Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
masukkan ke kategori: daftar pahlawan Indonesia yang beragama Kristen + Katolik
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Dalam budaya populer: dobel info ama yg atas
 
(14 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 4:
|name = Albertus Soegijapranata
|honorific-suffix = [[Yesuit|S.J.]]
|native_name =
|native_name_lang =
|title = [[Keuskupan Agung Semarang|Uskup Agung Semarang]]
|image = Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A.Albertus Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpgjpeg
|image_size =
|alt =
|caption =Soegijapranata padaFoto tahunresmi 1946Soegijapranata
|church =
|archdiocese = Semarang
<!--|province = Semarang
|metropolis = Semarang-->
|diocese =
|see =
|elected =
|appointed = 1 Agustus 1940
|term =
|term_start =
|quashed =
|term_end = 22 Juli 1963
|predecessor = Tidak ada, jabatan baru
|opposed =
|successor = [[Justinus Darmojuwono]]
|other_post =
<!---------- Orders ---------->
|ordination = 15&nbsp;Agustus 1931
Baris 32:
|consecration = 6&nbsp;Oktober 1940
|consecrated_by = [[Petrus Johannes Willekens]]
|cardinal =
|rank =
<!---------- Personal details ---------->
|birth_name = Soegija
|birth_date = {{Birth date|df=yes|1896|11|25}}
|birth_place = {{Flagicon|Belanda}} [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]]
|death_date = {{Death date and age|df=yes|1963|07|22|1896|11|25}}
|death_place = {{Flagicon|Belanda}} [[Steyl]], [[Belanda]]
|buried = [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]]
|nationality = Indonesia
|religion = [[Katolik]]
|residence =
|parents = {{plainlistunbulleted list|Ayah: Karijosoedarmo|Ibu: Soepiah}}
|occupation =
*Karijosoedarmo <small>(ayah)</small>
|profession =
*Soepiah <small>(ibu)</small>
|previous_post =
}}
|occupation =
|profession =
|previous_post =
|education =
|alma_mater =
|motto = "''In Nomine Jesu''" <br/> (Dalam nama Yesus)
|signature =
|signature_alt =
|coat_of_arms =
|coat_of_arms_alt =
<!---------- Other ---------->
|other =
}}
{{Spoken Wikipedia|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 1 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 2 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 3 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 4 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 5 - Albertus Soegijapranata.wav|date=29 September 2022}}
 
Mgr. '''Albertus Soegijapranata''', {{post-nominals|post-noms=[[Yesuit|S.J.]]}} ([[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]]: '''Albertus Sugiyapranata'''; {{lahirmati||25|11|1896||22|7|1963}}), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikaris Apostolik [[Semarang]], kemudian menjadi [[uskup agung]]. Ia merupakan [[uskup]] [[pribumi]] Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
 
Baris 72 ⟶ 71:
 
== Kehidupan awal ==
[[Berkas:Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg|jmpl|Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri]]
[[Berkas:Albertus Soegijapranata Muda.jpg|al=Albertus Soegijapranata Muda|jmpl|Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya]]
Soegija dilahirkan pada 25&nbsp;November 1896 di [[Surakarta]]. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''abdi dalem'' di [[kasunanan Surakarta|Keraton Kasunanan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono&nbsp;VII]], sementara istrinya merupakan pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum [[Islam]].{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
 
{{multiple image
| align = left
| total_width = 300
| direction = horizontal
| image1 = Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg
[[Berkas:Mgr.| Albertuscaption1 Soegijapranata, SJ.jpg|jmpl| = Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri]]
| image2 = Albertus Soegijapranata Muda.jpg
| alt2 = Albertus Soegijapranata Muda
| caption2 = Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya
}}
 
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah ia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|menembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar 1909 Soegija diminta oleh Pater [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
Baris 87 ⟶ 95:
 
== Jalan menuju imamat ==
[[Berkas:Velp (NB) Rijksmonument 514139 Mariëndaal (De Binckhof) keuken.jpg|jmpl|kiri|Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di [[Grave]], [[Belanda]].]]
Pada 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pendidikan mereka; mereka berangkat dari [[Pelabuhan Tanjung Priok|Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk mendalami bahasa Latin dan Yunani, sesuatu yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Ia dan rekan kelasnya juga harus beradaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27&nbsp;September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya baru mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Ia menyelesaikan novisiat pada 22&nbsp;September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, murni, dan taat.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
 
Setelah bergabung dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11&nbsp;Agustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
Baris 122 ⟶ 130:
 
=== Revolusi Nasional ===
[[Berkas:Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A. Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpg|jmpl|ki|Soegijapranata pada tahun 1946]]
Setelah [[serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki]] dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945,{{sfn|Adi|2011|p=32}} orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah [[bendera Indonesia]] dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.{{sfn|Subanar|2003|p=146}} Ia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit. Beberapa orang ditahan lagi oleh pihak Indonesia, tetapi pemerintah masih mengizinkan agar tahanan itu dirawat orang-orang Katolik. Sementara, beberapa gedung gereja dibakar dan klerus dibunuh karena perselisihan antar-agama.{{sfn|Subanar|2003|p=147}}{{sfn|Subanar|2005|p=72}} Pemerintah juga mengambil alih beberapa bangunan milik Gereja, dan dari bangunan yang pernah disita Jepang tidak semuanya dikembalikan.{{sfn|Subanar|2005|p=74}}
 
Baris 142 ⟶ 151:
Selain mengawasi para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak dari keluarga Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Ia menekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} ia juga menerangkan bahwa siswa harus belajar di mana-mana, bukan hanya di sekolah.{{sfn|Gonggong|2012|p=101}} Gereja juga terus mengembangkan sarana pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.{{sfn|Gonggong|2012|p=102}} Soegijapranata juga mulai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesia. Ia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam misa; ini diizinkan mulai tahun 1956. Ia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat misa, dan menyetujui penggunaan [[wayang]] untuk mengajar cerita [[Al Kitab]] ke anak-anak.{{sfn|Gonggong|2012|pp=104–105}}
 
Dengan [[Perang Dingin]] yang semakin meningkat, terjadi perselisihan besar antara Gereja di Indonesia dan [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI). Soegijapranata beranggapan bahwa PKI mendapatkan lebih banyak pendukung dari kalangan miskin karena menawarkan hak buruh melalui serikat pekerjanya. Untuk melawan ini, ia bekerja sama dengan orang Katolik lain untuk mendirikan kelompok pekerja yang dibuka untuk orang Katolik dan non-Katolik. Dengan memberdayakan buruh, Soegijapranata berharap agar PKI akan kehilangan kekuatannya. Salah satu kelompok yang didirikan ialah Buruh Pancasila, yang dibentuk pada tanggal 19&nbsp;Juni 1954;{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} organsisasiorganisasi tersebut juga merupakan salah satu cara Soegijapranata untuk mempromosikan falsafat [[Pancasila]].{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Tahun berikutnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang mengakui bakti Soegijapranata untuk orang miskin, menentukan agar Soegijapranata menjadi pemimpin program bakti sosial di seluruh Nusantara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=99–100}} Pada tanggal 2&nbsp;November 1955 Soegijapranata dan beberapa uskup lain mengeluarkan sebuah surat pastoral yang mencela paham komunisme, [[Marxisme]], dan [[materialisme]]; mereka juga minta agar pemerintah memperlakukan setiap warga negara dengan adil dan bijaksana.{{sfn|Gonggong|2012|p=112}}
 
Ada pula gangguan di dalam hierarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan [[Papua bagian barat]] - daerah itu secara historis dikuasai Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapranata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam sebuah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara dua negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.{{sfn|Gonggong|2012|pp=114–116}} Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa dirinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan [[Sejarah Indonesia (1959-1966)|sistem Demokrasi Terpimpin]]. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang dipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung dengan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, ia tetap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.{{efn|Partai Katolik, yang menolak sistem pemerintahan baru, tidak mengirim wakil {{harv|Gonggong|2012|pp=117–118}}.}} Ini, serta dukungan Soegijapranata untuk [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]] yang menentukan kembalinya ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]], membuat Uskup Jakarta [[Adrianus Djajasepoetra]] menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penjilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan [[Nasakom]], yang mendasarkan pemerintahan Indonesia pada komunisme.{{sfn|Gonggong|2012|pp=117–118}}
Baris 443 ⟶ 452:
[[Kategori:Yesuit Indonesia]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:DaftarTokoh pahlawan nasionalKatolik Indonesia yang beragama Kristen]]
[[Kategori:Daftar pahlawan nasional Indonesia yang beragama Katolik]]
[[Kategori:Uskup Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]