Sugondo Djojopuspito: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Firda damayanti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
 
(4 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:MuseumSumpahPemuda-8-Soegondo.jpg|jmpl|200 px|ka|<center> Patung dada dari Sugondo DjodjopuspitoDjojopuspito yang terletak di [[Museum Sumpah Pemuda]], jalan Kramat Raya No. 106, [[Jakarta Pusat]], [[Indonesia]].]]
'''Sugondo DjodjopuspitoDjojopuspito''' ({{lahirmati|[[Tuban]], [[Jawa Timur]]|22|2|1905|[[Yogyakarta]]|23|4|1978}}) adalah ''tokoh pemuda tahun [[1928]]'' yang memimpin [[Kongres Pemuda Indonesia Kedua]] dan menghasilkan ''[[Sumpah Pemuda]]'', dengan motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.<ref>Ensiklopedia Indonesia, ''Sugondo DjodjopuspitoDjojopoespito'', Volume 3</ref>
 
== Latar Belakang dan Pendidikan ==
Sugondo DjodjopuspitoDjojopuspito <ref>Drs. M. Soenyata Kartadarmadja: ''Sugondo Djodjopuspito, Hasil Karya dan Pengabdiannya'', Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Dokumentasi Sejarah Nasional 1982/1983</ref><ref>Sunaryo Joyopuspito: ''Soegondo Djodjopoespito, Tokoh Pemuda 1928'', Museum Sumpah Pemuda 2011</ref> lahir di [[Tuban]], [[22 Februari]] [[1905]] bapaknya bernama Kromosardjono adalah seorang [[Penghulu]] dan [[Mantri Juru Tulis Desa]] di kota [[Tuban]], [[Jawa Timur]]. Ketika Soegondo masih kecil, ibunda Soegondo sakit-sakitan dan meninggal dunia, kemudian Bapak Kromosardjono kawin lagi dan pindah ke [[Brebes]] [[Jawa Tengah]] menjabat sebagai [[lurah]] di sana. Selanjutnya Soegondo dan adiknya (Soenarjati) diangkat anak oleh pamannya yang bernama Bapak ''Hadisewojo'' (seorang ''[[collecteur]]'' wilayah [[Blora]], dan tidak punya anak, dan juga mengangkat ''Sudarjati'' dari anak saudara sepupu ''Keluarga Ny. Brotoamidjojo'', serta ''Sumijati'' dari anak saudara sepupu ''Keluarga S. Soekadji'', sehingga Bapak ''Hadisewojo'' mempunyai ''4 anak angkat'' yang saling ikatan saudara sepupu).<ref>Data silsilah keluarga Soegondo DjodjopuspitoDjojopuspito</ref> Pamannya ini yang menyekolahkan Soegondo dari [[HIS]] di Tuban hingga [[RH]] di [[Batavia]], termasuk adik-adiknya. Peranan Bapak Hadisewojo sangat besar dalam membimbing Soegondo sejak dari HIS di Tuban, menitipkan mondok di [[Cokroaminoto]] [[Surabaya]], menitipkan mondok di [[Ki Hadjar Dewantara]] [[Yogyakarta]], dan hingga mengarahkan masuk ke [[RH Batavia]].
 
Soegondo mengenyam pendidikan [[HIS]] (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di kota [[Tuban]]. Tahun 1919 setelah lulus HIS pindah ke [[Surabaya]] untuk meneruskan ke [[MULO]] (Sekolah Lanjutan Pertama 3 tahun) tahun 1919 - 1922 di [[Surabaya]], oleh pamanya ia dititipkan mondok di rumah [[HOS Cokroaminoto]] bersama [[Soekarno]]. Kemudian setelah lulus MULO, tahun 1922 melanjutkan sekolah ke [[SMA Negeri 3 Yogyakarta|AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B - paspal - 3 tahun) di Yogyakarta]] tahun 1922-1925, dan oleh pamannya melalui [[HOS Cokroaminoto]] dititipkan mondok di rumah [[Ki Hadjardewantoro]] di Lempoejangan Stationweg 28 Jogjakarta (dulu Jl. Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada), yaitu sebelah barat [[Puro Paku Alam]].
 
Setelah lulus [[AMS]] tahun 1925 melanjutkan kuliah atas biaya pamannya dan beasiswa di ''[[Rechtshoogeschool te Batavia]]'' (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - didirikan tahun 1924 - cikal bakal [[Fakultas Hukum Universitas Indonesia]] sekarang). Ia mondok di rumah pegawai pos bersama beberapa pegawai pos [[Pasar Baru]] lainnya di Gang Rijksman (belakang Rijswijk - sekarang Jl Juanda belakang Hotel Amaris Stasiun Juanda), sehingga ia bisa membaca majalah ''Indonesia Merdeka'' asuhan [[Mohammad Hatta]] terbitan ''Perhimpunan Indonesia'' di Negeri Belanda yang dilarang masuk ke Indonesia. Selama [[mahasiswa]] hidup sulit hanya punya satu baju, yang harus dicuci dulu kalau mau kuliah. Kuliah di [[RHS]] hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1), setelah Propadeus, karena beasiswanya dicabut akibat kegiatan politiknya dan juga pamannya meninggal dunia (sekarang setingkat dengan ijazah D2, karena sistem pendidikan sekolah tinggi pada waktu itu adalah terdiri atas 4 jenjang, yaitu: Propadeus, Candidat 1 dan Candidat 2, serta Doktoral).
 
== Perjuangan ==
=== Sumpah Pemuda "28 Oktober 1928" ===
Pada waktu semua orang ikut dalam [[organisasi pemuda]], pemuda Sugondo masuk dalam PPI ([[Persatuan Pemuda Indonesia]] - dan tidak masuk dalam [[Jong Java]]). Pada tahun 1926 saat [[Kongres Pemuda I]], Sugondo ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada [[Kongres Pemuda II]] 1928, maka Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan [[Drs.]] [[Mohammad Hatta]] sebagai ketua PPI di Negeri Belanda dan [[Ir.]] [[Sukarno]] (yang pernah serumah di [[Surabaya]]) di Bandung. Mengapa Sugondo terpilih menjadi Ketua Kongres, karena ia adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia - wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan kesukuan).
 
Saat itu [[Mohammad Yamin]] adalah salah satu kandidat lain menjadi ketua, tetapi dia berasal dari [[Yong Sumatra]] (kesukuan), sehingga diangkat menjadi Sekretaris. Perlu diketahui bahwa Moh. Yamin adalah [[Sekretaris]] dan juga salah satu peserta yang mahir berbahasa Indonesia ([[sastrawan]]), sehingga hal-hal yang perlu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang benar tidak menjadi hambatan (seperti diketahui bahwa [[notulen]] rapat ditulis dalam [[bahasa Belanda]] yang masih disimpan dalam [[museum]]).
 
Kongres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal [[27 Oktober|27]]-[[28 Oktober]] [[1928]] di Jakarta menghasilkan [[Sumpah Pemuda]] 1928 yang terkenal itu, di mana Para Pemuda setuju dengan
'''[[Trilogi]]:''' ''Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA''. Seperti diketahui, bahwa ''Trilogi'' ini lahir pada detik terakhir kongres, di mana Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo seraya berbisik: ''Ik heb een elegante formule voor de resolutie'' (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes). Dalam secarik kertas tersebut tertulis 3 kata/trilogi: ''satu nusa, satu bangsa, satu bahasa''. Selanjutnya Soegondo memberi paraf pada secarik kertas itu yang menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggota lainnya yang menyatakan setuju juga.<ref>Soegondo Djojopuspito: ''Ke arah Kongres Pemuda II'', Media MUDA No. 6 & 7 tahun I, November 1973</ref>
 
Selain trilogi itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: [[Indonesia Raya]] ciptaan [[Wage Rudolf Supratman]]. Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu [[Indonesia Raya]] ciptannya. Karena Kongres dijaga oleh [[Polisi Hindia Belanda]], dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (misalnya Kongres dibubarkan atau para peserta ditangkap), maka Sugondo secara elegan dan [[diplomatis]] dengan bisik-bisik kepada WR Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata [[Indonesia Raya]] dan Merdeka tidak jelas diperdengarkan (dengan biola). Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR Supratman memainkan biola pada waktu itu.
 
=== Masa Kebangkitan Nasional 1928-1942 ===
Pada masa [[Kebangkitan Nasional]] aktif sebagai [[guru]] dan masuk [[partai politik]]. Pada tanggal 11 Desember 1928 bersama Mr. [[Sunario Sastrowardoyo]] mendirikan [[Perguruan Rakyat]] yang beralamat di Gang Kenari No. 15 Salemba, dan diangkat sebagai [[Kepala Sekolah]].
 
Namun pada tahun 1930 ia diminta oleh [[Ki Hadjar Dewantara]] untuk menjadi guru [[Taman Siswa|Perguruan Taman Siswa]] Bandung. Pada waktu di Bandung tahun 1930 ia mulai sebagai [[simpatisan]] [[PNI]] (''Perserikatan Nasional Indonesia'') pimpinan [[Sukarno]]. Tahun 1932, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah [[Perguruan Tamansiswa Bandung]]. Tahun 1933 menikah dengan penulis [[Suwarsih Djojopuspito]] di Cibadak dan isterinya ikut membantu mengajar di Perguruan Tamansiswa Bandung. Kakak iparnya adalah Mr. [[A.K.Pringgodigdo]], suami dari kakak isterinya (Ny. Suwarni).
Pada tahun 1933 ketika Pemerintah Hindia Belanda di bawah Pemerintahan [[Gubernur General]] [[Mr.]] [[Bonifacius Cornelis de Jonge]], maka para aktivis politik mulai ditangkap. Ir. [[Soekarno]] ditangkap dan diasingkan ke [[Flores]] kemudian dipindahkan ke [[Bengkulu]]. Pada saat itu PNI pimpinan Ir. [[Soekarno]] beralih pimpinan pecah menjadi dua, yaitu dilanjutkan sebagai ''[[Partindo]]'' (Partai Indonesia) pimpinan ''Mr. [[Sartono]]'' dan ''[[Pendidikan Nasional Indonesia]]'' (PNI) pimpinan ''Drs. [[Mohammad Hatta]]'' dan ''[[Sutan Syahrir]]''. Sugondo memilih masuk dalam ''Pendidikan Nasional Indonesia'' (PNI) pimpinan [[Syahrir]]. Kemudian pada tahun 1934 gilirannya [[Mohammad Hatta]] dan [[Sutan Syahrir]] ditangkap dan diasingkan ke [[Boven Digoel]] kemudian dipindahkan ke [[Banda Neira]].
 
Dan selanjutnya tahun 1934 itu juga, giliran Sugondo juga ditangkap, tetapi tidak terbukti bahwa ia anggota partai, sehingga ia hanya mendapat larangan mengajar (''Onderwijs Verbod'') oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah larangan mengajar dicabut tahun 1935 ia pindah ke [[Bogor]] dan mendirikan Sekolah ''[[Loka Siswa]]'', tetapi sepi murid, sehingga ditutup.<ref>Suwarsih Djojopuspito, ''Manusia Bebas'', PT Djambatan 1975</ref>
 
Setelah gagal mendirikan Sekolah ''Loka Siswa'' di Bogor, Sugondo pada tahun 1936 pindah mencari pekerjaan ke [[Semarang]], dan ia mengajar di [[sekolah Tamansiswa Semarang]], sedangkan isterinya bekerja di sekolah pimpinan Drs. Sigit. Namun kemudian akhir tahun 1936 ia pindah ke Surabaya bekerja sebagai wartawan lepas ''[[De Indische Courant Soerabaia]]''.
 
Setelah di Surabaya, tahun 1938 ia pindah lagi ke Bandung dan Sugondo diterima menjadi guru di ''[[Handels Cologium Ksatria Instituut]]'' ([[Sekolah Dagang Ksatria]]) pimpinan ''[[Dr.]] [[Douwes Dekker]]''.
 
Ketika keadaan [[Eropa]] genting, menjelang [[Perang Dunia II]], maka pada tahun 1940 Soegondo pindah ke [[Batavia]] ikut isterinya yang mengisi lowongan guru yang ditinggal pergi orang Balanda. Soewarsih menjadi guru di [[GOSVO]] (Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia - Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia - sekarang [[SMKN 27 Pasar Baru]]). Selain itu ia juga dipercaya oleh kenalannya yang pulang ke Eropa untuk menjaga rumah di daerah Menteng (Tjioedjoengweg, sekarang Jl. Teluk Betung belakang HI). Ia sempat bekerja di ''Centraal Kantoor voor de Statistiek Pasar Baru'' (CKS - Badan Pusat Statistik) sebelah GOSVO tempat isterinya bekerja, dan juga sebagai wartawan lepas ''De Bataviaasch Nieuwsblad''.
 
Pada tahun 1941 oleh Mr. [[Soemanang]] dipercaya memimpin [[Lembaga Kantor Berita Nasional Antara|Kantor Berita Antara]](sebagai Direktur, melalui dua orang utusan [[Djohan Sjahroezah]] dan [[Adam Malik]] yang datang meminta di rumahnya Tjioedjoengweg, sedangkan [[Adam Malik]] tetap menjadi Redaktur/merangkap Wakil Direktur) yang beralamat pada waktu itu di Buiten Tijgerstraat 30 Noord Batavia (Jl. Pinangsia 70 Jakarta Utara) sebelum pindah ke Jl. Pos Utara No. 53 - Pasar Baru.<ref>Soebagio IN, ''Surat yang dikirim oleh Sugondo Djojopuspito'', Majalah TEMPO 06 Mei 1978</ref>
 
=== Masa Penjajahan Dai Nippon 1943-1945 ===
Pada masa [[penjajahan Jepang]], bekerja sebagai pegawai Shihabu (Kepenjaraan), atas bantuan Mr. Notosoesanto sebagai kawan yang pernah bersama kuliah di RH Batavia dan berkantor di Jl. Cilacap Jakarta Pusat, serta pindah rumah di Jl. Serang No. 13, Jakarta Pusat, rumah bekas orang Belanda yang pulang ke Eropa akibat penjajahan Jepang (di muka rumah Mr. Johannes Latuharhary sebelah dokter Soeradi).
 
=== Masa Revolusi Fisik 1945-1950 ===
Pada masa revolusi aktif dalam Badan Pekerja [[Komite Nasional Indonesia Pusat]] (BP-KNIP) (beranggotakan 28 orang saja). Pada masa [[RIS]], dalam [[Negara Republik Indonesia]] dengan Acting Presiden [[Assaat|Mr. Assaat]], Sugondo diangkat dalam [[Kabinet Halim]] sebagai [[Menteri Pembangunan Masyarakat]], dan jabatan di BP-KNIP digantikan oleh [[Djohan Sjahroezah]] yang ia kenal baik.
 
=== Setelah RIS tahun 1950 ===
Setelah tahun 1950, meskipun usianya masih 46 tahun, memilih pensiun sebagai [[bekas menteri]] dan [[perintis kemerdekaan]], membaca buku dan sering bertemu dengan rekan seperjuangan dalam dan luar negeri. Pernah Presiden Sukarno (sebagai kawan yang pernah sepondokan) tahun 1952 meminta ia datang ke Jakarta, yang disampaikan kepada isterinya waktu datang di istana mengantarkan kakaknya (Ny. Soewarni isteri Mr. A.K. Pringgodigdo, sekretaris kabinet), ia berujar: ''Waar is Mas Gondo, laat hem maar bij mij even komen, ik zal een positie voor hem geven'' (Di mana Mas Gondo, suruh dia menemui saya, akan saya beri jabatan untuk dia), tetapi ia menolak jabatan ini, tidak ada kejelasan mengapa ia menolak. Kawan dekatnya sebelum tahun 1955 adalah [[Sultan Hamengkubuwono IX]] yang sering datang ke rumah naik [[mobil]] kecil warna abu-abu merk [[Vauxhall Motors|Vauxhall]] AB-1881 dan [[Sutan Syahrir]] yang datang menjenguknya naik pesawat kecil ke [[Maguwo]] mengemudi sendiri bersama pelatihnya, serta setelah tahun 1965 adalah [[Romo Mangun]] ([[Y. B.]] [[Mangunwijaya]]) yang sering bertandang (karena bertetangga dekat dengan Seminari Yogyakarta di Kota Baru di mana ia menghabiskan waktu sehari-harinya di rumahnya yang di Kota Baru juga).
 
Pada tahun [[1978]] wafat kemudian dimakamkan di [[Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa]] [[Taman Wijayabrata]] di [[Celeban]], [[Umbulharjo]] - [[Yogyakarta]].
 
== Penghargaan Pemerintah ==