Tari tanggai: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Meluruskan berita berdasarkan penelitian Sartono M. Sn. dan Yuli Sudartati M. Sn.
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
k Bot: Mengganti kategori yang dialihkan Sumatra Selatan menjadi Sumatera Selatan
 
(65 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{pp-protected|reason=Penambahan isi halaman tanpa sumber|small=yes}}
Asal Usul Tari Tanggai
{{rapikan}}
{{wikify}}
{{noref}}
'''Tari Tanggai''' adalah pertunjukan tari tradisional asal [[Kota Palembang|Palembang]], [[Sumatera Selatan]]. Biasanya, Formasi gerakan Tari tanggai harus dimainkan dalam angka ganjil, dan tidak boleh lebih dari sembilan orang {{citation needed}}.
 
== Sejarah ==
Artikel ini mengutip tulisan "SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI" oleh: Vebri Al Lintani (Direktur Komunitas Budaya Batanghari Sembilan) yang tayang di berbagai media lokal online di Palembang (Salah satunya silahkan https://rri.co.id/palembang/1738-opini/1361514/sejarah-munculnya-tari-tanggai). Menurut Vebri, gerak Tari Tanggai identik dengan Tari Gending Sriwijaya (TGS) diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Hanya saja tari tanggai menggunakan iringan musik yang berjudul "Enam Saudara" (atau versi lain berjudul "Sembian Saudara). Sebelumnya, Tari Tanggai muncul saat meletusnya peritiwa berdarah G30S PKI. Ketika itu, judulnya Tari Tepak, namun ketika tampilan tari tidak menggunakan property Tepak, masyarakat menyebutnya dengan Tari Tanggai.
Menurut '''Vebri Al Lintani, Direktur Komunitas Budaya Batanghari Sembilan dalam artikel Sejarah Munculnya Tari Gending Sriwijaya (baca''' [https://beritapagi.co.id/2022/02/17/sejarah-munculnya-tari-tanggai/ https://beritapagi.co.id/2022/02/17/sejarah-munculnya-tari-] ) tari tanggai muncul saat tari Gending Sriwijaya dilarang ditampilkan setelah meletusnya pemberiontakan G 30 S PKI antara tahun 1965-1969. HAl ini karena Nungcik AR, selaku pencipta syair disinyalir sebagai anggota Lembaga Kebudayaan daerah (LEKRA) underbow PKI. Untuk memenuhi kebutuhan tari sambut di kala itu, dibuatlah Tari Persembahan yang disebut dengan tari Tepak dengan menggunakan gerakan dan pola lantai Tari Gending Sriwijaya (TGS) dan diiirngi dengan musik intrumentalia yang berjudul Enam Saudara (versi lain Sembilan Saudara). Lama-kelamaan, Tari Tepak yang juga digunakan dalam kegiatan seremonial pemerintahan dan resepsi disebut dengan Tari Tanggai.
 
Tari Tanggai tidak ada penciptanya, tapi jikapun mau ditanya siapa penciptanya, pencipta geraknya adalah penciopta gerak Tari Gending Sriwijaya. Sedangkan musiknya juga tidak diketahui siapa yang menciptakannya. Musik pengiring "Enam Saudara" yang berirama melayu ini sudah lama ada di Palembang. Tidak hanya tari Tepak atau Tari tanggai saja, Tari Tepak Keraton pun menggunakan musik pengiring "Enam Saudara. Kemudian oleh Sartono (Dosen Tari Sendratasik PGRI) Tari Tanggai disebutnya sebagai Tari 1000 versi. Agar lebih jelas tentang sejarah Tari Tanggai, Silahkan simak tulisan berikut ini,
 
Dari Tari Gending Sriwijaya ke Tari Tanggai
 
Tari Gending Sriwijaya diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Mula-mula dibuat musik oleh Dahlan Mahibat dan Nungcik AR sebagai penggubah lirik (versi lain sebagai  penyempurna). Setelah musik selesai,  Tina Haji Gung (isteri Haji Gung, pimpinan Teater Bangsawan Bintang Berlian)  dan Sukainah A. Rozak menggarap gerakan tari. TGS secara resmi digelar pertama kali pada 2 Agustus 1945 untuk menyambut dua orang pejabat Jepang, yaitu: M. Syafei selaku Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukit Tinggi), dan Djamaluddin Adinegoro selaku Anggota Dewan Harian Sumatera.
Tari Gending Sriwijaya
 
Selanjutnya, di masa Republik Indonesia, TGS menjadi tari sambut pemerintah Sumatera Selatan. Namun tiba-tiba saja,  setelah peristiwa politik Gerakan 30 September PKI tahun 1965 hingga bulan Mei 1969, Tari Gending  Sriwijaya (TGS) tidak lagi ditampilkan sebagai tari sambut. Penyebabnya adalah nama Nungcik AR, sang pembuat lirik lagu Gending Sriwijaya merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ''underbou'' PKI.
Tari Gending Sriwijaya (TGS) diciptakan secara kolektif atas instruksi pemerintah Jepang yang berkuasa pada tahun 1942-45. Mula-mula dibuat iringan musik oleh Dahlan Mahibat dan Nungcik AR sebagai penggubah lirik (versi lain sebagai penyempurna). Setelah musik selesai, Tina Haji Gung (isteri Haji Gung, pimpinan Teater Bangsawan Bintang Berlian)  dan Sukainah A. Rozak menggarap gerakan tari. TGS secara resmi digelar pertama kali pada 2 Agustus 1945 untuk menyambut dua orang pejabat Jepang, yaitu: M. Syafei selaku Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukit Tinggi), dan Djamaluddin Adinegoro selaku Anggota Dewan Harian Sumatera.    
 
Oleh karena kebutuhan pemerintah daerah akan tari sambut, maka ditampilkanlah “Tari Tepak”, sebagai alternatif. Tari Tepak tari yang menggunakan gerak dari Tari Gending Sriwijaya, dengan musik pengiring yang berjudul “6 Saudara” (versi lain lagi menyebut judul 9 Saudara). Dengan kata lain, Tari Tepak adalah TGS yang menggunakan musik berbeda. Apabila tampilan Tari Tepak tidak menggunakan “tepak” sebagai properti, maka tari sambut ini disebut Tari Tanggai.
Selanjutnya, di masa Republik Indonesia, TGS menjadi tari sambut pemerintah Sumatera Selatan. Namun tiba-tiba saja,  setelah peristiwa politik Gerakan 30 September PKI tahun 1965 hingga bulan Mei 1969, Tari Gending  Sriwijaya (TGS) tidak lagi ditampilkan sebagai tari sambut. Penyebabnya adalah nama Nungcik AR, sang pembuat lirik lagu Gending Sriwijaya merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ''underbou'' PKI.  
 
Selain itu, pada tahun 1967, seorang seniman tari,   Ana Kumari juga menggarap satu tari sambut, atas permintaan Ishak Juarsa, Panglima Kodam Sriwjaya pada waktu itu. Tari sambut ini oleh Ana Kumari   diberi judul Tari Tepak Keraton dengan lagu pengiringnya tetap lagu “Enam Saudara”. Dalam gerakan Tari Tepak Keraton memasukkan unsur silat atau pencak Palembang.
Oleh karena kebutuhan pemerintah daerah akan tari sambut, maka ditampilkanlah “Tari Tepak”, sebagai alternatif. Tari Tepak merupakan tari yang menggunakan gerak Tari Gending Sriwijaya,  dengan musik pengiring yang berjudul “6 Saudara” (versi lain lagi menyebut judul 9 Saudara). Dengan kata lain, Tari Tepak adalah TGS yang menggunakan musik berbeda. Apabila tampilan Tari Tepak tidak menggunakan “tepak” sebagai properti, maka tari sambut ini disebut Tari Tanggai.
 
Menurut Sulaiman Ma’ruf, seorang jurnalis ketika itu yang menulis artikel sejarah TGS , yang dikutip oleh Vebri Al Lintani dalam Buku Tari Gending Sriwijaya (DKP, 2012), pada bulan Mei 1969, Pemerintah Daerah Tingkat II Sumatera Selatan telah mengambil kebijakan yang baik, lagu Gending Sriwijaya kembali berkumandang untuk mengiringi TGS pada acara Pembukaan ''Jakarta Fair'', 1969, meskipun, hanya instrumentalia, atau tanpa diikuti syairnya. Selanjutnya, Menurut beberapa pandapat tokoh tari di Palembang, di masa H. Asnawi Mangku Alam menjabat Gubernur Sumatera Selatan (1968-1978), Tari Gending Sriwijaya, diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara,  seperti: Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung  lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.
Selain itu, pada tahun 1967, seorang seniman tari,   Anna Kumari juga menggarap satu tari sambut, atas permintaan Ishak Juarsa, Panglima Kodam Sriwjaya pada waktu itu. Tari sambut ini oleh Anna Kumari   diberi judul Tari Tepak Keraton dengan lagu pengiringnya tetap lagu “Enam Saudara”. Dalam gerakan Tari Tepak Keraton memasukkan unsur silat atau pencak Palembang.
 
Menurut Sulaiman Ma’ruf yang dikutip oleh Vebri Al Lintani dalam Buku Tari Gending Sriwijaya (DKP, 2012), pada bulan Mei 1969, Pemerintah Daerah Tingkat II Sumatera Selatan telah mengambil kebijakan yang baik, lagu Gending Sriwijaya kembali berkumandang untuk mengiringi TGS pada acara Pembukaan ''Jakarta Fair'', 1969, meskipun, hanya instrumentalia, atau tanpa diikuti syairnya. Selanjutnya, Menurut beberapa pandapat tokoh tari di Palembang, di masa H. Asnawi Mangku Alam menjabat Gubernur Sumatera Selatan (1968-1978), Tari Gending Sriwijaya,  diinstruksikan sebagai tari sambut bagi tamu-tamu agung yang merupakan orang nomor satu dalam negara,  seperti: Presiden, Raja, Perdana Menteri, Sultan, sedangkan tamu agung  lainnya disambut dengan Tari Tepak atau Tari Tanggai.
 
Kebijakan Gubernur Asnawi Mangku Alam ini dimaksudkan untuk menempatkan TGS agar lebih sakral dengan pakem yang mantap. Umpamanya, jumlah penari tidak boleh kurang dari 9 orang, kostum, gerakan yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, harus betul-betul menurut pedoman yang telah ditetapkan oleh para pendahulu. Sedangkan Tari Tepak atau Tari Tanggai, penarinya  boleh tidak berjumlah 9 orang, asalkan masih dalam hitungan ganjil, misalnya 7,5 atau 3 orang.
 
Saat ini tari tanggai telah mentradisi di masayarakat, tidak hanya sebagai tari sambut di kegiatan seremonial pemerintahan daerah saja, namun juga pada acara-acara oleh organisasi non pemerintah maupun acara resepsi pernikahan. Seolah-olah tari tanggai merupakan tari sambut yang penting ada sebagai pembuka  acara, meskipun bukanlah bagian dari adat yang diadatkan.
 
 
'''Menyoal Polemik Pencipta Tari Tanggai'''
Baris 27 ⟶ 29:
Dalam waktu sekitar empat tahun terakhir ini tersebar di media massa dan kalangan seniman, bahwa Elly Rudi sebagai pencipta Tari Tanggai. Hal ini tentu keliru. Sebab jika melihat proses terbentuknya, seperti yang diuraikan di atas, Tari Tanggai adalah nama lain dari Tari Tepak yang menggantikan TGS yang absen pada kurun waktu antara 1965 hingga 1969. Gerakan Tari Tepak mengambil gerakan TGS yang kemudian disebut juga dengan tari tanggai yang gerakannya pun tidak berubah. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Sekali lagi, apabila ada yang mengatakan Elly Rudi sebagai penciptanya, maka jelas tidak tepat.
 
Tahun 2006 saya bersama Yuli Sudartati dan Sartono menulis buku Tari Tanggai dengan nara sumber para tokoh tari Palembang yang bertemu dalam Kelompokkelompok Diskusidiskusi Terpumpunterpumpun (FGD)  di sekretariat  Dewan Kesenian Palembang. Para tokoh tari tersebut diantaranya adalah R.A. Tuti Zahara Akib (Penari Gending Sriwijaya tahun 1945), AnnaAna Kumari, Ailuni Husni, '''Elly Rudi,''' Lina Muchtar, H. Soleh Umar, M. Ali Ujang, Sartono (akademisi), Yuli Sudartati (akademisi) dan Tugiyo (Akademisi). Selanjutnya, tahun 2012 saya menulis buku Tari Gending Sriwijaya yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Palembang dan Tari Tepak Keraton (Balitbangnovda Prov SumselSUmsel, 2016). Ketika menulis buku Tari Gending Sriwijaya, dua nara sumber saya adalah '''Elly Rudi''' dan '''Lina Muchtar'''. Dari tiga buku yang terkait tersebut, tidak satu pun saya menyatakan bahwa Elly Rudi adalah pencipta Tari Tanggai, karena tidak ada yang mengatakan seperti itu baik dari para tokoh tari maupun dari '''Elly Rudi''' sendiri.
 
Banyak yang mengatakan bahwa Tari Tanggai adalah tari seribu versi. Namun dari beberapa diskusi dengan para penari, kami meyimpulkan, sebenarnya ada dua versi Tari Tanggai yang berkembang di masyarakat saat ini,  yaitu versi yang diteruskan oleh Lina Muchtar dan versi kreasi Eli Rudi. Pada versi Lina Muchtar adalah Tari Tanggai yang ragam geraknya sangat mirip dengan TGS, sedangkan pada versi Elly Rudi terdapat beberapa perbedaan kreasi gerak dengan TGS. Di sini perlu ditegaskan, "versi"Versi bukan berarti "pencipta".
 
Pada tanggal 17 Desember 2017, saya wawancara langsung dengan '''Elly Rudi''' di rumahnya.  Menurut Elly, setelah TGS dilarang tampil, dia menggagas dan membuat tari sambut alternatif  yang kemudian dinamakan “Tari Tanggai” pada tahun 1965. Tari Tanggai yang dibuat Elly Rudi menggunakan irama musik pengiring yang berjudul “Enam Saudara”, lagu rakyat yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Sebelumnya tari ini digunakan untuk mengiringi Tari Kipas. Gerakan tari bersumber dari gerakan TGS namun kemudian diolah dan dikreasikan.
 
Menurut Elly, karya ini diinspirasi juga oleh peristiwa adat “rasan tuo” yang terjadi di beberapa daerah dalam wilayah Sumbagsel (Batanghari Sembilan). Penari utama (primadona) yang berada di depan merupakan seorang gadis yang matang dan terbuka untuk dipinang. Tarian ini kemudian ditampilkan sebagai pengiring pengantin pada acara resepsi pernikahan atau hajatan keluarga (bukan tari sambut pemerintahan).
 
Pada tahun 1967  Elly Rudi menikah dan pindah dan beraktivitas di Jakarta. Elly Rudi kembali ke Palembang tahun 1979 dan bergabung dengan kegiatan seni di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Propinsi Sumatera Selatan. Lalu, Elly Rudi kemudian sedikit mengkreasikan gerakan dalam Tari Tanggai yang kemudian menjadi kontroversial. Gerakan yang dikembangkan ini dianggap menyalahi etika tari di Palembang, misal pada gerakan pinggul yang terkesan genit dan tangan yang terlalu diangkat.
 
SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI
Simpulan
Dikutip dari laman https://www.ketikpos.com/pariwisata-kebudayaan/95911699088/eksplorasi-mendalam-keindahan-dan-kearifan-lokal-dalam-tari-tanggai-dan-tari-lilin-siwa
Tari yang memakai tanggai merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari Palembang dan berkembang di seluruh Sumatra Selatan. Konon, menurut berita-berita yang beredar, pada abad ke-5 Masehi, tari yang memakai tanggai ini merupakan tari persembahan terhadap dewa Siwa dengan menbawa sesajian yang berisi buah dan beranekan ragam bunga, karena tari ini berfungsi sebagai tari persembahan pengantar sesajian maka tari yang memakai tanggai pada zaman dahulu di katagorikan tarian yang sakral. Di Sumatera Selatan untuk penamaan tari Tanggai sendiripun tidak ada sebelum tahun 1965, baru tahun 1965 muncul tari yang memakai property tanggai yang diberi nama Tari Tanggai yang diciptakan oleh Elly Rudy (76th). Sumber: Makalah Workshop Tari Tanggai SMKN 1 Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Robert Budi Laksana, S.S., M. Sn. Dosen Pendidikan Seni Prodi PGSD Universitas PGRI Palembang
 
Disebut tari yang memakai tanggai karena setiap penarinya menggunakan properti (alat) tanggai di delapan jari (kecuali jempol) dan ditarikan dengan mengutamakan kelentikan jari. Kalo buyut-buyut kami tidak menyebut tari yang memakai tanggai itu sebagai tari Tanggai, tapi tari Tepak. Dan memasuki tahun 1920, tari yang memakai tanggai digunakan untuk mencari jodoh oleh para orang tua di Palembang atau disebut Rasan Tuo. Bunda Elly Rudy, menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai ini terinspirasi dari adat rasan tuo.
           Tari Tanggai yang awalnya disebut dengan Tari Tepak muncul ketika ada insiden politik G30S PKI antara tahun 1965-1969. Gerakan tari tanggai didominasi (oleh sekitar 90 persen) gerakan tari Gending Sriwijaya. Dengan demikian, gerakan tari tanggai diciptakan oleh pencipta tari Gending Sriwijaya, yaitu Sukaenah Rozak dan  Tina Haji Gung. Elly Rudi tidak dapat mengklaim sebagai pencipta Tari Tanggai. Beberapa bentuk gerakan yang sedikit berbeda dapat disebut sebagai versi.
 
 
 
'''TARI TANGGAI VERSI (BUKAN DICIPTAKAN) ELLY RUDI'''
 
Tari Tepak yang kemudian disebut dengan Tari Tanggai digagas oleh Maimunah Hasbullah Bandarnata adalah tari pengganti Tari Gending Sriwijaya ketika vakum oleh karena persoalan politik, sedangkan Anna Kumari menggubah Tari Tepak Keraton untuk dalam acara pelantikan Panglima Ishak Juarsa pada tahun 1967. Tari Tanggai versi Elly Rudy, menurut Sartono, M.Sn dan Yuli Sudartati, M.Sn bahwa Tari yang berjudul Tari Tanggai ditarikan dalam acara [[adat|pernikahan adat]] daerah [[Palembang]] tanpa tepak untuk mengiringi pengantin, kalau memakai tepak berfungsi sebagai Tari Sambut <ref name="l">{{en}} {{cite journal
| author =
| year =
| month =
| title = Tari Tanggai
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://www.epalembang.com/lang/id/travel-tourism/art-and-culture/tanggai-dance
| format =
| accessdate = 27 April 2014
| archive-date = 2015-09-24
| archive-url = https://web.archive.org/web/20150924001325/http://www.epalembang.com/lang/id/travel-tourism/art-and-culture/tanggai-dance
| dead-url = yes
}}</ref> <ref name="z">{{id}} {{cite journal
| author =
| year =
| month =
| title = Tari Tanggai
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Sumatra-Selatan/Seni-Budaya/Tari-Tanggai
| format =
| accessdate = 27 April 2014
}}
</ref> <ref name="t">{{id}} {{cite journal
| author =
| year =
| month =
| title = Tari Tanggai
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://tari-kotaku.blogspot.com/p/tari-tanggai-tanggai-dibawakan-pada.html
| format =
| accessdate = 27 April 2014
}}
</ref> Tari tanggai menggambarkan keramahan, dan rasa hormat masyarakat [[Palembang]] atas kehadiran sang [[tamu]] dan dalam tari ini tersirat sebuah makna ucapan selamat datang dari orang yang mempunyai acara kepada para [[tamu]].<ref name="x">{{en}} {{cite journal|author=Aripratna|year=|title=Tari Tanggai|url=http://www.scribd.com/doc/154979996/Tari-Tanggai-Rina|format=pdf|journal=|volume=|issue=|pages=|doi=|id=|accessdate=28 April 2014|month=}}
</ref> <ref name="l" /> <ref name="z" />
 
Dalam penampilannya, Tari Tanggai versi Ely Rudi memiliki perbedaan dengan [[tari Gending Sriwijaya]].<ref name="t" /> <ref name="o">{{id}} {{cite journal
| author = Vicky Dewi
| year =
| month =
| title = Tari Tanggai
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://www.scribd.com/doc/60139234/Tari-Tanggai
| format = pdf
| accessdate = 28 April 2014
}}
</ref> Perbedaannya adalah Tari tanggai dibawakan bisa oleh 1, 3, 5, 7 ... penari asal berjumlah ganjil, karena menurut Adat Rasan Tuo, penari yang berada di depan siap untuk dipinang, sedangkan [[tari Gending Sriwijaya]] dibawakan oleh 9 orang dan perlengkapan [[Tari Gending Sriwijaya|penari Gending Sriwijaya]] lebih lengkap dibandingkan dengan Tari tanggai.<ref name="t" /> <ref name="o" /> Penari tari Tanggai menggunakan pakaian khas daerah seperti [[kain songket]], [[dodot]], [[pending]], [[kalung]], [[sanggul malang]], [[kembang urat]] atau [[ramai]], [[tajuk cempako]], [[kembang goyang]] dan [[tanggai]] yang berbentuk kuku terbuat dari lempengan [[tembaga]] dan karena tanggai yang dipakai penari, maka tari ini dinamakan Tari Tanggai.<ref name="t" /> <ref name="o" />
 
Tari yang berjudul Tari Tanggai yang diciptakan oleh Ibu Elly Rudy pada tahun 1965 di Jakarta ini adalah merupakan perpaduan antara gerak yang gemulai dengan busana khas daerah sehingga penari kelihatan lebih anggun.<ref name="t" /> Kelenturan gerak dan lentiknya jemari penari menunjukan betapa tulusnya tuan rumah memberikan penghormatan kepada [[tamu]].<ref name="t" /> Perpaduan gerak gemulai penari dengan harmoni lagu pengiring yang berjudul “Enam Saudara” melambangkan keramahtamahan masyarakat [[Palembang]] dalam menyambut tamu.<ref name="t" /> <ref name="o" />
 
Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy telah dilakukan penelitian secara akademisi oleh Sartono, M.Sn. pada tahun 2000. Dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Agung, dan tamu-tamu kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000, Sartono telah melakukan penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy. Dan pada bulan Januari tahun 2007 diadakan wawancara untuk penerbitan buku Tari Tanggai: Selayang Pandang yang digagas oleh Dewan Kesenian Palembang yang pada waktu itu Ketua DKP adalah R. Syahril Erwin, S.E. Nara sumber yang hadir adalah, Ana Kumari, Ailuny Husni, Elly Rudy, Tuti Zahara Akib. Wawancara dilakukan di Palembang bulan Januari 2007 oleh Sartono, M Sn, Sudarto Marelo, Kemas Ari, Sobri Ichwan, dan Muksin (fotografer). Sumber foto koleksi ibu Yuli Sudartati dan Pak Sartono. Model penari (ilustrasi) Tari yang berjudul Tari Tanggai adalah Ibu Elly Rudy hal 21 - 30. Pada tahun 1985 Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sudah menjadi mata pelajaran di Sekolah Menengah Industri dan Kerajinan (SMKIK) di Jl. Demang Lebar Daun Palembang. Kemudian pada tahun 2007 masuk kurikulum bahan ajar Tari Daerah Setempat (TDS) di FKIP Prodi Seni Drama Tari dan Musik (Sendratasik) yang sekarang bernama FKIP Prodi Seni Pertunjukan, Universitas PGRI Palembang, dan masih menjadi bahan ajar TDS sampai sekarang. Tari yang berjudul Tari Tanggai ini masih ditarikan, selain dalam acara pernikahan masyarakat [[Palembang]],tari ini juga ditarikan untuk menyambut tamu yang dihormati, pemerintahan, Organisasi dan pergelaran seni di [[sekolah|sekolah-sekolah]].<ref name="o" /> Sanggar-sanggar seni di kota [[Palembang]] banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian [[Sumatra Selatan|adat Sumatra Selatan]].<ref name="o" />
 
Pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kota Palembang merilis DVD Dokumentasi Tari yang di dalamnya berisi video 4 tarian termasuk Tari Tanggai versi Elly Rudy. DVD tersebut merupakan produksi Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Palembang dengan Pembina, Drs. M. Yanurpan Yany, MM, Pengarah : A. Zajulli, M.Si, Ketua Lisa Surya Andika, MM, Koordinator : Iman Setiawan, S. Kom, Studio Music BALIGA, Video Shooting, Graphic Designer MANSETHA Video Editing MANG UJUK, Music Aransemen A. SAKUR Koreografer MIRZA INDAH D, EKO S. KARTINI L, SUHADA. Dalam video dokumentasi tari milik DISBUDPAR kota Palembang tersebut, Tari Tanggai Elly Rudi berada di posisi nomor 1. Dan tertulis bahwa pencipta gerak dan Tari Tanggai adalah Elly Rudy.
 
Mengatakan Elly Rudi sebagai pencipta tentu satu kebohongan. Bagaimana mungkin ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen dengan Tari gending Sriwiijaya dapat dikatakan pencipta. Jika masih juga dikatakan sebagai pencipta maka patut diduga, Elly Rudi adalah plagiat tari atau pencuri karya orang lain....
 
Menyikapi tentang pernyataan Elly Rudi adalah plagiat tari atau pencuri karya orang lain karena menurut yang menulis artikel itu ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen dengan Tari gending Sriwiijaya. Ini sungguh merupakan hal yang tidak lucu, tidak masuk akal. dan sangat mengada-ada. Menurut Lina Muchtar, pelatih dan penari senior tari Gending Sriwijaya, gerakan Tari Tanggai saat ini, 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Sedang penulis artikel "SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI" ini dengan jelas menyatakan kalau tari Tepak yang membawa Tepak disebut tari Tepak, sedangkan kalau tari Tepak ditarikan tanpa membawa Tepak menurut penulis artikel dan Lina Muchtar menyebutnya sebagai Tari Tanggai. Bagaimana mungkin satu tarian bisa berganti nama sedemikian hanya karena menggunakan tepak atau tidak? Jadi bisa ditarik kesimpulan, bahwa Tari Tanggai yang penciptanya menjadi polemik menurut penulis artikel "SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI" ini, sebenarnya adalah Tari Tepak yang tidak memakai Tepak alias Tari Tanggai menurut Lina Muchtar. Hal ini selaras dengan pernyataan Lina yang Muchtar bahwa gerakan Tari Tepak yang tidak memakaiTepak yang menurut Lina Muchtar adalah Tari Tanggai gerakannya 90 persen adalah gerakan Tari Gending Sriwijaya. Ini pun sesuai dengan pernyataan penulis artikel "SEJARAH MUNCULNYA TARI TANGGAI" bahwa gerakan tari tanggai (Tari Tepak yang Tidak memakai Tepak) didominasi oleh sekitar 90 persen gerakan tari Gending Sriwijaya. Dengan demikian kesimpulannya adalah: Tari Tepak yang tidak memakai Tepak yang menurut Lina Muchtar adalah Tari Tanggai, sebenarnya adalah Tari Tepak ciptaan Ibu Maimunah Hasbullah Bandarnata guru tari Lina Muchtar sendiri yang mana gerakannya menurut Lina Muchtar 90 % mengadopsi Tari Gending Sriwijaya ciptaan ibu Sukaenah Rozak. (Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Lina Muchtar dan Penulis artikel ini sendiri). Ibu Maimunnah Hasbullah Bandarnata merubah musik iringan tari Lagu Gending Sriwijaya ke Lagu Enam Saudara untuk mengiringi Tari Tepak. Jadi Lina Muchtar sendiri adalah murid dari ibu Maimunah Hasbullah Bandarnata yang menciptakan Tari Tepak, jadi bagaimana mungkin Lina Muchtar bisa mengatakan tari Tanggai yang 90 ℅ mengadopsi Tari Gending Sriwijaya adalah sama dengan Tari yang berjudul Tari Tanggai versi Elly Rudi? Dan menurut penulis artikel ini Elly adalah plagiat? Kalaulah Lina Muchtar sendiri yang mengatakan bahwa Tari Tanggai sekarang 90 ℅ mengambil gerakan TGS, sudah jelas Tari Tepak yang tidak membawa Tepak itulah yang dimaksud. Gerakan Tari Tanggai versi Elly Rudy yang diciptakan oleh Elly Rudy berbeda dengan gerakan Tari Tepak yang tidak membawa Tepak.
 
Jadi setelah uraian di atas, sudah ketahuan siapa yang sebenarnya membuat polemik? Siapa yang sebenarnya menjadi plagiat tari, pencuri karya orang lain, dan siapa yang sebenarnya membuat kebohongan publik?
 
Mengutip pernyataan dari artikel ini :
 
"Mengatakan Elly Rudi sebagai pencipta tentu satu kebohongan. Bagaimana mungkin ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen dengan Tari gending Sriwiijaya dapat dikatakan pencipta. Jika masih juga dikatakan sebagai pencipta maka patut diduga, Elly Rudi adalah plagiat tari atau pencuri karya orang lain...."
 
Pernyataan di atas ini jelas adalah merupakan pembodohan publik. Siapa yang dibodohi? Ya, generasi muda kita, anak-anak kita, cucu-cucu kita, generasi penerus pelestari budaya tari tradisional kita. Mereka yang tidak mengalami masa-masa proses penciptaan tari-tari itu tentu akan dibingungkan dengan artikel-artikel yang muncul baru-baru ini. Mereka hanya bisa diam, mendengar dan berasumsi. Dari kutipan di atas jelas kalau yang dimaksud ragam gerak dan komposisi yang sekitar 90 persen Tari Gending Sriwijaya adalah Tari Tepak (yang menurut Lina Muchtar kalau tidak membawa Tepak dengan mudah bisa berganti nama menjadi Tari Tanggai) ciptaan ibu Mainunnah Hasbullah Bandarnata, guru tari Lina Muchtar sendiri. Tapi kenapa justru Elly Rudi pencipta Tari yang berjudul Tari Tanggai yang disalahkan? Bahkan Elly Rudi dianggap sebagai pembohongan publik, pencuri karya orang dan bahkan dianggap plagiat? Hal seperti ini justru adalah pembodohan publik, terutama pembodohan generasi muda pelestari tari tradisional Palembang.
 
Ibu Elly Rudy menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai tahun 1965, dan Tari Tanggai ini juga sebagai Tari Sambut atas inisiatif almarhum Raden Husin Natodirajo dan Mgs Nungcik Asaari tahun 1965 di Jakarta krn tari Gending Sriwijaya tidak ditampilkan karena alasan politik. Diperkuat oleh budayawan Palembang almarhum R. Johan Hanafiah. Diangkat dari adat rasan tuo.dengan gerak sendiri, tari yang berjudul Tari Tanggai versi Elly Rudy baik membawa Tepak atau tidak memakai Tepak, namanya tetap Tari Tanggai, Dan Tari Tanggai versi Elly Rudy bahkan sdh dibukukan oleh almarhum Sartono M.Sn,Yuli Sudartati M.Sn, dan Vebri Al Lintani dalam buku Selayang Pandang. Jadi yang memang meneliti adalah Saudara Sartono M.Sn dan Yuli Sudartati M.Sn dan Tari Tanggai versi Elly Rudy setelah selesai diteliti diangkat menjadi bahan ajar di Universitas PGRI FKIP jurusan sendratasik. dengan gerak sendiri, membawa Tepak atau tidak tetap namanya Tari Tanggai, Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Universitas Surakarta, Universitas Padang dan Universitas Palembang. Sartono, M.Sn. dan Yuli Sudartati, M.Sn. yang meneliti tari yang berjudul Tari Tanggai ciptaan Elly Rudy tidak pernah menyatakan bahwa gerak dan komposisi tari Tanggai 90 persen mirip dengan Tari Gending Sriwijaya. Sartono M.Sn.sudah melakukan penelitian analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy.
 
Statement yang mengatakan bahwa ada polemik yang berkembang di masyarakat tentang siapa pencipta Tari yang berjudul Tari Tanggai sungguh tidak jelas, karena Elly Rudy memang benar orang yang menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai. Dan hal ini sudah diteliti oleh Sartono M.Sn.dari Universitas PGRI Palembang. Adapun tari- tarian yang memakai tanggai banyak di Sumatera Selatan. Jadi kalo memang ada yang beranggapan ada polemik, maka Tari Tanggai mana yang sebenarnya dimaksud? Dan apa ukuran sampai bisa mengatakan Tari Tanggai ciptaan Ibu Elly Rudy 90 persen sama dengan TGS? Atau mungkin yang dimaksud demikian adalah tari yang memakai Tepak/Tari Tanggai dari versi yang bukan Tari Tanggai versi Elly Rudy. Ya, silahkan saja beranggapan demikian. Perlu diketahui tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy memang benar adalah ciptaan Elly Rudy karena telah dilakukan penelitian secara akademisi oleh Sartono, M.Sn. pada tahun 2000. Dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000, Sartono telah melakukan penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari yang berjudul Tari Tanggai Versi Elly Rudy.
 
Selama 57 tahun menciptakan Tari yang berjudul Tari Tanggai, tidak pernah ada polemik yang berkembang dalam masyarakat tentang siapa pencipta tari Tanggai dan bahkan tarian ini masih ditarikan sampai sekarang dan bisa diterima oleh masyarakat Palembang dan bahkan sudah menjadi bahan ajar di SMKIK pada tahun 1984, dan sekitarnya telah menjadi bahan ajar di Universitas PGRi Prodi Seni Pertunjukan kurikulum Tari Daerah Setempat (TDS) sejak tahun 2006 sampai hari ini.
 
Pada tahun 1965 setelah terjadi pelarangan Lagu dan Tari Gending Sriwijaya, tari sambut yang juga memakai tanggai dan membawa tepak, untuk ditampilkan karena alasan politis. Atas inisiatif almarhum Raden Husin Natodirajo dan Mgs Nungcik Asaari budayawan Palembang tahun 1965 di Jakarta meminta Ibu Elly Rudy untuk menciptakan tari yang membawa tepak dan memakai tanggai, ini juga berfungsi sebagai Tari Sambut menyambut kedatangan tamu agung yang datang berkunjung ke Palembang. Hal ini sdh diperkuat oleh budayawan Palembang almarhum R. Johan Hanafiah. Maka Ibu Elly Rudy menciptakan tari yg berjudul Tari Tanggai dengan menggunakan lagu “Enam Saudara".
 
Tari Tanggai karya Ibu Elly Rudy ini bahkan sdh dibukukan oleh almarhum Sartono M. Sn., Yuli Sudartati M. Sn., dan Vebri Al Lintani dalam buku yang berjudul Selayang Pandang. Sementara dalam bukunya Seputar Tari Tanggai (2007), Sartono, M. Sn. mengatakan bahwa tari yang berjudul Tari Tanggai pertama kali diciptakan oleh Elly Rudy yang merupakan salah satu penari generasi kedua yang mempelajari tari Gending Sriwijaya. Sedangkan nama Tanggai itu sendiri diambil dari salah satu properti tari yang digunakan.
 
Ibu Elly Rudy memang benar yang menciptakan Tari Tanggai karena Sartono, M. Sn. telah melakukan penelitian secara akademisi dalam bukunya yang berjudul Tari Tanggai karya Ibu Elly Rudy sebagai Tari Penyambutan Tamu Kehormatan, yang diterbitkan tahun 2000. Sartono telah melakukan berbagai penelitian berupa analisis, koreografi dan fungsi Tari Tanggai karya Elly Rudy. Selama berproses 58 tahun setelah menciptakan Tari Tanggai, tidak pernah ada polemik yang berkembang dalam masyarakat dan Tari Tanggai karya Elly Rudy bisa diterima oleh masyarakat bahkan Tari Tanggai karya Elly Rudy sudah menjadi bahan ajar di SMKIK tahun 1984, dan sudah menjadi bahan ajar di Universitas PGRI Prodi Seni Pertunjukan kurikulum Tari Daerah Setempat (TDS) sejak tahun 2006 sampai hari ini.
 
== Makna ==
Tari tanggai menggambarkan keramahan, dan rasa hormat masyarakat [[Kota Palembang|Palembang]] atas kehadiran sang tamu, dan dalam tari ini tersirat sebuah makna ucapan selamat datang dari orang yang mempunyai acara kepada para tamu.<ref name="l">{{cite journal|author=Aripratna|year=|title=Tari Tanggai|url=http://www.scribd.com/doc/154979996/Tari-Tanggai-Rina|format=pdf|journal=|volume=|issue=|pages=|doi=|id=|accessdate=28 April 2014}}</ref>
 
== Musik ==
[[Musik]] pengiring di dalam tari tanggai merupakan sebuah [[musik]] yang menggabungkan sebuah [[instrumental]] yang digarap oleh [[komponis]] dan sekaligus diiringi oleh beberapa [[gendang]] dan satu buah [[gong]] yang berperan sebagai ritem/ritme.<ref name="q"/>{{id}} {{cite journal|author=|year=|title=Tari Tanggai Sumatra Selatan|url=http://tari-kotaku.blogspot.com/p/tari-tanggai-tanggai-dibawakan-pada.html|format=|journal=|volume=|issue=|pages=|doi=|id=|accessdate=26 April 2014|month=}}
</ref>
 
Iringan [[instrumental]] di dalam tari tanggai sendiri, menggambarkan nuansa [[melayu]] dan tidak meninggalkan [[warna]] atau [[rasa]] dari [[musik daerah|musik daerah Palembang]].<ref name="q"/>
Baris 154 ⟶ 70:
 
== Gerakan ==
 
 
=== Ragam Gerak ===
Baris 210 ⟶ 125:
Tari Tanggai selain memiliki unsur [[hiburan]], Tari tanggai juga memiliki unsur [[pendidikan]]nya (pengetahuan), khususnya dalam bidang [[seni tari]].<ref name="q"/>
 
== SejarahReferensi ==
{{reflist}}
 
https://rri.co.id/palembang/1738-opini/1361514/sejarah-munculnya-tari-tanggai {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220318172259/https://rri.co.id/palembang/1738-opini/1361514/sejarah-munculnya-tari-tanggai |date=2022-03-18 }}
Pada zaman dahulu, tari tanggai dipersembahkan terhadap [[siwa|dewa siwa]] dengan membawa sesajian yang berisi [[buah]] dan beraneka ragam [[bunga]], karena tari tanggai pada masa ini tari tanggai merupakan tari yang di sakralkan atau di sucikan karena fungsinya sebagai pengantar persembahan terhadap dewa-dewa dalam kepercayaan [[Buddha]] dan tidak boleh ditarikan sembarangan.<ref name="q">{{id}} {{cite journal
| author =
| year =
| month =
| title = Tari Tanggai Sumatra Selatan
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://tari-kotaku.blogspot.com/p/tari-tanggai-tanggai-dibawakan-pada.html
| format =
| accessdate = 26 April 2014
}}
</ref> Tari Tanggai yang ada di [[Palembang]] memiliki banyak kesamaan dengan tarian yang ada di [[China]].<ref name="q" /> Ini disebabkan karena pada zaman dahulu di [[Sumatra Selatan]] ada sebuah kerajaan yang dibangunan oleh generasi Raja [[Syailendra]] yang memeluk agama [[Buddha]].<ref name="q"/> Secara tidak langsung, tarian Tanggai ini pun diajarkan karena tari ini berfungsi sebagai tari pemujaan dan persembahan dalam kepercayaan agama [[Buddha]].<ref name="q"/>
 
Pada zaman penjajahan [[Belanda]], Pemerintah [[Belanda]] tidak memperbolehkan [[perempuan]] untuk [[tari|menari]], sehingga hanya [[laki-laki]] yang boleh [[tari|menari]] dan pada kemudian hari mereka tertarik dengan tanggai, maka pada tahun [[1920]] mereka menggunakan tanggai dan sekapur sirih (sirih, pinang, kapur, gambir dan tembakau yang di jadikan satu, yang disusun dalam sebuah tepak sirih) yang berfungsi sebagai tari sambut yang dinamakan Tari Tepak atau Tari tanggai.<ref name="a">{{id}} {{cite journal
| author =
| year =
| month =
| title = Sejarah Tari Tanggai
| journal =
| volume =
| issue =
| pages =
| doi =
| id =
| url = http://arif-fkipkesenianpgripalembang.blogspot.com/2013/01/sejarah-tari-tanggai.html
| format =
| accessdate = 27 April 2014
}}
</ref>
 
Pada zaman penjajahan [[Jepang]], tari ini tidak boleh ditampilkan, maka penjajah [[Jepang]] memita [[Sukainah Rozak]] selaku Putri [[karesidenan|karesidenan Palembang]] untuk menciptakan garakan [[Tari Gending Sriwijaya]].<ref name="a"/> Sedangan [[syair]] [[lagu]] dari [[Tari Gending Sriwijaya]] diciptakan oleh [[Nung Cik AR]], dan [[musik]] [[Tari Gending Sriwijaya]] di ciptakan oleh [[Dahlan Mahibat]].<ref name="a"/>
 
Pada tahun [[1965]] terjadi pemberontakan [[PKI]] dan pencipta [[syair]] tersebut, yakni [[Nung Cik AR]] disinyalir merupakan anggota [[PKI]] sehingga ia ditangkap dan [[Tari Gending Sriwijaya]] pada saat itu tidak boleh ditampilkan.<ref name="a"/> Namun, dikarenakan banyaknya ''Tamu Kehormatan Negara'' dan ''Pejabat Negara'' yang datang ke [[Palembang]] dan tidak adanya [[tari]]an yang biasa digunakan untuk menyambut [[tamu|tamu-tamu]] yang datang, maka ibu [[Elly Rudi]] menciptakan tari yang berjudul Tari Tanggai dan ibu [[Anna Kumari]] menciptakan tari yang berjudul tari Tepak Kraton.<ref name="a"/>
 
== Referensi ==
{{reflist}}https://rri.co.id/palembang/1738-opini/1361514/sejarah-munculnya-tari-tanggai
 
[[Kategori:Tari]]
[[Kategori:SumatraSumatera Selatan]]