Kesultanan Sambas: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh Ewing Kalimantan (bicara) ke revisi terakhir oleh Ariandi Lie
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(247 revisi perantara oleh 93 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikan|reason=perlu wikifisasi lebih lanjut}}
{{tambah referensi}}
'''Kesultanan Sambas''' adalah kerajaan yang terletak di [[Kabupaten Sambas]], [[Kalimantan Barat]] sekarang, tepatnya berpusat di [[Sambas, Sambas|Kota Sambas]]. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
 
{{Infobox Former Country
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan [[VOC]] yaitu pada tahun 1609 M.
| native_name = '''كسلطانن ملايو سمبس'''
| conventional_long_name = Kesultanan Sambas
| common_name = Kesultanan Sambas
| image_flag = Bendera kesultanan sambas.jpg
| image_coat = File:Lambang Kesultanan Sambas.png
| symbol_type =
| p1 = Kesultanan Brunei
| p2 =
| s1 = Indonesia
| s2 =
| flag_p1 =
| flag_p2 =
| flag_s1 = Flag of Indonesia.svg
| year_start = 1671
| year_end = sekarang
| date_start =
| date_end =
| event1 = [[Peristiwa Mandor]]
| date_event1 = 1944
| event_start = Didirikan
| event_end = Pembubaran Daerah Istimewa Kalimantan Barat
| image_map = Istana 100613-3106 sbs.jpg
| image_map_caption = Istana Alwatzikhubillah di [[Sambas]]
| capital = [[Sambas]]
| common_languages = [[Bahasa Melayu Sambas|Melayu Sambas]]
| religion = [[Islam]]
| government_type = [[Monarki]] [[Kesultanan]]
| title_leader = Sultan
| leader1 = Sultan Muhammad Shafiuddin I
| year_leader1 = 1671-1682
| leader2 = Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin
| year_leader2 = 1931-1944
| leader3 = Sultan Muda Muhammad Tarhan
| year_leader3 = 2008-Sekarang
| currency =
| footnotes =
}}
'''Kesultanan Sambas''' adalah sebuah [[Kerajaan Melayu]] [[Islam]] yang terletak di wilayah pesisir utara [[Provinsi Kalimantan Barat]] atau wilayah barat laut [[Pulau Kalimantan]] dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota [[Sambas]] sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus pemerintahan dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama "Sambas" di wilayah ini paling tidak telah berdiri dan berkembang sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab [[Negarakertagama]] karya [[Mpu Prapanca]]. Pada masa itu, rajanya bergelar "Nek". Salah satunya bernama [[Nek Riuh]]. Setelah masa Nek Riuh, sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama [[Tan Unggal]] yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini, Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas tidak mau mengangkat raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M ([[1530]]) datang rombongan besar orang-orang dari [[Pulau Jawa]] (sekitar lebih dari 500 orang) yaitu dari kalangan bangsawan Kerajaan [[Majapahit]] yang masih beragama [[Hindu]], yaitu keturunan dari raja Majapahit sebelumnya yang bernama [[Wikramawardhana]].
 
Wilayah pesisir dan tengah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang [[Suku Melayu|Melayu]] yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang [[Dayak]] pesisir di mana karena saat itu wilayah ini sedang tidak be raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan pelarian [[Majapahit]] ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan [[Majapahit]] ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah [[Sungai Sambas]] ini aman dan kondusif maka kemudian para pelarian [[Majapahit]] ini mendirikan sebuah Kerajaan bercorak [[Hindu]] yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki) di mana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan [[VOC]] yaitu pada tahun [[1609]].
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.
 
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan [[Sarawak]] ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan [[Brunei]] ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara). Anak laki-laki sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun [[1671]].
== Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Brunei Darussalam ==
 
== Sejarah ==
Sejarah tentang asal usul [[Kesultanan Sambas]] tidak bisa terlepas dari Kesultanan [[Brunei Darussalam]]. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada [[abad ke-13]], di [[Brunei|Negeri Brunei Darussalam]], bertahta seorang Raja yang bergelar [[Muhammad Shah|Sri Paduka Sultan Muhammad Shah / Awang Alak Betatar]]. Sultan Muhammad Shah ini merupakan Raja Brunei pertama yang memeluk Islam, Sultan Brunei ke-1. Setelah Baginda wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Adindanya yaitu Pateh Berbai yang kemudian bergelar '''Sultan Achmad'''. Istri (Permaisuri) dari Sultan Achmad ini adalah anak Kaisar China. Dari hasil pernikahan ini Sultan Achmad hanya dikaruniai satu-satunya anak perempuan yang bernama Putri Ratna Kesuma. Pada akhir abad ke-14 M (sekitar tahun 1398 M) datang di Kesultanan Brunei pada masa Sultan Achmad ini seorang pemuda Arab dari negeri '''Thaif''' (dekat Kota Suci Makkah) yang bernama '''Syarif Ali'''.
 
=== <ref>{{Cite book|title=Kesultanan Melayu Sambas|last=Abdool Cadeer|first=Abdool|date=1963|publisher=Gemilang Utusan|isbn=|location=Pontianak|pages=|url-status=live}}</ref> Pendirian ===
Syarif Ali ini adalah mantan '''Amir Makkah''' (semacam Sultan Makkah)yang melarikan diri dari Makkah melalui Thaif menyusul terjadinya perebutan kekuasaan Tahta Amir Makkah dengan saudara sepupunya yang kemudian membuat posisi Amir Syarif Ali ini terpojok dan terancam jiwanya sehingga kemudian ia melarikan diri ke Aden (wilayah Yaman sekarang). Dari Aden Syarif Ali terus pergi ke India Barat, dari India Barat terus ke Johor dan dari Johor lalu ke Kesultanan Brunei yaitu dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang memerintah Kesultanan Brunei. Syarif Ali ini adalah keturunan langsung dari Amir Makkah yang terkenal di Jazirah Arabia yaitu '''Syarif Abu Nu'may Al Awwal''', dimana Syarif Abu Nu'may Al Awwal ini adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yaitu '''Amirul Mukminin Hasan Ra.''' Hal ini sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang masih di temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei ketiga, adalah '''pancir (keturunan) dari Cucu Rasulullah, Amirul Mukminin Hasan Ra."
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun [[1671]], di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara [[Republik Indonesia]] adalah:
'''
Karena saat itu masyarakat negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali yang mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul Islam kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan Brunei di masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif Ali di Kesultanan Brunei semakin kuat seiring dengan kuatnya antusiasme masyarakat Brunei saat itu dalam mempelajari Islam. Posisi Syarif Ali di Kesultanan Brunei ini kemudian menjadi semakin kuat lagi yaitu setelah Sultan Achmad menjodohkan Putri satu-satunya yaitu Ratna Kesuma dengan Syarif Ali.
 
# Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad 7 M - 9 M.
Pada saat Sultan Achmad sudah semakin tua dan mulai memikirkan penggantinya dan saat itu pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar sekaligus menantu Sultan Achmad Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan istana dan masyarakat Brunei, maka kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif Ali sebagai Sultan Brunei berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul ini kemudian di setujui oleh Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh masyarakat Kesultanan Brunei saat itu sehingga kemudian diangkatlah Syarif Ali sebagai Sultan Brunei ke-3 menggantikan Sultan Achmad (Sultan Brunei ke-2) dengan gelar '''Sultan Syarif Ali.'''
# Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M.
# Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M.
# Panembahan Sambas pada abad 16 M.
# Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M.
 
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab [[Negarakertagama]] karya [[Mpu Prapanca]] pada masa [[Majapahit]]. Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa [[Hindu]]) yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah [[Sambas]] yang berhampiran dengan [[Selat Malaka]] yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya [[Kerajaan Tanjungpura]].
Setelah memerintah sekitar 7 tahun sebagai Sultan Brunei, pada tahun 1432 M Sultan Syarif Ali wafat dan kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bergelar '''Sultan Sulaiman''', Sultan Brunei ke-4. Sultan Sulaiman memerintah sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia lebih dari 100 tahun. Setelah wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar '''Sultan Bolkiah''' yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M. Pada masa Sultan Bolkiah ini Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir seluruh Pulau Borneo / Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar sebagai Sultan Brunei ke-6. '''Sultan Abdul Kahar''' kemudian digantikan oleh keponakannya (anak laki-laki dari Adindanya yang laki-laki) yang kemudian bergelar Sultan Syaiful Rijal (Sultan Brunei ke-7). Pada masa '''Sultan Syaiful Rijal''' inilah terjadinya pertempuran hebat antara Kesultanan Brunei dengan armada pasukan Spanyol yang menyerang Kesultanan Brunei, namun berhasil dihalau oleh pasuka Kesultanan Brunei saat itu. Sepeninggal Sultan Syaiful Rijal, ia kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung bergelar '''Sultan Shah Brunei''' (Sultan Brunei ke-8). Sultan Shah Brunei ini tidak lama memerintah yaitu hanya setahun, wafat yang kemudian digantikan oleh Adindanya yaitu anak laki-laki Sultan Syaiful Rijal yang kedua dan bergelar '''Sultan Muhammad Hasan''' (Sultan Brunei ke-9) yang memerintah dari tahun [[1598]] sampai [[1659]].
 
Kedatangan rombongan bangsawan [[Majapahit]] di Sambas dapat berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik bukanlah hanya karena wilayah Sambas pada waktu itu tidak be-raja (tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja Tan Unggal, tapi lebih disebabkan karena penduduk Sambas pada waktu itu mempunyai kepercayaan yang sama dengan rombongan Majapahit tersebut, yakni [[Hindu]]. Hindu sudah berkembang di [[Nusantara]] sejak berdirinya [[Kerajaan Kutai Martadipura|Kerajaan Kutai]] (era pemerintahan [[Mulawarman]]) sampai kepada [[Kerajaan Kutai Kartanegara|Kesultanan Kutai Kartanegara]]. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “[[Melayu]] atau [[Dayak]]”. Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya [[Islam]]. Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan "[[Melayu]]" dan penduduk yang masih menganut ([[Kaharingan]]) dinamakan "[[Dayak]]" (Dayak artinya "orang hulu", yakni orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari [[Gujarat]], [[Hadramaut]], dan dari [[Tiongkok]]. Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M dan kemudian digantikan oleh putranya yang sulung bergelar '''Sultan Abdul Jalilul Akbar'''(Sultan Brunei ke-10). Sultan Abdul Jalilul Akbar mempunyai saudara kandung laki-laki yang bergelar Pangeran Muda Tengah. '''Pangeran Muda Tengah''' ini dikenal sebagai pemuda yang cerdas, gagah berani dan tampan sehingga kemudian setelah Sultan Abdul Jalilul Akbar memerintah selama puluhan tahun yaitu pada sekitar tahun 1621 M, timbul isu yang berkembang di Kesultanan Brunei saat itu bahwa Pangeran Muda Tengah lebih pantas untuk menjadi Sultan Brunei dibandingkan dengan Kakandanya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang sedang memerintah saat itu. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya perebutan Tahta Kesultanan Brunei, Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar kemudian membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei masa itu yaitu Tanah Sarawak untuk diberikan kepada Adindanya yaitu Pangeran Muda Tangah agar Adindanya itu dapat menjadi Sultan di Sarawak. Usul Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar ini kemudian diterima oleh Pangeran Muda Tengah.
 
Rombongan dari [[Jawa]] ([[Majapahit]]) ini pertama kali mendarat disebuah tempat yang dinamakan Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang berada di Kecamatan Jawai, [[Kabupaten Sambas]] sekarang. Itulah sebabnya daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari [[Jawa]] ini dinamakan Jawai sampai sekarang.
Maka kemudian berhijrahlah Pangeran Muda Tengah dari Negeri Brunei beserta orang-orangnya yang terdiri dari sebagian pemuka-pemuka Kesultanan Brunei saat itu dengan membawa 1000 orang Sakai sebagai pasukan dan hulu balang. Selepas itu setelah menyiapkan segala sesuatunya maka kemudian pada tahun 1625 M berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah sebagai Sultan Sarawak yang pertama bergelar '''Sultan Ibrahim Ali Omar Shah''' dengan pusat pemerintahan di sekitar '''Kota Kuching''' sekarang ini. Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ini kemudian lebih populer dengan sebutan '''Sultan Tengah atau Raja Tengah''' yaitu mengambil dari gelar asalnya yaitu Pangeran Muda Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kesultanan Sukadana pada tahun '''1629 M'''.
 
Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan—wafat pada tahun [[1598]], maka kemudian putranya yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan [[Kesultanan Brunei]] yaitu daerah [[Sarawak]] kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun [[1629]], Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di [[Sarawak]] sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelarnya sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.
Karena prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan Tengah ini sangat baik dan unggul sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu Baginda '''Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika)''' sangat bersimpati dengan Baginda Sultan Tengah sehingga kemudian Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan '''Putri Surya Kesuma'''. Dari perkawinan ini terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama '''Sulaiman'''.Karena sebab tertentu yang menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat Malaka saat itu maka sejak menikah dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan Tengah beserta orang-orangnya memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana selama beberapa waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana hingga kemudian dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang anak yaitu Sulaiman, Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.
 
Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil ([[Kuching]] sekarang), Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke [[Kesultanan Johor]]. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di mana permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah ''Mak Muda'' dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke [[Sarawak]] sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari [[Selat Malaka]], kapal rombongan Sultan Tengah ini dihantam badai. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam, kapal Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja kedatangan utusan Amir Makkah yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke [[Kesultanan Banten]] yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
Tidak berapa lama setelah kelahiran anaknya yang ke-5 (Ratna Wati), Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah dari Kesultanan Sukadana menuju tempat kediaman baru di wilayah Sungai Sambas, sambil masih menunggu keadaan aman di wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah Sungai Sambas saat itu diperintah oleh seorang Raja yang dikenal dengan nama '''Panembahan Ratu Sapudak'''. Kerajaan Panembahan Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih hindu walaupun Ulama Islam telah pernah berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak, dengan pusat pemerintahan di tempat yang sekarang disebut dengan name Kota Lama, [[Teluk Keramat, Sambas|Kecamatan Teluk Keramat]] sekitar 36 km dari [[Sambas, Sambas|Kota Sambas]]. Baginda Sultan Tengah beserta rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan untuk tinggal di wilayah '''Panembahan Sambas''' ini.
 
Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Sultan Muhammad Shafiuddin. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana, setelah melihat kepribadian Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Sultan Tengah dengan putrinya yang bernama Putri Surya Kesuma. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di sekitar [[Selat Malaka]] menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari [[Kesultanan Johor]] dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Di Sambas inilah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya menetap yaitu ditempat yang sekarang bernama Kembayat hingga kemudian anaknya yang sulung yaitu Sulaiman beranjak dewasa. Setelah dewasa, Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga Sulaiman dianugerahi gelaran "Raden" menjadi '''Raden Sulaiman'''.
Raden Sulaiman kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas, mendirikan kerajaan baru yang bernama '''Kesultanan Sambas''' dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada '''tahun 1675 M'''. Melalui Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah yang kemudian '''menurunkan Sultan-Sultan Sambas berikutnya''' secara turun temurun hingga sekarang ini.
 
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar [[Selat Malaka]] masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
== Panembahan Ratu Sapudak ==
Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "'''Panembahan Sambas'''". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban, sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.
 
Maka kemudian pada tahun [[1638]] berangkatlah rombongan Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan '''Sultan Trenggono''' (Sultan Demak ke-3) pada sekitar '''tahun 1525 M'''. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
 
Tidak lama setelah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencana (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencana ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki takhta Panembahan Sambas, Raden Kencana ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah sebelumnya terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh kudeta rakyat dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
 
Setelah sekitar 10 tahun Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahi gelar Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Istana Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Arya Mangkurat.
Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
 
Tidak lama setelah kelahiran cucu Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke negerinya yang telah lama di tinggalkan yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun [[1652]].
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama '''Raden Kencono''' yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar '''Ratu Anom Kesumayuda'''. Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama '''Mas Ayu Anom'''.
 
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke [[Sarawak]] yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas. Namun luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Sultan Tengah pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di shalatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat di mana ia berasal bersama dengan keempat anaknya. Peristiwa yang tragik dan berdarah itu turut disaksikan oleh Engku Seri Terunjing Bakong bin Raja Berempat Pi'e. Kemangkatan Baginda Sultan Tengah menyebabkan waris Engku Seri Terunjing iaitu Pangeran Kechik Mohamad Iesa terpaksa berangkat lepas ke satu kawasan di Kuching dibawah naungan Kesultanan Sarawak. Perkara tersebut berlaku kerana Engku Seri Terunjing telah memberi amanat kepada Puteranya yang keempat itu untuk menikahi orang-orang kebanyakan di Kuching bagi menyambung darah diraja Sultan Tengah. Dipendekkan kisah, Pangeran Kechik Mohamad Iesa telah menikahi sekamar wanita dari orang kebanyakan yang ada di situ dan akhirnya dikurniakan cahaya mata berupa 2 lelaki dan 3 perempuan. Sewaktu mereka masih bayi, gelaran mereka ialah Raja Muda Sulong diikuti dengan Raja Muda Bongsu. Sehingga kehari ini darah diraja Sultan Tengah sebenarnya masih diwarisi oleh Engku Lima Beradik (gelaran). Malangnya, susur alur sejarah yang tidak dituntut menyebabkan gelaran Engku Lima Beradik tidak resmi dan digantikan dengan gelaran Shah dimana Lima Beradik Tunjang harus dinamakan Shah kesemuanya. Waris Engku Seri Terunjing sebagai Orang Kaya-Kaya Daerah diyakini masih lagi bertapak di suatu tempat di Kuching dan berkehidupan seperti orang kebanyakan.
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama '''Mas Ayu Bungsu'''. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi '''Raden Sulaiman'''. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama '''Raden Bima'''.
 
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Arya Mangkurat. Tentangan dari Raden Arya Mangkurat yang sangat fanatik [[Hindu]] ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik pwrilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar, disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan [[Islam]] di lingkungan Istana Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut [[Hindu]], sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk [[Islam]].
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan Sarawak.
 
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Arya Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya, sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat banyak. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun [[1655]], berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya, yaitu sebagian orang-orang [[Brunei]] yang ditinggalkan ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke [[Sarawak]] dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk [[Islam]].
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).
 
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman di mana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda) telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Arya Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sepeninggal Ayahandanya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernama '''Raden Aryo Mangkurat''' yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayahanda Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak. Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
 
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada sekitar tahun [[1671]] Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama '''Kyai Setia Bakti'''. Raden Sulaiman kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
 
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang diisi dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun [[1685]] Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari takhta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahandanya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.
 
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari ayahnya (Raden Sulaiman), kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan tiga buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau, dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muara Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun [[1685]] itu hingga saat ini.
== Kesultanan Sambas ==
 
=== Perkembangan ===
Setelah sempat singgah di '''Kota Bangun''' selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan nama '''Kota Bandir'''.
[[Berkas:Sambas Sultanate mosque, Indonesia.jpg|jmpl|300px|Masjid Sultan Muhammad Shafiuddin II di [[Sambas]].]]
Selama masa berdirinya Pemerintahan Kesultanan Sambas dari tahun 1671 M hingga tahun 1950 M, selama masa itu Kepala Pemerintahan Kesultanan Sambas terdiri dari 15 orang Sultan dan 2 orang Ketua Majelis Kesultanan (Plt Sultan).
 
Kesultanan Sambas selama 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan '''Kerajaan Terbesar''' di wilayah pesisir barat [[Pulau Kalimantan]] ([[Kalimantan Barat]]) hingga kemudian [[Hindia Belanda]] masuk pada awal abad ke-19 M. Pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar [[Kesultanan Pontianak]] sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai kerajaan terbesar di wilayah ini.
Selama Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota Bandir, dari hari kehari semakin banyak orang-orang dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir. Larinya penduduk Kota Lama ini karena tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu Anom Kesumayuda yaitu Raden Aryo Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan kekacauan di dalam negeri Panembahan Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari penduduk Kota Lama semakin sedikit sebaliknya penduduk Kota Bandir semakin banyak.
 
Pada sekitar awal abad ke-19 M (sekitar tahun 1805 M hingga tahun 1811 M) sering terjadi pertempuran di laut antara kapal-kapal Inggris dengan armada laut Kesultanan Sambas. Pada tahun 1812 M Hindia Inggris dibawah pimpinan T. S. Raffles mengirimkan armada dan pasukan untuk menyerang Kesultanan Sambas. Pertempuran sengit antara pasukan Inggris dan pasukan Kesultanan Sambas kemudian berlangsung disekitar percabangan Sungai Sambas (sekitar Kampung Sebatu) dan akhirnya pasukan Inggris itu dapat dikalahkan / dipukul mundur oleh pasukan Kesultanan Sambas (sebagaimana yang tercantum dalam buku sejarah tulisan Sir Graham Irwin / Sejarawan terkenal Inggris dalam bukunya yang berjudul "Borneo in Eighteen Century").
Setelah lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan rombongan besar pengikutnya sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian mencari tempat menetap baru di Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom Kesumayuda tidak sanggup mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo Mangkurat yang banyak membuat kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu Anom Kesumayuda. Untuk itu Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan kekuasaannya atas wilayah Sungai Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan mandat) kepada Raden Sulaiman untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai Sambas. Raden Sulaiman kemudian meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda atas penyerahan kekuasaan atas wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti oleh Ratu Anom Kesumayuda dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti berupa 3 buah meriam lela.
 
Dari sejak berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 dengan Sultan pertama Kesultanan Sambas yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin I hingga tahun 1818 yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-8 yaitu Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom), Kesultanan Sambas pada rentang masa itu (1671 M - 1818 M) adalah dalam kondisi berdaulat penuh yaitu pada rentang masa itu tidak ada satu pun kekuasaan asing yang menduduki atau mendirikan perwakilan pemerintahan di Kesultanan Sambas dan pada rentang masa itu Kesultanan Sambas tidak ada tunduk atau mengantarkan upeti apapun kepada pihak kekuasaan asing manapun.
Sekitar 3 tahun setelah menerima mandat ini dan setelah berembuk dengan orang-orangnya serta mempersiapkan segala sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya namun bukan berpusat di Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru muara Sungai Teberrau yang disebut dengan nama '''Lubuk Madung'''. Maka kemudian pada tahun '''1675 M''' berdirilah kerajaan baru yang bernama '''Kesultanan Sambas''' berpusat di Lubuk Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Sambas dengan gelar '''Sultan Muhammad Shafiuddin'''. Gelar ini mengikuti gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).
 
Belanda (Hindia Belanda) mulai menanamkan kekuasaannya di Kesultanan Sambas pertama kali adalah pada tahun 1818 M dan saat itu posisi Hindia Belanda di Kesultanan Sambas itu masih sebagai mitra bagi Kesultanan Sambas (belum mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas) di mana saat itu Hindia Belanda hanya sebatas menangani / mengatur Kongsi-Kongsi pertambangan emas yang ada di wilayah Kesultanan Sambas. Hindia Belanda mulai mengendalikan pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak tahun 1855 M yaitu dimasa pemerintahan Sultan Sambas ke-12 yaitu Sultam Umar Kamaluddin (Raden Tokok).
Dalam perkembangan awalnya lingkungan di pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang baru berdiri ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas yang telah masuk Islam ini sehingga kemudian adat istiadat di lingkungan Keraton Kesultanan Sambas saat itu didominasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa seperti penamaan gelar-gelar Kebangsawanan dan nama-nama keluarga Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa. Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang mana kedua suku bangsa ini telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di sekitar wilayah Sungai Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian membentuk masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.
 
'''SULTAN MUHAMMAD ALI SHAFIUDDIN I (PANGERAN ANOM) SULTAN SAMBAS KE- 8'''
Selama menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan negeri-negeri leluhurnya yaitu Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Kesultanan Sukadana adalah leluhur dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik dari Sultan Sukadana yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika) sedangkan Kesultanan Brunei adalah leluruh dari pihak Ayahandanya yaitu Sultan Tengah (anak dari Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga kemudian pada masa pemerintahan Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I ini terjalin hubungan yang sangat akrab dan baik antara Kesultanan Sambas dengan '''Kesultanan Brunei''' dan '''Kesultanan Sukadana''' disamping juga mengembangkan hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya seperti '''Kerajaan Landak''' dan '''Kesultanan Trengganu''' di '''Semenanjung Melayu'''.
 
Pangeran Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu. Pangeran Anom memulai kariernya sebagai Panglima Kesultanan Sambas ketika masih berusia relatif muda yaitu sekitar 17 tahun dimasa pemerintahan Ayahandanya yaitu Sultan Umar Aqamaddin II (Sultan Sambas ke-5)selanjutnya ketika Ayahandanya wafat dan digantikan oleh Abang Pangeran Anom yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I (Raden Mantri), Pangeran Anom menjabat sebagai Pangeran Bendahara (Wazir I / Ketua Menteri) sekaligus juga sebagai Panglima Besar Kesultanan Sambas dan Kepala Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang didirikan pada tahun 1805 M. Ketika Ayahnya (Sultan Umar Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2 pemerintahannya, maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar Aqamaddin II yang ke-2. Setelah Sultan Abubakar Tajuddin I (Abang Pangeran Anom) wafat pada tahun 1815 M, maka Pangeran Anom kemudian diangkat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-8) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I.
Setelah hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden Bima yang sudah dewasa untuk menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas berikutnya. Maka Raden Bima kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Di Kesultanan Sukadana Raden Bima kemudian menikah dengan adik dari Sultan Sukadana saat itu yaitu Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Putri Ratna Kesuma. Dari pernikahan ini Raden Bima memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mulia atau Meliau. Dari Kesultanan Sukadana Raden Bima pulang ke Kesultanan Sambas dan kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Brunei.
 
Pangeran Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I.
Di Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat mesra dari Sultan Brunei saat itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat kebesaran kerajaan diberikan Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut anugrah gelaran "'''Sultan Muhammad Tajuddin'''" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan Ayahandanya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di '''Istana Kesultanan Brunei''' pada masa itu.
 
Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas di mana kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas. Kongsi-Kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok beradasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan oleh Sultan Sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara, Lumar dan kemudian juga Pemangkat.
Sekembalinya Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I telah memerintah Kesultanan Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian pada '''tahun 1685 M''', Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar '''Sultan Muhammad Tajuddin'''. Gelaran sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh Sultan Brunei yaitu Baginda Sultan Muhyiddin.
 
Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman [[Kerajaan Sriwijaya|Sriwijaya]] sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
Sekitar satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama '''"Muare Ulakkan"''' yaitu pada sekitar tahun '''1687 M'''. Muare Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu '''Sungai Sambas''', '''Sungai Teberrau''' dan '''Sungai Subah'''.
 
Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Dari sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas secara terus menerus selama sekitar 250 tahun hingga berakhirnya Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.
 
Hal ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas di mana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
 
Tanggal [[11 Juli]] [[1831]], Sultan Usman Kamaluddin wafat, takhta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal [[5 Desember]] [[1845]] Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal [[17 Januari]] [[1848]] putera sulung dia yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke [[Jawa]] oleh [[Hindia Belanda|pemerintah Belanda]] (kembali ke [[Sambas]] tahun [[1879]]).
=== Pangeran Anom ===
Pangeran Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II. Pangeran Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut terutama bajak laut dari perairan Sulu dan pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya Inggris yang menolak untuk melakukan aktifitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktifitas dagang dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas.
 
'''SULTAN MUHAMMAD SHAFIUDDIN II (PANGERAN ADIPATI) SULTAN SAMBAS KE- 13'''
Wafatnya Sultan Umar Akamuddin I, Puteranya Raden Bungsu naik tahta dengan gelar Sultan Abubakar Kamaluddin. Kemudian diganti oleh Abubakar Tadjuddin I. Berganti pula dengan Raden Pasu yang lebih terkenal dengan nama Pangeran Anom. Setelah naik tahta beliau bergelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I. Sebagai wakilnya diangkatlah Sultan Usman Kamaluddin dan Sultan Umar Akamuddin III. Pangeran Anom dicatat sebagai tokoh yang sukar dicari tandingannya, penumpas perampok lanun. Setelah memerintah kira-kira 13 tahun (1828), Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin I wafat. Puteranya Raden Ishak (Pangeran Ratu Nata Kesuma) baru berumur 6 tahun. Karena itu roda pemerintahan diwakilkan kepada Sultan Usman Kamaluddin.
 
Pangeran Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari takhta Kesultanan Sambas (tahun [[1855]])telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II) Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di Kesultanan Sambas pada tahun [[1819]], namun saat itu Sultan Sambas masih mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik takhta Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq).
Tanggal [[11 Juli]] [[1831]], Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal [[5 Desember]] [[1845]] Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishak dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal [[17 Januari]] [[1848]] putera sulung beliau yang bernama Syafeiuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke [[Jawa]] oleh [[Hindia Belanda|pemerintah Belanda]] (kembali ke [[Sambas]] tahun [[1879]]). Maka sebagai wakil ditunjuklah Raden Toko' (Pangeran Ratu Mangkunegara) dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Pada tahun itu juga atas perintah Belanda, Pangeran Adipati diberangkatkan ke Jawa untuk studi.
 
Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun [[1861]], Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal [[16 Agustus]] [[1866]] dia diangkat menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II).Setelah Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut usia, pada tahun [[1924]] Sultan Muhammad Shafiuddin mengundurkan diri dari takhta Kesultanan Sambas. Pada masa ini kekuasaan [[Hindia Belanda]] telah semakin kuat mengendalikan pemerintahan di Sambas di mana kemudian untuk menggantikan Sultan Muhammad Shafiuddin II yang mengundurkan diri, Pemerintah [[Hindia Belanda]] kemudian mengangkat anak Sultan Muhammad Shafiuddin II yaitu Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
=== Pangeran Adipati ===
Tahun [[1861]], Pangeran Adipati pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal [[16 Agustus]] [[1866]] beliau diangkat menjadi Sultan dengan gelar Sultan Muhammad Syafeiuddin II. Beliau mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan diangkat sebagai putera Mahkota. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Muhammad Aryadiningrat. Sebelum manjabat sebagai raja, Putera Mahkota Raden Ahmad wafat mendahului ayahnya. Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Muhammad Mulia Ibrahim. Pada saat Raden Ahmad wafat, Sultan Muhammad Syafeiuddin II telah berkuasa selama 56 tahun. Beliau merasa sudah lanjut usia, maka dinobatkan Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai wakil raja dengan gelar Sultan Muhammad Ali Syafeiuddin II.
 
Setelah memerintah selama sekitar 4 tahun, pada tahun [[1926]], Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat dan kemudian sebagai penggantinya, setelah sempat terjadi polemik menentukan sultan selanjutnya sekitar 5 tahun, pada tahun [[1931]], oleh Pemerintah [[Hindia Belanda]] diangkatlah keponakan Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-14) itu yang juga adalah cucu dari Sultan Muhammad Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-13) yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim sebagai Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
=== Kedatangan Jepang ===
 
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, beliau wafat. Roda pemerintahan diserahkan kepada Sultan Muhammad Mulia Ibrahim. Dan pada masa pemerintahan raja inilah, bangsa Jepang datang ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim adalah salah seorang yang menjadi korban keganasan Jepang. Sejak saat itu berakhir pulalah kekuasaan Kerajaan Sambas. Sedangkan benda peninggalan Kerajaan Sambas antara lain tempat tidur raja, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran raja, payung ubur-ubur, tombak canggah, meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan kaca kristal dari negeri [[Belanda]].
Dari 15 Sultan Sambas, ada 2 Sultan yang diangkat tidak berdasarkan aturan-temurun, yaitu Sultan Sambas ke-14 (Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II) pada tahun [[1924]] dan Sultan Sambas ke-15 (Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin) pada tahun [[1931]] di mana sultan-sultan ini diangkat oleh Pemerintah [[Hindia Belanda]] karena pada masa itu sudah begitu kuatnya pengaruh [[Belanda]] di wilayah Borneo Barat.
 
[[Belanda]] berkuasa sejak tahun [[1930]] di wilayah [[Kalimantan Barat]] dengan nama ''Westerafdeling Borneo'' beribu kota di [[Pontianak]]. Sedangkan saat itu di Kesultanan Sambas yang menjadi Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Namun kesultanan dan kerajaan yang ada di wilayah Borneo Barat masih tetap eksis memerintah wilayah kekuasaannya masing-masing, namun untuk kebijakan-kebijakan yang bersifat penting misalnya bidang [[ekonomi]] dan luar negeri mesti mendapat persetujuan dari wakil [[Hindia Belanda]] yaitu Residen dan Asisten Residen.
 
=== Masa Pendudukan Jepang ===
{{utama|Peristiwa Mandor}}
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan [[Jepang]] masuk ke [[Sambas]]. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan [[Jepang]], yaitu bersama dengan sebagian besar raja-raja lainnya yang ada di wilayah Borneo Barat ini dibunuh pasukan [[Jepang]] di daerah Mandor.
 
Setelah jepang di bom atom oleh Sekutu, Pemerintahan Kesultanan Sambas berdiri kembali oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma Muchsin Panji Anom, hingga kemudian dengan terbentuknya [[Republik Indonesia]] Serikat, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam [[Republik Indonesia]] Serikat melalui Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1950.
 
== Batas Wilayah Kekuasaan Kesultanan Sambas ==
Batas wilayah Kesultanan Sambas pada awalnya yaitu ketika didirikan pertama kali oleh Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) adalah meliputi wilayah Sungai Sambas dan percabangannya serta wilayah Sungai Paloh dan percabangannya. Ketika pada masa Sultan Sambas ke-2 yaitu Sultan Muhammad Tajuddin I (Raden Bima) batas wilayah Kesultanan Sambas telah meluas meliputi Sungai Sambas hingga wilayah Sungai Selakau dan percabangannya. Wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas kemudian terus meluas hingga pada masa Sultan Sambas ke-4 (Sultan Abubakar Kamaluddin) wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas telah meliputi mulai dari Tanjung Datuk di utara hingga ke Sungai Duri di selatan kemudian daerah Montraduk dan Bengkayang di tenggara hingga ke daerah Seluas dan Sungkung di sebelah timur. Wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas dari masa Sultan Sambas ke-4 (Sultan Abubakar Kamaluddin) ini kemudian terus bertahan hingga berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Sambas selama sekitar 279 tahun (dengan melalui 15 orang Sultan dan 2 orang Kepala Pemerintahan) yaitu dengan bergabung ke dalam [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) pada tahun [[1950]]. Pada tahun [[1956]], bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas itu (yaitu wilayah Kesultanan Sambas sejak Sultan Sambas ke-4 hingga berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas itu) secara utuh dijadikan wilayah [[Kabupaten Sambas]] (sebagaimana tercantum dalam ''Berita Daerah Kalimantan Barat'' mengenai pembentukan Kabupaten Sambas pada tahun [[1956]]). Wilayah [[Kabupaten Sambas]] ini kemudian terus bertahan hingga kemudian pada tahun [[2000]], wilayah [[Kabupaten Sambas]] dimekarkan menjadi 3 Daerah Pemerintahan yaitu [[Kabupaten Sambas]], [[Kota Singkawang]], dan [[Kabupaten Bengkayang]] hingga sekarang ini.<ref>{{Cite web |url=http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1879.html?zoomview=1 |title=Salinan arsip |access-date=2013-11-13 |archive-date=2012-05-05 |archive-url=https://web.archive.org/web/20120505053147/http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1879.html?zoomview=1 |dead-url=yes }}</ref><ref>{{Cite web |url=http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1879.html |title=Salinan arsip |access-date=2013-11-13 |archive-date=2012-05-24 |archive-url=https://web.archive.org/web/20120524181610/http://www.indonesianhistory.info/map/borneo1879.html |dead-url=yes }}</ref>
 
== Peninggalan Kesultanan Sambas ==
Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Istana Alwatzikhubillah, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14, serta sebagian alat-alat kebesaran kerajaan seperti
tempat tidur sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri [[Tiongkok]] dan 4 buah kaca cermin besar dari Kerajaan Prancis dan 2 buah kaca cermin besar dari [[Belanda]]. Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah [[Kalimantan Barat]], baik di [[Sambas]], [[Singkawang]], dan [[Pontianak]] yang sebagiannya masih menggunakan gelar ''Raden''.
 
== Sultan-Sultan Sambas ==
Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah '''15 Sultan''' yaitudan 1 Orang Kaya-Kaya Daerah yaitu:
 
# '''Sultan Muhammad Shafiuddin I''' bin '''Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ( Sultan Tengah )''' ([[16751671]] - [[16851682]])
# '''Sultan Muhammad Tajuddin''' bin '''Sultan Muhammad Shafiuddin I''' ([[16851682]] - [[17081718]])
# '''Sultan Umar Aqamaddin I''' bin '''Sultan Muhammad Tajuddin''' ([[17081718]] - [[1732]])
# '''Sultan Abubakar Kamaluddin''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin I''' ([[1732]] - [[17641762]])
# '''Sultan Umar Aqamaddin II''' bin '''Sultan Abubakar Kamaluddin''' ([[17641762]] - [[1786]]) dan ([[1793]] - [[1802]])
# '''Sultan Achmad Tajuddin''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1786]] - [[1793]])
# '''Sultan Abubakar Tajuddin I''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1802]] - [[1815]])
# '''Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1815]] - [[1828]])<ref name="eysinga">{{nl icon}} {{cite book|pages=178|volume=3|publisher=Van Bakkenes|url=http://books.google.co.id/books?id=EvNFAAAAcAAJ&dq=Banjermasing.%20Padoeka%20Pangeran%20Mangkoe%20Boemi&hl=id&pg=PA178#v=onepage&q&f=false|first=Philippus Pieter Roorda|last=van Eysinga|title=Handboek der land- en volkenkunde, geschiedtaal-, aardrijks- en staatkunde von Nederlandsch Indie|year=1841}}</ref>
#'''Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I''' ([[1815]] - [[1828]])
# '''Sultan Usman Kamaluddin''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1828]] - [[1832]])
# '''Sultan Umar Aqamaddin III''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin II''' ([[1832]] - [[1846]])<ref name="Almanak 15">{{nl}} {{cite book|pages=67|url= https://books.google.co.id/books?id=31RVAAAAcAAJ&pg=RA1-PA66&dq=D.+L.+Baumgar%C3%B1r,+%D0%9C%D0%B8%D0%BD%D0%B5%D1%82+rcsident.+Oemar+Akamoedien,+regent.&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiKrIHRjp3gAhXMTX0KHW-FB5wQ6AEIKDAA#v=onepage&q=D.%20L.%20Baumgar%C3%B1r%2C%20%D0%9C%D0%B8%D0%BD%D0%B5%D1%82%20rcsident.%20Oemar%20Akamoedien%2C%20regent.&f=false|title=Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar|first=Landsdrukkerij (Batavia)|last=Landsdrukkerij (Batavia)|publisher=Lands Drukkery|year=1842|volume=15}}</ref><ref name="Almanak 18">{{nl}} {{cite book|pages=73|url=https://books.google.co.id/books?id=Q1VVAAAAcAAJ&pg=RA1-PA73&dq=Oemar+Akamoedien,+regent.&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwi33uzjjJ3gAhULuI8KHUDdBV8Q6AEIKjAA#v=onepage&q=Oemar%20Akamoedien%2C%20regent.&f=false|title=Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar|first=Landsdrukkerij (Batavia)|last=Landsdrukkerij (Batavia)|publisher=Lands Drukkery|year=1845|volume=18}}</ref>
#'''Sultan Umar Aqamaddin III''' ([[1832]] - [[1846]])
# '''Sultan Abu Bakar Tajuddin II''' bin '''Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I''' ([[1846]] - [[1854]])<ref>{{nl}} {{cite book|pages=198|url=http://books.google.co.id/books?id=MZYKAAAAYAAJ&dq=Ordonantie%20Gouvernementen%20Borneo&pg=PA198#v=onepage&q&f=false|title=Tijdschrift voor Nederlandsch Indië|volume=36|first=Wolter Robert|last=Hoëvell|publisher=Ter Lands-drukkerij|year=1853}}</ref>
#'''Sultan Abu Bakar Tajuddin II''' ([[1846]] - [[1854]])
# '''Sultan Umar Kamaluddin''' bin '''Sultan Umar Aqamaddin III''' ([[1854]] - [[1866]])
# '''Sultan Muhammad Shafiuddin II''' bin '''Sultan Abubakar Tajuddin II''' ([[1866]] - [[1924]])
# '''Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II''' bin '''Sultan Muhammad Shafiuddin II''' ([[1924]] - [[1926]])
# '''Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin''' bin '''Pangeran Adipati Achmad''' bin '''Sultan Muhammad Shafiuddin II''' ([[1931]] - [[1944]]) ( '''Sultan Sambas Terakhir''', Kesultanan Sambas Berakhir)
#''' Pangeran Ratu Muhammad Taufik''' bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin ([[1944]] - [[1984]]) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
#''' Pangeran Ratu Winata Kusuma''' bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik ([[2000]] - [[2008]]) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
#''' Pangeran Ratu Muhammad Tarhan''' bin Pangeran Ratu Winata Kesuma ([[2008]] hingga- sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.
# Engku Seri Terunjing Bakong bin Pangeran Raja Berempat Pi'e (Orang Kaya-Kaya Daerah)
 
Adapun urutan para Kepala
== Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di Kesultanan Sambas ==
Pemerintahan Kesultanan Sambas yang pernah memerintah di Kesultanan Sambas
*Seluruh Sultan Sambas disamping mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti '''Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II''' dan lainnya.
selama 279 Tahun masa pemerintahan Kesultanan Sambas yaitu dari sejak
*Sultan dengan sebutan penghormatan: '''Sri Paduka al-Sultan Tuanku''' (''gelar Sultan'') '''ibni al-Marhum''' (''nama dan gelar bapak''), '''Sultan dan Yang di-Pertuan Sambas''', dengan panggilan ''Yang Mulia''.
Kesultanan Sambas berdiri pada tahun 1671 M hingga berakhirnya masa
*Sultan yang mengundurkan diri dari Tahta mempunyai sebutan kehormatan '''"Yang Dipertuan Sultan"''' dan menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi Sultan misalnya : Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
pemerintahan Kesultanan Sambas dengan bergabung kepada Republik Indonesia
*Permaisuri: '''Sri Paduka Ratu''' (''gelar'').
Serikat (RIS) pada tahun 1950 M, adalah sebagai berikut:
*Putra Mahkota (Pewaris Resmi Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan '''"Pangeran Ratu"''' atau '''"Pangeran Adipati"''' namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak laki-laki sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama '''"Anak Gahara"'''.
 
*Anak Sulung Sultan dari istri bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan '''"Pangeran Muda"'''.
1. '''Sultan
*Dibawah Sultan Sambas terdapat '''4 Jabatan Wazir''' dengan sebutan kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu : Wazir I bergelar '''Pangeran Bendahara Sri Maharaja''', Wazir II bergelar '''Pangeran Paku Negara''', Wazir III bergelar '''Pangeran Tumenggung Jaya''' '''Kesuma''' dan Wazir IV bergelar '''Pangeran Laksmana'''. Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab yang sama.
Muhammad Shafiuddin I''' (Raden Sulaiman bin Sultan Tengah) Tahun: 1671
*Dibawah Wazir terdapat Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan '''"Pangeran"''' yang diantaranya bergelar '''Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja''' dan lainnya.
- 1682 M
*Dibawah Pangeran terdapat Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan '''"Pangeran"''' namun tidak mempunyai nama gelaran jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
 
*Anak-anak dari Pangeran, Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya mempunyai sebutan kehormatan '''"Raden"'''.
2. '''Sultan
*Anak-anak dari Raden mempunyai sebutan kehormatan '''"Urai"'''. "Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu pengangkatan secara resmi oleh Sultan.
Muhammad Tajuddin I''' (Raden Bima bin Sultan Muhammad Shafiuddin I
)Tahun: 1682 - 1718 M
 
3. '''Sultan
Umar Aqamaddin I''' (Raden Mulia / Meliau bin Sultan Muhammad Tajuddin I)
Tahun: 1718 - 1732 M
 
4. '''Sultan
Abubakar Kamaluddin''' (Raden Bungsu bin Sultan Umar Aqamaddin I) Tahun:
1732 M - 1762 M
 
5'''. Sultan Umar Aqamaddin II'''
(Raden Jamak bin Sultan Abubakar Kamaluddin) Tahun: 1762 - 1786 M &
1793 - 1802 M
 
6. '''Sultan
Muhammad Tajuddin II''' (Raden Ahmad / Gayong bin Sultan Umar Aqamaddin II)
Tahun: 1786 - 1793 M
 
7. '''Sultan
Abubakar Tajuddin II''' (Raden Mantri bin Sultan Umar Aqamaddin II)
Tahun: 1802 - 1815 M
 
8'''. Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin I''' (Raden Anom / Pasu bin Sultan Umar Aqamaddin II) Tahun:
1815 - 1828 M
 
9. '''Sultan
Usman Kamaluddin''' (Raden Sumba bin Sultan Umar Aqamaddin II) Tahun: 1828
- 1830 M
 
10. '''Sultan Umar Aqamaddin III''' (Raden Semar bin Sultan Umar Aqamaddin
II) Tahun: 1830 - 1846 M
 
11. '''Sultan Abubakar Tajuddin II''' (Raden Ishaq bin Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin II) Tahun: 1846 - 1855 M
 
12. '''Sultan Umar Kamaluddin''' (Raden Tokok bin Sultan Umar Aqamaddin III)
Tahun: 1855 - 1866 M
 
13. '''Sultan Muhammad Shafiuddin II''' (Raden Hafifuddin bin Sultan Abubakar
Tajuddin II) Tahun: 1866 - 1922 M
 
14. '''Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II''' (Raden Muhammad Arif bin Sultan
Muhammad Shafiuddin II) Tahun: 1922 - 1926 M
 
15. '''Pangeran Bendahara Muhammad Tayeb''' (Raden Muhammad Tayeb bin Sultan
Muhammad Shafiuddin II) Tahun: 1926 - 1931 M
 
16. '''Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin''' (Raden Muhammad Mulia Ibrahim
bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II) Tahun:
1931 – 1944
 
17. '''Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma Muchsin Panji Anom''' (Raden Muchsin
Panji Anom bin Pangeran Cakra Negara Sulaiman Panji Anom bin Pangeran Muda Nata
Kesuma Abdul Muthalib bin Sultan Abubakar Tajuddin II) Tahun: 1946 –
1950.
 
== Gelar serta Sebutan Kehormatan dan Jabatan di Kesultanan Sambas ==
* Seluruh Sultan Sambas disamping mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti '''Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II''' dan lainnya.
* Sultan dengan sebutan penghormatan: '''Sri Paduka al-Sultan Tuanku''' (''gelar Sultan'') '''ibni al-Marhum''' (''nama dan gelar bapak''), '''Sultan dan Yang di-Pertuan Sambas''', dengan panggilan ''Yang Mulia''.
* Sultan yang mengundurkan diri dari Takhta mempunyai sebutan kehormatan '''"Yang Dipertuan Sultan"''' dan menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi Sultan misalnya: Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
* Permaisuri: '''Sri Paduka Ratu''' (''gelar'').
* Putra Mahkota (Pewaris Resmi Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan '''"Sultan Muda"''' atau '''"Pangeran Ratu"''' atau '''"Pangeran Adipati"''' namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak laki-laki sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama '''"Anak Gahara"'''.
* Anak Sulung Sultan dari istri bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan '''"Pangeran Muda"'''.
* Dibawah Sultan Sambas terdapat '''4 Jabatan Wazir''' dengan sebutan kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu: Wazir I bergelar '''Pangeran Bendahara Sri Maharaja''', Wazir II bergelar '''Pangeran Paku Negara''', Wazir III bergelar '''Pangeran Tumenggung Jaya''' '''Kesuma''' dan Wazir IV bergelar '''Pangeran Laksmana'''. Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab yang sama.
* Dibawah Wazir terdapat Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan '''"Pangeran"''' yang diantaranya bergelar '''Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja''' dan lainnya.
* Dibawah Pangeran terdapat Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan '''"Pangeran"''' namun tidak mempunyai nama gelaran jadi langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
* Anak-anak dari Pangeran, Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda mahupun berketurunan Orang Kaya-Kaya Daerah semuanya mempunyai sebutan kehormatan '''"Raden"''' dan juga '''"Engku"'''.
* Anak-anak dari Raden mempunyai sebutan kehormatan '''"Urai"'''. "Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu pengangkatan secara resmi oleh Sultan,manakala anak-anak pewaris Orang Kaya-Kaya Daerah dikenali sebagai Engku.
 
 
* Para Syarif dan Sayyid Kesultanan Sambas Raden Nilawati bersuamikan Syarif Ibrahim Bin Syarif Abu Bakar Al-Qadri. Raden Nilawati Binti Sultan Abu Bakar Tajuddin II bersuamikan Syarif Ibrahim Bin Syarif Abu Bakar Al-Qadri.
 
 
* Urai Imik bersuamikan Tuan Sayyid Muhammad Alaydrus digelar Pangeran Kesuma Nata.
 
 
* Utin Timah anak Urai Dinga' bersuamikan Sayyid Ahmad Al-Hinduan digelar Pangeran Kesuma Ningrat mempunyai anak Sayyid Isa Al-Hinduan digelar Datuk Pangeran Riya.
 
* Raden Dewi Kencana Binti Pangeran Ratu Muhammad Taufiq bersuamikan Syarif Edy Al-Haddad mempunyai anak Syarif Edwin Taufiq Al-Haddad menikah dengan Wulan mempunyai anak Syarif Muhammad Ridho Al-Haddad.
 
 
* Urai Riya bersuamikan Urai Sayyid Abdullah Bin Agil digelar Pangeran Sumanata. Urai Riya' Binti Pangeran Paku Negara Binti Sultan Umar Aqamaddin II bersuamikan Pangeran Sumanata (Sayyid Abdullah Bin Agil) mempunyai anak Urai Syarif Muhammad Bin Agil.
 
 
* Urai Aminah digelar Pangeran Rafi'ah bersuamikan Sayyid Ali As-Sambasi.
 
* Raden Zainab dinikahkan dengan Tuan Sayyid Ali Al-Asyi berasal dari Aceh digelar Pangeran Suradilaga. Raden Zainab Binti Sultan Muhammad Tajuddin bersuamikan Syarif Ali Al-Asyi dari Aceh digelar Pangeran Suradilaga mempunyai anak Syarif Najmuddin As-Sambasi digelar Pangeran Adi Kesuma. Raden Lassum bersuamikan Syarif Najmuddin bin Ali Al-Asyi dari Negeri Aceh yang digelar Pangeran Adi Kesuma bin Pangeran Suradilaga.
 
== Lihat pula ==
* [[Kabupaten Sambas]]
* [[Kabupaten Bengkayang]]
* [[Kota Singkawang]]
 
== Referensi ==
*[[Kesultanan Sambas di Situs Royal Ark.]]
*[[Tarsilah Brunei,Zaman Kegemilangan dan Kemasyhuran, Pusat Sejarah Brunei, 1997 M.]]
*[[Silsilah Raja-Raja Sambas, Sri Paduka Sultan Muhammad Shafiuddin II, 1903 M.]]
*[[Silsilah Raja-Raja Brunei, Pangeran Sabtu Kamaluddin.]]
*[[Silsilah Raja-Raja Brunei, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1968 M.]]
*[[Batu Tarsilah Brunei, Bandar Sri Begawan, 1805 M.]]
*[[Silsilah Raja-Raja Sambas dan Brunei, Salinan Pusat Sejarah Brunei.]]
*[[Nisan Makam Sultan Sambas, Makam Sultan Abubakar Tajuddin II, 1897 M dan Makam Sultan Muhammad Shafiuddin II, 1928 M.]]
*[[Borneo in Nineteen Century, Graham Irwin, 1986 M.]]
*[[Pemeliharaan Sejarah dan Tamadun Borneo, Pusat Sejarah Brunei, 2007 M.]]
=== Sumber ===
{{reflist}}
<references group="1. Sultan Tengah, Sultan Sarawak pertama dan terakhir, Pusat Sejarah Brunei" />
 
=== LihatPranala pulaluar ===
* {{nl}} [http://books.google.co.id/books?id=exRJAAAAMAAJ&dq=Panembahan%20Batoe&pg=PA13#v=onepage&q=Panembahan%20Batoe&f=false Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Volume 1 Oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen,Lembaga Kebudajaan Indonesia ]
*[[Kabupaten Sambas]]
* {{en}}[http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/sambas.htm Sejarah Sambas di situs Royal Ark]
*[[Brunei]]
* {{id}}[http://www.sambas.go.id/selayang/sejarah.asp Sekilas sejarah kesultanan Sambas di situs sambas.go.id] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080221190541/http://www.sambas.go.id/selayang/sejarah.asp |date=2008-02-21 }}
*[[Kerajaan Tanjungpura]]
* {{id}}[http://history.melayuonline.com/?a=a28va0xRL1lYcXRCeDdraQ%3D%3D= Sejarah Kerajaan Sambas di MelayuOnline.com] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070927221824/http://history.melayuonline.com/?a=a28va0xRL1lYcXRCeDdraQ=== |date=2007-09-27 }}
 
=== Pranala luar ===
*{{en}}[http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/sambas.htm Sejarah Sambas di situs Royal Ark]
*{{id}}[http://www.sambas.go.id/selayang/sejarah.asp Sekilas sejarah kesultanan Sambas di situs sambas.go.id]
*{{id}}[http://history.melayuonline.com/?a=a28va0xRL1lYcXRCeDdraQ%3D%3D= Sejarah Kerajaan Sambas di MelayuOnline.com]
 
{{Kerajaan di Kalimantan}}
 
[[Kategori:Kesultanan Sambas| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Sambas]]
[[Kategori:Kerajaan di Kalimantan Barat|Sambas]]
[[Kategori:Kesultanan Sambas| ]]
[[Kategori:Sejarah Kalimantan]]
[[Kategori:Bekas negara di Borneo]]