Partai Komunis Kalimantan Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pranala "Azahari" mengirim pengguna pada orang yang berbeda dari yang dimaksud dalam teks.
 
(28 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox political party
'''Pasukan Rakyat Kalimantan Utara''' atau '''Paraku''' merupakan sayap bersenjata di bawah naungan NKCP (''North Kalimantan Communist Party''), sebuah partai politik komunis yang berlokasi di [[Sarawak]], [[Malaysia]]. NKCP dibentuk tanggal 19 September 1971 di bawah pimpinan ''Wen Min Chyuan'' dari sebuah organisasi bernama ''Organisasi Komunis Sarawak''. Ia pernah menjadi anggota partai ''Sarawak United People's Party'' pada tahun 1960-1964. Keanggotaan NKCP didominasi oleh etnis China.
| name = {{nowrap|Partai Komunis Kalimantan Utara}}<br>{{nobold|{{lang|ms|Parti Komunis Kalimantan Utara}}<br>{{lang|zh-hant|北加里曼丹共產黨}}<br />{{transl|zh|''Běi Jiālǐmàndān Gòngchǎndǎng''}}}}
| abbreviation = NKCP/PKKU/PARAKU
| colorcode = Red
| slogan =
| party_logo =
| membership_year =
| membership =
| founded = 1971
| dissolved = 1990
| newspaper =
| youth_wing = Sarawak Advance Youths' Association (SAYA)
| wing1_title = Sayap paramiliter
| wing1 =
* {{nowrap|Sarawak People's Guerilla Force (SPGF)}}
* North Kalimantan People's Army (NKPA/Paraku)
| ideology = {{Tree list}}
*[[Komunisme]]
**[[Marxisme-Leninisme]]
**[[Pemikiran Mao Zedong]]
*[[Anti-imperialisme]]
{{Tree list/end}}
| anthem = "[[Internasionale]]"<br />[[File:Internationale orchestral arrangement.ogg|175px]]
| position =
| colours = [[Merah]]
| flag = [[File:Flag of the North Kalimantan Communist Party.svg|border|200px]]
| country = Malaysia
}}
'''PasukanPartai RakyatKomunis Kalimantan Utara''' atau(NKCP - PKKU)'''Paraku''', merupakanatau sayapsering bersenjatadisebut didengan bawah naungan NKCP (''North'Pasukan Rakyat Kalimantan CommunistUtara Party(PARAKU)''),' adalah sebuah partaipergerakan politik komunis[[Komunisme|Komunis]] yang berlokasiber-operasi di [[Sarawak]], [[Malaysia]]. NKCPPKKU dibentuk tanggal 19 September 1971 di bawah pimpinan ''Wen Min Chyuan'' dari sebuah organisasi bernama ''Organisasi Komunis Sarawak (OKS)''. IaWen Min Chyuan pernah menjadi anggota partaidari ''SarawakPartai UnitedSarawak People's PartyBersatu'' pada tahun 1960-1964. Keanggotaan NKCPPKKU didominasi oleh etnis Chinationghoa.
 
== Sejarah ==
=== Latar belakang pembentukan ===
Terbentuknya Paraku-PGRS terkait dengan peristiwa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1966. Pemerintah Indonesia menolak pembentukan Federasi [[Malaysia]] yang didukung penuh oleh Inggris. Wilayah Kalimantan Utara yang juga merupakan [[koloni Inggris]], seperti halnya [[Semenanjung Malaya]], dimasukkan ke dalam teritori [[Federasi Malaysia]] oleh para penggagasnya tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan seluruh rakyat Kalimantan Utara. Penolakan penduduk, khususnya warga [[Tionghoa]], didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga [[Melayu]] Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara.<ref name="Daryana">Hiski Daryana. 20 Januari 2013. Akses=16 April 2013. [http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130120/peristiwa-mangkok-merah-ketika-imperialisme-mengawini-rasialisme.html Peristiwa Mangkok Merah, Ketika Imperialisme ‘Mengawini’ Rasialisme] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20130511165303/http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20130120/peristiwa-mangkok-merah-ketika-imperialisme-mengawini-rasialisme.html |date=2013-05-11 }}.</ref>
 
Ide penggabungan wilayah-wilayah koloni Inggris di [[Asia Tenggara]] dan [[Persekutuan Tanah Melayu]] ([[PTM]]) dimulai semenjak tahun 1960. Tanggal 27 Mei 1961, Perdana Menteri PTM ''[[Tunku Abdul Rahman]]'' mengungkapkan gagasan mengenai Negara [[Malaysia]] meliputi PTM, [[Singapura]], [[Serawak]], [[Brunei]], dan [[Sabah]] di hadapan ''[[Foreign Correspondent Association]]'' di [[Singapura]]. Berdasarkan pertemuan tanggal 13 Oktober 1961 di [[London]], sebuah panitia penyelidikan ''[[Fact-Finding Comission]]'' yang diketuai ''[[Lord Cobbald]]'' dibentuk untuk mengumpulkan [[jajak pendapat]] masyarakat mengenai rencana pembentukan tersebut. Hasil jajak pendapat dari tanggal 19 Februari sampai 17 April 1962 mengungkapkan bahwa dua pertiga masyarakat yang diwawancarai menyetujui penggabungan. Pertemuan di [[London]] pada tanggal 18-31 Juli 1962 merencanakan pembentukan [[Malaysia]] pada tanggal 31 Agustus 1963.<ref name="vinco">MS. Mitchel Vinco. Akses= 16 April 1023. [http://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol22no1april2008/KEBIJAKAN%20%20PEMERINTAH%20%20REPUBLIK%20%20INDONESIA%20mithcel%20vinco.pdf KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PGRS/PARAKU 1963-1967] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20151223061322/https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol22no1april2008/KEBIJAKAN%20%20PEMERINTAH%20%20REPUBLIK%20%20INDONESIA%20mithcel%20vinco.pdf |date=2015-12-23 }}.</ref>
 
Kelompok [[sayap kiri]] dan [[komunis]] berkembang dengan pesat semenjak tahun 1950an di antara penduduk perkotaan Sarawak dari [[suku Iban]] ([[Dayak Iban]]) dan China[[Tionghoa]]. Mereka akhirnya menjadi inti pasukan Paraku dalam rangka gerakan ''[[Ganyang Malaysia]]'' ([[Dwikora]]) oleh presiden Indonesia saat itu, yaitu [[Soekarno]]. Partai NKCP mempropagandakan penyatuan seluruh wilayah [[Kalimantan]] yang berada di bawah kekuasaan [[Inggris]] untuk membentuk negara merdeka '''Kalimantan Utara'''. Ide tersebut awalnya diajukan oleh [[Azahari]], ketua ''[[Partai Rakyat Brunei]]'', yang memiliki hubungan dengan gerakan [[nasionalisme]] yang dicetuskan oleh [[Soekarno]], bersama dengan [[Ahmad Zaidi]] di [[Jawa]] pada tahun 1940an.<ref name="Daryana"/><ref>Pocock p. 129</ref>
 
[[Syekh A.M. Azahari]], pemimpin Partai Rakyat Brunei, partai terbesar di [[Brunei]], memproklamirkan berdirinya [[Negara Nasional Kalimantan Utara]] (NNKU) yang meliputi [[Serawak]], [[Brunei]], dan [[Sabah]] pada tanggal 8 Desember 1962. Di daerah lain, seperti di PTM, [[Singapura]], dan [[Serawak]], ada beberapa [[partai politik]] yang juga tidak menyetujui pembentukan. Pemerintah Indonesia yang awalnya mendukung pembentukan [[Federasi Malaysia]], menjadi berbalik arah setelah Azahari memproklamirkan pembentukan NNKU. [[Presiden Soekarno]] mengakui bahwa ia menerima pembentukan Malaysia ketika gagasan tersebut diperkenalkan pada 1961, tetapi [[revolusi anti-Malaysia]] di [[Brunei]] tahun 1962 tidak memberinya pilihan lain selain membantu Brunei, sebab [[Soekarno]] percaya bahwa setiap [[rakyat]] berhak menentukan nasibnya sendiri.<ref name="vinco"/>
 
Ide tersebut muncul sebagai sebuah [[alternatif]] bagi penduduk setempat untuk melawan rencana Malaysia. Perlawanan penduduk lokal berdasarkan perbedaan [[ekonomi]], [[politik]], [[sejarah]], dan [[budaya]] antara penduduk Kalimantan dengan [[Federasi Malaya]], disamping juga mereka menolak didominasi secara politik oleh federasi tersebut. Sebagai hasil [[Pemberontakan Brunei]], diperkirakan sebanyak ribuan masyarakat ChinaTionghoa penganut paham [[komunis]] lari meninggalkan [[Sarawak]]. Pasukan yang masih bertahan di sana dikenal sebagai ''[[Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak]]'' (PGRS).
 
=== Dukungan Bung Karno ===
[[Bung Karno]], Presiden Indonesia saat itu, terkenal sangat anti [[imperialisme]] dan menganggap Federasi [[Malaysia]] tidak lebih dari sekadar produk imperialis [[Inggris]] untuk mempertahankan eksistensinya di [[Asia Tenggara]] serta mengganggu jalannya revolusi[[Revolusi Nasional Indonesia]]. Hal tersebut menjadi alasan [[Bung Karno]] untuk menyerukan penghancuran ‘negara boneka’ Malaysia tersebut, dikenal dengan istilah ''[[Ganyang Malaysia]]''. Pemerintahan Bung Karno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara yang juga menolak pembentukan Federasi itu.<ref name="Daryana"/>
 
Menurut buku sejarah Kodam XII/Tanjungpura, ''[[Tandjungpura Berdjuang]]'', sikap Indonesia yang menentang pembentukan Malaysia berhubungan dengan
politik luar negerinya yang anti kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya. Indonesia menganggap pembentukan Malaysia hanya kedok dari
[[Inggris]] dan sekutunya untuk tetap berkuasa di [[Asia Tenggara]] dalam bentuk [[neo-kolonialisme]], dan kemudian mengepung Indonesia. Menurut [[M.C. Ricklefs]], banyak pemimpin Indonesia menganggap [[Malaya]] (PTM) tidak benar-benar merdeka karena tidak terjadi suatu revolusi. Mereka merasa tidak senang dengan keberhasilan Malaya di bidang ekonomi, merasa curiga dengan tetap hadirnya [[Inggris]] di sana dengan pangkalan-pangkalan militernya, dan merasa tersinggung karena Malaya dan [[Singapura]] membantu [[PRRI]]. Selain itu dapat pula ditambah alasan adanya keinginan agar Indonesia
memainkan peran yang lebih besar di dalam masalah-masalah Asia Tenggara. Hal serupa dikemukakan Hilsman dalam bukunya ''To Move a Nation'' seperti yang dikutip dari ''Cold War Shadow'':<ref name="vinco"/>
:“''Oposisi Indonesia terhadap Malaysia merupakan bagian dari ekspresi 'nasionalisme baru' mereka yaitu [[Jakarta]] ingin berdiri tinggi dalam permasalahan internasional, terutama yang berkaitan dengan kekuatan kolonial sebelumnya... Sukarno, terlebih lagi, menekankan bahwa Inggris tidak pernah benar-benar berbicara dengan Indonesia mengenai rencana pembentukan federasi''.”
 
Bung Karno menugaskan salah satu menterinya, [[Oei Tjoe Tat]], untuk menggalang kekuatan warga Tionghoa Kalimantan Utara yang anti[[Dwikora|Anti-Malaysia]] untuk mendukung [[Dwikora|konfrontasi]] melawan Malaysia dan Inggris. Pasukan tersebut membentuk Paraku-PGRS dan berada di bawah komando seorang perwira [[Angkatan Darat]] yang dekat dengan kelompok kiri, yakni [[Brigadir Jenderal ]][[Soepardjo|Supardjo]], yang ketika itu menjabat sebagai ''Panglima Komando Tempur IV Mandau''.<ref name="Daryana"/> [[Soebandrio]] bertemu dengan sekelompok pemimpin, hampir 900 orang Tionghoa Kalimantan Utara berkenan pindah ke daerah [[Kalimantan Barat]] untuk diberi pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai olehmereka di [[Bogor]], dan [[Abdul Haris Nasution|Nasution]] mengirim tiga pelatih dari [[Komando Pasukan Khusus|Resimen Para Komando Angkatan Darat]] ([[RPKAD]]) [[Batalion]] 2 ke ''[[Nangabadan]]'' yang dekat dengan perbatasan Serawak. Di sana terdapat sekitar 300 orang prajurit yang akan dilatih. Sekitar 3 bulan kemudian, dua letnan dikirim ke sana.<ref>Conboy p. 93-95</ref> Buku Sejarah [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) Jilid IV (1966-1983) mengakui bahwa Paraku-PGRS adalah pasukan yang dilatih dan dipersenjatai oleh TNI. Buku itu juga menyebutkan, para anggota kedua pasukan itu adalah orang-orang Tionghoa pro-komunis yang diandalkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi [[Malaysia]]-[[Inggris]]. Namun, Paraku-PGRS juga mengorganisir orang-orang dari suku [[Suku Dayak|Dayak]] dan [[Suku Melayu|Melayu]] untuk melakukan serangkaian penyusupan ke wilayah Kalimantan Utara seperti [[Sarawak]] dan [[Brunei]].<ref name="Daryana"/>
 
=== Pengaruh komunis ===
Reaksi Indonesia menentang pembentukan Malaysia mendapat dukungan besar dari rakyat Indonesia. [[PKI]] mengecam rencana “Malaysia” sebagai ”''usaha [[neo-kolonialis]] untuk mencegah masyarakat dari koloni-koloni Inggris untuk memperoleh kemerdekaan nasional yang sebenarnya dan kebebasan dari imperialisme''”. [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|Angkatan Darat]] mendukung sikap Presiden [[Soekarno]], tapi dalam kasus akan
munculnya bahaya komunisme yang lebih kuat. ”Pasukan khawatir berdasarkan populasi ChinaTionghoa pada federasi tersebut, Malaysia akan menjadi batu loncatan bagi Komunis ChinaTiongkok untuk masuk ke Indonesia melalui perbatasan Indonesia-Malaysia”.<ref name="vinco"/>
 
Indonesia juga mendapat dukungan dari [[Filipina]]. Presiden Filipina, [[Diosdado Macapagal]] mengklaim [[Sabah]] sebagai bagian dari wilayah negaranya atas dasar hubungan antara [[Filipina]] dan [[Sultan Sabah]] ([[Kesultanan Sulu]]) pada masa [[pra-kolonial]]. Filipina juga takut bahwa federasi baru itu akan menjadi basis bagi tekanan komunis dari populasi CinaTionghoa-Malaysia dan elemen komunis Indonesia.<ref name="vinco"/>
 
=== Pergerakan ===
Pada tanggal 8 Desember 1962, bersama dengan berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara, Tentara Nasional Kalimantan Utara dibentuk sebagai kekuatan pertahanan. Inggris mengerahkan tentara untuk melawan NNKU sehingga membuat Azahari tidak mampu mempertahankan pemerintahan pusat di Kalimantan Utara kemudian memindahkannya ke [[Manila]]. Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia saat itu adalah memberikan ''asylum'' politik kepada Perdana Menteri Azahari dan [[Panglima Abang Kifli]] di [[Jakarta]].<ref name="vinco"/>
 
Berdirinya Negara Kalimantan Utara mengakibatkan Partai Komunis Sarawak mendapat tekanan dari penguasa. Sejalan dengan kebijaksanaan
politik Indonesia masa itu, pemimpin-pemimpin komunis dari Sarawak berpindah ke [[Kalimantan Barat]]. Sedangkan RRT ([[Republik Rakyat Tiongkok]]), dalam rangka menyelamatkan Partai Komunis Sarawak, mengirim ''[[Wen Min Tjuen]]'' dan ''[[Wong Kee Chok]]'' ke Kalimantan Barat pada awal tahun 1963. Kedua pemimpin Partai Komunis Tiongkok tersebut menemui ''[[Yap Chung Ho]]'', ''Wong Ho'', ''[[Liem Yen Hwa]]'', dan ''[[Yacob]]'' dari ''[[Sarawak Advance Youth Association]]'' (SAYA) untuk membahas garis perjuangan dari Partai Komunis Sarawak. Azahari dan Abang Kifli dengan [[Tentara Nasional Kalimantan Utara]] (TNKU)-nya kemudian berhubungan dan bekerja sama dengan mereka. Tanggal 2 Desember 1963, [[Soebandrio]], Wakil Menteri Pertama atau [[Menteri Luar Negeri Indonesia]], dan atas nama [[KOPERDASAN]] (Komando Pertahanan Daerah Perbatasan), datang ke Kalimantan Barat dalam rangka kampanye konfrontasi anti Malaysia dan memperkenalkan Azahari kepada khalayak ramai.<ref name="vinco"/>
 
[[Azahari]] ([[Brunei]]), Kelompok [[Yap Chung Ho]] ([[Sarawak]]), dan [[Soebandrio]] ([[Indonesia]]) mengadakan pertemuan di [[Sintang]] dan muncul gagasan untuk membentuk suatu [[pasukan bersenjata]]. Pertemuan kedua di [[Bogor]] dihadiri [[Soebandrio]], [[Njoto]], [[Soeroto]], [[Perdana Menteri NNKU]] [[Azahari]], dan kelompok [[Yap Chung Ho]] dari SUPP. Dalam pertemuan itu, diputuskan membentuk pasukan bersenjata yang akan berkedudukan di perbatasan Kalimantan Barat (Asuangsang di sebelah Utara Sambas). Soebandrio dengan [[BPI]] ([[Badan Pusat Intelijen]]) Indonesia membantu melatih sepuluh orang anak buah Yap Chung Ho selama sebulan di Bogor, kemudian dibawa ke [[Asuangsang]] untuk melatih 60 orang pasukan lagi. Dengan basis pasukan ini, dibentuk [[Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak]] (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU) sebagai bagian dari Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU).
 
Menurut ''[[Lie Sau Fat]]'' atau [[X. F. Asali]], budayawan Tionghoa Kalimantan Barat dan [[saksi sejarah]], ketika peristiwa [[Dwikora]], banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri dari para pelarian dari Sarawak, yang umumnya etnis Tionghoa dan partisipan komunis, juga sukarelawan dari [[Singkawang]], [[Bengkayang]], dan berbagai wilayah di Indonesia yang terdiri atas berbagai etnis seperti [[Melayu]], [[Dayak]], dan [[Tionghoa]]. [[Kodam Tanjungpura]] pada Mei dan Juni 1964 memberikan latihan militer pada 28 orang sukarelawan dari SUPP (''u[[Sarawak United People Party]]'') yang lari ke [[Kalimantan Barat]]i dan juga para sukarelawan yang dikirim dari [[Jakarta]]. [[Latihan militer]] tersebut di lakukan di Dodiktif 18 – [[Tandjungpura]], [[Bengkayang]]. Letnan Kolonel Harsono Subardi, mantan Biro [[Intel i]] POM Kodam XII Tanjungpura, mengungkapkan, “Saat itu, kita melatih PGRS/PARAKU untuk dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang.”<ref name="vinco"/>
 
Jumlah pasukan PGRS adalah sekitar 800 orang yang berbasis di ''Batu Hitam'', [[Kalimantan Barat]], bersama dengan 120 pasukan dari Indonesia dan sedikit kader yang dilatih di [[RRT]]. [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) terbukti memiliki keterlibatan dan dipimpin oleh [[Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah]], seorang [[etnis Arab]] yang [[revolusioner]]. PGRS beberapa kali melakukan perampokan di Serawak, tetapi lebih banyak lagi berusaha meningkatkan pendukung mereka dari wilayah tersebut. Militer Indonesia tidak menyukai kecondongan PGRS ke [[sayap kiri]] sehingga secara umum menghindari mereka.<ref>Conboy p. 156</ref>
 
Paraku-PGRS bahu-membahu bersama [[TNI]] dan sukarelawan Indonesia menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu balatentara [[Gurkha]], [[Inggris]], dan [[Australia]] sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi garis depan pertempuran. Seorang peneliti Tionghoa, [[Benny Subianto]], mengungkapkan kehebatan gerilyawan Paraku-PGRS ketika melawan pasukan [[Gurkha]] Inggris. Kedua pasukan itu hampir berhasil menghancurkan garnisun 1/2 British Gurkha Rifles dalam sebuah serangan terhadap distrik [[Long Jawi]] pada tanggal 28 September 1963. Buku ''A Face Like A Chicken Backside-An Unconventional Soldier in Malaya and Borneo 1948-1971'' karya JP Cross mencatat kehebatan serangan relawan Indonesia serta Paraku-PGRS yang menewaskan beberapa prajurit Gurkha dan anggota Border Scout. Dari fakta-fakta sejarah tersebut, Paraku-PGRS tampak menjadi pahlawan bagi Indonesia selama era konfrontasi.<ref name="Daryana"/>
 
Kebijakan Pemerintah Indonesia, melalui BPI ([[Badan Pusat Intelijen]]), membuat “kisah” PGRS/PARAKU tidak menjadi konsumsi publik pada tahun 1963-1965 (sebelum G 30 S). Seperti yang diuraikan [[L.H. Kadir]], saksi sejarah, mantan Wakil Gubernur Kalbar 2003-2008, pada masa [[konfrontasi]] bekerja sebagai pegawai negeri di [[Putusibau]] (1963-1965) dan Mahasiswa APDN (1965-1968):<ref name="vinco"/>
:“''Sekitar tahun 1963-1964 tidak ada pernyataan dukungan Indonesia terhadap PGRS/PARAKU. Masyarakat hanya tahu bahwa ada pergolakan rakyat di perbatasan. Setahu saya setelah peristiwa [[G 30 S]] baru ada di koran berita tentang PGRS/PARAKU. Sebelum itu yang dikenal sukwan... Sewaktu masih di Putusibau, saya pernah mengantar sukwan dari Putusibau untuk berlatih di perbatasan. Saya dengan ''speed'' ke Semitau diperintah Dandim Hartono supaya mengantar. Orang-orang yang saya antar Cina semua waktu itu. Mereka bawa senjata, ada pula amoi-amoi, banyak perempuan. Ada juga dokter dua orang, mereka latihan di Badau''.”
 
=== Dampak bangkitnya Orde Baru ===
Pasca [[G 30 S]], situasi belum mempengaruhi PGRS/PARAKU karena pemerintah belum membubarkan [[PKI]]. Situasi komando di Kalimantan Barat masih belum jelas. Satu-satunya komando yang diberikan oleh Pangdam XII/Tanjungpura adalah tetap di pos masing-masing dan mempertinggi kewaspadaan. Situasi itu dimanfaatkan PGRS/PARAKU untuk mengonsolidasi kekuatan; banyak simpatisan [[PKI]] yang bergabung karena situasi politik yang semakin menekan PKI. Mereka sama-sama memperoleh [[pelatihan militer]] dari Tentara RI dan sama-sama diterjunkan di perbatasan. PKI memanfaatkan pengerahan sukarelawan untuk melatih para kadernya, yang kebanyakan dari [[etnis Tionghoa]], sehingga akan sulit dibedakan yang mana PGRS/PARAKU, kader PKI, dan kelompok yang tidak mengetahui tentang semua itu.<ref name="vinco"/>
 
Pemerintah [[Orde Baru]] di bawah pimpinan Presiden [[Soeharto]] tidak berniat untuk melanjutkan konfrontasi terhadap [[Malaysia]] dan [[Inggris]].<ref name="Daryana"/> Pada 29 Mei – 1 Juni 1966, diadakan perundingan antara [[Menteri Luar Negeri RI]] [[Adam Malik]] dan [[Menteri Luar Negeri Malaysia]] Tun [[Abdul Razak]] di [[Bangkok]] atas bantuan [[Menteri Luar Negeri Thailand]] [[Thanat Khoman]]. Puncak dari semua perundingan adalah ditandatanganinya persetujuan Indonesia dan Malaysia untuk [[normalisasi]] hubungan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan itu dikenal dengan ''[[Jakarta Accord]]'' yang mengakui kedaulatan [[Malaysia]]. KOLAGA (Komando Mandala Siaga) mengeluarkan instruksi dengan radiogram tanggal 10 Agustus 1966 No. TSR-26/1966 kepada semua Komando Bawahan untuk menghentikan kegiatan-kegiatan operasi. Langkah selanjutnya yang diambil oleh Komando Tempur (Kopur) IV/Mandau adalah menyerukan agar PGRS/PARAKU mengadakan konsolidasi di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Ternyata yang mengikuti seruan tersebut hanya 99 orang, sedangkan sejumlah 739 orang membangkang.<ref name="vinco"/> AM Hendropriyono, prajurit Para Komando dengan kemampuan di bidang Sandi Yudha pada 1969-1972 di belantara Kalimantan Barat-Sarawak, mengungkapkan:
:"''Ini kita (TNI) melatih Tentara Nasional Kalimantan Utara dan PGRS di [[Surabaya]], [[Bogor]], dan [[Bandung]]. Akhirnya, setelah pergantian pemerintah, [[Presiden Soeharto]] memutuskan berdamai dengan Malaysia dan gerilyawan tersebut diminta meletakkan senjata. Karena PGRS tidak menyerah, terpaksa kita sebagai guru harus menghadapi murid dengan bertempur di hutan rimba Kalimantan''."<ref name="kompas">Iwan Santosa. Senin, 13 Mei 2013. [http://nasional.kompas.com/read/2013/05/13/09372482/Hendropriyono.Ungkap.Operasi.Sandi.Yudha Hendropriyono Ungkap Operasi Sandi Yudha].</ref>
 
Tendensi politik anti-komunis serta keinginan untuk berdamai dengan Malaysia-Inggris menempatkan Paraku-PGRS sebagai musuh pemerintah Indonesia dan TNI.<ref name="Daryana"/> Gerakan PGRS / PARAKU yang memiliki dasar ideologi komunis merupakan sumber potensial terhadap munculnya kerawanan sosial politik yang mengancam terhadap eksistensi suatu negara.<ref>Perpustakaan Sejarah Kalimantan Barat-Pontianak. Akses=16 April 2013. [http://www.bpsnt-pontianak.org/elibrary/index.php?page=ringkasankat&id=126 http://www.bpsnt-pontianak.org/elibrary/index.php?page=ringkasankat&id=126]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}. Arsip:[http://www.webcitation.org/6HOFr6eKP Webcite]</ref> [[TNI]] bersekutu dengan militer [[Malaysia]] dan [[Inggris]] dalam menumpas Paraku-PGRS, dan memberikan julukan baru bagi Paraku-PGRS, yaitu ''Gerombolan Tjina Komunis'' (GTK),<ref name="Daryana"/> sementara pihak Malaysia yang sudah berdamai dengan Indonesia memberi cap ”''CT''” (''Communist Terrorist'').<ref name="kompas"/> Perang antara TNI dengan gerilyawan Paraku-PGRS meletus, salah satunya yang terjadi di Pangkalan Udara [[Sanggau Ledo, Bengkayang]], [[Kalimantan Barat]]. Memasuki tahun 1967, operasi penumpasan diintensifkan oleh pemerintah [[Orde Baru]] melalui ''Operasi Sapu Bersih'' (Saber) I, II, dan III yang digelar sejak April 1967 hingga Desember 1969 di bawah komando Brigadir Jenderal AJ Witono.<ref name="Daryana"/>
Baris 58 ⟶ 86:
{{utama|Mangkok Merah|Peristiwa Mangkuk Merah 1967}}
Pelaksanaan Operasi Saber I tidak memuaskan. Faktor-faktor kegagalan disebabkan kurangnya tenaga tempur, dan pihak PGRS/PARAKU lebih mengenal keadaan medan dan dapat menarik simpati kaum pribumi yaitu suku [[Dayak]] setempat. PGRS/PARAKU juga mudah memencar dan menyusup ke dalam masyarakat untuk menghilangkan diri dari pengejaran. Hal itu disebabkan masyarakat dan kampung-kampung Tionghoa tersebar luas sampai daerah
pedalaman seluruh Kalimantan Barat.<ref name="vinco"/> Dalam ''[[Operasi Saber]]'', terjadi peristiwa [[Mangkok Merah]] pada bulan Oktober-November 1967. [[Peristiwa Mangkuk Merah 1967|Peristiwa Mangkok Merah]] dipicu oleh terjadinya penculikan dan kekerasan yang dialami [[Temenggung]] [[Dayak]] di [[Sanggau Ledo]].<ref name="Daryana"/> Bulan Maret 1967, seorang guru orang Dayak ditemukan dibunuh di [[Sungkung]], Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang. Tanggal 3 September 1967 ada sembilan orang Dayak diculik di Kampung Taum dan baru ditemukan tidak bernyawa oleh masyarakat dan TNI pada tanggal 5 September 1967.<ref name="aju"/> [[TNI]] mempropagandakan kekerasan itu dilakukan oleh GTK alias Paraku-PGRS. Propaganda diperkuat penemuan sembilan mayat oleh Resimen Para Komando Angkatan Darat ([[RPKAD]]) yang diklaim sebagai mayat tokoh-tokoh Dayak.<ref name="Daryana"/>
 
Gerakan pembasmian PGRS/PARAKU pada tanggal 14 Oktober 1967 dikenal dengan sebutan "Demonstrasi Suku Dayak". Gerakan ini kemudian menyebar luas menjadi luapan emosi etnis Dayak, hingga upacara [[mangkok merah]] diadakan. Gerakan ini menjadi sentimen rasial dengan mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/PARAKU dan menjadi korban gerakan [[demonstrasi]]. Gerakan ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran etnis Tionghoa menuju ke [[Kota Pontianak]], menimbulkan masalah beban pengungsi di kota-kota penampungan, derita psikis yang dialami keluarga korban pembantaian, dan lumpuhnya sirkulasi perdagangan di daerah pedalaman [[Kalimantan Barat]]. Setelah gerakan Suku Dayak, kegiatan-kegiatan PGRS/PARAKU mulai menurun. Tekanan-tekanan Pasukan Indonesia menyebabkan PGRS/PARAKU semakin terjepit. Putusnya jalur logistik dengan mengungsinya ribuan orang Tionghoa menyebabkan banyak anggota PGRS/PARAKU yang menyerahkan diri.<ref name="vinco"/> Presiden [[Soeharto]], dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1968 malam, secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Suku Dayak di Kalbar yang telah membantu pemerintah menumpas tuntas sisa-sisa gerombolan PGRS/PARAKU di Kalbar.<ref name="aju"/>
 
=== Status selanjutnya ===
Pada tahun 1974, pecahan fraksi yang dipimpin oleh ''[[Bong Kee Chok]]'' menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah. Fraksi Bong Kee Chok lebih besar daripada sisanya yang dipimpin oleh ''[[Wen Ming Chyuan]]''.{{Butuh rujukan}}
 
NKCP menurun secara bertahap. Tahun 1989, [[CIA]] memperkirakan fraksi tersebut memiliki sekitar 100 pasukan. Akhirnya, tanggal 17 Oktober 1990, NKCP menandatangani [[perjanjian damai]] dengan pemerintah. Beberapa prajurit gerilya selanjutnya hidup sebagai masyarakat biasa.{{Butuh rujukan}}
 
== Paraku dan pelanggaran HAM ==
Baris 81 ⟶ 109:
* [http://pontianak.tribunnews.com/2011/08/18/memori-penumpasan-pgrs-dan-paraku Memori Penumpasan PGRS dan Paraku]
 
[[Kategori:Partai politik di Malaysia|Komunis Kalimantan]]
[[Kategori:Partai komunis|Komunis Kalimantan]]
[[Kategori:Tokoh korban pembersihan komunis Indonesia]]
[[Kategori:Represi politik di Indonesia]]