Edi Sedyawati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
*drew (bicara | kontrib)
k hapus no. telepon
IShowMuhammad (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(36 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikan}}
{{Infobox orang}}
AKIBAT perang, masa kecil Edi Sedyawati sempat dilewatkan di kota pengungsian. Ketika Jepang masuk, 1942, bersama beberapa keluarga, ia dan adiknya yang masih bayi dibawa ibunya mengungsi dari Semarang ke Kendal, Jawa Tengah. Sementara itu, ayahnya, tokoh pergerakan, pergi ke luar kota. Setelah beberapa lama, Edi – yang belakangan dikenal sebagai penari dan arkeolog -- bertemu ayahnya yang kemudian membawanya mengungsi ke rumah kakeknya di Ponorogo, Jawa Timur.
 
'''Prof. Dr. Edi Sedyawati''' binti Imam Sudjahri ({{lahirmati|[[Ngajum]], [[Malang]]|28|10|1938||11|11|2022}}) adalah seorang [[penulis]], [[seniman]], dan [[arkeolog]] berkebangsaan [[Indonesia]]. Edi Sedyawati meninggal pada tanggal 11 November 2022 dan dimakamkan di [[Taman Pemakaman Umum Karet Bivak|Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak]].
Setelah keadaan aman, Edi diboyong keluarganya ke Magelang—ketika itu ayahnya menjadi pembantu gubernur di kota ini. Kemudian mereka pindah lagi ke Yogyakarta. Bersamaan dengan perpindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta, sang ayah—yang waktu itu bekerja di Kementerian Dalam Negeri—memboyongnya ke Jakarta. Di sini, Edi menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
 
== Masa Kecil ==
“Menari itu hobi, dan arkeologi itu studi,” kata mantan Dirjen Kebudayaan ini. Ia tertarik pada balet sesudah menontonnya di bioskop. Tapi, setelah terpukau oleh pemeran Abimanyu di sebuah pertunjukan wayang orang, Edi mempelajari tari Jawa dan bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia. Ayahnya, Imam Sudjahri—pengacara, redaktur koran Indonesia Raja sehabis perang, kemudian Sekjen Departemen Sosial RI—memang menginginkan dia belajar menari. Pada 1961, Edi sudah turut memperkuat misi kesenian Indonesia ke berbagai negara.
AKIBATAkibat perang, masa kecil Edi Sedyawati sempat dilewatkan di [[kota]] pengungsian. Ketika [[Jepang]] masuk, (tahun [[1942]]), bersama beberapa keluarga, ia dan adiknya yang masih bayi dibawa ibunya mengungsi dari [[Kota Semarang|Semarang]] ke [[Kabupaten Kendal|Kendal, Jawa Tengah]]. Sementara itu, ayahnya, tokoh pergerakan, pergi ke luar kota. Setelah beberapa lama, Edi – yangEdi–yang belakangan dikenal sebagai [[penari]] dan [[arkeolog -- bertemu]]—bertemu ayahnya yang kemudian membawanya mengungsi ke rumah kakeknya di [[Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur|Ponorogo]].
 
Setelah keadaan aman, Edi diboyong keluarganya ke Magelang—ketika[[Kota Magelang|Magelang]]—ketika itu ayahnya menjadi pembantu gubernur di kota ini. Kemudian, mereka pindah lagi ke [[Yogyakarta]]. Bersamaan dengan perpindahan ibu kota dari Yogyakarta ke [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]], sang ayah—yang waktu itu bekerja di [[Kementerian Dalam Negeri—memboyongnyaNegeri Republik Indonesia|Kementerian Dalam Negeri]]—memboyongnya ke Jakarta. Di sini, Edi menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ketertarikannya pada benda purbakala muncul waktu SMP, setelah ia diajak ayahnya jalan-jalan ke Jawa Tengah melihat candi-candi. “Saya terpukau oleh peninggalan masa lalu dan sejak saat itu saya terobsesi untuk mempelajarinya,” kata Edi. Obsesinya tercapai setelah menempuh pendidikan jurusan arkeologi Universitas Indonesia sampai meraih gelar doktor dengan predikat magna cum laude.
 
Ayahnya bernama [[Imam Sudjahri]], pernah berprofesi sebagai pengacara, redaktur Koran ''Indonesia Raja'' sehabis perang, dan bekerja sebagai sekjen [[Kementerian Sosial Republik Indonesia|Departemen Sosial]] RI. Imam memang menginginkan Edi untuk belajar menari.
Jangan heran, karena Edi memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan disertasinya, yang berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Termasuk untuk berburu arca Ganesha, dari Museum Nasional Jakarta ke berbagai pelosok di Jawa Tengah, sampai ke pusat-pusat dokumentasi dan benda purbakala di Belanda. Melalui dunia purbakala juga, ia meniti karir akademi sampai menjadi guru besar di almamaternya.
 
=== Ketertarikan pada Kesenian ===
Tari dan purbakala akhirnya dapat dipertemukannya. Tatkala membuat penelitian tentang sejarah tari Jawa dan Bali, Edi menggalinya dari data arkeologi. “Karir akademi saya juga bisa mengikuti dua jalur itu,” ujarnya. Sewaktu mendirikan Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta, ia memanfaatkan pengalamannya menyusun kurikulum di tempatnya mengajar, Fakultas Sastra UI. Dan, agar lebih memantapkan bidang kesenian, ia mengikuti kursus etnomusikologi di East-West Center, Honolulu, Hawaii, AS, 1975.
“Menari itu hobi, dan arkeologi itu studi,” kata mantan Dirjendirjen Kebudayaan ini. Ia tertarik pada balet sesudah menontonnya di bioskop., Tapi,tetapi setelah terpukau oleh pemeran Abimanyu di sebuah pertunjukan wayang orang, Edi mempelajari tari Jawa dan bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia. Ayahnya, Imam Sudjahri—pengacara, redaktur koran Indonesia Raja sehabis perang, kemudian Sekjen Departemen Sosial RI—memang menginginkan dia belajar menari. Pada 1961, Edi sudah turut memperkuat misi kesenian Indonesia ke berbagai negara.
 
Minatnya terhadap tari Jawa selain didukung oleh ayahnya juga oleh Profesor Tjan Tjoe Siem (guru besar Sastra Jawa) dan RM Kodrat Purbapangrawit (ahli Karawitan dan tari Jawa). Profesor Dr RM Soetjipto Wirjosoeparto juga mendukung minatnya untuk mempelajari sejarah tari Jawa dan menugaskannya untuk membuat skripsi sarjana muda tentang relief-relief tari [[Candi Prambanan|Candi Rara Jonggrang]], Prambanan.
Sebagai arkeolog, Edi prihatin dengan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap purbakala dan tari negerinya. “Secara umum, masyarakat masih belum mengerti tentang perlunya merawat peninggalan purbakala,” ujarnya. Sebagai penari dan pengamat tari klasik Jawa, ia tidak puas dengan perkembangan tari di Indonesia. “Kebudayaan menjurus kepada hiburan dan (budaya) populer,” kata pengagum Bung Karno dan Koentjaraningrat ini. Kalau itu dibiarkan terus, menurut Edi, kualitas bangsa Indonesia nantinya juga sekualitas hiburan saja. “Padahal, seharusnya kita menjadi bangsa yang mempunyai kemantapan pengalaman batin dan pemahaman konseptual,” ujar penerima bintang “Chevalier des Arts et Letters” dari Prancis itu.
 
Tari dan purbakala akhirnya dapat dipertemukannya. Tatkala membuat penelitian tentang sejarah tari Jawa dan Bali, Edi menggalinya dari data arkeologi. “KarirKarier akademiakademinya saya juga bisa mengikutimencakup dua jalur itu,” ujarnyatersebut. Sewaktu mendirikan Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta, ia memanfaatkan pengalamannya menyusun kurikulum di tempatnya mengajar, Fakultas Sastra UIUniversitas Indonesia. Dan, agarUntuk lebih memantapkan bidang kesenian, ia mengikuti kursus etnomusikologi di East-West Center, Honolulu, Hawaii, AS, 1975.
Kedua anaknya, yang sudah berkeluarga, tak lagi merepotkannya. Toh Edi masih sangat sibuk. Selain memeriksa tesis, skripsi, disertasi, persiapan mengajar, melaksanakan penelitian, ia sering juga diminta ikut serta dalam simposium, seminar, di dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, ia tidak punya waktu untuk melakukan hobinya memotret dan menyetir mobil. Tapi, soal memperhatikan penampilan, Edi masih meluangkan waktu. “Penampilan itu perlu, supaya enak dilihat orang lain,” tukasnya.
 
=== Ketertarikan pada Arkeologi ===
Biografi
Ketertarikannya pada benda purbakala muncul waktu SMP, setelah ia diajak ayahnya jalan-jalan ke Jawa Tengah melihat candi-candi. “SayaSaat itu, dia terpukau oleh peninggalan masa lalu. dan sejak saatSejak itu, sayadia mulai terobsesi untuk mempelajarinya,” kata Edi. Obsesinya tercapai setelah menempuh pendidikan jurusanJurusan arkeologiArkeologi Universitas Indonesia sampai meraih gelar doktor dengan predikat magna cum laude.
 
Jangan heran, karena Edi memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan disertasinya, yang berjudul “Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”. Termasuk untukDia berburu arca Ganesha, dari Museum Nasional Jakarta ke berbagai pelosok di Jawa Tengah, sampai ke pusat-pusat dokumentasi dan benda purbakala di Belanda. Melalui dunia purbakala juga, ia meniti karirkarier akademi sampai menjadi guru besar di almamaternya.
Nama : Edi Sedyawati
 
Sebagai arkeolog, Edi prihatin dengan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap purbakala dan tari negerinya. “SecaraMenurut umumdia, masyarakat masih belum mengerti tentang perlunya merawat peninggalan purbakala,” ujarnya. Sebagai penari dan pengamat tari klasik Jawa, ia tidak puas dengan perkembangan tari di Indonesia. “KebudayaanDia mengatakan, kebudayaan menjurus kepada hiburan dan (budaya) populer,” kata pengagum Bung Karno dan Koentjaraningrat ini. Kalau itu dibiarkan terus, menurut Edi,sehingga kualitas bangsa Indonesia nantinya juga sekualitas hiburan saja. “Padahal, seharusnya kita menjadi bangsa yang mempunyai kemantapan pengalaman batin dan pemahaman konseptual," ujar penerimapengagum bintangBung “ChevalierKarno desdan ArtsKoentjaraningrat et Letters” dari Prancis ituini.
Lahir : Malang, 28 Oktober 1938
 
KeduaEdi anaknya,mempunyai yangdua sudah berkeluarga, tak lagi merepotkannyaanak. TohKesibukannya Edisaat masih sangat sibuk.ini, Selainselain memeriksa tesis, skripsi, disertasi, persiapan mengajar, melaksanakan penelitian, ia sering juga diminta ikut serta dalam simposium, konferensi, seminar, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Karena itu, ia tidak punya waktu untuk melakukan hobinya, yakni memotret dan menyetir mobil. Tapi, soal memperhatikan penampilan, Edi masih meluangkan waktu. “Penampilan itu perlu, supaya enak dilihat orang lain,” tukasnya.
Agama : Islam
 
== Pendidikan :==
-* SR Kris, Jakarta (1951)
-* SMP Negeri I,1 Jakarta (1954)
-* [[SMA Negeri I,1 Jakarta]] (1957)
-* Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia (S1, 1963)
-* Fakultas Sastra Universitas Indonesia (doktor, 1985)
 
== Karier ==
Karir :
-* Pengajar [[Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia|Fakultas Sastra UI]] (1963–sekarang1963–2022)
-* Ketua Jurusan/Akademi Tari, LPKJ (1971-1977)
-* Ketua Jurusan Arkeologi UI (1971-1974)
-* Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (1971-1976)
-* Anggota Dewan Pengurus Harian DKJ (1971-1974)
-* Pembantu Dekan I Fakultas Kesenian [[Institut Kesenian Jakarta]] (IKJ; 1978-1980)
-* Pembantu Rektor I IKJ[[Institut Kesenian Jakarta]](1986-1989)
-* Ketua Jurusan Sastra Daerah, [[Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia|Fakultas Sastra UI]] (1987-1993)
-* Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya UI (1989-1993)
-* Anggota Konsorsium/Komisi Disiplin Ilmu Seni (1990-sekarang2022)
-* Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999)
-* Governor untuk Indonesia, Asia-Europe Foundation (1999-2001)
 
== Kegiatan Lain :==
-* Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jakarta (1986-1990)
-* Ketua I Masyarakat Sejarawan Indonesia (1990-1993)
-* Penasihat Masyarakat Musikologi Indonesia (kemudian berganti nama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia)
-* Ketua Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia komisariat UI (1992-1993)
-* Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1995-1999, 1999-2002)
 
== Karya :==
Dia sangat produktif dalam berkarya. Tulisannya banyak diterbitkan dalam bentuk buku, jurnal, karya ilmiah, dan artikel yang tersebar di berbagai media massa. Semasa mahasiswa, ia mengasuh majalah ''Tari'' dan lembaran tari di majalah ''Trio''. Karya-karyanya, antara lain:
* ''Pertumbuhan Seni Pertunjukan'', Seri Esni No. 4, Sinar Harapan (1980)
* ''Seni dalam Masyarakat Indonesia'' (Bunga Rampai) (1983) sebagai editor bersama Sapardi Djoko Damono
* ''Kebudayaan di Nusantara,'' dari Keris, Tor-tor, sampai Industri Budaya (2014)
* ''Budaya Indonesia,'' Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah
 
== Penghargaan :==
-* Hasil Penelitian Terbaik Universitas Indonesia bidang Humaniora (1986)
* -[[Bintang Jasa|Bintang Jasa Utama]] Republik Indonesia (1995)
* - Satyalencana[[Satyalancana Karya Satya]] 30 tahun (1977) -
* Bintang “Chevalier"Chevalier des Arts et Letters”Letters" dari Republik Prancis (1997)
* - [[Bintang Mahaputera Utama]] (1998) - Penghargaan UI sebagai peneliti senior berprestasi (2001)
 
== Referensi ==
Ayah : Imam Sudjahri Anak : dua orang
{{Reflist}}
 
{{Authority control}}
Alamat Kantor:
 
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
[[Kategori:Arkeolog Indonesia]]
[[Kategori:Seniman Indonesia]]
[[Kategori:Penulis Indonesia]]
[[Kategori:Dosen Indonesia]]
[[Kategori:Dosen Universitas Indonesia]]
[[Kategori:Profesor Indonesia]]
[[Kategori:Alumni Universitas Indonesia]]
[[Kategori:Alumni SMA Negeri 1 Jakarta]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Malang]]
[[Kategori:Tokoh Ponorogo]]
[[Kategori:Tokoh dari Kecamatan Ngajum]]
[[Kategori:Penerima Bintang Mahaputera Utama]]
[[Kategori:Penerima Bintang Jasa Utama]]
[[Kategori:Penerima Satyalancana Karya Satya]]