Shinto: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tegarrifqi (bicara | kontrib) Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
→Kosmologi dan kehidupan setelah kematian: Perbaikan menurut terjemahan en.wiki |
||
(62 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{disambiginfo}}
{{Shintoisme}}
[[Berkas:
{{nihongo|'''Shinto'''|神道|Shintō|secara harfiah bermakna "jalan
Shinto
Meskipun
Shinto terutama ditemukan di Jepang, wilayah yang
== Definisi ==
[[File:YobitoTorii.jpg|thumb|right|Sebuah gerbang ''torii'' menuju Kuil Yobito ({{lang|ja-Latn|Yobito-jinja}}) di Kota Abashiri, Hokkaido]]
Para cendekiawan memperdebatkan waktu yang tepat dalam sejarah
=== Kategorisasi ===
Banyak cendekiawan
{{Quote box
Baris 25 ⟶ 26:
}}
Para
Shinto
=== Etimologi ===
[[File:Takachiho-gawara Kirishima City Kagoshima Pref02n4050.jpg|thumb|Sebuah gerbang torii di kuil [[Takachiho-gawara]] yang terletak di dekat [[Kirishima, Kagoshima|Kirishima]], [[Prefektur Kagoshima]], yang terkait dengan kisah mitologi [[tenson kōrin|Turunnya ke Bumi]] oleh [[Ninigi-no-Mikoto]].]]
Istilah ''Shinto'' sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "''the way of the {{lang|ja-Latn|kami}}''"
Istilah ''Shinto'' berasal dari kombinasi dua karakter Tionghoa: ''[[shen]]'' ({{script|Hani|神}}), yang berarti "roh," dan ''[[dao]]'' ({{script|Hani|道}}), yang berarti "jalan", "cara", atau "arah".{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=139|2a1=Littleton|2y=2002|2p=6|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} Istilah [[bahasa Tionghoa]] ''Shendao'' awalnya diadopsi ke dalam bahasa Jepang sebagai ''Jindō'';{{sfn|Teeuwen|2002|p=243}} kemungkinan pertama kali digunakan sebagai istilah Buddhis untuk merujuk pada dewa-dewa non-Buddha.{{sfn|Teeuwen|2002|p=256}} Salah satu kemunculan
Pada abad pertengahan Jepang, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' umumnya
== Sejarah ==
=== Perkembangan awal ===
[[File:DotakuBronzeBellLateYayoi3rdCenturyCE.jpg|thumb|right|Lonceng ''dotaku'' dari zaman Yayoi yang mungkin memainkan peran penting dalam ritus ''kami'' pada saat itu.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}}]]
Earhart berkomentar bahwa Shinto akhirnya "muncul dari kepercayaan dan praktik Jepang
Pada periode awal ini, Jepang bukan merupakan sebuah negara kesatuan; Jepang terdiri dari beberapa ''{{lang|ja-Latn|[[Uji (klan)|
[[File:Shinpukuji-bon Kojiki (真福寺本古事記).png|thumb|170px|left|Sebuah halaman dari ''Shinpukuji-bon Kojiki'' dari abad ke-14, yang merupakan salinan dari ''Kojiki'' yang ditulis pada abad ke-8]]
Pada pertengahan abad ke-7, sebuah kode hukum yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[Ritsuryō]]}}'' diadopsi untuk mendirikan pemerintahan terpusat bergaya Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=17}} Sebagai bagian dari kode hukum tersebut, [[Jingikan]] ("
Pada awal abad ke-8, [[Kaisar Tenmu]]
Sejak abad ke-8, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan agama Buddha terjalin erat dalam masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=8}} Di samping kaisar dan istana melakukan ritual Buddhis, mereka juga melakukan ritual lainnya untuk menghormati ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=72}} Tenmu, misalnya, menunjuk seorang putri kekaisaran perawan untuk
=== Zaman Nara ===
Zaman ini menjadi tuan rumah
=== Zaman Meiji dan Kekaisaran Jepang ===
{{main|Shinto negara}}
[[File:Chosen Jingu.JPG|thumb|right|[[Chōsen Jingū]] di [[Seoul]], Korea, didirikan selama pendudukan Jepang di semenanjung]]
Breen dan Teeuwen mencirikan periode antara tahun 1868 dan 1915
Fridell berpendapat bahwa para cendekiawan menyebut periode dari tahun 1868 hingga 1945 sebagai "periode Shinto Negara" karena
[[Restorasi Meiji]] pada tahun 1868 didorong oleh pembaruan etika Konfusianisme dan patriotisme kekaisaran di
Pada tahun 1868, semua pendeta kuil ditempatkan di bawah otoritas [[Jingikan]] yang baru
Pada tahun 1872, Jingikan ditutup dan diganti dengan [[Kyobusho]]
Pada tahun 1882, pemerintah Meiji menetapkan
Meskipun dukungan pemerintah terhadap kuil menurun, [[nasionalisme Jepang]] tetap terkait erat dengan legenda dari yayasan dan kaisar, seperti yang dikembangkan oleh para cendekiawan ''{{lang|ja-Latn|kokugaku}}''. Pada tahun 1890, [[Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan]] dikeluarkan
=== Pascaperang ===
[[File:Association of Shinto Shrines 2010.jpg|thumb|Markas besar Asosiasi Kuil Shinto di [[Shibuya]], [[Tokyo]].]]
Selama pendudukan
Pada periode pascaperang, motif Shinto sering dicampur dengan [[gerakan agama baru]] di Jepang;{{sfn|Nelson|1996|p=180}} dari kelompok Sekte Shinto, [[Tenrikyo]] mungkin yang paling sukses dalam dekade
Selama abad ke-20, sebagian besar penelitian akademis mengenai Shinto dilakukan oleh para teolog Shinto,
== Kepercayaan ==
Baris 84 ⟶ 85:
{{Main|Kami (mitologi)}}
[[File:A man confronted with an apparition of the Fox goddess.jpg|thumb|200px|Penggambaran artistik dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' Inari yang muncul di hadapan seorang pria]]
Shinto
Istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' "memiliki konsep yang lentur"{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=35}} serta "tidak jelas dan tidak tepat".{{sfn|Offner|1979|p=194}} Dalam bahasa Jepang ''kami'' sering digunakan untuk mewakili kekuatan fenomena yang menimbulkan rasa heran dan kagum pada orang yang melihatnya.{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxi|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=35}} Kitagawa menyebut hal tersebut sebagai "kodrat ''{{lang|ja-Latn|kami}}''"; pernyataan yang menunjukkan bahwa ia menganggapnya "agak mirip" dengan gagasan Barat mengenai [[numinus]] dan [[keramat]].{{sfn|Kitagawa|1987|p=36}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' dipandang mendiami baik yang hidup maupun yang mati, bahan organik dan anorganik, serta bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan, dan wabah penyakit;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} mereka tampak hadir dalam kekuatan alam seperti angin, hujan, api, dan sinar matahari.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} Oleh karena itu, Nelson berkomentar bahwa Shinto menganggap "'fenomena aktual' dari dunia itu sendiri" bersifat "ketuhanan".{{sfn|Nelson|1996|p=26}} Pemahaman Shinto mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' juga dicirikan [[animisme|animistik]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=40|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=13}}
Di Jepang, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dihormati sejak masa praaksara.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} Pada [[zaman Yayoi]], mereka dianggap tidak berbentuk dan tidak kasatmata.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}} Baru saat dipengaruhi agama Buddha, mereka digambarkan dalam bentuk antropomorfik.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=180|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=1}} Pada masa modern, patung ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinzo}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=180}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' biasanya diasosiasikan dengan tempat tertentu, sering kali diasosiasikan dengan suatu aspek penting sebuah bentang ruang seperti air terjun, gunung, batu besar, atau pohon yang istimewa.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=75|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=14}} Objek fisik atau tempat yang diyakini memiliki kehadiran ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[shintai]]}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=172}} objek yang dihuni oleh ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang ditempatkan di kuil dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|go-shintai}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Nelson|2y=1996|2p=144}} Objek yang biasa dipilih untuk tujuan tersebut termasuk cermin, pedang, batu, manik-manik, dan papan bertulis.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Earhart|2y=2004|2pp=36–37}} ''{{lang|ja-Latn|go-shintai}}'' ini disembunyikan dari pandangan pengunjung{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} dan mungkin disembunyikan dalam kotak sehingga bahkan para pendeta tidak tahu seperti apa bentuknya.{{sfn|Bocking|1997|p=172}}
''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' diyakini mampu melakukan perbuatan baik maupun merusak;{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=27|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} jika peringatan mengenai perilaku baik diabaikan, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dapat menjatuhkan hukuman yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shinbatsu}}'', sering kali berupa penyakit atau kematian mendadak.{{sfn|Bocking|1997|p=164}} Beberapa ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|magatsuhi-no-kami}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|araburu kami}}'', dianggap jahat dan merusak.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=114|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} Persembahan dan doa ditujukan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mendapatkan berkah dan untuk mencegah mereka melakukan tindakan yang merusak.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Shinto berusaha untuk menumbuhkan dan memastikan hubungan yang harmonis antara manusia dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan maka dari itu dengan alam.{{sfn|Earhart|2004|pp=7–8}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' yang lebih terlokalisasi mungkin mendapatkan keintiman dan keakraban dari anggota komunitas lokal, berbeda dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang disembah secara lebih luas seperti Amaterasu.{{sfn|Nelson|1996|p=33}} ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari komunitas tertentu disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|ujigami}}''{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1pp=214-215|2a1=Littleton|2y=2002|2p=24}} sedangkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari rumah tertentu disebut ''{{lang|ja-Latn|yashikigami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=222}}
''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' tidak dianggap berbeda dengan manusia [[metafisika|dari segi metafisik]]{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=35}} sehingga manusia mungkin menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Earhart|2004|p=8}} Manusia yang sudah mati terkadang dipuja sebagai kami, dianggap sebagai pelindung atau sosok leluhur.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=27|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=1}} Salah satu contoh yang paling terkemuka adalah [[Kaisar Ōjin]] yang pada kematiannya diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' [[Hachiman]] yang diyakini sebagai pelindung Jepang dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' perang.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1pp=31-32|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=14}} Dalam budaya Jepang, leluhur dapat dipandang sebagai bentuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Earhart|2004|p=10}} Di Jepang Barat, istilah ''{{lang|ja-Latn|[[jigami]]}}'' digunakan untuk menggambarkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diabadikan dari seorang pendiri desa.{{sfn|Bocking|1997|p=69}} Dalam beberapa kasus, manusia hidup juga dipandang sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} mereka dipanggil ''{{lang|ja-Latn|akitsumi kami}}''{{sfn|Picken|2011|pp=35–36}} atau ''{{lang|ja-Latn|arahito-gami}}''.{{sfn|Picken|2011|p=42}} Dalam sistem Shinto Negara pada zaman Meiji, kaisar Jepang dinyatakan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''{{sfn|Earhart|2004|p=8}} sementara beberapa sekte Shinto juga memandang pemimpin mereka sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang hidup.{{sfn|Earhart|2004|p=8}}
[[File:Hokora in Takeo no Okusu.jpg|thumb|left|Pohon suci berusia 3000 tahun ([[shintai]]) dari Kuil Takeo]]
Meskipun sejumlah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dihormati hanya dalam satu lokasi, sisanya memiliki lebih dari satu kuil yang didedikasikan untuk mereka di banyak wilayah Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Hachiman, misalnya, memiliki sekitar 25.000 kuil yang didedikasikan untuknya.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} Tindakan mendirikan kuil baru untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang sudah memilikinya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[bunrei]]}}'' ("membagi roh").{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Picken|2y=2011|2p=57|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=15}} Sebagai bagian dari itu, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diundang untuk memasuki tempat baru, tempat ia dapat dipuja, dengan rangkaian upacara yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kanjo]]}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Kuil cabang yang baru dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|bunsha}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Picken|2y=2011|2p=58}} Kekuatan individu ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini tidak berkurang dengan terbaginya tempat tinggal mereka menjadi beberapa lokasi dan tidak ada batasan jumlah kuil tempat tinggal ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Dalam beberapa periode, dikenakan biaya untuk hak menempatkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu dalam kuil di lokasi baru.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Kuil tidak selalu dirancang dengan struktur permanen.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}}
Banyak kami diyakini memiliki utusan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami no tsukai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|tsuka washime}}''. Para utusan tersebut umumnya digambarkan dalam bentuk binatang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Utusan Inari, misalnya, digambarkan sebagai rubah (''[[kitsune]]''){{sfnm|1a1=Picken|1y=2011|1p=40|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=15}} sedangkan utusan Hachiman adalah seekor merpati.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}}
Kosmologi Shinto juga mencakup ''{{lang|ja-Latn|[[Obake|bakemono]]}}'', roh yang berbuat jahat.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} ''{{lang|ja-Latn|Bakemono}}'' termasuk ''{{lang|ja-Latn|[[oni]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[tengu]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[Kappa (mitologi)|kappa]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[mononoke]]}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|[[Yama-uba|yamanba]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Cerita rakyat Jepang juga memuat kepercayaan akan ''{{lang|ja-Latn|goryō}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|onryō}}'', roh yang tidak tenang atau pendendam, terutama mereka yang meninggal dalam peristiwa kejam dan tanpa upacara pemakaman yang sesuai.{{sfn|Bocking|1997|p=37}} Para roh itu diyakini menimbulkan penderitaan pada mereka yang hidup dan oleh karena itu mereka harus ditenangkan, biasanya melalui upacara Buddhis atau kadang-kadang dengan penempatan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dalam kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=37}} Sosok supranatural Jepang lainnya termasuk ''{{lang|ja-Latn|[[tanuki]]}}'', makhluk seperti binatang yang dapat berubah meniru bentuk manusia.{{sfn|Bocking|1997|p=200}}
=== Kosmogoni ===
[[File:Kobayashi Izanami and Izanagi.jpg|thumb|upright=0.7|[[Izanami]]-no-Mikoto dan [[Izanagi]]-no-Mikoto, oleh Kobayashi Eitaku, akhir abad ke-19]]
Asal usul ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan Jepang sendiri diceritakan dalam dua teks dari abad
''Kojiki'' menceritakan bahwa alam semesta bermula dengan ''{{lang|ja-Latn|ame-tsuchi}}'', pemisahan elemen ringan dan murni (''{{lang|ja-Latn|ame}}'', "surga") dari elemen berat (''{{lang|ja-Latn|tsuchi}}'', "bumi").{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=5|2a1=Picken|2y=2011|2p=38|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=19}} Tiga ''kami'' kemudian muncul: [[Amenominakanushi]], [[Takamimusubi|Takamimusuhi no Mikoto]], dan [[Kamimusubi|Kamimusuhi no Mikoto]]. ''Kami'' lainnya muncul setelah mereka, termasuk [[Izanagi]] dan [[Izanami]] yang bersaudara.{{sfnm|1a1=Cali|1a2=Dougill|1y=2013|1p=19|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=48}} Para ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' menyuruh Izanagi dan Izanami untuk membuat daratan di bumi. Untuk itu, sepasang saudara itu mengaduk lautan asin dengan tombak bepermata, dari sana [[Pulau Onogoro]] terbentuk.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2pp=19–20|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=49}} Izanagi dan Izanami kemudian turun ke Bumi di mana Izanami melahirkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''-''kami'' selanjutnya. Salah satunya adalah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' api yang kelahirannya menewaskan Izanami.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=20|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=50}} Izanagi kemudian turun ke dunia bawah tanah (''{{lang|ja-Latn|yomi}}'') untuk menyelamatkan saudarinya tetapi ia melihat tubuh Izanami yang membusuk di sana. Malu terlihat dalam keadaan tersebut, Izanami mengusir saudaranya keluar dari ''{{lang|ja-Latn|yomi}}'' dan Izanagi pun menutup pintu masuknya.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Bocking|2y=1997|2p=67|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=20|4a1=Hardacre|4y=2017|4p=50}}
Izanagi mandi di laut untuk membersihkan diri dari kotoran karena menyaksikan pembusukan Izanami. Melalui tindakan ini, ''kami'' selanjutnya muncul dari tubuhnya: [[Amaterasu]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' matahari) lahir dari mata kirinya, [[Tsukuyomi]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' bulan) dari mata kanannya, dan [[Susanoo]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' badai) dari hidungnya.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=196|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=143|3a1=Bocking|3y=1997|3p=67|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=20|5a1=Hardacre|5y=2017|5p=53}} Susanoo berperilaku merusak; untuk menghindarinya, Amaterasu menyembunyikan diri dalam sebuah gua, menenggelamkan bumi dalam kegelapan. ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang lain akhirnya berhasil membujuk Amaterasu keluar.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=196–197|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=144|3a1=Bocking|3y=1997|3p=3|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=21|5a1=Hardacre|5y=2017|5pp=53-54}} Susanoo kemudian dibuang ke bumi di mana ia menikah dan memiliki anak.{{sfnm|1a1=Cali|1a2=Dougill|1y=2013|1p=22|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=54}} Menurut ''Kojiki'', Amaterasu kemudian mengirim cucunya, [[Ninigi]], untuk memerintah Jepang dan memberinya manik-manik berlengkung, cermin, dan pedang: simbol otoritas kekaisaran Jepang.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=144|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=57}} Amaterasu masih menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang mungkin paling dihormati di Jepang.{{sfn|Littleton|2002|p=98}}
=== Kosmologi dan kehidupan setelah kematian ===
Dalam Shinto, prinsip
Teks-teks seperti ''Kojiki'' dan ''Nihon Shoki'' menggambarkan banyak alam dalam kosmologi Shinto.{{sfn|Doerner|1977|pp=153–154}} Teks tersebut menghadirkan alam semesta yang dibagi menjadi tiga bagian: Dataran Tinggi Surga (''{{lang|ja-Latn|Takama-no-hara}}''), tempat ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' hidup; Dunia
Shinto mencakup kepercayaan pada roh atau jiwa manusia (''{{lang|ja-Latn|mitama}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|tamashii}}'') yang mengandung empat aspek.{{sfn|Hardacre|2017|p=75}} Meskipun gagasan asli mengenai kehidupan setelah kematian mungkin berkembang dengan baik sebelum kedatangan agama Buddha,{{sfn|Littleton|2002|p=90}} orang Jepang kontemporer sering mengadopsi konsep Buddhis tentang itu.{{sfn|Littleton|2002|p=89}} Shinto modern lebih menekankan pada kehidupan saat ini daripada kehidupan setelah kematian.{{sfnm|1a1=Doerner|1y=1977|1p=153|2a1=Littleton|2y=2002|2p=90}} Kisah-kisah mitologis seperti ''Kojiki'' menggambarkan ''{{lang|ja-Latn|yomi}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|yomi-no-kuni}}'' sebagai alam orang mati{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=90|2a1=Picken|2y=2011|2p=71}} meskipun alam tersebut tidak memainkan peran dalam Shinto modern.{{sfn|Littleton|2002|p=90}} Gagasan Shinto modern mengenai kehidupan setelah kematian sebagian besar berkisar pada gagasan bahwa roh terus ada setelah tubuh mengalami kematian dan terus membantu mereka yang hidup. Setelah 33 tahun, mereka kemudian menjadi bagian dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' keluarga.{{sfn|Littleton|2002|pp=89-91}} Roh-roh leluhur ini kadang-kadang dianggap bersemayam di pegunungan,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=91|2a1=Picken|2y=2011|2p=39}} mereka turun dari sana untuk ikut serta dalam acara pertanian.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Keyakinan kehidupan setelah kematian dalam Shinto juga mencakup ''{{lang|ja-Latn|obake}}'', roh gelisah yang mati dalam keadaan buruk dan sering membalas dendam.{{sfn|Littleton|2002|p=92}}
=== Kesucian dan ketidaksucian ===
Pokok utama dalam Shinto adalah menghindari ''[[kegare]]'' ("polusi" atau "kotoran"),{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=93|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=20}} sambil memastikan ''[[harae]]'' ("kesucian").{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=101|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=21}} Dalam pemikiran Jepang, manusia pada dasarnya dipandang suci.{{sfn|Picken|2011|p=45}} Oleh karena itu, ''kegare'' dipandang sebagai kondisi sementara yang dapat diperbaiki melalui pencapaian ''harae''.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Ritus penyucian dilakukan untuk memulihkan kesehatan "spiritual" individu dan menjadikannya berguna bagi masyarakat.{{sfn|Nelson|1996|p=102}}
[[File:Karasuzumo purification ritual.jpg|thumb|left|Ritual penyucian Shinto setelah turnamen [[sumo]] anak-anak di [[Kuil Kamigamo|Kamigamo Jinja]] di [[Kyoto]]]]
Gagasan kesucian ini hadir dalam banyak aspek budaya Jepang, seperti menempatkan fokus pada mandi.{{sfn|Nelson|1996|p=38}} Penyucian misalnya dianggap penting dalam persiapan musim tanam,{{sfn|Nelson|1996|p=63}} sedangkan para pemain teater [[noh]] menjalani ritual penyucian diri sebelum mereka melakukan pertunjukannya.{{sfn|Picken|2011|p=7}} Di antara hal-hal yang dianggap sebagai kotoran tertentu dalam Shinto adalah kematian, penyakit, sihir, menguliti hewan hidup-hidup, hubungan sedarah, kebinatangan, tinja, dan darah yang berhubungan dengan menstruasi atau persalinan.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=206|2a1=Nelson|2y=1996|2p=104}} Untuk menghindari ''kegare'', pendeta dan praktisi lainnya dapat melakukan pantang dan menghindari berbagai kegiatan sebelum festival atau ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=93}}
Berbagai kata, yang disebut ''imi-kotoba'', juga dianggap tabu, dan orang-orang menghindari mengucapkannya saat berada di kuil; termasuk ''shi'' (kematian), ''byō'' (penyakit), dan ''shishi'' (daging).{{sfn|Bocking|1997|p=58}}
Upacara penyucian yang dikenal sebagai ''misogi'' melibatkan penggunaan air tawar, air asin, atau garam untuk menghilangkan ''kegare''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Perendaman penuh di laut sering dianggap sebagai bentuk penyucian paling kuno dan efektif.{{sfn|Nelson|1996|p=140}} Tindakan ini terkait dengan kisah mitologis ketika Izanagi membenamkan dirinya di laut untuk menyucikan diri setelah menemukan istrinya yang sudah meninggal; dari tindakan tersebut kami yang lain muncul dari tubuhnya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=141|2a1=Bocking|2y=1997|2p=124}} Alternatif lainnya adalah berendam di bawah air terjun.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=124|2a1=Picken|2y=2011|2p=45}} Garam sering dianggap sebagai zat penyuci;{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=141|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} beberapa praktisi Shinto misalnya akan menaburkan garam pada diri mereka sendiri setelah pemakaman,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=141–142|2a1=Picken|2y=2011|2p=70}} sementara orang yang menjalankan restoran mungkin menaruh setumpuk kecil garam di luar setiap hari sebelum dibuka.{{sfn|Picken|2011|p=6}} Api, juga, dianggap sebagai sumber penyucian.{{sfn|Earhart|2004|p=11}} ''yaku-barai'' adalah bentuk harae yang dirancang untuk mencegah kemalangan,{{sfn|Bocking|1997|p=219}} sedangkan ''oharae'', atau "upacara penyucian besar", sering dimanfaatkan untuk ritual penyucian akhir tahun, dan dilakukan dua kali setahun di banyak kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=136}} Sebelum zaman Meiji, ritual penyucian umumnya dilakukan oleh [[onmyōji]], sejenis peramal yang praktiknya berasal dari filosofi [[yin dan yang]] dari Tiongkok. {{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=12}}
=== ''Kannagara'', moralitas, dan etika ===
Dalam Shinto, ''kannagara'' ("jalan ''kami''") menjelaskan hukum [[kosmos|tatanan alam]],{{sfn|Picken|1994|p=xxiii}} dengan ''wa'' ("harmoni") yang melekat dalam segala hal.{{sfn|Littleton|2002|p=58}} Mengacaukan ''wa'' dianggap buruk, kontribusinya dianggap baik;{{sfn|Littleton|2002|pp=58, 61}} dengan demikian, subordinasi individu pada unit sosial yang lebih besar telah lama menjadi karakteristik agama tersebut.{{sfn|Littleton|2002|pp=11, 57}} Shinto menggabungkan cerita dan mitos moralitas tetapi tidak terdapat doktrin etika yang menyeluruh dan terkodifikasi;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Offner mencatat bahwa Shinto tidak menetapkan "kode perilaku yang terpadu dan sistematis".{{sfn|Offner|1979|p=191}} Pandangannya mengenai ''kannagara'' mempengaruhi pandangan etis tertentu, terfokus pada ketulusan (''makoto'') dan kejujuran (''tadashii'').{{sfn|Picken|1994|p=xxiii}} ''Makoto'' dianggap sebagai kebajikan utama dalam agama Jepang secara lebih luas.{{sfn|Bocking|1997|p=115}} Shinto terkadang menyertakan rujukan pada empat kebajikan yang dikenal sebagai ''akaki kiyoki kokoro'' atau ''sei-mei-shin'', yang berarti "kemurnian dan keceriaan hati", yang terkait dengan keadaan ''harae''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=157|2a1=Picken|2y=2011|2p=34}} Offner percaya bahwa dalam Shinto, gagasan mengenai kebaikan terkait dengan "apa yang memiliki, atau berhubungan dengan, keindahan, kecerahan, keunggulan, nasib baik, kemuliaan, kemurnian, kesesuaian, harmoni, kesesuaian, [dan] produktivitas."{{sfn|Offner|1979|p=198}} ''Shojiki'' dianggap sebagai kebajikan, meliputi kejujuran, kebenaran, ketulusan, dan keterusterangan.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Fleksibilitas Shinto mengenai moralitas dan etika sering menjadi sumber kritik, terutama dari mereka yang berpendapat bahwa agama dapat dengan mudah menjadi pion bagi mereka yang ingin menggunakannya untuk melegitimasi otoritas dan kekuasaan mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=198}}
Sepanjang sejarah Jepang, gagasan "saisei-itchi", atau penyatuan otoritas agama dan otoritas politik, telah lama dikenal.{{sfn|Kitagawa|1987|p=xvii}}
Cali dan Dougill mencatat bahwa Shinto telah lama diasosiasikan dengan "pandangan picik dan protektif" dari masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=10}} Mereka menambahkan bahwa di zaman modern, Shinto cenderung ke arah konservatisme dan nasionalisme.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=10}} Pada akhir tahun 1990-an, Bocking mencatat bahwa "nasionalisme yang tampak regresif sepertinya masih merupakan sekutu alami dari beberapa elemen sentral" dari Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Akibat dari asosiasi ini, Shinto masih dipandang curiga oleh berbagai kelompok [[kebebasan sipil]] di Jepang dan banyak negara tetangga Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=ix}}
[[File:Yasukuni Shrine 2012.JPG|thumb|right|Tindakan para pendeta di Kuil Yasukuni di Tokyo telah menimbulkan kontroversi di seluruh Asia Timur]]
Pendeta Shinto mungkin menghadapi berbagai teka-teki etika. Pada tahun 1980-an, misalnya, para pendeta di [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] di [[Nagasaki]] berdebat mengenai pengundangan awak kapal Angkatan Laut AS yang berlabuh di kota pelabuhan pada perayaan festival mereka mengingat sensitivitas mengenai [[Pemboman atom Hiroshima dan Nagasaki#Nagasaki|penggunaan bom atom oleh AS pada tahun 1945 di kota itu]].{{sfn|Nelson|1996|pp=66–67}} Dalam kasus lain, para pendeta menentang proyek konstruksi di tanah milik kuil, terkadang membuat mereka bertentangan dengan kelompok kepentingan lain.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=317|2a1=Rots|2y=2015|2p=221}} Pada awal 2000-an, seorang pendeta menentang penjualan tanah kuil untuk membangun [[pembangkit listrik tenaga nuklir]] di [[Kaminoseki, Yamaguchi|Kaminoseki]]; ia akhirnya ditekan untuk mengundurkan diri karena masalah ini.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Persoalan lain yang cukup diperdebatkan adalah aktivitas [[Kuil Yasukuni]] di Tokyo. Kuil ini dikhususkan untuk para korban perang Jepang, dan pada tahun 1979 kuil tersebut mengabadikan 14 orang, termasuk [[Hideki Tojo]], yang dinyatakan sebagai terdakwa Kelas-A pada [[Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh|Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo]] pada tahun 1946. Hal ini menimbulkan kecaman baik domestik maupun internasional, terutama dari Tiongkok dan Korea.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=2000|1p=12|2a1=Littleton|2y=2002|2p=99|3a1=Picken|3y=2011|3pp=18–19}}
Pada abad ke-21, Shinto semakin digambarkan sebagai spiritualitas yang berpusat pada alam dengan kredensial [[environmentalism|environmentalis]].{{sfn|Rots|2015|pp=205, 207}} Kuil Shinto semakin menekankan pelestarian hutan yang mengelilingi banyak kuil,{{sfn|Rots|2015|p=209}} dan beberapa kuil telah bekerja sama dengan kampanye lingkungan lokal.{{sfn|Rots|2015|p=223}} Pada tahun 2014, sebuah konferensi antaragama internasional tentang kelestarian lingkungan diadakan di kuil Ise, dihadiri oleh perwakilan [[PBB]] dan sekitar 700 pendeta Shinto.{{sfn|Rots|2015|pp=205–206}} Para komentator kritis mencirikan presentasi Shinto sebagai gerakan lingkungan sebagai taktik retoris daripada upaya bersama oleh lembaga-lembaga Shinto untuk menjadi ramah lingkungan.{{sfn|Rots|2015|p=208}} Cendekiawan Aike P. Rots menyarankan bahwa reposisi Shinto sebagai "agama alam" mungkin telah tumbuh dalam popularitas sebagai sarana untuk memisahkan agama dari isu-isu kontroversial "terkait dengan ingatan perang dan patronase kekaisaran."{{sfn|Rots|2015|p=210}}
== Praktik ==
Shinto cenderung berfokus pada perilaku ritual daripada doktrin.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=214|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=10}} Filsuf James W. Boyd dan Ron G. Williams menyatakan bahwa Shinto adalah "tradisi ritual yang pertama dan terkemuka",{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=33}} sementara Picken mengamati bahwa "Shinto tidak tertarik pada ''kepercayaan'' tetapi pada ''agenda'', bukan pada sesuatu yang harus dipercayai tetapi pada sesuatu yang harus dilakukan."{{sfn|Picken|1994|p=xxxii}} Sarjana agama Clark B. Offner menyatakan bahwa fokus Shinto adalah pada "mempertahankan tradisi seremonial komunal untuk tujuan kesejahteraan manusia (komunal)".{{sfn|Offner|1979|p=198}}
=== Kuil ===
Baris 107 ⟶ 145:
[[File:Fushimi Inari - Main gate.jpg|thumb|right|Gerbang utama ke [[Fushimi Inari-taisha]] di Kyoto, salah satu kuil tertua di Jepang]]
Ruang publik di mana ''kami'' disembah sering dikenal dengan istilah ''[[Kuil Shinto|jinja]]'' ("tempat ''kami''");{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xviii|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} istilah ini berlaku untuk lokasi dan bukan untuk bangunan tertentu.{{sfn|Picken|2011|p=21}} ''Jinja'' biasanya diterjemahkan sebagai "kuil",{{sfn|Earhart|2004|p=36}} sebuah istilah yang sekarang lebih umum digunakan untuk struktur Buddhis Jepang.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=1}} Terdapat sekitar 100.000 kuil umum di Jepang;{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} sekitar 80.000 kuil berafiliasi dengan Asosiasi Kuil Shinto,{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxxi|2a1=Picken|2y=2011|2p=29|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=5|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=8}} dengan 20.000 kuil lainnya tidak terafiliasi.{{sfn|Picken|2011|p=29}} Kuil-kuil tersebut ditemukan di seluruh negeri, dari daerah pedesaan yang terisolasi hingga daerah metropolitan yang padat.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=7}} Istilah yang lebih spesifik terkadang digunakan untuk kuil tertentu tergantung pada fungsinya; beberapa kuil agung dengan asosiasi kekaisaran disebut ''jingū'',{{sfn|Bocking|1997|pp=71, 72}} kuil yang diabdikan untuk kematian perang disebut ''shokonsha'',{{sfn|Bocking|1997|p=182}} dan kuil yang terkait dengan pegunungan yang dianggap dihuni oleh ''kami'' disebut ''yama-miya''.{{sfn|Bocking|1997|p=220}}
Jinja biasanya terdiri dari kompleks beberapa bangunan,{{sfn|Littleton|2002|p=68}} dengan gaya arsitektur kuil yang sebagian besar dikembangkan pada [[zaman Heian]].{{sfn|Nelson|1996|p=93}} Tempat perlindungan bagian dalam yang ditinggal kami adalah ''[[honden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Di dalam honden mungkin tersimpan benda-benda milik kami; yang dikenal sebagai ''shinpo'', dapat mencakup karya seni, pakaian, senjata, alat musik, lonceng, dan cermin.{{sfn|Bocking|1997|p=170}} Biasanya, para pemuja melakukan aktivitas mereka di luar honden.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Di dekat honden terkadang dapat ditemukan kuil tambahan, ''bekkū'', untuk kami lainnya; kami yang menghuni kuil ini tidak selalu dianggap lebih rendah dari yang ada di honden.{{sfn|Bocking|1997|p=9}} Di beberapa tempat, aula ibadah didirikan, yang disebut ''[[Haiden (Shinto)|haiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=42|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Pada tingkat yang lebih rendah dapat ditemukan aula persembahan, yang dikenal sebagai ''[[Heiden (Shinto)|heiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=49|3a1=Picken|3y=2011|3p=43}} Bersamaan dengan itu, gedung yang menampung honden, haiden, dan heiden disebut sebagai ''hongū''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Pada beberapa kuil, terdapat bangunan terpisah untuk mengadakan upacara tambahan, seperti pernikahan, yang dikenal sebagai ''gishikiden'',{{sfn|Bocking|1997|p=34}} atau bangunan khusus tempat tarian ''kagura'' ditampilkan, yang dikenal sebagai ''kagura-den''.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Secara kolektif, bangunan pusat kuil dikenal sebagai ''shaden'',{{sfn|Bocking|1997|p=160}} sementara kawasannya dikenal sebagai ''keidaichi''{{sfn|Bocking|1997|p=94}} atau ''shin'en''.{{sfn|Bocking|1997|p=166}} Kawasan ini dikelilingi oleh pagar ''tamagaki'',{{sfn|Bocking|1997|p=197}} dengan masuk melalui gerbang ''shinmon'', yang dapat ditutup pada malam hari.{{sfn|Bocking|1997|p=169}}
[[File:Hushimi-inari-taisha otsuka3.jpg|thumb|left|Gambaran dari torii di kuil Fushimi Inari-taisha di Kyoto]]
Pintu masuk kuil ditandai oleh gerbang dua tiang dengan satu atau dua palang di atasnya, yang dikenal sebagai ''[[torii]]''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=207|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Detail yang tepat dari torii ini bervariasi dan setidaknya terdapat dua puluh gaya yang berbeda.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=207|2a1=Picken|2y=2011|2p=43}} Pintu masuk ini dianggap sebagai pembatas area tempat kami berada;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} melewatinya sering dipandang sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Secara luas, torii adalah simbol Jepang yang diakui secara internasional.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Bentuk arsitekturnya khas Jepang, meskipun keputusan untuk mengecatnya dengan warna [[merah merona]] mencerminkan pengaruh Tiongkok yang berasal dari [[zaman Nara]].{{sfn|Picken|2011|p=20}} Terdapat pula ''[[komainu]]'' yang terletak di pintu masuk banyak kuil, yang merupakan patung hewan seperti singa atau anjing yang dianggap menakuti roh jahat;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=104}} biasanya patung tersebut diletakkan berpasangan, salah satunya bermulut terbuka, dan yang lain bermulut tertutup.{{sfn|Bocking|1997|p=104}}
Kuil biasanya terletak di dalam taman{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=12}} atau hutan rimba yang disebut ''chinju no mori'' ("hutan penjaga kami"),{{sfn|Rots|2015|p=211}} yang ukurannya bervariasi dari hanya beberapa pohon hingga area hutan yang cukup besar.{{sfn|Rots|2015|p=219}} Lentera besar, yang dikenal sebagai ''[[tōrō]]'', sering ditemukan di dalam kawasan ini.{{sfn|Bocking|1997|p=208}} Kuil biasanya memiliki kantor, yang dikenal sebagai ''shamusho'',{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=71|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72}} sebuah ''saikan'' tempat para pendeta menjalani bentuk pantang dan penyucian sebelum melakukan ritual,{{sfn|Bocking|1997|p=148}} dan bangunan lain seperti tempat tinggal pendeta dan gudang.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Berbagai kios sering menjual jimat kepada pengunjung.{{sfn|Bocking|1997|pp=72–73}} Sejak akhir tahun 1940-an, kuil-kuil harus mandiri secara finansial, bergantung pada sumbangan para penyembah dan pengunjung. Dana ini digunakan untuk membayar upah para pendeta, membiayai pemeliharaan bangunan, menutupi biaya keanggotaan kuil dari berbagai kelompok Shinto regional dan nasional, dan berkontribusi pada dana bantuan bencana.{{sfn|Nelson|1996|p=77}}
Dalam Shinto, dianggap penting bahwa tempat-tempat kami dimuliakan dijaga kebersihannya dan tidak diabaikan.{{sfn|Picken|2011|p=23}} Selama zaman Edo, kuil Kami biasanya dihancurkan dan dibangun kembali di lokasi terdekat untuk menghilangkan kotoran dan memastikan kemurnian.{{sfn|Nelson|1996|p=92}} Hal ini terus berlanjut hingga saat ini di beberapa tempat tertentu, seperti Kuil Agung Ise, yang dipindahkan ke lokasi yang berdekatan setiap dua dekade.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=93|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163|3a1=Nelson|3y=2000|3p=4|4a1=Hardacre|4y=2017|4pp=79-80}} Kuil terpisah juga dapat digabungkan dalam proses yang dikenal sebagai ''jinja gappei'',{{sfn|Bocking|1997|p=73}} sedangkan tindakan memindahkan kami dari satu bangunan ke bangunan lain disebut ''sengu''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Kuil mungkin memiliki legenda mengenai fondasinya, yang dikenal sebagai ''en-gi''. Legenda tersebut terkadang juga mencatat keajaiban yang terkait dengan kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Sejak periode Heian, ''en-gi'' sering diceritakan kembali pada gulungan gambar yang dikenal sebagai ''[[emakimono]]''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=26|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}}
==== Kependetaan dan ''miko'' ====
[[File:Miwa-shrine Yutateshinji A.JPG|thumb|right|Upacara {{lang|ja-Latn|Yutateshinji}} yang diselenggarakan oleh pendeta Shinto di [[Ōmiwa jinja|Kuil Miwa]] di [[Sakurai, Nara]]]]
Kuil-kuil dapat dirawat oleh para pendeta, komunitas lokal, atau keluarga yang memiliki properti kuil tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Pendeta Shinto dikenal dalam bahasa Jepang sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}'', yang berarti "pemilik ''{{lang|ja-Latn|kami}}''",{{sfn|Bocking|1997|p=88}} atau secara alternatif sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinshoku}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|shinkan}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=168, 171}} Banyak kannushi mengambil peran dalam garis suksesi turun-temurun yang dapat ditelusuri dari keluarga tertentu.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=325|2a1=Nelson|2y=1996|2p=29}} Dalam Jepang kontemporer, terdapat dua universitas pelatihan utama bagi mereka yang ingin menjadi ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'', [[Universitas Kokugakuin]] di Tokyo dan [[Universitas Kogakkan]] di [[Prefektur Mie]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=29|2a1=Bocking|2y=1997|2pp=99, 102}} Para pendeta dapat naik pangkat selama karier mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=42}} Jumlah pendeta di kuil tertentu dapat bervariasi; beberapa kuil dapat memiliki puluhan pendeta, dan yang lainnya tidak memilikinya, melainkan dikelola oleh sukarelawan awam setempat.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=73|2a1=Picken|2y=2011|2pp=31–32}} Beberapa pendeta mengelola beberapa kuil kecil, terkadang lebih dari sepuluh.{{sfn|Picken|2011|p=32}}
Pakaian pendeta sebagian besar didasarkan pada pakaian yang dikenakan di istana kekaisaran selama zaman Heian.{{sfn|Nelson|2000|p=15}} Pakaian tersebut termasuk topi bulat tinggi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|eboshi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=25}} dan bakiak kayu berpernis hitam yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|asagutsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} Pakaian luar yang dikenakan oleh seorang pendeta, biasanya berwarna hitam, merah, atau biru muda, adalah ''{{lang|ja-Latn|hō}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=53}} atau ''{{lang|ja-Latn|ikan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=58}} Versi sutra putih dari ''{{lang|ja-Latn|ikan}}'', digunakan untuk acara-acara resmi, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saifuku}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=58, 146}} Jubah pendeta lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|kariginu}}'', yang mencontoh pakaian berburu gaya Heian.{{sfn|Bocking|1997|pp=89–90}} Benda lain dari pakaian pendeta standar adalah kipas ''{{lang|ja-Latn|hiōgi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=51}} sedangkan selama ritual, pendeta membawa sepotong kayu datar yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[Shaku (tongkat ritual)|shaku]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=162}} Pakaian ini umumnya lebih berornamen daripada pakaian suram yang dikenakan oleh biksu Buddha Jepang.{{sfn|Nelson|2000|p=15}}
[[File:Kamogawa ceremony 02.jpg|thumb|left|Miko melakukan upacara Shinto di dekat [[Sungai Kamo]]]]
Kepala pendeta di kuil adalah {{lang|ja-Latn|gūji}}.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=212|2a1=Nelson|2y=1996|2p=186|3a1=Bocking|3y=1997|3p=39|4a1=Boyd|4a2=Williams|4y=2005|4p=33}} Kuil yang lebih besar mungkin juga memiliki asisten kepala pendeta, ''{{lang|ja-Latn|gon-gūji}}''.{{sfn|Offner|1979|p=212}} Seperti halnya guru, instruktur, dan pendeta Buddha, pendeta Shinto sering disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[sensei]]}}'' oleh praktisi awam.{{sfn|Nelson|1996|p=179}} Secara historis, terdapat pendeta perempuan meskipun sebagian besar dipaksa keluar dari posisinya pada tahun 1868.{{sfn|Nelson|1996|p=123}} Selama Perang Dunia II, wanita kembali diizinkan menjadi pendeta untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh sejumlah besar pria yang terdaftar di militer.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 90% pendeta adalah laki-laki, 10% pendeta adalah perempuan.{{sfn|Littleton|2002|p=98}} Pendeta bebas untuk menikah dan memiliki anak.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada kuil-kuil yang lebih kecil, para pendeta sering memiliki pekerjaan penuh waktu lainnya, dan hanya melayani sebagai pendeta selama acara-acara khusus.{{sfn|Offner|1979|p=212}}
Sebelum perayaan-perayaan besar tertentu, para pendeta dapat menjalani masa pantang dari hubungan seksual.{{sfn|Nelson|1996|p=43}} Beberapa dari mereka yang terlibat dalam festival juga berpantang dari berbagai hal, seperti minum teh, kopi, atau alkohol, sesaat sebelum acara.{{sfn|Nelson|1996|p=141}}
Para pendeta dibantu oleh ''{{lang|ja-Latn|jinja miko}}'', terkadang disebut sebagai "gadis kuil".{{sfn|Bocking|1997|p=121}} ''{{lang|ja-Latn|[[miko]]}}'' tersebut biasanya belum menikah,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=47|2a1=Bocking|2y=1997|2p=121}} meski belum tentu perawan.{{sfn|Nelson|1996|p=47}} Dalam banyak kasus, mereka adalah putri seorang pendeta atau praktisi.{{sfn|Bocking|1997|p=121}} Mereka berada di bawah para pendeta dalam hierarki kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=124–125}} Mereka berperan penting dalam tarian ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|otome-mai}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} ''{{lang|ja-Latn|Miko}}'' hanya menerima gaji kecil tetapi mendapatkan rasa hormat dari anggota masyarakat setempat dan belajar keterampilan seperti memasak, kaligrafi, melukis, dan tata krama yang dapat bermanfaat bagi mereka ketika nanti mencari pekerjaan atau pasangan hidup.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Mereka umumnya tidak tinggal di kuil.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Kadang-kadang mereka mengisi peran lain, seperti menjadi sekretaris di kantor kuil atau juru tulis di meja informasi, atau sebagai pelayan pada pesta ''{{lang|ja-Latn|naorai}}''. Mereka juga membantu ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'' pada ritus upacara.{{sfn|Nelson|1996|p=125}}
==== Kunjungan ke kuil ====
Kunjungan ke kuil disebut ''{{lang|ja-Latn|sankei}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=152}} atau ''{{lang|ja-Latn|jinja mairi}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Beberapa orang mengunjungi kuil setiap hari, sering kali pada rute pagi ketika berangkat kerja;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} biasanya hanya memakan waktu beberapa menit.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Biasanya, seorang penyembah akan mendekati honden, menempatkan persembahan uang ke dalam sebuah kotak dan kemudian membunyikan lonceng untuk meminta perhatian ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=201–202|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Kemudian, mereka membungkuk, bertepuk tangan, dan berdiri sambil diam-diam memanjatkan doa.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=204|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Tepuk tangan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kashiwade}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hakushu}}'';{{sfn|Bocking|1997|pp=43, 90}} doa atau permohonan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kigan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=96}} Penyembahan secara individu ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hairei}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=42}} Secara luas, doa ritual kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[norito]]}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=135}} sedangkan koin yang dipersembahkan adalah ''{{lang|ja-Latn|saisen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=149}} Pada kuil, doa yang dipanjatkan secara individu tidak harus ditujukan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Seorang penyembah mungkin tidak tahu nama ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang tinggal di kuil atau banyaknya ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diyakini tinggal di sana.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=11}} Tidak seperti pada agama-agama tertentu lainnya, kuil Shinto tidak memiliki kebaktian mingguan yang diharapkan untuk dihadiri oleh para praktisi.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
[[File:魂入れに伴う山車(聖武山)の修祓、姥神大神宮の鳥居前にて(2018年8月9日撮影).jpg|thumb|left|Pendeta menyucikan area di depan kediaman ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.]]
Beberapa praktisi Shinto tidak mempersembahkan doa mereka kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' secara langsung, melainkan meminta seorang pendeta untuk mempersembahkannya atas nama mereka; doa-doa ini dikenal sebagai '''kitō''.{{sfn|Bocking|1997|p=98}} Banyak orang mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk meminta permintaan pragmatis.{{sfn|Nelson|1996|p=116}} Permintaan untuk hujan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|amagoi}}'' ("meminta hujan") ditemukan di seluruh Jepang, dengan Inari merupakan pilihan populer untuk permintaan tersebut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=3|2a1=Picken|2y=2011|2p=36}}
Doa-doa lain mencerminkan keprihatinan yang lebih kontemporer. Misalnya, orang mungkin meminta pendeta mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk menyucikan mobil mereka dengan harapan agar tidak terlibat dalam kecelakaan.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=116|2a1=Bocking|2y=1997|2p=114}} Demikian pula, perusahaan transportasi sering meminta upacara penyucian untuk bus atau pesawat baru yang akan mulai beroperasi.{{sfn|Bocking|1997|p=108}} Sebelum sebuah bangunan dibangun, biasanya seseorang atau perusahaan konstruksi mempekerjakan seorang pendeta Shinto untuk mendatangi tanah yang sedang dikembangkan dan melakukan ''{{lang|ja-Latn|jichinsai}}'', atau ritual penyucian bumi. Ini memurnikan situs dan meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk memberkatinya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=190–196|2a1=Bocking|2y=1997|2p=68}}
Orang-orang sering meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk membantu dalam mengimbangi peristiwa buruk yang mungkin memengaruhi mereka. Misalnya, dalam budaya Jepang, usia 33 tahun bagi wanita dan usia 42 tahun bagi pria dipandang sebagai sial, dan dengan demikian orang-orang dapat meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mengimbangi kemalangan yang terkait dengan usia tersebut.{{sfn|Nelson|1996|p=183}} Arah tertentu juga dapat dilihat sebagai tidak menguntungkan bagi orang-orang tertentu pada waktu tertentu dan dengan demikian orang-orang dapat mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meminta mereka untuk mengimbangi masalah ini ketika mereka harus melakukan perjalanan di salah satu arah sial itu.{{sfn|Nelson|1996|p=183}}
[[Ziarah]] telah lama menjadi penting dalam agama Jepang,{{sfn|Kitagawa|1987|pp=xvii–xviii}} dengan ziarah ke kuil Shinto yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[junrei]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Ziarah keliling, ketika individu mengunjungi serangkaian kuil dan situs suci lainnya yang merupakan bagian dari rute tetap, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|junpai}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Seseorang yang memimpin para peziarah ini, terkadang disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|sendatsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Selama berabad-abad, orang-orang juga mengunjungi kuil karena alasan budaya dan rekreasi, bukan alasan spiritual.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Banyak kuil diakui sebagai situs sejarah penting dan beberapa diklasifikasikan sebagai [[Situs Warisan Dunia]] oleh [[UNESCO]].{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Kuil-kuil seperti [[Kuil Shimogamo|Shimogamo Jinja]] dan [[Fushimi Inari Taisha]] di Kyoto, [[Kuil Meiji|Meiji Jingū]] di Tokyo, dan [[Atsuta Jingū]] di Nagoya merupakan beberapa tempat wisata paling populer di Jepang.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Banyak kuil memiliki cap stempel unik yang dapat ditambahkan ke dalam ''{{lang|ja-Latn|sutanpu bukku}}'' atau buku stempel, yang menunjukkan berbagai kuil yang dikunjungi.{{sfn|Bocking|1997|p=192}}
=== ''Harae'' dan ''hōbei'' ===
Baris 113 ⟶ 186:
Ritual Shinto dimulai dengan proses penyucian, atau ''{{lang|ja-Latn|harae}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=39|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Ritual ini menggunakan air tawar atau air asin, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|misogi}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Di kuil, ritual ini memerlukan percikan air pada wajah dan tangan, prosedur yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|temizu}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=45}} menggunakan sebuah wadah yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[temizuya]]}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=91}} Bentuk penyucian lain pada awal dari ritus Shinto yaitu dengan menggoyangkan panji atau tongkat yang dipasang kertas putih dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=39, 46|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Saat tidak digunakan, ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' biasanya disimpan dalam posisi berdiri.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Pendeta menggoyangkan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' secara horizontal di atas orang atau benda yang disucikan dalam gerakan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|sa-yu-sa}}'' ("kiri-kanan-kiri").{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Terkadang, alih-alih menggunakan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'', penyucian dilakukan dengan ''{{lang|ja-Latn|o-nusa}}'', cabang cemara yang dipasang potongan kertas.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Goyangan dari ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' sering diikuti dengan tindakan penyucian tambahan, ''{{lang|ja-Latn|shubatsu}}'', di mana pendeta memercikkan air, garam, atau air garam di atasnya yang dikumpulkan dari kotak kayu yang disebut ''{{lang|ja-Latn|'en-to-oke}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|magemono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=184}}
Tindakan penyucian terselesaikan, petisi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|norito}}'' diucapkan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Hal itu diikuti oleh penampilan ''{{lang|ja-Latn|miko}}'', yang dimulai dengan gerakan melingkar perlahan di depan altar utama.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Persembahan kemudian disajikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dengan ditaruh di atas meja.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Tindakan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hōbei}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=53}} persembahan itu sendiri dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saimotsu}}''{{sfn|Bocking|1997|p=148}} atau ''{{lang|ja-Latn|sonae-mono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Secara historis, persembahan yang diberikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meliputi makanan, kain, pedang, dan kuda.{{sfn|Cali|Dougill|2013|pp=13–14}} Pada periode kontemporer, umat awam biasanya memberikan hadiah uang kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sedangkan para pendeta umumnya menawarkan makanan, minuman, dan tangkai dari pohon {{lang|ja-Latn|[[sakaki]]}} yang sakral.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} [[Pengurbanan hewan]] tidak dianggap sebagai persembahan yang pantas, karena penumpahan darah dipandang sebagai tindakan pengotoran yang memerlukan penyucian.{{sfn|Nelson|1996|p=64}} Persembahan yang disajikan terkadang sederhana dan terkadang lebih rumit; di Kuil Agung Ise, misalnya, 100 jenis makanan disajikan sebagai persembahan.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Pilihan persembahan sering kali disesuaikan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kesempatan tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
Persembahan makanan dan minuman secara khusus disebut ''{{lang|ja-Latn|shinsen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
[[Sake]], atau arak beras, adalah persembahan yang sangat umum untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=150}} Setelah persembahan diberikan, orang-orang sering menyesap arak beras yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Meminum arak ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}'' dipandang sebagai bentuk persekutuan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=53}} Pada acara-acara penting, sebuah pesta kemudian diadakan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|naorai}}'', di dalam aula perjamuan yang terhubung dengan kompleks kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=40, 53}}
''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini menikmati musik.{{sfn|Nelson|1996|p=49}} Salah satu gaya musik yang ditampilkan di kuil adalah ''{{lang|ja-Latn|[[gagaku]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=49|2a1=Bocking|2y=1997|2p=33}} Alat musik yang digunakan antara lain tiga ''reed'' (''{{lang|ja-Latn|fue}}'', ''{{lang|ja-Latn|sho}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|hichiriki}}''), ''{{lang|ja-Latn|yamato-koto}}'', dan "tiga drum" (''{{lang|ja-Latn|taiko}}'', ''{{lang|ja-Latn|kakko}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|shōko}}'').{{sfn|Bocking|1997|p=33}} Gaya musik lain yang ditampilkan di kuil dapat memiliki fokus yang lebih terbatas. Di kuil seperti [[Kuil Ōharano]] di Kyoto, musik ''{{lang|ja-Latn|azuma-asobi}}'' ("hiburan timur") dipertunjukkan pada 8 April.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Selain itu, berbagai festival di Kyoto menggunakan gaya musik dan tarian ''{{lang|ja-Latn|[[dengaku]]}}'', yang berasal dari lagu penanaman padi.{{sfn|Bocking|1997|p=22}} Selama ritual, orang yang mengunjungi kuil diharapkan untuk duduk dengan gaya ''{{lang|ja-Latn|[[seiza]]}}'', dengan kaki diselipkan di bawah bokong.{{sfn|Nelson|1996|p=214}} Untuk menghindari kram, seseorang yang menahan posisi ini untuk waktu yang lama dapat secara berkala menggerakkan kaki dan melenturkan tumit.{{sfn|Nelson|1996|pp=214–215}}
=== Kuil keluarga ===
[[File:Kamidana.jpg|300px|right|thumb|''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' yang menampilkan ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|[[Shide (Shinto)|shide]]}}'']]
Setelah melihat popularitas yang meningkat di era Meiji,{{sfn|Bocking|1997|p=85}} banyak praktisi Shinto juga memiliki kuil keluarga, atau ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'' ("rak ''kami''"), di rumah mereka.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=200|2a1=Nelson|2y=1996|2p=184|3a1=Littleton|3y=2002|3p=73|4a1=Earhart|4y=2004|4p=11}} Kuil tersebut biasanya terdiri dari rak-rak yang ditempatkan pada posisi tinggi di ruang tamu.{{sfn|Offner|1979|pp=200–201}} ''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' juga dapat ditemukan di tempat kerja, restoran, toko, dan kapal laut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} Beberapa kuil umum menawarkan ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}''.{{sfn|Picken|2011|p=31}}
Selain ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'', banyak rumah tangga Jepang juga memiliki ''{{lang|ja-Latn|[[butsudan]]}}'', altar Buddha yang mengabadikan leluhur keluarga;{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} penghormatan leluhur tetap menjadi aspek penting dari tradisi keagamaan Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Dalam kasus yang jarang terjadi ketika orang Jepang diberi pemakaman Shinto daripada pemakaman Buddhis, kuil ''{{lang|ja-Latn|tama-ya}}'', ''{{lang|ja-Latn|mitama-ya}}'', atau ''{{lang|ja-Latn|sorei-sha}}'' dapat didirikan di rumah sebagai pengganti ''{{lang|ja-Latn|butsudan}}''. Kuil ini biasanya ditempatkan di bawah ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'' dan menyertakan simbol roh leluhur yang tinggal, misalnya cermin atau gulungan.{{sfn|Bocking|1997|p=198}}
''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' sering kali mengabadikan kami dari kuil umum terdekat serta kami pelindung yang terkait dengan penghuni rumah atau profesi mereka.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut dapat didekorasi dengan miniatur torii dan ''{{lang|ja-Latn|shimenawa}}'' serta jimat yang diperoleh dari kuil umum.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut sering mencakup wadah untuk menempatkan persembahan;{{sfn|Offner|1979|p=201}} persembahan harian beras, garam, dan air ditempatkan di sana, dengan sake dan barang-barang lainnya juga ditawarkan pada hari-hari khusus.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Littleton|2y=2002|2p=74}} Ritual domestik ini sering dilakukan di pagi hari,{{sfn|Littleton|2002|p=81}} dan sebelum melakukannya, praktisi biasanya mandi, berkumur, atau mencuci tangan sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=203}}
Shinto rumah tangga dapat memusatkan perhatian pada ''{{lang|ja-Latn|dōzoku-shin}}'', ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang dianggap sebagai leluhur ''{{lang|ja-Latn|dōzoku}}'' atau kelompok kekerabatan yang luas.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=24|2a1=Picken|2y=2011|2pp=75-76}} Kuil kecil untuk leluhur sebuah rumah tangga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|soreisha}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Kuil desa kecil yang berisi kami pelindung dari keluarga besar dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|iwai-den}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=66}} Selain kuil pemujaan dan kuil rumah tangga, Shinto juga memiliki kuil kecil di pinggir jalan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[hokora]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Ruang terbuka lain yang digunakan untuk pemujaan kami adalah ''{{lang|ja-Latn|[[iwasaka]]}}'', sebuah area yang dikelilingi oleh batu-batu keramat.{{sfn|Bocking|1997|p=65}}
=== Engimono, Ema, ramalan, dan jimat ===
[[File:Ema of Izumo
Sebuah ciri khas umum dari kuil Shinto adalah penyediaan ''{{lang|ja-Latn|[[Ema (Shinto)|ema]]}}'', plakat kayu kecil di mana praktisi akan menulis keinginan atau harapan yang ingin dikabulkan. Pesan praktisi tertulis pada salah satu sisi plakat, sedangkan sisi yang lain biasanya berupa gambar atau pola tercetak yang berhubungan dengan kuil itu sendiri.{{sfn|Bocking|1997|pp=25–26}} ''{{lang|ja-Latn|Ema}}'' disediakan di kuil Shinto dan kuil Buddha di Jepang;{{sfn|Bocking|1997|p=25}} tidak seperti kebanyakan jimat, yang diambil dari kuil, ''{{lang|ja-Latn|ema}}'' biasanya ditinggalkan di sana sebagai pesan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Mereka yang mengelola kuil kemudian akan membakar semua ''{{lang|ja-Latn|ema}}'' yang terkumpul pada tahun baru.{{sfn|Bocking|1997|p=26}}
Baris 126 ⟶ 212:
Salah satu bentuk ramalan yang populer di kuil Shinto adalah ''{{lang|ja-Latn|[[omikuji]]}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=138|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}} Ramalan tersebut berupa secarik kertas kecil yang diperoleh dari kuil (untuk sumbangan) dan kemudian dibaca untuk memperlihatkan prediksi masa depan.{{sfn|Bocking|1997|pp=137–138}} Mereka yang sering menerima prediksi buruk kemudian mengikat ''{{lang|ja-Latn|omikuji}}'' pada pohon atau bingkai terdekat yang disiapkan untuk tujuan tersebut. Tindakan ini dipandang sebagai penolakan prediksi, sebuah proses yang disebut ''{{lang|ja-Latn|sute-mikuji}}'', dan dengan demikian menghindari kemalangan yang diprediksinya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=139|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}}
[[File:Hiromine-jinja
Penggunaan [[jimat]] secara luas disetujui dan populer di Jepang.{{sfn|Earhart|2004|p=12}} Jimat tersebut mungkin terbuat dari kertas, kayu, kain, logam, atau plastik.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
Baris 137 ⟶ 223:
=== ''Kagura'' ===
[[File:Ymananashi-oka shrine Daidai Kagura A.JPG|thumb|right|Tarian tradisional ''{{lang|ja-Latn|kagura}}'' dilakukan di kuil Yamanashi-oka]]
''{{lang|ja-Latn|[[Kagura]]}}'' menggambarkan musik dan tarian yang ditunjukkan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} istilah ini mungkin berasal dari ''{{lang|ja-Latn|kami no kura}}'' ("kursi dari {{lang|ja-Latn|kami}}
Ada dua jenis yang luas dari Kagura.{{sfn|Bocking|1997|p=81}} Salah satunya adalah Kagura Kekaisaran, juga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}''. Gaya ini dikembangkan di istana kekaisaran dan masih dilakukan di [[Tiga Tempat Suci Istana|tanah kekaisaran]] setiap bulan Desember.{{sfn|Bocking|1997|pp=81–82}} Gaya ini juga dilakukan pada festival panen Kekaisaran dan di kuil-kuil besar seperti Ise, [[Kuil Kamo|Kamo]], dan [[Kuil Iwashimizu|Iwashimizu Hachiman-gū]]. Gaya ini dilakukan oleh penyanyi dan musisi menggunakan genta kayu ''{{lang|ja-Latn|[[shakubyoshi]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[hichiriki]]}}'', seruling ''{{lang|ja-Latn|kagura-bue}}'', dan sitar berdawai enam.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Jenis utama lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|sato-kagura}}'', diturunkan dari ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}'' dan ditampilkan di kuil-kuil di seluruh Jepang. Tergantung pada gayanya, tarian ini dilakukan oleh {{lang|ja-Latn|miko}} atau aktor yang mengenakan topeng untuk menggambarkan berbagai tokoh mitologis.{{sfn|Bocking|1997|pp=82, 155}} Para aktor ini diiringi oleh band ''{{lang|ja-Latn|hayashi}}'' menggunakan seruling dan drum.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Ada juga jenis kagura regional lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=82}}
Musik memainkan peran yang sangat penting dalam pertunjukan {{lang|ja-Latn|kagura}}. Mulai dari pengaturan instrumen hingga suara yang paling halus dan aransemen musik sangat penting untuk mendorong ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk turun dan menari. Lagu-lagu tersebut digunakan sebagai perangkat ajaib untuk memanggil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan sebagai doa memohon berkah. Umumnya menggunakan pola ritme lima dan tujuh, yang mungkin berkaitan dengan kepercayaan Shinto dari dua belas generasi dewa surgawi dan duniawi. Terdapat pula iringan vokal yang disebut ''{{lang|ja-Latn|kami uta}}'' ketika penabuh drum menyanyikan lagu-lagu sakral kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. sering kali iringan vokal mengalahkan tabuhan drum dan instrumen, memperkuat bahwa aspek vokal dari musik lebih untuk [[mantera]] daripada [[estetika]].<ref>[[Averbuch]], [[Irit]], ''The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura'', Ithaca, NY: East Asia Program, Cornell University, 1995, pp. 83–87.</ref>
=== Festival ===
[[File:Aoi Matsuri.jpg|thumb|right|Partisipan dalam prosesi untuk ''Aoi Matsuri'' di Kyoto]]
Festival umum biasanya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[matsuri]]}}'',{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=81|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=36|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} meskipun istilah ini memiliki arti yang beragam—"festival", "pemujaan", "perayaan", "upacara adat", atau "pemanjatan doa"—dan tidak ada terjemahan langsung ke dalam bahasa Inggris.{{sfn|Bocking|1997|p=117}} Picken memberi kesan bahwa festival itu adalah "tindakan utama pemujaan Shinto" karena Shinto adalah agama "berbasis komunitas dan keluarga".{{sfn|Picken|1994|p=xxvi}} Sebagian besar menandai tahun panen dan melibatkan persembahan yang ditujukan kepada {{lang|ja-Latn|kami}} sebagai rasa syukur.{{sfn|Bocking|1997|pp=117–118}} Menurut [[kalender lunar]] tradisional, kuil Shinto harus mengadakan perayaan festival pada {{lang|ja-Latn|hare-no-hi}} atau hari yang "cerah", hari dari bulan baru, setengah, dan purnama.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Hari-hari lain, yang dikenal sebagai {{lang|ja-Latn|ke-no-hi}}, umumnya dihindari untuk perayaan.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Namun, sejak akhir abad ke-20, banyak kuil mengadakan perayaan festival pada hari Sabtu atau Minggu terdekat dengan tanggal tersebut sehingga lebih sedikit orang yang akan bekerja dan dapat hadir.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=224|2a1=Earhart|2y=2004|2p=222}} Setiap kota atau desa sering memiliki festivalnya sendiri, yang berpusat di kuil lokal.{{sfn|Littleton|2002|p=81}} Misalnya, festival ''[[Aoi Matsuri]]'', diadakan pada tanggal 15 Mei untuk berdoa agar panen gandum berlimpah, berlangsung pada kuil-kuil di [[Kyoto]],{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=6|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} sementara ''[[Chichibu Yo-Matsuri]]'' berlangsung pada tanggal 2-3 Desember di [[Chichibu, Saitama|Chichibu]].{{sfn|Picken|2011|p=59}}
Festival musim semi disebut ''{{lang|ja-Latn|haru-matsuri}}'' dan sering kali menyertakan doa untuk panen yang baik.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival tersebut terkadang melibatkan upacara ''{{lang|ja-Latn|ta-asobi}}'', dengan menanam padi secara ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival musim panas disebut ''{{lang|ja-Latn|natsu-matsuri}}'' dan biasanya difokuskan untuk melindungi tanaman dari hama dan ancaman lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=132}} Festival musim gugur dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|aki-matsuri}}'' dan terutama berfokus pada ucapan terima kasih kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' atas beras atau panen lainnya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=2|2a1=Picken|2y=2011|2p=35}} ''{{lang|ja-Latn|[[Niiname-sai]]}}'', atau festival beras baru, diadakan di banyak kuil Shinto pada 23 November.{{sfn|Nelson|1996|p=170}} Kaisar juga mengadakan upacara untuk menandai festival ini, dengan mempersembahkan buah pertama dari panen kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' pada tengah malam.{{sfn|Offner|1979|p=205}} Festival musim dingin, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|fuyu no matsuri}}'' sering kali menampilkan penyambutan di musim semi, mengusir kejahatan, dan mengundang pengaruh baik untuk masa depan.{{sfn|Bocking|1997|p=32}} Ada sedikit perbedaan antara festival musim dingin dan festival tahun baru tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=32}}
[[File:Tomioka hachimangu10.jpg|thumb|left|Prosesi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai bagian dari festival [[Fukagawa Matsuri]] di Tokyo]]
[[Tahun Baru Jepang|Tahun baru]] disebut ''{{lang|ja-Latn|shogatsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=182|2a1=Littleton|2y=2002|2p=80}} Pada hari terakhir dalam setahun (31 Desember), ''{{lang|ja-Latn|omisoka}}'', praktisi biasanya membersihkan kuil rumah tangga mereka untuk persiapan Tahun Baru (1 Januari), ''{{lang|ja-Latn|ganjitsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=139}} Banyak orang mengunjungi kuil umum untuk merayakan tahun baru;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=199|3a1=Littleton|3y=2002|3p=80|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=3}} "kunjungan pertama" pada tahun itu dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hatsumōde}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hatsumairi}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=47|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3}} Di sana, mereka membeli jimat dan talisman untuk memberikan keberuntungan di tahun mendatang.{{sfn|Nelson|1996|p=208}} Untuk merayakan festival ini, banyak orang Jepang memasang tali yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' di rumah dan tempat usaha mereka.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163}} Beberapa juga memasang ''{{lang|ja-Latn|[[kadomatsu]]}}'' ("pinus gerbang"), yang tersusun dari ranting pinus, pohon plum, dan batang bambu.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} Terdapat pula ''{{lang|ja-Latn|kazari}}'', yang lebih kecil dan lebih berwarna; tujuannya adalah untuk menjauhkan kemalangan dan menarik keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Di banyak tempat, perayaan tahun baru menggabungkan ''{{lang|ja-Latn|[[hadaka matsuri]]}}'' ("festival telanjang") dengan pria yang hanya mengenakan kain pinggang {{lang|ja-Latn|[[fundoshi]]}} terlibat dalam aktivitas tertentu, seperti memperebutkan benda tertentu atau membenamkan diri di sungai.{{sfn|Bocking|1997|p=41}}
Aspek umum dari festival adalah prosesi atau parade yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|gyōretsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=39–40}} Parade tersebut bisa saja riuh, dengan banyak peserta mabuk;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=133}} Breen dan Teeuwen mencirikan mereka sebagai memiliki "suasana karnaval".{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}} Mereka sering dipahami memiliki efek regeneratif baik bagi peserta maupun komunitas.{{sfn|Nelson|1996|p=134}} Selama prosesi ini, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' melakukan perjalanan pada kuil yang diangkut yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[mikoshi]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=140|2a1=Bocking|2y=1997|2p=122|3a1=Littleton|3y=2002|3p=82|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=4}} Dalam berbagai kasus ''{{lang|ja-Latn|mikoshi}}'' mengalami ''{{lang|ja-Latn|hamaori}}'' ("turun ke pantai"), suatu proses dengan membawanya ke pantai dan terkadang ke laut, baik dengan kapal pengangkut atau perahu.{{sfn|Bocking|1997|p=43}} Misalnya, dalam festival Okunchi yang diadakan di kota barat daya [[Nagasaki]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] diarak ke Ohato, dengan mereka ditempatkan di sebuah kuil di sana selama beberapa hari sebelum diarak kembali ke Suwa.{{sfn|Nelson|1996|pp=152–154}} Sering kali perayaan-perayaan semacam ini sebagian besar diorganisir oleh anggota komunitas lokal daripada oleh para pendeta itu sendiri.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}}
=== Ritus peralihan ===
Pengakuan formal dari suatu peristiwa sangat penting dalam budaya Jepang.{{sfn|Nelson|1996|p=34}} Sebuah ritual umum, ''{{lang|ja-Latn|hatsumiyamairi}}'', mengharuskan kunjungan pertama seorang anak ke kuil Shinto.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=161|2a1=Bocking|2y=1997|2p=47|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=3}} Sebuah tradisi menyatakan bahwa, jika anak laki-laki maka harus dibawa ke kuil pada hari ketiga puluh dua setelah kelahiran, dan jika anak perempuan maka harus dibawa pada hari ketiga puluh tiga.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Secara historis, seorang anak biasanya dibawa ke kuil bukan oleh ibu, yang dianggap tidak suci setelah lahir, tetapi oleh kerabat perempuan lain; sejak akhir abad ke-20 sudah lebih umum bagi ibu untuk melakukannya.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Ritus penerimaan lainnya, ''{{lang|ja-Latn|saiten-sai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|seijin shiki}}'', merupakan ritual datangnya usia yang menandai transisi menuju dewasa dan terjadi ketika seorang individu berusia sekitar dua puluh tahun.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=212–213|2a1=Bocking|2y=1997|2p=156}} Upacara pernikahan sering dilakukan di kuil Shinto.{{sfn|Earhart|2004|p=15}} Pernikahan tersebut disebut ''{{lang|ja-Latn|shinzen kekkon}}'' ("pernikahan sebelum ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dan dipopulerkan pada Zaman Meiji; sebelum ini, pernikahan biasanya dilakukan di rumah.{{sfn|Bocking|1997|pp=178-179}}
Di Jepang, pemakaman cenderung berlangsung di kuil Buddha dan melibatkan kremasi,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=92|2a1=Earhart|2y=2004|2p=15}} dengan pemakaman Shinto menjadi langka.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Bocking mencatat bahwa kebanyakan orang Jepang "masih 'terlahir Shinto' namun 'meninggal secara Buddhis'."{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Dalam pemikiran Shinto, kontak dengan kematian dipandang sebagai menanamkan ketidaksucian (''{{lang|ja-Latn|kegare}}''); periode setelah persinggungan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kibuku}}'' dan dikaitkan dengan berbagai tabu.{{sfn|Bocking|1997|p=95}} Dalam kasus ketika manusia mati diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', sisa-sisa fisik jenazah tersebut tidak disimpan di kuil.{{sfn|Picken|2011|p=19}} Meskipun tidak umum, terdapat contoh pemakaman yang dilakukan melalui ritus Shinto. Contoh paling awal diketahui dari pertengahan abad ke-17; pemakaman tersebut terjadi di daerah-daerah tertentu di Jepang dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.{{sfn|Kenney|2000|p=241}}
Setelah Restorasi Meiji, pada tahun 1868 pemerintah secara khusus mengakui pemakaman Shinto bagi para pendeta Shinto.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=187|2a1=Kenney|2y=2000|2p=240}} Lima tahun kemudian, hal tersebut diperluas untuk mencakup seluruh penduduk Jepang.{{sfn|Kenney|2000|pp=240–241}} Meskipun Meiji mempromosikan pemakaman Shinto, mayoritas penduduk tetap menjalankan upacara pemakaman Buddhis.{{sfn|Kenney|2000|p=241}} Dalam beberapa dekade terakhir, pemakaman Shinto biasanya disediakan untuk pendeta Shinto dan untuk anggota sekte Shinto tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=188}} Setelah [[kremasi]], proses pemakaman normal di Jepang, abu seorang pendeta boleh dikebumikan di dekat kuil, tetapi tidak di dalam kawasannya.{{sfn|Picken|2011|p=71}}
Penghormatan leluhur tetap menjadi bagian penting dari kebiasaan agama Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Permohonan bagi jenazah, dan terutama korban perang, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shо̄kon}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Berbagai ritus merujuk hal tersebut. Misalnya, pada festival [[Bon Festival|Bon]] yang sebagian besar beragama Buddha, arwah para leluhur diyakini mengunjungi yang hidup, dan kemudian diusir dalam sebuah ritual yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shо̄rо̄ nagashi}}'', dengan memasukkan lentera ke dalam perahu kecil, sering dibuat dari kertas, dan ditempatkan di sungai untuk mengapung hingga ke hilir.{{sfn|Bocking|1997|p=183}}
=== Perantara roh dan penyembuhan ===
Baris 181 ⟶ 284:
* {{cite journal |last1=Boyd |first1=James W. |last2=Nishimura |first2=Tetsuya |year=2016 |title=Shinto Perspectives in Miyazaki's Anime Film ''Spirited Away'' |journal=Journal of Religion and Film |volume=8 |issue=33 |url=https://digitalcommons.unomaha.edu/jrf/vol8/iss3/4 |pages=1–14 |ref={{sfnref|Boyd|Nishimura|2016}}}}
* {{cite journal |last=Breen |first=John |year=2010 |title='Conventional Wisdom' and the Politics of Shinto in Postwar Japan |journal= Politics and Religion Journal |volume=4 |issue=1 |pages=68–82|doi=10.54561/prj0401068b|doi-access=free |ref={{sfnref|Breen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Breen |first1=John |last2=Teeuwen |first2=Mark |title=A New History of Shinto |url=https://archive.org/details/newhistoryofshin0000bree |location=Chichester |publisher=Wiley-Blackwell |year=2010 |isbn=978-1-4051-5515-1 |ref={{sfnref|Breen|Teeuwen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Cali |first1=Joseph |last2=Dougill |first2=John |title=Shinto Shrines: A Guide to the Sacred Sites of Japan's Ancient Religion |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |year=2013 |isbn=978-0-8248-3713-6 |ref={{sfnref|Cali|Dougill|2013}}}}
* {{cite journal |last=Doerner |first=David L. |title=Comparative Analysis of Life after Death in Folk Shinto and Christianity |year=1977 |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=4 |issue=2 |pages=151–182 |doi=10.18874/jjrs.4.2-3.1977.151-182 |doi-access=free |ref={{sfnref|Doerner|1977}}}}
* {{cite book |last=Earhart |first=H. Byron |year=2004 |title=Japanese Religion: Unity and Diversity |edition=keempat |location=Belmont, CA |publisher=Wadsworth |isbn=978-0-534-17694-5 |ref={{sfnref|Earhart|2004}}}}
* {{cite book |last=Hardacre |first=Helen |title=Shinto: A History |url=https://archive.org/details/shintohistory0000hard |location=Oxford |publisher=Oxford University Press |year=2017 |isbn=978-0-19-062171-1 |ref={{sfnref|Hardacre|2017}}}}
* {{cite journal |jstor=30233666 |title=Shinto Funerals in the Edo Period |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=27 |issue=3/4 |pages=239–271 |last=Kenney |first=Elizabeth |year=2000 |ref={{sfnref|Kenney|2000}}}}
* {{cite book |last=Kitagawa |first=Joseph M. |author-link=Joseph Kitagawa |title=On Understanding Japanese Religion |year=1987 |publisher=Princeton University Press |location=Princeton, New Jersey |isbn=978-0-691-10229-0 |url-access=registration |url=https://archive.org/details/onunderstandingj0000kita |ref={{sfnref|Kitagawa|1987}}}}
Baris 193 ⟶ 296:
* {{cite book |title=Shinto: Origins, Rituals, Festivals, Spirits, Sacred Places |publisher=Oxford University Press |location=Oxford, NY |first=C. Scott |last=Littleton| author-link=C. Scott Littleton |year=2002 |isbn=978-0-19-521886-2 |oclc=49664424 |ref={{sfnref|Littleton|2002}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=A Year in the Life of a Shinto Shrine |url=https://archive.org/details/yearinlifeofs00nels |url-access=registration |location=Seattle and London |publisher=University of Washington Press |year=1996 |isbn=978-0-295-97500-9 |ref={{sfnref|Nelson|1996}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=Enduring Identities: The Guise of Shinto in Contemporary Japan |url=https://archive.org/details/enduringidentiti0000nels |year=2000 |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |isbn=978-0-8248-2259-0 |ref={{sfnref|Nelson|2000}}}}
* {{cite book |last=Offner |first=Clark B. |title=The World's Religions |edition=keempat |year=1979 |pages=191–218 |editor=Norman Anderson |location=Leicester |publisher=Inter-Varsity Press |ref={{sfnref|Offner|1979}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Essentials of Shinto: An Analytical Guide to Principal Teachings |year=1994 |publisher=Greenwood |location=Westport and London |isbn=978-0-313-26431-3 |ref={{sfnref|Picken|1994}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Historical Dictionary of Shinto |url=https://archive.org/details/historicaldictio0000pick_e6n3 |edition=kedua |location=Lanham |publisher=Scarecrow Press |year=2011 |isbn=978-0-8108-7172-4 |ref={{sfnref|Picken|2011}}}}
* {{cite journal |last=Rots |first=Aike P. |year=2015 |title=Sacred Forests, Sacred Nation: The Shinto Environmentalist Paradigm and the Rediscovery of Chinju no Mori |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=42 |issue=2 |pages=205–233 |doi=10.18874/jjrs.42.2.2015.205-233 |doi-access=free |ref={{sfnref|Rots|2015}}}}
* {{cite book |last=Smart |first=Ninian |title=The World's Religions |url=https://archive.org/details/worldsreligions00smar_0 |url-access=registration |edition=kedua |year=1998 |location=Cambridge |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-521-63748-0 |ref={{sfnref|Smart|1998}}}}
Baris 208 ⟶ 311:
== Bacaan lanjutan ==
{{refbegin|30em}}
* {{cite book |title=The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura |url=https://archive.org/details/godscomedancings0000aver |publisher=East Asia Program, Cornell University |location=Ithaca, NY |first=Irit |last=Averbuch |year=1995 |isbn=978-1-885445-67-4 |oclc=34612865}}
* {{cite journal |title=Shamanic Dance in Japan: The Choreography of Possession in Kagura Performance |journal=Asian Folklore Studies |first=Irit |last=Averbuch |year=1998 |volume=57 |issue=2 | pages = 293–329 |doi=10.2307/1178756 |jstor=1178756 }}
* {{cite web |url=http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html |title=Shinto and the Sacred Dimension of Nature |work=Shinto.org |first=Dr. Carmen |last=Blacker |year=2003 |accessdate=2008-01-21 |archiveurl = https://web.archive.org/web/20071222193053/http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html <!-- Bot retrieved archive --> |archivedate = 2007-12-22}}
Baris 218 ⟶ 321:
* {{Cite book|title=Shinto: A History |last=Hardacare |first=Helen |isbn=978-0190621711 |year=2016 |publisher=[[Oxford University Press]]}}, 729pp; a major scholarly history; [https://nichibun.repo.nii.ac.jp/?action=repository_action_common_download&item_id=7244&item_no=1&attribute_id=18&file_no=1 online review 2019]
* {{cite book |title=Nanzan Guide to Japanese Religions |url=https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse |chapter=Shinto |first=Norman |last=Havens |editor=Paul L. Swanson & Clark Chilson, (eds.) |year=2006 |pages=[https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse/page/14 14]–37 |publisher=University of Hawaii Press |location=Honolulu|isbn=978-0-8248-3002-1 |oclc=60743247}}
* {{cite book |title=Shinto The Fountainhead of Japan |url=https://archive.org/details/shintoatfountain0000jean |publisher=Stein and Day |location=New York |year=1967 |last=Herbert |first=Jean | authorlink=Jean Herbert}}
* Inoue, Nobutaka et al. ''Shinto, a Short History'' (London: Routledge Curzon, 2003) [https://www.questia.com/library/104550913/shinto-a-short-history online]
* {{cite book |title= The Invention of Religion in Japan |publisher= University of Chicago Press |location=Chicago|first= Jason Ānanda |last= Josephson |year=2012 |isbn= 978-0226412344 |oclc= 774867768}}
|