Tanjung Merah, Matuari, Bitung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
~~~~
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi iOS
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Newcomer task: copyedit
 
(4 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikan}}
 
{{kelurahan
|peta =
Baris 10 ⟶ 9:
|kode pos =95547
|nama pemimpin =
|luas =...829 kmha²
|penduduk =1...849 jiwa
|kepadatan =...31,18 jiwa/km²
}}
'''Tanjung Merah''' adalah salah satu [[kelurahan]] di kecamatan [[Matuari, Bitung|Matuari]], [[Kota Bitung]], [[Sulawesi Utara]], [[Indonesia]].
Baris 30 ⟶ 29:
Karena diberi tugas sebagai penjaga keamanan, maka orang-orang yang ditempatkan di pos pengintai itu terdiri atas Wadian (pemimpin agama), Tonaas (pemimpin adat) dan Waraneij (prajurit perkasa). Orang-orang pertama yang dikirim adalah keluarga Wadian Tewu Tanod* dari negeri Treman dan keluarga Waraneij Bugis Ibrahim Lengkong dari Negeri Tumaluntung.
 
Pada tahun 1811 - 1827 disusul pula oleh keluarga Rumbayan dari Negeri Kembuan (Tonsea Lama), keluarga Pongoh dari Airmadidi, keluarga Kumentas dari Sukur, keluarga Tangkudung dari Treman, keluarga Mandagi dari Kaasan, keluarga Toway dan Rumambi dari Tetey, keluarga Siby dari Kauditan dan keluarga Katuuk dari Kema. Setelah itu berdatangan pula beberapa keluarga antara lain keluarga Roti, keluarga Wullur, keluarga Siby, keluarga Sompotan dan keluarga Ganda.
 
Keluarga keluarga tersebut membentuk pemukiman darat (dena) ditempat yang agak jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan dari laut. Rumah rumah pada waktu itu berbentuk panggung yang dibangun diatas tiang kayu setinggi kira kira 3 meter. Untuk naik dan turun dari rumah rumah ini digunakan tangga kayu atau bambu yang hanya disandarkan sehingga bisa diangkat, hal ini memang disengaja karena kalau para laki laki dewasa pergi mengintai musuh atau mengadakan patroli, maka yang tertinggal di rumah hanyalah kaum perempuan dan anak-anak. Dengan demikian apabila para te’dong datang menyerang, mereka (orang jahat) tidak bisa langsung naik ke rumah karena tangganya sudah diangkat. Selain itu, kaum perempuan dan anak-anak dipersenjatai dengan tombak, batu dan semacam alat semprot dari bambu yang diisi dengan air bercampur rica (cabe).
Baris 40 ⟶ 39:
Pada tahun 1845 Negeri Tana’ Rundang secara administratif disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea, Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua (kepala keluarga yang dituakan) tambahan nama Arnold adalah nama baptis dia seiring masuknya agama Kristen di negeri itu (dikupas khusus pada sejarah GMIM Eben Haezer, Tanjung Merah), dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai Ketua Keamanan. Nama Tana’ Rundang diganti menjadi Tanjung Merah, walaupun dalam pergaulan sehari-hari orang Tonsea, tetap disebut Tana’ Rundang sampai sekitar tahun 1950an.
 
Penting untuk diketahui sebagai fakta perjalanan sejarah, bahwa sekitar akhir abad ke -19 beberapa keluarga dari Tanjung Merah telah membuka areal perkebunan dan pemukiman baru ke arah Timur Laut yang dikemudian hari telah berkembang pesat menjadi sebuah kota pelabuhan dengan nama Bitung (diambil dari nama pohon Bitung, bahasa Tonsea, Witung) yang pada masa lalu banyak terdapat di sepanjang pantai daerah itu. Mereka adalah keluarga Lengkong, keluarga Siby, keluarga Rotti, keluarga Sompotan, keluarga Ganda dan keluarga Wullur (sekarang dikenal dengan keluarga “Enam Dotu”). Selanjutnya setelah Bitung menjadi kecamatan, Tanjung Merah dimasukan sebagai salah satu desa di dalam wilayahnya. Demikianlah seterusnya seiring dengan perkembangan kota Bitung, Tanjung Merah berubah status menjadi kelurahan ketika Bitung diresmikan sebagai kota administratif dan kemudian menjadi kotamadya.
 
Selain sejarah Tanjung Merah juga terjadi peristiwa-peristiwa penting antara lain wabah penyakit Malaria, tahun 1934 pernah dilanda banjir besar yang hampir meratakan seluruh pemukiman, masa pendudukan Jepang banyak orang Tanjung Merah hampir dibantai tentara Nipon di Tasik Koki, pergolakan PRRI/Permesta rumah-rumah penduduk termasuk gedung gereja musnah dibakar.
 
Adapun lokasi jalan utama Manado – BitungManado–Bitung, sebelum ada jalan baru yang melewati Sagerat, adalah jalan yang melewati Kema-Tanjung Merah-pusat kota Bitung sehingga posisi kampung berada didepan jalan Manado – Bitung, sedangkan erfpacht, -perkebunan yang disewakan pemerintah Belanda kepada orang timur jauh dengan sebutan Domain Veerklaring (tanah jajahan adalah tanah milik raja Belanda),- dahulu adalah hutan yang dibuka dan dijadikan perkebunan (tumani) oleh Tunduan Teterusan Tewu Tanod untuk kebutuhan hidup sehari-hari para Dotu dan Waraneij, posisi kebun berada tepat di belakang kampung Tanjung Merah sebagaimana perkebunan masyarakat Minahasa umumnya berada di belakang kampung. Tentu saja hal ini mengingat kawasan pantai tidak aman disamping masyarakat Minahasa dikenal sebagai pekebun ulung.
 
Kendati demikian, Negeri Tanjung Merah tetap ada hingga sekarang. Tanjung Merah memang negeri para Waraneij dibawah pimpinan Tunduan Teterusan, yakni kaum prajurit perkasa yang setia mengorbankan jiwa raga untuk mempertahankan hak dan martabat kemanusiaan, khususnya di tanah leluhur. Keteguhan para tumani Banua Tana’ Rundang itu barangkali bukanlah sesuatu yang perlu diagung-agungkan, namun paling tidak, itulah bukti sebuah keperkasaan dan ketabahan yang patut dimiliki sepanjang generasi orang Tanjung Merah dimana saja berada. Tanjung Merah adalah negeri tertua yang juga merupakan Tumani um Banua Bitung, sehingga merupakan “warisan” sejarah yang patut dijaga dan dikembangkan bersama menjadi kampung cagar budaya Minahasa.
Baris 95 ⟶ 94:
# Lokasi-lokasi yang disebut sampai sekarang tetap ada di Tanjung Merah.
# https://m.facebook.com/notes/albert-kusen/perang-tondano-1809-kisah-heroik-orang-minahasa-melawan-pasukan-belanda/400330743448
 
 
{{Matuari, Bitung}}