Tionghoa Padang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
GuerraSucia (bicara | kontrib)
Kampung Cina: sedikit
 
(41 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{ethnic group
| group = Tionghoa Padang<br/>CinaChina Padang
| image = [[Berkas:Foto Kelenteng oleh Denas.jpg|268px]]
| image_caption = [[Kelenteng See Hien Kiong]].
Baris 8:
| religions = [[Agama tradisional Tionghoa]], [[Kristen]], [[Islam]]
}}
'''Tionghoa Padang''' atau '''China Padang''' adalah masyarakat keturunan [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]] yang tinggal di [[Kota Padang]], [[Sumatera Barat]], [[Indonesia]]. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain [[orang Minangkabau]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Batak|Batak]], [[Suku Nias|Nias]], [[Suku Melayu|Melayu]], [[Suku Sunda|Sunda]], dan [[Suku Mentawai|Mentawai]].{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}} Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi.{{sfn|Rahmat Irfan Denas|11 Februari 2021}} Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah [[Belakang Pondok, Padang Selatan, Padang|Pondok]] dan sekitarnya di [[Padang Selatan, Padang|Kecamatan Padang Selatan]] yang dikenal sebagai ''Kampuang Cino'' (bahasa Indonesia: Kampung Cina).{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=15}}{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=135}}
 
Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&dq=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjr0oK498_oAhXNdCsKHckTAzQQ6AEIKDAA 55a]|ps=: "''Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post.''"}}{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT153&dq=%22Batavian+Chinese,+possibly+moving+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiR5-uF3LroAhVBWysKHSb1AewQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22Batavian%20Chinese%2C%20possibly%20moving%20*%22&f=false 135a]|ps=: "''Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia.''"}} Pada 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan persentase 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah [[Gempa bumi Sumatera Barat 2009|gempa bumi pada 2009]], banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatera Barat.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}} Menurut data [[Badan Pusat Statistik]] (BPS) pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}} Pada 2016, populasi Tionghoa Padang berjumlah sekitar 12.000 orang.{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
'''Tionghoa Padang''' atau '''Cina Padang''' adalah masyarakat keturunan [[Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]] yang tinggal di [[Kota Padang]], [[Sumatra Barat]], [[Indonesia]]. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain [[orang Minangkabau]], [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Batak|Batak]], [[Suku Nias|Nias]], [[Suku Melayu|Melayu]], [[Suku Sunda|Sunda]], dan [[Suku Mentawai|Mentawai]].{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}} Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi di Padang.{{sfn|Rahmat Irfan Denas|11 Februari 2021}} Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah [[Belakang Pondok, Padang Selatan, Padang|Pondok]] dan sekitarnya di wilayah [[Padang Selatan, Padang|Kecamatan Padang Selatan]] yang dikenal sebagai ''Kampuang Cino'' (bahasa Indonesia: Kampung Cina).{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=15}}{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=135}}
 
Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&dq=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjr0oK498_oAhXNdCsKHckTAzQQ6AEIKDAA 55a]|ps=: "''Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post.''"}}{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT153&dq=%22Batavian+Chinese,+possibly+moving+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiR5-uF3LroAhVBWysKHSb1AewQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22Batavian%20Chinese%2C%20possibly%20moving%20*%22&f=false 135a]|ps=: "''Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia.''"}} Pada tahun 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan presentasi 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah [[Gempa bumi Sumatra Barat 2009|gempa bumi pada 2009]], banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatra Barat.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}} Menurut data [[Badan Pusat Statistik]] (BPS) pada tahun 2010, persentasi orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}} Pada 2016, populasi Tionghoa Padang berjumlah sekitar 12.000 orang.{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
 
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan [[budaya Minangkabau]]. Bahkan, generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau. Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai bahasa Minang Pondok.{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=138-139}} Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan sosial, budaya, dan kematian [[Himpunan Tjinta Teman]] (HTT) dan [[Himpunan Bersatu Teguh]] (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat dan tradisi orang Tionghoa tetap terjaga di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=190|ps=: "''Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok.''"}}{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=56}}{{sfnp|Kompas.com|5 Februari 2008}}
Baris 17 ⟶ 16:
== Sejarah ==
=== Kedatangan awal ===
Seperti di daerah lainnya di [[Nusantara]], keberadaan orang Tionghoa di Padang tidak lepas dari fenomena diaspora atau keluarnya orang Tionghoa dari tanah kelahiran mereka untuk tujuan perdagangan. Walaupun tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba di Padang, mereka diperkirakan telah tiba di [[Pesisir Barat Sumatra|pantai barat Sumatra]] pada abad ke-17, mendahului kedatangan bangsa Belanda dan Inggris. Mereka datang dari [[Banten]], yang kala itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT152&dq=Islamic+Revivalism+%22before+the+dutch+and+the+english%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwio7aK-1broAhWYF3IKHbP8AEEQ6AEIKDAA#v=onepage&q=Islamic%20Revivalism%20%22before%20the%20dutch%20and%20the%20english%22&f=false 134]|ps=: "''Before the Dutch and the English came to Sumatra for pepper, Chinese pepper traders had been visiting west Sumatra from their commercial base at Banten.''"}} Pada tahun 1630-an, diketahui telah banyak bersandar kapal-kapal Tionghoa di sekitar perairan pantai barat Sumatra. Di antara kota yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal Tionghoa adalah [[Kota Pariaman|Pariaman]]. Di daerah tersebut, orang Tionghoa menjual kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama [[Garam dapur|garam]]. Namun, kebanyakan mereka hanyalah agen dari pedagang Tionghoa yang ada di Banten.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT152&dq=%22Very+few+of+these+Chinese+traded+with+their+own+capital%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjT99XY17roAhVWAXIKHVEbDBkQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22Very%20few%20of%20these%20Chinese%20traded%20with%20their%20own%20capital%22&f=false 134–135]|ps=: "''Very few of these Chinese traded with their own capital, and they had meagre capital resources; they were generally agents for Banten Chinese, who in turn operated a commenda trade using money and goods supplied by merchants in China and, later on, by Europeans in Banten.''"}} Pada tahun 1633, dilaporkan telah ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT152&dq=%221630s+their+vessels+were+reported+to+be+swarming%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjy2rL_1rroAhWXXSsKHb_ZCO8Q6AEIKDAA#v=onepage&q=%221630s%20their%20vessels%20were%20reported%20to%20be%20swarming%22&f=false 134]|ps=: "''In the 1630s their vessels were reported to be swarming to the coast in search of pepper, and it seems likely that there were Chinese settled at Pariaman to act as agents for their compatriots; certainly they were reported to be established there in 1663.''"}}
 
Pada tahun 1664, Belanda melalui VOC menjadikan Padang sebagai markas besar mereka untuk wilayah pantai barat SumateraSumatra yang ditandai dengan didirikannya sebuah benteng.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Padang+was+a+second-rank+port+on+the+*%22&dq=%22Padang+was+a+second-rank+port+on+the+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjMoPX_2rroAhXGR30KHR56BA8Q6AEIKDAA 134]|ps=: "''In 1666 the Dutch made Padang their headquarters on Sumatra's west coast and built a fortress.''"}} Belanda mencoba mengalihkan aktivitas perdagangan dari Pariaman ke Padang. Melihat kondisi tersebut, orang Tionghoa mulai berdatangan dan menetap di Padang untuk dapat ikut serta dalam aktivitas perdagangan.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&dq=%22Padang+has+an+old+Chinese+community+and+Chinese+were+among%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjr0oK498_oAhXNdCsKHckTAzQQ6AEIKDAA 55]|ps=: "''Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post.''"}}
 
Orang Tionghoa di Padang diperkirakan merupakan mereka yang sebelumnya menetap di Pariaman. Pada tahun 1673, ada laporan tentang "NahkodaNakhoda Banten" Tionghoa yang memiliki rumah di Padang bersama beberapa orang Tionghoa lainnya.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT153&dq=%22Batavian+Chinese,+possibly+moving+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiR5-uF3LroAhVBWysKHSb1AewQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22Batavian%20Chinese%2C%20possibly%20moving%20*%22&f=false 135a]|ps=: "''Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia.''"}} Rumah yang mereka punya lebih bagus dibandingkan dengan rumah penduduk setempat.{{sfnp|Steven Adriaan Buddingh|1861|pp=[https://books.google.co.id/books?id=HaRyY2V8zpQC&printsec=frontcover&dq=Neerlands+Oost-Indi%C3%AB+Reizen&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiW1I2SpY7sAhXSXisKHQVqCesQ6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=Padang&f=false 161]}} Permukiman mereka mengelompok di kawasan di sekitar pinggir [[Batang Arau]]. Mereka dapat membeli tanah dari penguasa lokal yang bergelar "panglima raja". Pada tahun 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang "[[Kapitan Cina|Letnan Cina]]" diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT153&dq=%22Batavian+Chinese,+possibly+moving+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiR5-uF3LroAhVBWysKHSb1AewQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22Batavian%20Chinese%2C%20possibly%20moving%20*%22&f=false 135b]|ps=: "''In that year several Chinese bought land from the panglima raja to establish a brickworks, and by 1682 there were so meny Chinese at the entrepôt that a Lieuteyangt Chinese had to be appointed to regulate matters concerning them.''"}}
 
=== Menjadi mitra datang Belanda ===
[[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Handelskade_Padang_TMnr_60038892.jpg|jmpl|270x270px|Sejak kedatangan Belanda di bawah bendera VOC, Padang makin berkembang menjadi pelabuhan yang ramai.]]
Seiring waktu, orang Tionghoa mulai memegang pengaruh dalam perniagaan di Padang. Mereka menjalin hubungan kerja sama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda. Hubungan mereka kian lama kian erat karena adonyaadanya keuntuangankeuntungan yang sama-sama diperoleh. VOC yang tidak memiliki banyak pegawai di Padang memberi hak kepada pihak swasta untuk memungut pajak impor dan ekspor. Banyak di antara pihak swasta yang mendapat hak ini adalah orang Tionghoa. Pada tahun 1785, seorang Kapitan Cina bernama Lau Ch'uan-ko memegang hak memungut pajak di Padang.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT154&dq=%22In+1785+the+farm+for+collecting+import+and+export+duties+at+Padang+%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjG_6nV4rroAhVs7HMBHa2_BFYQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22In%201785%20the%20farm%20for%20collecting%20import%20and%20export%20duties%20at%20Padang%20%22&f=false 136a]|ps=: "''In 1785 the farm for collecting import and export duties at Padang was sold to the Captain Chinese, Lau Ch'uan-ko.''"}} Ketika perniagaan emas di Minangkabau makin merosot, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1790 menyatujuimenyetujui untuk menerimomenerima mata uang orang Tionghoa sebagai pembayar persentase tertentu (dalam hal penjualan kain) untuk Belando. Sementara itu, orang Minangkabau masih bergantung pada emas sebagai alat tukar. Diterimanya mata uang Tionghoa sabagai alat tukar membuat orang Tionghoa makin diuntungkan.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT177&dq=%22singapore+and+in+particular+raw+silk%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjulOCU5rroAhWbbX0KHZlfC4gQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22singapore%20and%20in%20particular%20raw%20silk%22&f=false 136b]|ps=: "''With the decline of the gold trade, it was agreed by the Batavia government in 1790 to accept specie for a certain percentage of the company's cloth sales at Padang, so that the cloth trade would not be totally paralysed by the absence of gold. This too benefited the Padang Chinese, who were the only group at the port with access to specie, and enabled them now to act as brokers in the company's cloth trade, bypassing the Minangkabau brokerage system which relied on exchanging gold for cloth.''"}}
 
Pada awal abad ke-19, orang Tionghoa di Padang telah melibatkan diri dalam perniagaan luar negeri, terutama dengan kawasan selat seperti [[Penang]], [[Malaka]], dan [[Singapura]]. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Gubernur Pantai Barat SumateraSumatra [[Andreas Victor Michiels]] nanyang mendorong orang asing untuk lebih banyak tiba ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pedagang Tionghoa yang dianggap mampu memajukan perekonomian.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=46a|ps=: "''Gubernur Michiels mendorong orang asing untuk lebih banyak datang ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan, sehingga Padang menjadi pelabuhan yang ramai dan dinamis. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pendatang, terutama kepada pedagang Cina yang dianggap mampu memajukan perekonomian.''"}} Salah satunya adolah pinjaman uang untuk modal dari [[Nederlandsche Handel-Maatschappij]] (NHM), yang menggantikan fungsi VOC yang bangkrut pada 1799.{{sfnp|Gusti Asnan|2003|pp=[https://books.google.co.id/books?id=ndZwAAAAMAAJ&q=%22Pedagang+Cina+juga+mendapat+banyak+kemudahan+dalam+meminjam+uang+atau+modal%22&dq=%22Pedagang+Cina+juga+mendapat+banyak+kemudahan+dalam+meminjam+uang+atau+modal%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjx6NXB5broAhXFV30KHWVsBYIQ6AEIKDAA 59]}}{{sfnp|Erniwati|2007|pp=79|ps=: "''Bahkan NHM memberikan uang muka kepada pialang Tionghoa sebagai modal untuk mengumpulkan hasil produksi dari daerah pedalaman.''"}} Dengan dukungan modal serta jaringan regional dan internasional, pedagang Tionghoa dapat menjadi agen bagi perniagaan barang-barang impor, seperti kain dan porselen.{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT177&dq=%22singapore+and+in+particular+raw+silk%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjulOCU5rroAhWbbX0KHZlfC4gQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22singapore%20and%20in%20particular%20raw%20silk%22&f=false 158]|ps=: "''They imported Chinese goods such as cloth and porcelain for domestic use from Batavia, Penang and later Singapore,...''"}} Akibatnya, banyak pedagang Minangkabau bergantung ke pedagang Tionghoa .{{sfnp|Erniwati|2007|pp=67|ps=: "''Orang Cina yang waktu itu memiliki mata uang akhirnya menduduki posisi penting, bahkan mereka berhasil menjadi pialang dan mampu menggeser kelompok pialang tradisional Minangkabau hingga memasuki daerah pedalaman. Akibatnya orang Minangkabau sangat tergantung terhadap barang-barang pokok yang diperoleh melalui pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional, sedangkan pedagang pengecer juga tergantung kepada pedagang monopoli Belanda dan Cina.''"}} Pada tahun 1829, disebutkan ada empat orang pialang Tionghoa terkenal, yaitu [[Lie Heng]] (atau Lie Gieng), [[Lie Ma-ch’ao]] (Lie Matjiaw), [[Lie Sing]], jodan [[Hu A-chiao]] (Hoi Atjouw).{{sfnp|Christine Dobbin|2016|pp=[https://books.google.co.id/books?id=JzR6DQAAQBAJ&pg=PT177&dq=%22singapore+and+in+particular+raw+silk%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjulOCU5rroAhWbbX0KHZlfC4gQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22singapore%20and%20in%20particular%20raw%20silk%22&f=false 159]|ps=: "''The four leading Chinese brokers in Padang in 1829, just as the American coffee boom was passing, were Li Heng, Li Ma-ch'iao, Li Sing and Hu A-chiao.''"}} Pada tahun 1833, ada sekitar 700 orang Tionghoa di Padang, kebanyakan mereka adalah "orang kaya".{{sfn|Millies|1850|pp=[https://books.google.co.id/books?id=1nNNAAAAcAAJ&pg=PA35&dq=PADANG+ONGEVEer+700+chinezen&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwitpta0xsjpAhXJfX0KHTZSDeIQ6AEIKzAA#v=onepage&q=PADANG%20ONGEVEer%20700%20chinezen&f=false 35]}}
 
Tidak hanya menguasai perniagaan barang impor yang dibutuhkan oleh masyarakat Minangkabau di ''darek'', pedagang Tionghoa mulai menggarap perniagaan komoditas ekspor yang berasal dari kawasan [[darek]] atau pedalaman Minangkabau. Pada tahun 1847, seorang Tionghoa bernama [[Lie Saay]] mendapat kontrak pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi, komoditas ekspor Minangkabau yang terkenal masa itu. Lie Saay melalui perusahaan ekspedisi yang ia punya mengangkut kopi dari [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]] ke [[Kayu Tanam, 2x11 Kayu Tanam, Padang Pariaman|Kayu Tanam]] serta mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan pulang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=46b|ps=: "'Untuk pertama kalinya pada tahun 1847 Lie Saay berhasil membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi dari Padang
Panjang ke Kayutanam dan mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan baliknya.
.''"}} Waktu itu, sarana transportasi hanya didukung oleh jalan setapak yang menghubungkan kampung-kampung ''darek'' ke pesisir barat dan ke sungai-sungai yang mengalir ke timur ke Selat Malaka.{{sfn|Jeffrey Hadler|2010|pp=40-41}} Angkutan transportasi yang digunakan Lie Saay berupa pedati yang ditarik oleh kuda. Dalam perjalanan, Lie Saay didampingi kakaknya, [[Lie Maa Toon]] yang ahli bela diri [[kungfu]] sebagai pengawal. Sesudah sarana transportasi seperti jalan darat dan jalur kereta api dibangun, Lie Saay pindah ke Padang dan diangkat menjadi Kapitan Cina pada tahun 1860.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=46c|ps=: "''Perusahaan ekspedisi Lie Saay membawa hasil bumi mengunakan pedati (gerobak) kuda melewati lereng Lembah Anai di bawah pengawalan kakaknya Lie Maa Toon yang bisa bela diri kungfu. Perusahaan ekspedisi ini berkembang hingga dibangun jalan darat dan jalur kereta api.''"}}{{sfnp|Rusli Amran|1988|pp=[https://books.google.co.id/books?id=3mseAAAAMAAJ&q=%22+Lie+Saay+adalah+yang+pertama+setelah+keluar+surat+keputusan+tersebut%22&dq=%22+Lie+Saay+adalah+yang+pertama+setelah+keluar+surat+keputusan+tersebut%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjr8Jjs1sHoAhUJbisKHU9BAuIQ6AEIKjAA 31]}}
 
=== Mendirikan permukiman, kelenteng, dan pasar ===
[[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_chinese_tempel_te_Padang._TMnr_60003313.jpg|jmpl|270x270px|[[Kelenteng See Hien Kiong]] sekitar tahun 1870.]]
Seiring kemahsyuran Padang sebagai pusat perdagangan VOC untuk pulauPulau Sumatra, perusahaan-perusahaan Balanda tumbuh bak cendawan. Hal ini membuat bangsa asing semakin banyak berdatangan, termasuk orang Tionghoa. Dalam ''[[Encyclopaedia Britannica]]'' edisi ke-9, Padang pada pertengahan abad ke-19 digambarkan sebagai kota yang memiliki 2.000 rumah dengan penduduk sebanyak 15.000, sudah termasuk di dalamnya permukiman orang Tionghoa.{{sfnp|Thomas Spencer Baynes|1887|loc=Volume 22|pp=[https://books.google.co.id/books?id=mscsAQAAMAAJ&q=%22Padang+is+a+town+of+some+2000+houses%22&dq=%22Padang+is+a+town+of+some+2000+houses%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwig-bWP0LroAhXlQ3wKHSVoBkkQ6AEIPTAD 639]|ps=: "''Padang is a town of some 2,000 houses and 15,000 inhabitants, with a Chinese settlement and a European quarter. It is the chief market in Sumatra for gold.''"}} PenilitiPeneliti sejarah orang Tionghoa di SumatraSumatera Barat, [[Erniwati (dosen)|Erniwati]] menulis orang Tionghoa di Padang semula tinggal mengalompokmengelompok di salah satu sisi tepi [[Batang Arau]] arah ke muara yang kini bernamobernama Pondok. Dinamakan "Pondok" karena banyak orang Tionghoa di sana mendirikan rumah dan tempat berdagang yang berbentuk [[pondok]].
 
Pada tahun 1852, orang Tionghoa di Padang sudah berjumlah 1.140 orang.{{sfnp|Elizabeth E. Graves|2007|pp=92-93}}{{sfnp|Erniwati|2007|pp=38}} Jumlah ini meningkat menjadi 1.564 pada tahun 1858.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=72}} Mulai banyaknya pendatang Tionghoa yang tinggal di Padang mengakibatkan kebutuhan adanyoakan adanya kelenteng. Pada awalnya, orang Tionghoa di Padang tidak punya kelenteng sama sekali. Sekelompok pentadangpendatang berinisiatif untuk mendirikan kelenteng pada pertengahan abad kake-19. Kelenteng ini dinamakan Kelenteng Kwan Im (Kwan Im Teng). Saat pertama kali berdiri, Kwan Im Teng hanya berupa bangunan kayu beratap rumbia. Namun, pada tahun 1861, lantaran kelalaian pendeta Sae Kong, Kwan Im Teng terbakar hingga menjadi abu. Semasa Kapitan TionghoaCina dipegangdijabat oleh [[Lie Goan Hoat]] pada tahun 1893, didampingi oleh Letnan Liem Soen Mo dan Letnan Lie Bian Ek, orang Tionghoa Padang bermufakat untuk membangun kembali Kelenteng Kwan Im. Kelenteng yang baru berdiri dinamakan Kelenteng See Hien Kiong. Pembangunannya selasai pada tahun 1893.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|8 Juni 2017}}
 
Orang Tionghoa di Padang tidak hanya menjadikan kelenteng sebagai tempat sembayangsembahyang atau ibadah, melainkan juga sebagai tempat tinggal semantarosemantara bagi pendatang Tionghoa yang tidak punya keluarga. Dari sini, mereka bisa berkenalan dengan orang Tionghoa lainnya sehingga menjadi penghubung bagi mereka untuk merintis usaha. Di sekitar kelenteng, mereka mendirikan kos-kios dari buluh bambu sebagai tempat berjualan. Sesudah kelenteng mengalmi kebakaran pada tahun 1861, kios-kios ini disewakan, dan hasil keuntungannya digunakan untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan kelenteng. Lama-kelamaan, kios-kios di sekitar kelenteng berkembang menjadi pasar yang kini dikenal sebagai Pasar Tanah Kongsi.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=55a|ps=: "''Untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan klenteng setelah mengalami kebakaran di tahun 1861, kios-kios bambu tersebut disewakan kepada para pedagang. Lama kelamaan kios-kios bambu berkembang menjadi pasar yang dikenal dengan nama pasar Tanah Kongsi.''"}} Pasar ini menjadi ramai sehingga dalam waktu relatif singkat mampu menyaingi Pasar Mudik yang sebelumnya telah berdiri dan letaknya berdekatan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=93a|ps=: "''Walaupun letak Pasar Tanah Kongsi berdampingan dengan Pasar Mudik yang sebelumnya sudah didirikan oleh pedagang Minangkabau, namun dalam waktu yang relatif singkat, Pasar Tanah Kongsi berkembang dengan cepat dan mampu menyaingi Pasar Mudik.''"}}
 
=== Akhir pemerintahan kolonial Belanda ===
[[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Gezicht_over_Padang_TMnr_60004079.jpg|al=|jmpl|270x270px|Kemajuan Padang yang semula hanya kampung nelayan menjadi pusat perniagaan dan pemerintahan di Sumatra menyebabkan daerah ini ramiramai dikunjungi para pandatangpendatang, termasuk orang Tionghoa.]]
Pada tahun 1865, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.973 orang. Pada tahun 1874, 10% dari populasi penduduk Padang yang ketika itu berjumlah sekitar 25.000 orang adalah orang Tionghoa.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Padang+was+a+second-rank+port+on+the+*%22&dq=%22Padang+was+a+second-rank+port+on+the+*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjMoPX_2rroAhXGR30KHR56BA8Q6AEIKDAA 134]|ps=: "''In 1666 the Dutch made Padang their headquarters on Sumatra's west coast and built a fortress.''"}} Pada tahun 1878, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.640 orang. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 1865. Pada tahun 1880, jumlah orang Tionghoa di Padang kembali meningkat menjadi 3.468 urangorang.{{sfnp|Elizabeth E. Graves|2007|pp=92-93}}{{sfnp|Erniwati|2007|pp=38}}
 
Melihat jumlah orang Tionghoa di Padang yang cenderung bertambah, pemerintahan kolonial Belanda mengambil kebijakan untuk menata permukiman di Padang. Penataan ini mengikui kebijakan Besluit No. 758 yang ditandatangani oleh Gubernur Pantai Barat Sumatra tanggal 30 Oktober 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Tionghoa di Kota Padang. Lantaran populasi orang Tionghoa terus meningkat, begitu pula orang asiangasing lainnya, peraturan tahun 1884 ini diperbarui dengan Beslit No. 34 tanggal 3 Februari 1891. Dalam peraturan baru, wilayah orang Tionghoa diperluas sampai memasuki daerah [[Belakang Tangsi, Padang Barat, Padang|Balakang Tangsi]].{{sfnp|Erniwati|2007|pp=68|ps=: "''Lama-kelamaan lokasi perkampungan Tionghoa semakin berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim. Di Padang, perluasan permukiman Tionghoa ini sampai ke daerah Belakang Tangsi...''"}}{{sfnp|Padangkita.com|23 Oktober 2017}}{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=101}} Di sini, seorang pedagang CinoTionghoa bernamobernama [[Gho Lam San]] membuka sebuah pasar berseberangan dengan bekas pasar milik perusahaan orang Minangkabau [[Badu Ata & Co.]] yang terbakar pada tahun 1882.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22THE+RICH+LIE+SAAY+OPENED%22&dq=%22THE+RICH+LIE+SAAY+OPENED%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjAoJXHrr_oAhXNfX0KHbxRAnIQ6AEIKjAA 235]|ps=: "''Badu Ata & Co. started their second market-place in the Belakang Tangsi area, further north. It was successful until destroyed by fire in 1882. Immediately afterwards the Chinese Gho Lam San opened a new market next to the charred remains of Badu Ata & Co.''"}}{{sfnp|Rusli Amran|1988|pp=[https://books.google.co.id/books?id=3mseAAAAMAAJ&q=%22Gho+Lam+San.%22&dq=%22Gho+Lam+San.%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiBj9Lsqr_oAhUFdCsKHekxA4AQ6AEINTAB 23]}}
 
Pada tahun 1900, pemerintahan kolonial Belanda melonggarkan izin masuk orang Tionghoa di [[Hindia BalandoBelanda]]. Kebijakan ini berpengaruh terhadap jumlah orang Tionghoa di Padang.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22the+last+one+after+the+Dutch+government+%27+s*%22&dq=%22the+last+one+after+the+Dutch+government+%27+s*%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiR8Li1-c_oAhXadCsKHXcTAYYQ6AEIKDAA 55b]|ps=: "''Chinese have come to Indonesia in several waves of migration, the last one after the Dutch government's relaxation on Chinese entry after 1900.''"}}{{sfnp|Erniwati|2007|pp=62|ps=: "''Imigran Cina yang datang menjelang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (1930-an) merupakan migrasi yang dilakukan secara massal.''"}} Jumlah orang Tionghoa pada tahun 1905 adalah sebanyak 5.000 orang, lalu meningkat menjadi 6.765 orang pada tahun 1920, dan meningkat lagi menjadi 8.516 orang pada tahun1930 1930(14% dari populasi kota).{{sfnp|Elizabeth E. Graves|2007|pp=92-93}}{{sfnp|Erniwati|2007|pp=38}}<ref>http://repository.unp.ac.id/1227/1/MESTIKA%20ZED_213_11.pdf</ref>{{sfn|Mestika Zed|2009}} Peningkatan jumlah orang Tionghoa Padang antara tahundari 1905 sampai 1930 sejalan dengan gelombang migrasi massal yang dilakukan oleh orang Tionghoa.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=40|ps=: "''Pada tahun 1930 ditemukan 51% perantauan Cina berasal dari keturunan ke tiga yang terdiri dari 80% Hokkian, 15% Kwongfu, 2% Hakka, dan 3% dari suku lainnya. Dari perkiraan penduduk tahun 1930 terlihat bahwa penduduk Cina Padang mayoritas berasal dari kelompok bahasa Hokkian yang tergolong ke dalam pedagang yang berasal dari Amoy.''"}}
 
=== Sesudah kemerdekaan Indonesia ===
== Hubungan antaretnis ==
[[Berkas:Mahyeldi saat Imlek Padang 2018 (5).jpg|al=|jmpl|270x270px|Suasana perayaan [[Imlek]] pada 2018 di Padang yang turut dihadiri Wali Kota Padang [[Mahyeldi Ansharullah]]]]
 
==== Perjuangan kemerdekaan Indonesia ====
[[Berkas:Barongsai from Padang.jpg|al=|jmpl|270x270px|Atraksi [[barongsai]] di Padang]]
[[Berkas:Een_Chinese_optocht_Spandoeken_worden_meegedragen_Op_een_daarvan_staat_Lang_L,_Bestanddeelnr_491-6-4.jpg|al=|jmpl|270x270px|Spanduk yang diusung oleh orang Tionghoa Padang yang berbunyi Hidup "Para Pemburu", yakni batalion Belanda bagian dari U-Brigade yang melakukan operasi militer di Padang pada 1948]]
Sesudah Indonesia memproklamasikan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945]], sikap orang Tionghoa Padang terbagi ke dalam tiga kelompok. Ada yang memberi dukungan terhadap Balanda, ada yang ikut serta membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan ada yang bersikap netral.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=85a|ps=: "''Sebagai akibat peristiwa yang terjadi pada masa revolusi, etnis Cina Padang kemudian dapat dibagi atas tiga kelompok orientasi, yaitu pro Republik, pro Belanda, dan kelompok netral.''"}} Keragaman orientasi orang Tionghoa Padang semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menyebabkan masyarakat umum sulit mengenali sikap mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=86b|ps=: "''Keragaman orientasi kelompok etnis Cina ini menyebabkan masyarakat umumpun sulit mengenali mereka. Ketidakjelasan sikap etnis Cina tersebut menyebabkan masyarakat umum akhirnya menyamakan penilaian terhadap etnis Cina sebagai kelompok yang hanya mengambil keuntungan di negara Indonesia.''"}} Walaupun begitu, [[Johnny Anwar]] dalam buku ''Api Perjuangan Kemerdekaan di Kota Padang'' menulis, banyak orang Tionghoa Padang tidak memasang bendera Merah Putih di rumah dan toko mereka pada masa awal kemerdekaan Indonesia, padahal sudah ada imbauan dari Pemerintah Kota Padang.{{sfnp|Mulyadi Mintaraga|1986|pp=100}}
 
Orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda berharap Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Di antara mereka tersebut nama Nyo Hok Seng. Ia kerap membocorkan informasi ke Balanda tentang perkembangan situasi Padang, termasuk lokasi persembunyian para pejuang kemerdekaan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=86a|ps=: "''Nyok Hok Seng selalu memberi informasi kepada Belanda tentang perkembangan situasi Padang dan menjadi penunjuk jalan kemungkinan di mana posisi pejuang kemerdekaan. Dengan sombong, setiap sore Nyo Hok Seng berkeliling kampung Pondok dan kota Padang dengan tentara Sekutu dan Belanda mengunakan mobil Jeep. Sikap Nyo Hok Seng menyebabkan etnis Cina lainnya sering mendapat masalah dan digeneralisasikan sebagai antek-antek Belanda dan diangap hanya mengambil keuntungan saja oleh masyarakarakat umum.''"}} Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda untuk memperkaya diri. Mereka memanfaatkan kemampuan menembus blokade Belanda untuk meraup keuntungan. Umumnya mereka adalah pedagang bahan makanan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=84-85|ps=: "''Sebagian kecil dari kelompok ini juga ada orang-orang yang berusaha memperkaya diri sendiri dengan mengadakan penyelundupan dan menerobos blokade Belanda.''"}}
Ketika terjadinya [[kerusuhan Mei 1998]], tidak pernah ada laporan mengenai tindak kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=7a|ps=: "''Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang.''"}} Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang tahun kota. Bahkan, atraksi yang ditampilkan oleh orang Tionghoa seperti barongsai dan [[sipasan]] menjadi salah satu daya tarik wisata di Kota Padang.{{sfnp|Nerosti|2002|pp=73}}{{sfnp|Republika.co.id|10 Januari 2020}}
 
Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada pejuang kemerdekaan. Mereka memberi pertolongan dalam bentuk pasokan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=85b|ps=: "''Kemampuan etnis Cina Padang dalam menyelundupkan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan menjadikan mereka memiliki kedekatan dengan perwira militer yang sangat mempengaruhi hubungan mereka di masa selanjutnya.''"}} [[Sho Bun Seng (pejuang)|Sho Bun Seng]] adalah di antara orang Tionghoa di Padang yang dikenang jasanya dalam memasok senjata untuk pejuang kemerdekaan.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Oei+Ho+Tjong%22&dq=%22Oei+Ho+Tjong%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiBuPLBm9DoAhVR_XMBHTmLDmIQ6AEIKDAA 135b]|ps=: "''Regardless of these forced changes, the Chinese in Padang were well assimilated. It seems that one Chinese, Oei Ho Tjong, who had provided the Republic with weapons, even became member of the LKAAM.''"}}{{sfnp|Mulyadi Mintaraga|1986|pp=100}} Adapun orang Tionghoa Padang yang netral adalah mereka yang tidak menentukan sikap. Mereka hanya menunggu perang usai dan keadaan stabil sehingga mereka bisa melakuan aktivitas perniagaan seperti sedia kala.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=85-86|ps=: "''Sikap yang tidak jelas disebabkan karena kurangnya posisi mereka dalam bidang ekonomi menyebabkan kelompok ini tidak berani menentukan sikap. Kelompok ini hanya akan menunggu siapapun sebagai pemenang perang. Namun karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan pada masa kekuasaan kolonial Belanda, maka harapan mereka hanyalah kembalinya keamanan pribadi dan keadaan ekonomi yang relatif stabil.''"}}
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai Timur Sumatra.{{sfn|Kantor Waligereja Indonesia|1974|p=118}} Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap dalam bahasa asal mereka.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=29}} Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai logat [[Bahasa Mandarin|Mandarin]].{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=138-139}} Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat Minangkabau.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=277}}
 
Ketika perang makin berkecamuk pada pengujung 1945, dilaporkan terjadi pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa di Padang. Lantaran banyaknya orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda, mereka menjadi sasaran penyerangan oleh penduduk. Sederetan rumah orang Tionghoa Padang di Blok Eng Djoe Bie di Balai Baru, [[Kampung Jao, Padang Barat, Padang|Kampung Jao]] diserang. Di sini, terdapat toko yang menjadi pemasok kebutuhan tentara NICA seperti makanan dan obat-obatan. Penyerangan ini membuat mereka mengungsi dan pindah ke Kampung Cina di Pondok. Rumah Ang Eng Hoat, seorang Letnan Cino di Jalan Hiligoo, diobrak-abrik hingga "tinggal dindingnya saja".{{sfnp|Mulyadi Mintaraga|1986|pp=101}}
Pemerintah Kota Padang secara rutin mendukung kegiatan yang menampilkan budaya Tionghoa Padang dan pembaurannya. Dalam setiap perayaan [[Imlek]], ditampilkan atraksi budaya yang ada dari berbagai etnis yang menghuni Kota Padang. Di antara atraksi yang ditampilan oleh orang Tionghoa Padang adalah [[barongsai]], [[arak-arakan kio]], dan [[sipasan]].{{sfnp|Kompas.com|10 Pebruari 2009}} Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT mencatat rekor dunia di [[Guinness World Records]] sebagai atraksi mengarak tandu terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9&nbsp;km. Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan di [[Kinmen]], [[Taiwan]].{{sfnp|Tempo.co|25 Agustus 2013}}{{sfnp|Taiwan Today|16 Mei 2011}} Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender wisata Kota Padang yang dikemas dalam [[Festival Multikultural Padang|Festival Multikultural]].{{sfnp|Harian Haluan|10 Pebruari 2020}}{{sfnp|Posmetro Padang|7 Pebruari 2019}}
 
==== Pengakuan kedaulatan Indonesia ====
Pada 2019, untuk kali pertama diadakan [[Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo]]. Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 [[bakcang ayam]] dan [[lamang baluo]] dibagikan kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus dengan daun.{{sfnp|Antara|6 Juni 2019}} Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio dimeriahkan pulo dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.{{sfnp|Kompas.id|8 Juni 2019}}
Seiring dengan [[Pengakuan kedaulatan Indonesia|pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda]] pada 1949, kondisi politik dan keamanan Kota Padang berangsur pulih. Pemerintah mulai menata kembali kehidupan masyarakat dari berbagai aspek, termasuk persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia yang belum tuntas. [[Soekarno|Presiden Soekarno]] mengumumkan tentang keharusan orang Tionghoa di Indonesia untuk memilih status kewarganegaraan mereka. Mereka diberi tiga pilihan. Pertama menjadi warga negara Belanda, kedua menjadi warga negara Indonesia, atau ketiga menjadi warga negara [[Republik Rakyat Tiongkok]]. Di Padang, adanya pilihan status kewarganegaraan ini membuat sebuah keluarga bisa memiliki status kewarganegaraan yang berbeda sehingga menyebabkan mereka terpisah. Menurut Erniwati, perbedaan pilihan status kewarganegaraan terjadi akibat berbedanya orientasi dan kepentingan di antara orang Tionghoa Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=89|ps=: "''Dengan adanya tiga pilihan status kewarganegaraan tersebut, beberapa keluarga memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Perbedaan pilihan status kewarganegaraan ini terjadi sebagai akibat perbedaan orientasi dan kepentingan. Konsekuensi dari pilihan yang berbeda menyebabkan banyak keluarga-keluarga dari etnis Cina di Indonesia termasuk yang tinggal di Padang terpisah-pisah.''"}}
 
Selain mengatur persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa, pemerintah Indonesia menghentikan masuknya imigran dari Tionghoa. Walaupun demikian, masih ada peningkatan jumlah orang Tionghoa di Padang. Peningkatan ini diperkirakan merupakan akibat kedatangan imigran dari [[Medan]] dan [[Pekanbaru]] serta perpindahan orang Tionghoa dari beberapa daerah di Sumatera Barat untuk mencari perlindungan ketika meletusnya pergolakan [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]] pada 1958 dan [[Gerakan 30 September]] pada 1965.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Patches+of+Padang%22+%221945+and+1965%22&dq=%22Patches+of+Padang%22+%221945+and+1965%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi7xcS1ktDoAhVaXSsKHQZ5Bn4Q6AEIKDAA 134]|ps=: "''After 1949 the immigration of Chinese to Indonesia was virtually called to a halt by the Indonesian government, but there was still an increase in absolute numbers in Padang. Chinese who lived dispersed over the area fled to Padang after 1945 and 1965 for protection and the army started to move Chinese from the countryside to cities in 1959.''"}}
== Sesudah kemerdekaan Indonesia ==
 
==== Sejak 1966 sampai sekarang ====
=== Perjuangan kemerdekaan Indonesia ===
[[Berkas:Makam_Korban_Gempa_2009_Warga_Tionghoa_Padang.jpg|pra=https://min.wiki-indonesia.club/wiki/Berkas:Makam_Korban_Gempa_2009_Warga_Tionghoa_Padang.jpg|al=|jmpl|270x270px|Makam korban gempa 2009 dari orang Tionghoa Padang di [[Bungus Teluk Kabung, Padang|Bungus]]]]Pada 1966, Pemerintah Indonesia mengeluarkan [[wikisource:id:Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966|Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127]] yang isinya mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Di Padang, hampir 8.000 orang Tionghoa melakukannya.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Oei+Ho+Tjong%22&dq=%22Oei+Ho+Tjong%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiBuPLBm9DoAhVR_XMBHTmLDmIQ6AEIKDAA 135a]|ps=: "''The presidential decree No. 127 of 1966 compelled them to change their names to autochthonous ones; nearly eight thousand Chinese in Padang did so.''"}} Kebijakan khusus untuk orang Tionghoa di Indonesia dibuat pula oleh rezim [[Orde Baru]] di bawah [[Soeharto|Presiden Soeharto]] yang dikenal dengan kebijakan asimilasi. Presiden Soeharto mengeluarkan [[wikisource:id:Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967|Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967]] yang isinya membatasi aktivitas agama, adat, dan tradisi Tionghoa di muka umum. Orang Tionghoa Padang menuruti kebijakan tersebut. Namun begitu, pemerintah dan masyarakat Kota Padang memberi kelonggaran terhadap mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=4-5|ps=: "''Kelonggaran ini tidak saja diberikan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat kota Padang. Bahkan di saat perayaan ulang tahun Kota Padang, pemerintah juga mengundang barongsai dan sipasan untuk beratraksi melalui dua perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh.''"}} Mereka tetap dapat melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) maupun perkumpulan sosial, budaya, dan kematian.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=4|ps=: "''Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Cina Padang tetap bisa melaksanakan budaya dan adat istiadat leluhur di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) dan perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT), serta Himpunan Bersatu Teguh (HBT).''"}}
[[Berkas:Een_Chinese_optocht_Spandoeken_worden_meegedragen_Op_een_daarvan_staat_Lang_L,_Bestanddeelnr_491-6-4.jpg|al=|jmpl|270x270px|Spanduk yang diusung oleh orang Tionghoa Padang yang berbunyi Hidup "Para Pemburu", yakni batalion Belanda bagian dari U-Brigade yang melakukan operasi militer di Padang pada tahun 1948]]
Sesudah Indonesia memproklamasian [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945]], sikap orang Tionghoa Padang terbagi ka dalam tiga kelompok. Ada yang memberi dukungan terhadap Balanda, ada yang ikut serta membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan ada yang bersikap netral.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=85a|ps=: "''Sebagai akibat peristiwa yang terjadi pada masa revolusi, etnis Cina Padang kemudian dapat dibagi atas tiga kelompok orientasi, yaitu pro Republik, pro Belanda, dan kelompok netral.''"}} Keragaman orientasi orang Tionghoa Padang semasa perjuangan mempartahankan kemerdekaan Indonesia menyebabkan masyarakat umum sulit mengenali sikap mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=86b|ps=: "''Keragaman orientasi kelompok etnis Cina ini menyebabkan masyarakat umumpun sulit mengenali mereka. Ketidakjelasan sikap etnis Cina tersebut menyebabkan masyarakat umum akhirnya menyamakan penilaian terhadap etnis Cina sebagai kelompok yang hanya mengambil keuntungan di negara Indonesia.''"}} Walaupun begitu, [[Johnny Anwar]] dalam buku ''Api Perjuangan Kemerdekaan di Kota Padang'' menulis, banyak orang Tionghoa Padang tidak memasang bandera Merah Putih di rumah dan toko mereka pada masa awal kemardekaan Indonesia, padahal sudah ada imbauan dari Pemerintah Kota Padang.{{sfnp|Mulyadi Mintaraga|1986|pp=100}}
 
Ketika terjadinya [[kerusuhan Mei 1998]], saat orang Tionghoa di banyak tempat di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adanya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=7a|ps=: "''Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang.''"}} Pada 2000, [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]] mengeluarkan [[wikisource:id:Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000|Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000]] untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=3-4|ps=: "''Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka.''"}}
Orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda berharap Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Di antara mereka tersebut nama Nyo Hok Seng. Ia kerap membocorkan informasi ka Balando tentang perkambangan situasi Padang, temasuk lokasi persembunyian para pejuang kemerdekaan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=86a|ps=: "''Nyok Hok Seng selalu memberi informasi kepada Belanda tentang perkembangan situasi Padang dan menjadi penunjuk jalan kemungkinan di mana posisi pejuang kemerdekaan. Dengan sombong, setiap sore Nyo Hok Seng berkeliling kampung Pondok dan kota Padang dengan tentara Sekutu dan Belanda mengunakan mobil Jeep. Sikap Nyo Hok Seng menyebabkan etnis Cina lainnya sering mendapat masalah dan digeneralisasikan sebagai antek-antek Belanda dan diangap hanya mengambil keuntungan saja oleh masyarakarakat umum.''"}} Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda untuk memperkaya diri. Mereka memanfaatkan kemampuan menembus blokade Belanda untuk meraup keuntungan. Umumnya mereka adalah pedagang bahan makanan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=84-85|ps=: "''Sebagian kecil dari kelompok ini juga ada orang-orang yang berusaha memperkaya diri sendiri dengan mengadakan penyelundupan dan menerobos blokade Belanda.''"}}
 
Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatera Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi ke luar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga beberapa bulan pasca-gempa, orang-orang Tionghoa yang eksodus belum seluruhnya kembali ke Padang. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah ke luar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}}{{sfnp|Kompas.id|8 Juni 2019}} Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}}
Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada pejuang kemerdekaan. Mereka membri pertolongan dalam bantuk pasokan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=85b|ps=: "''Kemampuan etnis Cina Padang dalam menyelundupkan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan menjadikan mereka memiliki kedekatan dengan perwira militer yang sangat mempengaruhi hubungan mereka di masa selanjutnya.''"}} [[Sho Bun Seng]] adalah di antara orang Tionghoa di Padang yang dikenang jasonya dalam memasak senjata untuk pejuang kemerdekaan.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Oei+Ho+Tjong%22&dq=%22Oei+Ho+Tjong%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiBuPLBm9DoAhVR_XMBHTmLDmIQ6AEIKDAA 135b]|ps=: "''Regardless of these forced changes, the Chinese in Padang were well assimilated. It seems that one Chinese, Oei Ho Tjong, who had provided the Republic with weapons, even became member of the LKAAM.''"}}{{sfnp|Mulyadi Mintaraga|1986|pp=100}} Adapun orang Tionghoa Padang yang netral adalah mereka yang tidak menentukan sikap. Mereka hanya menunggu perang usai dan keadaan stabil sehingga mereka bisa melakuan aktivitas perniagaan seperti sedia kala.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=85-86|ps=: "''Sikap yang tidak jelas disebabkan karena kurangnya posisi mereka dalam bidang ekonomi menyebabkan kelompok ini tidak berani menentukan sikap. Kelompok ini hanya akan menunggu siapapun sebagai pemenang perang. Namun karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan pada masa kekuasaan kolonial Belanda, maka harapan mereka hanyalah kembalinya keamanan pribadi dan keadaan ekonomi yang relatif stabil.''"}}
 
Dampak paling terasa dari gempa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelenggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat|8 Juni 2017}}{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat|2018|pp=13}} Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.{{sfnp|Padang.go.id|23 September 2018}}
Ketika perang makin berkecamuk pada pengujung tahun 1945, dilaporkan terjadi pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa di Padang. Lantaran banyaknya orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda, mereka menjadi sasaran penyerangan oleh penduduk. Sederetan rumah orang Tionghoa Padang di Blok Eng Djoe Bie di Balai Baru, [[Kampung Jao, Padang Barat, Padang|Kampung Jao]] diserang. Di sini, terdapat toko yang menjadi pemasok kebutuhan tentara NICA seperti makanan dan obat-obatan. Penyerangan ini membuat mereka mengungsi dan pindah ke Kampung Cina di Pondok. Rumah Ang Eng Hoat, seorang Letnan Cino di Jalan Hiligoo, diobrak-abrik hingga "tinggal dindingnyo saja".{{sfnp|Mulyadi Mintaraga|1986|pp=101}}
 
== Sosial dan kemasyarakatan ==
=== Pengakuan kedaulatan Indonesia ===
[[Berkas:Barongsai from Padang.jpg|al=|jmpl|270x270px|Atraksi [[barongsai]] di Padang]]Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga adalah menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa yang mereka yakini. Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=63|ps=: "''Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional.''"}} Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong, marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=147}}
Seiring dengan [[Pengakuan kedaulatan Indonesia|pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Belando]] pada tahun 1949, kondisi politik dan keamanan Kota Padang berangsur pulih. Pemerintah mulai menata kembali kehidupan masyarakat dari berbagai aspek, termasuk persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia yang belum tuntas. [[Soekarno|Presiden Soekarno]] mengumumkan tentang keharusan orang Tionghoa di Indonesia untuk memilih status kewarganegaraan mereka. Mereka diberi tiga pilihan. Pertama menjadi warga negara Belanda, kedua menjadi warga negara Indonesia, atau ketiga menjadi warga negara [[Republik Rakyat Tiongkok]]. Di Padang, adanya pilihan status kewarganegaraan ini membuat sebuah keluarga bisa memiliki status kewarganegaraan yang berbeda sehingga menyebabkan mereka terpisah. Menurut Erniwati, perbedaan pilihan status kewarganegaraan terjadi akibat berbedanya orientasi dan kepentingan di antara orang Tionghoa Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=89|ps=: "''Dengan adanya tiga pilihan status kewarganegaraan tersebut, beberapa keluarga memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Perbedaan pilihan status kewarganegaraan ini terjadi sebagai akibat perbedaan orientasi dan kepentingan. Konsekuensi dari pilihan yang berbeda menyebabkan banyak keluarga-keluarga dari etnis Cina di Indonesia termasuk yang tinggal di Padang terpisah-pisah.''"}}
 
== Agama ==
Selain mengatur persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa, pemerintah Indonesia menghentikan masuknya imigran dari Tionghoa. Walaupun demikian, masih ada peningkatan jumlah orang Tionghoa di Padang. Peningkatan ini diperkirakan merupakan akibat kedatangan imigran dari [[Medan]] dan [[Pekanbaru]] serta perpindahan orang Tionghoa dari beberapa daerah di Sumatra Barat untuk mencari perlindungan ketika meletusnya pergolakan [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]] pada tahun 1958 dan [[Gerakan 30 September]] pada tahun 1965.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Patches+of+Padang%22+%221945+and+1965%22&dq=%22Patches+of+Padang%22+%221945+and+1965%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi7xcS1ktDoAhVaXSsKHQZ5Bn4Q6AEIKDAA 134]|ps=: "''After 1949 the immigration of Chinese to Indonesia was virtually called to a halt by the Indonesian government, but there was still an increase in absolute numbers in Padang. Chinese who lived dispersed over the area fled to Padang after 1945 and 1965 for protection and the army started to move Chinese from the countryside to cities in 1959.''"}}
Agama orang Tionghoa Padang meliputi [[agama tradisional Tionghoa]], [[Katolik]], [[Protestanisme|Protestan]], dan [[Islam]]. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang.{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
 
Pada 1978, pemerintah [[Soeharto]] menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa [[Agama di Indonesia|agama yang diakui oleh pemerintah]] saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam.<ref>Erniwati & Hardi, Etmi. (2018). Kelenteng See Hin Kiong: Perubahan Fungsi Pada Masa Orde Baru. 73-88. 10.24036/diakronika/vol0-iss0/39.</ref>
=== Sejak 1966 sampai sekarang ===
[[Berkas:Makam_Korban_Gempa_2009_Warga_Tionghoa_Padang.jpg|pra=https://min.wiki-indonesia.club/wiki/Berkas:Makam_Korban_Gempa_2009_Warga_Tionghoa_Padang.jpg|al=|jmpl|270x270px|Makam korban gempa 2009 dari orang Tionghoa Padang di [[Bungus Teluk Kabung, Padang|Bungus]]]]Pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia mengeluarkan [[wikisource:id:Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966|Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966]] yang isinya mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Di Padang, hampir 8.000 orang Tionghoa melakukannya.{{sfnp|Freek Colombijn|1994|pp=[https://books.google.co.id/books?id=8bfZAAAAMAAJ&q=%22Oei+Ho+Tjong%22&dq=%22Oei+Ho+Tjong%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiBuPLBm9DoAhVR_XMBHTmLDmIQ6AEIKDAA 135a]|ps=: "''The presidential decree No. 127 of 1966 compelled them to change their names to autochthonous ones; nearly eight thousand Chinese in Padang did so.''"}} Kebijakan khusus untuk orang Tionghoa di Indonesia dibuat pula oleh rezim [[Orde Baru]] di bawah [[Soeharto|Presiden Soeharto]] yang dikenal dengan kebijakan asimilasi. Pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan [[wikisource:id:Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967|Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967]] yang isinya membatasi aktivitas agama, adat, dan tradisi Tionghoa di muka umum. Orang Tionghoa Padang menuruti kebijakan tersebut. Namun begitu, pemerintah dan masyarakat Kota Padang memberi kelonggaran terhadap mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=4-5|ps=: "''Kelonggaran ini tidak saja diberikan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat kota Padang. Bahkan di saat perayaan ulang tahun kota Padang, pemerintah juga mengundang barongsai dan sipasan untuk beratraksi melalui dua perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh.''"}} Mereka tetap dapat melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka di bawah pengeolaan perhimpunan keluarga (marga) maupun perkumpulan sosial, budaya, dan kematian.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=4|ps=: "''Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Cina Padang tetap bisa melaksanakan budaya dan adat istiadat leluhur di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) dan perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT), serta Himpunan Bersatu Teguh (HBT).''"}}
 
Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang [[Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia]] (PITI).{{sfn|Doni & Arki|2019}} Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di Padang, tetapi mereka sulit diidentifikasi karena cenderung menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan kerabatnya.{{sfn|Nunu & Dodi |2020}}{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
Ketika terjadinya [[kerusuhan Mei 1998]], saat orang Tionghoa di banyak tempart di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adonya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=7a|ps=: "''Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang.''"}} Pada tahun 2000, [[Abdurrahman Wahid|Presiden Abdurrahman Wahid]] mengeluarkan [[wikisource:id:Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000|Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000]] untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=3-4|ps=: "''Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres no 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka.''"}}
 
== Kampung China==
Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatra Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi keluar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga kini, belum semua orang Tionghoa yang meninggalkan Padang kembali, walaupun kondisi kota telah pulih. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah keluar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=28}}{{sfnp|Kompas.id|8 Juni 2019}} Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada tahun 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=16}}
[[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straatgezicht_in_de_Chinese_wijk_TMnr_60004081.jpg|pra=https://min.wiki-indonesia.club/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straatgezicht_in_de_Chinese_wijk_TMnr_60004081.jpg|jmpl|270x270px|Kampung China Padang pada masa kolonial Belanda.]]
{{commonscat|Padang Chinatown|Kampung Cina Padang}}
Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung China.{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=15}} Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara [[Batang Arau]], [[Padang Selatan, Padang|Kecamatan Padang Selatan]]. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala itu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah [[Belakang Pondok, Padang Selatan, Padang|Pondok]] dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=135}}
 
Di Kampung China, terdapat sebuah kelenteng yang bernama [[Kelenteng See Hien Kiong]]. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke [[Bukit Gado-Gado]] di [[Seberang Palinggam, Padang Selatan, Padang|Subarang Palinggam]]. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (''genta'') yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh 1841.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat|8 Juni 2017}} Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung China yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di [[Jakarta]] dan [[Semarang]] yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=53|ps=: "''Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis China Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis China yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula.''"}} Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di Sumatera Barat.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=52|ps=: "''Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat.''"}}
Dampak paling terasa dari gampa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelanggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat|8 Juni 2017}}{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat|2018|pp=13}} Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.{{sfnp|Padang.go.id|23 September 2018}}
 
== SosialHubungan dan kemasyarakatanantaretnis ==
[[Berkas:Mahyeldi saat Imlek Padang 2018 (5).jpg|al=|jmpl|270x270px|Suasana perayaan [[Imlek]] pada 2018 di Padang yang turut dihadiri Wali Kota Padang [[Mahyeldi Ansharullah]]]]
Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga adalah menyelenggarakan sembayang kepada leluhur dan dewa yang mereka diyakini. Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=63|ps=: "''Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional.''"}} Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong, marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=147}}
== Kampung Cina==
[[Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straatgezicht_in_de_Chinese_wijk_TMnr_60004081.jpg|pra=https://min.wiki-indonesia.club/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straatgezicht_in_de_Chinese_wijk_TMnr_60004081.jpg|jmpl|270x270px|Kampung Cina Padang pada masa kolonial Belanda.]]
{{commonscat|Padang Chinatown|Kampung Cina Padang}}
Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung Cina.{{sfnp|Mardanas Safwan|1987|pp=15}} Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara [[Batang Arau]], [[Padang Selatan, Padang|Kecamatan Padang Selatan]]. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala tu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah [[Belakang Pondok, Padang Selatan, Padang|Pondok]] dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=135}}
 
Ketika terjadinya [[kerusuhan Mei 1998]], tidak pernah ada laporan mengenai tindak kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=7a|ps=: "''Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang.''"}} Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang kota serta mendukung kegiatan yang menampilkan budaya Tionghoa Padang dan pembaurannya.{{sfnp|Republika.co.id|10 Januari 2020}}{{sfnp|Nerosti|2002|pp=73}}
Di Kampung Cina, terdapat sebuah kelenteng yang bernama [[Kelenteng See Hien Kiong]]. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke [[Bukit Gado-Gado]] di [[Seberang Palinggam, Padang Selatan, Padang|Subarang Palinggam]]. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (''genta'') yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh tahun 1841.{{sfnp|Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatra Barat|8 Juni 2017}} Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung Cina yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di [[Jakarta]] dan [[Semarang]] yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=53|ps=: "''Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis Cina Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis Cina yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula.''"}} Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di Sumatra Barat.{{sfnp|Erniwati|2007|pp=52|ps=: "''Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat.''"}}
 
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai Timur Sumatra.{{sfn|Kantor Waligereja Indonesia|1974|p=118}} Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap dalam bahasa asal mereka.{{sfnp|Rahmi Surya Dewi|2018|pp=29}} Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai logat [[Bahasa Mandarin|Mandarin]].{{sfnp|Riniwaty Makmur, dkk|2018|pp=138-139}} Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat Minangkabau.{{sfnp|Riniwaty Makmur|2018|pp=277}}
== Agama ==
Agama orang Tionghoa Padang meliputi [[agama tradisional Tionghoa]], [[Katolik]], [[Protestanisme|Protestan]], dan [[Islam]]. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang.{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
 
Dalam setiap perayaan [[Imlek]], etnis Tionghoa Padang menampilkan sejumlah atraksi seperti [[barongsai]], [[arak-arakan kio]], dan [[sipasan]].{{sfnp|Kompas.com|10 Pebruari 2009}} Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT tercatat sebagai rekor dunia di [[Guinness World Records]] sebagai atraksi mengarak tandu terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9&nbsp;km. Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan di [[Kinmen]], [[Taiwan]].{{sfnp|Tempo.co|25 Agustus 2013}}{{sfnp|Taiwan Today|16 Mei 2011}} Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.{{sfnp|Harian Haluan|10 Pebruari 2020}}{{sfnp|Posmetro Padang|7 Pebruari 2019}}
Pada 1978, pemerintah [[Soeharto]] menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa [[Agama di Indonesia|agama yang diakui oleh pemerintah]] saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam.<ref>Erniwati & Hardi, Etmi. (2018). Kelenteng See Hin Kiong: Perubahan Fungsi Pada Masa Orde Baru. 73-88. 10.24036/diakronika/vol0-iss0/39. </ref>
 
Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo. Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 [[bakcang ayam]] dan [[lamang baluo]] dibagikan kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus dengan daun.{{sfnp|Antara|6 Juni 2019}} Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio dimeriahkan pula dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.{{sfnp|Kompas.id|8 Juni 2019}}
Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang [[Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia]] (PITI).{{sfn|Doni & Arki|2019}} Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di Padang, tetapi mereka sulit diidentifikasi karena cenderung menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan kerabatnya.{{sfn|Nunu & Dodi |2020}}{{sfn|Rusli & Rois|2020}}
 
== Catatan kaki ==
Baris 144 ⟶ 142:
|year = 2007
|url = https://books.google.co.id/books?id=Ey97JAAACAAJ&dq=Asap+Hio+di+Ranah+Minang:+Komunitas+Tionghoa+di+Sumatera+Barat&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjS6Me737zoAhUIWCsKHRefAdIQ6AEIKzAA
|title = Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di SumatraSumatera Barat
|location = Yogyakarta
|work =
Baris 167 ⟶ 165:
|first = Riniwaty
|last = Makmur
|authormask = [[Riniwaty Makmur]]
|year = 2018
|url = https://books.google.co.id/books?id=IjrcvQEACAAJ&dq=Orang+Padang+Tionghoa:+dima+bumi+dipijak,+Disinan+langik+dijunjuang+Riniwaty+Makmur&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiS0peI1MHoAhUDYysKHRpqBIcQ6AEIKDAA
Baris 202 ⟶ 200:
|oclc = 971526815
|ref = {{sfnRef|Jeffrey Hadler|2010}}
}}
*{{Cite book
|url = http://repository.unp.ac.id/1227/1/MESTIKA%20ZED_213_11.pdf
|title = Kota Padang Tempo Doeloe (Zaman Kolonial)
|first = Mestika
|last = Zed
|authormask = [[Mestika Zed]]
|first =
|date = 2009
|publisher = Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE)
|isbn =
|location = Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Padang (UNP)
|oclc =
|ref = {{sfnRef|Mestika Zed|2009}}
}}
* {{Cite book|date=1974|url=https://books.google.co.uk/books?id=B5YEAQAAIAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=%22kalangan+orang+Tionghoa+,+maka+penduduk+Tionghoa+di+pantai+*%22&q=%22kalangan+orang+Tionghoa+,+maka+penduduk+Tionghoa+di+pantai+*%22&hl=en&redir_esc=y|title=Sejarah Gereja Katolik Indonesia|publisher=Kantor Waligereja Indonesia|language=id
Baris 209 ⟶ 221:
|first = Gusti
|last = Asnan
|authormask = [[Gusti Asnan]]
|authorlink = Gusti Asnan
|title = Kamus Sejarah Minangkabau
|url = https://books.google.co.id/books/about/Kamus_sejarah_Minangkabau.html?id=ndZwAAAAMAAJ&redir_esc=y
Baris 288 ⟶ 299:
}}
{{col-break}}
* {{Cite journal|last=Rusli Hanura|first=|last2=Rois Leonard Arios|first2=|date=2020|title=Interaksi Etnis Tionghoa Muslim dan Non-Muslim Di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat|url=https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id/index.php/pangadereng/article/view/157|journal=Pangadereng|language=id|volume=6|issue=2|pages=159–171|doi=|issn=|ref={{sfnRef|Rusli & Rois|2020}}|access-date=2021-08-15|archive-date=2021-08-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20210815095915/https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id/index.php/pangadereng/article/view/157|dead-url=yes}}
|ref = {{sfnRef|Rusli & Rois|2020}}}}
* {{Cite journal|last=|first=Nunu Burhanuddin|last2=Dodi Pasilaputra|first2=|date=2020|title=Social, Political, and Religious Roles of Chinese Muslims in Indonesia: Experiences of West Sumatran PITI|url=https://hamdardislamicus.com.pk/index.php/hi/article/view/248|journal=Hamdard Islamicus|volume=43|issue=Special Issue|langauge=Inggris|issn=
|ref = {{sfnRef|Nunu & Dodi |2020}}}}
Baris 306 ⟶ 316:
}}
* {{cite web
|title = Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang Provinsi Sumatera Barat
|author = Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat
|url = https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
|work = Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
|publisher =
|date = 2018
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|2018}}
|archive-date = 2019-02-21
|archive-url = https://web.archive.org/web/20190221224258/https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
|dead-url = yes
}}
* {{cite web
|title = Deskripsi Cagar Budaya Tidak Bergerak Kota Padang Provinsi Sumatera Barat
|author = Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat
|url = https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
|work = Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
|publisher =
|date = 2018
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Balai Pelestarian Cagar Budaya SumatraSumatera Barat|2018}}
|archive-date = 2019-02-21
|archive-url = https://web.archive.org/web/20190221224258/https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/wp-content/uploads/sites/28/2018/08/Cagar-Budaya-Kota-Padang.pdf
|dead-url = yes
}}
* {{Cite news|title = Ada "Lipan" Terpanjang di Perayaan Cap Go Meh
* {{cite web
|title = Ada "Lipan" Terpanjang di Perayaan Cap Go Meh
|author =
|url = https://properti.kompas.com/read/2009/02/10/11452049/~Oase~Cakrawala
Baris 345 ⟶ 360:
|ref = {{sfnRef|Padang.go.id|23 September 2018}}
}}
* {{Cite news|title = Imlek, Prosesi Pernikahan China Peranakan Hanya Bertahan di Tiga Kota
* {{cite web
|title = Imlek, Prosesi Pernikahan China Peranakan Hanya Bertahan di Tiga Kota
|author =
|url = https://sains.kompas.com/read/2008/02/05/18160273/imlek.prosesi.pernikahan.china.peranakan.hanya.bertahan.di.tiga.kota
|work = [[Kompas.com]]
|publisher =
|date = 5 Februari 2008
Baris 366 ⟶ 380:
}}
* {{cite web
|title = Digelar 19 Februari 2019, Cap Go Meh Bakal Dihadiri Menteri Pariwisata
|author =
|url = https://posmetropadang.co.id/digelar-19-februari-2019-cap-go-meh-bakal-dihadiri-menteri-pariwisata/
|work = Posmetro Padang
|publisher =
|date = 7 Februari 2019
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Posmetro Padang|7 Februari 2019}}
|archive-date = 2022-03-29
|archive-url = https://web.archive.org/web/20220329064055/https://posmetropadang.co.id/digelar-19-februari-2019-cap-go-meh-bakal-dihadiri-menteri-pariwisata/
|dead-url = yes
}}
* {{cite web
Baris 385 ⟶ 402:
|ref = {{sfnRef|Harian Haluan|10 Februari 2020}}
}}
* {{Cite news|title = Pawai Budaya Multikultur di Padang
* {{cite web
|title = Pawai Budaya Multikultur di Padang
|author =
|url = https://travel.tempo.co/read/507145/pawai-budaya-multikultur-di-padang
Baris 394 ⟶ 410:
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Tempo.co|25 Agustus 2013}}
|language= id
}}
* {{cite web
Baris 415 ⟶ 432:
|ref = {{sfnRef|Republika.co.id|10 Januari 2020}}
}}
* {{Cite news|author = [[Ikhwan Wahyudi]]
* {{cite web
|author = [[Ikhwan Wahyudi]]
|url = https://sumbar.antaranews.com/berita/270828/bakcang-dan-lamang-baluo-satukan-minang-dan-tionghoa
|title = Bakcang dan Lamang Baluo Satukansatukan Minang dan Tionghoa
|work = [[Lembaga Kantor Berita Nasional Antara|LKBNANTARA AntaraNews]]
|date = 6 Juni 2020
|accessdate = 25 September 2020
|ref = {{sfnRef|Antara|6 Juni 2019}}
|last= Nugroho
|first= Joko
}}
{{col-end}}
 
{{Tionghoa Indonesia}}
{{Artikel bagus}}
 
[[Kategori:Kota Padang]]