Kucing Siam''. Di pulau itu lalu dibuat pemukiman ''Lagundi nan Baselo''.
Rupanya pulau tersebut adalah puncak sebuah gunung, yaitu [[Gunung Marapi]] yang saat itu masih terendam oleh banjir bandang zaman dahulu. Berkat kekuasaan tuhan air laut berangsur-angsur surut, daerah baru yang luas pun terbuka. Dibuatlah ekspedisi untuk membuat pemukiman baru dengan cara meneroka (menebang dan membakar hutan). Di pemukiman yang baru, adat mulai ditulis dan raja memerintah dengan adil sehingga rakyat senang dan kebudayaan serta permainan anak negeri pun berkembang. Desa yang rakyatnya beriang-riang itu kemudian dinamakan Nagari [[Pariangan, Pariangan, Tanah Datar|Pariangan]].
Lambat laun desa Pariangan mengalami pertambahan penduduk dan menjadi semakin sempit. Seorang hulubalang bernama Datuak Bandaro Kayo pergi mencari daerah baru untuk ditinggali. Ia menebas hutan dengan pedang panjang, sehingga daerah baru itupun dinamai Nagari [[Padang Panjang]].
Baris 36:
''dibaliak telong nan batali,''
''dari mano turun niniak moyang kito,''
''dari lereng gunuang marapi bukik seguntang-guntang"''
Saat Nagari Pariangan dan Padang Panjang mulai penuh, dilakukanlah ekspedisi perluasan wilayah kembali.
== Tambo Adat ==
Adat
#Adaik Nan Sabana Adaik. Adat asli yang tidak lapuk oleh panas, tidak lekang oleh hujan.
#
#Adaik Nan Diadaikkan. Contohnya adat Matrilineal sehingga suku/klan diturunkan dari Ibu ke anak-anaknya, kepemimpinan adat diturunkan dari Mamak ke Kamanakan laki-laki dan Pusako Tinggi diturunkan dari Ibu ke Anak perempuan. Adat ini bersifat "babuhua mati" (tidak bisa diubah).
#Adaik Nan Taradaik. Contoh ragam adat dalam prosesi pengangkatan Penghulu, Pernikahan, dan sebagainya. Adat ini bersifat "babuhua sentak" (bisa berubah sesuai perkembangan zaman atau kebutuhan).
#Adat Istiadaik. Berisikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat baik dibidang Kesenian, Olah Raga, dan sebagainya. Adat ini bersifat "babuhua sentak" (bisa berubah sesuai perkembangan zaman atau kebutuhan).
== Tambo lain dalam budaya
== Referensi ==
Baris 56 ⟶ 57:
== Bacaan lainnya ==
* Djamaris, Edwar (1991). ''Tambo
* Zuriati (2007). ''Undang-Undang
== Pranala luar ==
* [http://www.cimbuak.net/content/view/1253/7/ Parole Tambo, da Matetika Alam
* [http://www.jannaton.net/salasilah/RanjiTamboMinangkabau.pdf Ranji Tambo
* Dra. Kencana S. Pelawi, et al. (1993) "[http://repositori.kemdikbud.go.id/13488/ Tambo Minang]" Jakarta : Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
[[Kategori:Sastra Minangkabau]]
[[Kategori:Legenda Minangkabau]]
|