Perjanjian (politik): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Illchy (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(5 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
Dalam bidang [[politik]], '''Traktatperjanjian''' atau '''perjanjian internasionaltraktat''' ({{lang-en|treaty}}, {{lang-fr|traité}}) adalah sebuah [[perjanjian]]persetujuan yang dibuat di bawah [[hukum internasional]] oleh beberapa pihak yang utamanya adalah [[negara]], walaupun ada juga perjanjian yang melibatkan [[organisasi internasional]]. TraktatPerjanjian merupakan salah satu sumber hukum internasional. Hal-hal yang terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]] tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap melambangkan [[kebiasaan internasional]] sehingga menjadi norma hukum internasional yang mengikat. Pada dasarnya praktik perjanjian internasional diatur oleh asas ''[[pacta sunt servanda]]'', yang berarti perjanjian tersebut mengikat semua pihak yang berjanji untuk melaksanakan kewajibannya dengan [[iktikad baik]].
[[Berkas:Traktat brzeski 1918.jpg|jmpl|ka|250px|[[Perjanjian Brest-Litovsk]] (1918) dalam [[bahasa Jerman]], [[bahasa Hongaria|Hongaria]], [[bahasa Bulgaria|Bulgaria]], [[bahasa Turki Utsmaniyah|Turki Utsmaniyah]], dan [[bahasa Rusia|Rusia]]. Perjanjian ini mengakhiri keterlibatan [[Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia|Rusia]] dalam [[Perang Dunia I]].]]
'''Traktat''' atau '''perjanjian internasional''' ({{lang-en|treaty}}, {{lang-fr|traité}}) adalah sebuah [[perjanjian]] yang dibuat di bawah [[hukum internasional]] oleh beberapa pihak yang utamanya adalah [[negara]], walaupun ada juga perjanjian yang melibatkan [[organisasi internasional]]. Traktat merupakan salah satu sumber hukum internasional. Hal-hal yang terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]] tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap melambangkan [[kebiasaan internasional]] sehingga menjadi norma hukum internasional yang mengikat. Pada dasarnya praktik perjanjian internasional diatur oleh asas ''[[pacta sunt servanda]]'', yang berarti perjanjian tersebut mengikat semua pihak yang berjanji untuk melaksanakan kewajibannya dengan [[iktikad baik]].
 
Negara-negara sudah membuat perjanjian sejak zaman kuno, contohnya adalah perjanjian antara [[negara- kota]] [[Lagash]] dan [[Umma]] pada tahun 2100 SM serta [[Perjanjian Kadesh]] antara [[Mesir Kuno|Kerajaan Mesir]] dengan [[Bangsabangsa Het|Het]]. Terdapat berbagai jenis perjanjian, seperti perjanjian bilateral yang melibatkan dua negara dan perjanjian multilateral yang diikuti oleh lebih dari dua negara. Untuk membuat suatu perjanjian, diperlukan proses perundingan, penerimaan, dan otentikasi naskah perjanjian. Setelah itu negara dapat menyatakan iktikadnya untuk terikat dengan suatu perjanjian melalui penandatanganan, [[ratifikasi]], dan aksesi. Negara-negara juga dapat membuat [[pensyaratan]], yaitu pernyataan sepihak yang bertujuan meniadakan atau mengubah dampak hukum dari ketentuan tertentu dalam suatu perjanjian, asalkan pensyaratan tersebut diperbolehkan oleh perjanjian yang bersangkutan dan juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.
 
Aturan mengenai penafsiran perjanjian tercantum dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina 1969. Kedua pasal ini kini dianggap melambangkan kebiasaan internasional. Pada dasarnya perjanjian ditafsirkan sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap suatu istilah sesuai dengan konteks dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjiannya. Penafsir juga diperbolehkan menggunakan cara penafsiran tambahan dalam Pasal 32 Konvensi Wina 1969 untuk memastikan hasil dari penafsiran yang dilakukan sesuai dengan Pasal 31, atau apabila makna yang diperoleh dari penafsiran initersebut "rancu atau kabur" atau "mustahil atau tidak masuk akal". Salah satu cara penafsiran tambahan adalah dengan melihat dokumen persiapan perjanjian atau ''[[travaux préparatoires]]''.
 
Suatu perjanjian dapat diamendemen sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Pihak yang ingin keluar dari sebuah perjanjian dapat melakukannya sesuai dengan kesepakatan yang tercantum pada perjanjian tersebut. Apabila tidak ada ketentuannya sama sekali, pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian hanya dapat dilakukan jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sedari awal memiliki iktikad untuk menerima kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak untuk melakukan hal tersebut tersirat dalam perjanjiannya. Suatu perjanjian dapat dianggap tidak absah akibat hal-hal tertentu, misalnya jika perjanjian tersebut dibuat dari korupsi dengan perwakilan negara lain, dengan paksaan, atau apabila isinya melanggar ''[[jus cogens]]'' atau norma wajib yang tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun (misalnya pelarangan perbudakan dan penyiksaan). Status traktat dalam hukum nasional sendiri bergantung pada sistem hukum di setiap negara.
Baris 55 ⟶ 54:
== Penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi ==
<!--
[[Berkas:Croatia-EU Accession Treaty Signature Page 5.png|thumb|right|250px|Tanda tangan [[Perdana Menteri HongariaHungaria]] [[Viktor Orbán]], [[Perdana Menteri Malta]] [[Lawrence Gonzi]], [[Perdana Menteri Belanda]] [[Mark Rutte]], dan [[Kanselir Austria]] [[Werner Faymann]] di Perjanjian Aksesi Kroasia-Uni Eropa tahun 2011.]]-->
[[Berkas:Estonia became a full member of OECD after Estonian Ambassador to France Sven Jürgenson presented Estonia’s accession treaty to the French Foreign Ministry for storage, 9th November 2010 (5245734239).jpg|jmpl|ka|250px|Duta Besar Estonia untuk Prancis, Sven Jürgenson, menyerahkan perjanjian aksesi [[Estonia]] kepada Kementerian Luar Negeri Prancis untuk disimpan, 9 November 2010. Dengan perjanjian aksesi ini, Estonia secara resmi bergabung dengan [[Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi]].]]
Negara dan subjek hukum internasional lainnya (seperti organisasi internasional) dapat menyatakan iktikad mereka untuk terikat dengan suatu traktat.{{sfn|Aust|2007|p=94}} Pasal 11 Konvensi Wina 1969 menjabarkan beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu penandatanganan (''signature''); pertukaran dokumen yang menjadi traktat; ratifikasi (atau pengesahan), penerimaan (''acceptance''), atau penyetujuan (''approval''); aksesi (''accession''); atau dengan cara lain yang disepakati.{{sfn|Aust|2007|p=95-96}}{{sfn|Szurek|2011|pp=188-189}} Pada umumnya suatu perjanjian internasional akan menentukan prosedur mana yang perlu diikuti.{{sfn|Pratomo|2016|p=110}}
Baris 89 ⟶ 88:
Penafsiran yang didasarkan pada Pasal 31 Konvensi Wina 1969 dimulai dengan mencari makna yang lazim dari suatu teks. Biasanya pengadilan-pengadilan internasional menggunakan kamus untuk mencari makna ini, walaupun kamus sering kali mencatat semua makna yang ada dan bukan hanya makna yang lazim.{{sfn|Dörr|2012b|p=581}} Setelah itu, penafsir harus melihat konteksnya, dan hal ini diatur dalam Pasal 31(2) Konvensi Wina 1969.{{sfn|Dörr|2012b|p=588}} Seluruh isi dari perjanjian dapat dianggap sebagai konteks, termasuk mukadimah, lampiran, protokol, dan judulnya. Keberadaan koma bahkan bisa menentukan makna suatu pasal.{{sfn|Dörr|2012b|p=582}} Selain itu, terdapat dua dokumen di luar traktat yang dapat dianggap sebagai konteks, yaitu perjanjian dan instrumen yang berhubungan dengan proses penyimpulan suatu perjanjian.{{sfn|Dörr|2012b|p=588-590}} Pasal 31(3) juga menyebutkan dokumen lain yang dapat dipertimbangkan bersamaan dengan konteks, yaitu: 1) perjanjian yang dibuat sesudahnya terkait dengan penafsiran traktat atau penerapannya, 2) praktik setelahnya yang menghasilkan kesepakatan dalam menafsirkan traktatnya, dan 3) aturan-aturan hukum internasional lain yang mungkin dapat diberlakukan.{{sfn|Dörr|2012b|p=592-612}} Sementara itu, "maksud dan tujuan" dari suatu perjanjian bisa dinyatakan secara gamblang dalam mukadimah atau pasalnya (misalnya Pasal 1 Piagam PBB).{{sfn|Dörr|2012b|p=585}} Namun, "maksud dan tujuan" tidak bisa dipakai untuk mengubah makna yang lazim diberikan kepada suatu istilah.{{sfn|Dörr|2012b|p=586-587}}
 
Pasal 32 Konvensi Wina 1969 juga memperbolehkan penggunaan cara penafsiran tambahan (''supplementary means of interpretation'') untuk memastikan hasil dari penafsiran yang telah dilakukan sesuai dengan Pasal 31, atau apabila penafsiran initersebut menghasilkan makna yang "rancu atau kabur" (''ambiguous or obscure'') atau "mustahil atau tidak masuk akal" (''manifestly absurd or unreasonable''). Namun, tujuan utama dari cara penafsiran tambahan ini adalah untuk menerangkan makna yang didapat dari Pasal 31, dan Pasal 32 tidak boleh dijadikan sebagai titik awal.{{sfn|Aust|2007|p=244-245}} Selain itu, menurut pakar hukum internasional Makane Moïse Mbengue, penggunaan istilah "tambahan" (''supplementary'' (tambahan) dan "diperbolehkan" (''may'' (dapat) padadalam Pasal 32 menunjukkan bahwa metode ini hanya bersifat melengkapi saja, dan penafsir memiliki kebebasan untuk memilih apakah akan menggunakan metode ini atau tidak.{{sfn|Mbengue|2016|p=399}} Dokumen persiapan perjanjian (''[[travaux préparatoires]]'') sendiri adalah satu contoh yang disebutkan secara gamblang oleh Pasal 32.{{sfn|Aust|2007|p=248}} Terdapat beberapa cara penafsiran tambahan lain yang dapat dipakai untuk membantu proses penafsiran, contohnya adalah ''[[argumentum a contrario]]'' (penafsiran yang didasarkan pada penalaran bahwa penulis perjanjian akan membuat perumusan secara gamblang jika itu memang makna yang diinginkan oleh mereka).{{sfn|Aust|2007|p=248}}{{sfn|Yusuf|Peat|2017|p=13, 18}}
 
Sementara itu, perjanjian multilateral sering kali dirumuskan dalam beberapa bahasa. Pasal 33 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa semua versi resmi dari suatu perjanjian dianggap berkedudukan sama, bahkan jika ada perbedaan makna di antara versi-versi tersebut, kecuali jika negara-negara pihak dalam perjanjian tersebut membuat ketentuan yang lain (misalnya menjadikan salah satu bahasa sebagai versi yang paling otoritatif).{{sfn|Aust|2007|p=253}}{{sfn|Dörr|2012b|p=581-582}} Aturan dalam pasal ini juga dianggap melambangkan kebiasaan internasional.{{sfn|Dörr|2012b|p=562-563}}