Pakwan Pajajaran: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Sikluskelana (bicara | kontrib)
k Mengedit huruf kapital
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru
Mojopahit1293 (bicara | kontrib)
k Perbaikan Pengetikan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(36 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{More citations needed|date=Juni 2021}}{{Copy edit}}
{{kegunaan lain|Pakuan}}
{{Sejarah Indonesia}}
'''PakuanPakwan Pajajaran''' atau '''Pakuan''' ('''Pakwan''') atau '''Pajajaran''' ([[Aksara Sunda Baku]]: {{sund|ᮕᮊᮥᮃᮔ᮪ ᮕᮏᮏᮛᮔ᮪}}) adalah [[ibu kota]] dari [[Kerajaan Sunda|Kerajaan Pajajaran]] yang pernah berdiri pada tahun 1030932-1579 M di [[Tatar Pasundan]], wilayah barat [[Pulaupulau Jawa]]. Lokasinya berada di wilayah [[Bogor]], [[Jawa Barat]] sekarang. Pada masa lalu, di [[Asia Tenggara]] terdapat kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya, sehingga [[Kerajaan Sunda]] sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
 
Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat padaMenurut peta [[Kolonialisme Portugis di Indonesia|Portugis]], yanglokasi menunjukkanPajajaran lokasiberada di suatu wilayah yang saat ini merupakan bagian dari [[Kota Bogor|Bogor]], [[Jawa Barat]].<ref>{{cite web|title=Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 | url=http://www.themapdatabase.com/category/location/asia/indonesia/}}</ref> Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke- 15 sampai awal abad ke- 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno ''[[Bujangga Manik]]''. Nama-nama tempat, [[kebudayaan]], dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada masa itu digambarkan secara terperinci dalam [[Sastra Sunda|naskah kuno]] tersebut.<ref name="Noorduyn 2006 437">{{cite book|last =Noorduyn|first =J.|publisher= KITLV Press|title = Three Old Sundanese poems|date =|year =2006|page =437
}}</ref>
 
== Toponimi ==
Asal usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:<ref name="Saleh Dana Sasmita">{{cite book|last=Danasasmita|first=Saleh|date=|year=1983|title=Sejarah Bogor (Bagian I)|publisher=PEMDA BOGOR|page=}}</ref>
# Naskah ''[[Carita Waruga Guru]]'' ([[1750-an]]). Naskah ber[[bahasa Sunda KunoKlasik]] ini diterangkan bahwa nama [[Pakuan Pajajaran]] berdasarkan keadaan di lokasi tersebut banyak terdapat [[pohon]] [[Pakujajar]].
# [[Karel Frederik Holle|K.F. Holle]] ([[1869]]). Dalamdalam tulisan berjudul ''[[De Batoe Toelis te Buitenzorg]]'' ([[Batutulis]] di [[Bogor]]),. Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama [[Cipaku]] dengan sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan [[paku pohon|pohon paku]]. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan [[pohon paku]]. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("''op rijen staande pakoe bomen''").
# [[G.P. Rouffaer]] ([[1919]]) dalam ''Encyclopedie van Niederlandsch Indie'' edisi Stibbe tahun 1919. Menurutnya, Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikanatau "paku jagat" (''spijker der wereld'') yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar [[Paku Buwono]] dan [[Paku Alam]]. "Pakuan" menurut [[Fouffaer]] setara dengan "[[Maharaja]]". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (''evenknie''). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan [[Majapahit]]. Sekalipun [[Rouffaer]] tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) [[Majapahit"]]. Ia sependapat dengan [[Hussein Jayadiningrat|Hoesein Djajaningrat]] (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.<ref>{{Cite book|last=Stibbe|first=D.G|date=1919|url=https://www.worldcat.org/title/encyclopaedie-van-nederlandsch-indie/oclc/828078292|title=Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië|location=Leiden|publisher=s-Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1932|url-status=live}}</ref>
# [[R. Ng. Poerbatjaraka]] (1921). Dalamdalam tulisan ''De Batoe-Toelis bij Buitenzorg'' (Batutulis dekat Bogor). Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari [[bahasa Kawi]] "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada [[Prasasti Batutulis]]). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti [[kemah]] atau [[istana]]. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(''aanrijen staande hoven'').
# [[H. ten Dam]] (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani [[Jawa Barat]] dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, ''Verkenningen Rondom Padjadjaran'' (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah [[Prasasti Batutulis]] sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam [[Carita Parahyangan]] disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beschreven steen in Batoetoelis de batu tulis TMnr 60016460.jpg|jmpl|[[Prasasti Batutulis]] di Bogor yang merupakan sisa-sisa peninggalan Pakuan Pajajaran.|391x391px]]
IaTen Dam berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota (''hoffstad'') yangdan harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjau berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan [[Kapiten Wikler]] (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai [[Ci Liwung]] dan [[Ci Sadane]]).
 
Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer, Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam [[Prasasti Batutulis]] (nomor 1 dan 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada [[Prasasti Kebantenan]] di [[Bekasi]].
 
Dalam naskah ''[[Carita Parahiyangan]]'' ada kalimat berbunyi "''Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata''" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata). Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah [[gelar]] lain untuk [[Sri Baduga Maharaja|Sri Baduga]]. Jadi yang disebut "[[pakuan]]" itu adalah "[[kadaton]]" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka-lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "''panca persada''" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di [[Kawali]], [[Surosowan]] di Banten dan Surakarta di [[Jayakarta]] pada masa silam. Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut [[Yogya]].
 
Pendapat Ten Dam (Pakuan =berarti ibu kota ) dipandang benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi [[semantik]]. Dalam laporan [[Tome Pires]] (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda itutersebut bernama "''Dayo"'' (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, yang berjarak dua hari perjalanan dari pelabuhan [[Kalapa]] di muara Ciliwung. Nama "''Dayo"'' didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orangOrang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "''dayeuh''" (bukanbila "bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan kata ''pakuan")'' biladigunakan bermaksuduntuk menyebut ibu kota dalam [[kesustraan]].
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk [[Sri Baduga Maharaja|Sri Baduga]]. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka-lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
 
Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "''panca persada''" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di [[Kawali]], [[Surosowan]] di Banten dan Surakarta di [[Jayakarta]] pada masa silam.
 
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut [[Yogya]].
 
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibu kota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi [[semantik]]. Dalam laporan [[Tome Pires]] (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan [[Kalapa]] di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "''dayeuh''" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibu kota.
 
Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "''dayeuh''", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibu kota kerajaan.
Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.
 
Baris 40 ⟶ 31:
{{cquote|''Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa''.{{br}}
'''Artinya''': Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.}}
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung nama sekarang, dan bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam [[bahasa Sunda Kuno]] dankatadan kata "kancil" memang berarti "p''eucang''".
=== Berita-berita VOC ===
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan [[VOC]] ("[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena [[Inggris]] pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"/[[Perusahaan Hindia Timur Britania]]), maka VOC sering disebut Kumpeni [[Belanda]] dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Baris 49 ⟶ 40:
* Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes[[Johannes CamphuijsCamphuys]] kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, ''dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort'' (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
 
Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
Baris 62 ⟶ 53:
* Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.
* Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (''het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben''). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon [[beringin]].
* Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusatpusat [[Kerajaan Klungkung]] di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
* Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.
* Dari tempat [[prasasti]], Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan [[Prabu Siliwangi]]. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
==== Laporan [[Abraham van Riebeeck]] (1703, 1704, 1709) ====
Abraham adalah putera [[Jan van Riebeeck]] pendiri [[Cape Town]] di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Baris 97 ⟶ 88:
Menurut kisah klasik, ''leuwi'' (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "[[Resimen Tjakrabirawa|Cakrabirawa]]" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.
 
Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kota yang kondisi [[topografi]]<nowiki/>nya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancaradiwawancarai Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
 
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah ''hoff'' (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "''porte brisee, bewaakte in-en uitgang"'' (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Baris 109 ⟶ 100:
== Kehancuran ==
[[Berkas:Palangka Sriman Sriwacana (foto dokumen bogorheritage.net).jpg|jmpl|300px|kanan|[[Palangka Sriman Sriwacana]]]]
AtasKarena politik adudan dombapenyebaran yangagama dilakukanIslam Portugis kepada kerajaan-kerajaan di nusantara,maka terjadi perebutan atas wilayah kekuasaan kerajankerajaan Sunda (PadjajaranPajajaran) oleh [[Kesultanan Cirebon]] (Wilayahwilayah PadjajaranPajajaran yang dipimpin oleh cucu Prabu Siliwangi) yang mendapat dukungan dari [[Demak]] di antaranya Banten dan Sunda Kelapa. Pakuan Pajajaran hancur pada tahun [[1579]] M akibat serangan [[Kesultanan Banten]]. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya ''[[Palangka Sriman Sriwacana]]'' (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke [[Keraton Surosowan]] di [[Banten]] oleh pasukan [[Maulana Yusuf]].
 
Batu itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah putri [[Sri Baduga Maharaja]], raja Kerajaan Sunda.
 
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas [[Keraton Surosowan]] di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya ''Watu Gilang'', yang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah [[Kabupaten Lebak|Lebak]]. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai [[Urang Kanekes|orang Baduy]].
 
== Raja-raja yang pernah memerintah ==
Baris 152 ⟶ 143:
== Catatan kaki ==
{{reflist}}
 
== Linimasa Kerajaan Sunda ==
{{Kerajaan Sunda}}
 
[[Kategori:Sejarah Jawa Barat]]