Kertajaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Rakehino (bicara | kontrib)
regnal name
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(72 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{tentang|raja Kediri yang terkenal|kereta api milik [[PT Kereta Api Indonesia]]|kereta api Kertajaya|Kertajaya (disambiguasi)}}
{{no footnotes}}
{{tentang|raja Kediri yang terkenal|kereta api milik [[PT Kereta Api Indonesia]]|kereta api Kertajaya|Kertajaya (disambiguasi)}}
'''Sri Maharaja Kertajaya''' adalah raja terakhir [[Kadiri]] yang memerintah sekitar tahun 1194 - 1222. Pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Kertajaya dikalahkan oleh [[Ken Arok]] dari [[Tumapel]] atau [[Singhasari]], yang menandai berakhirnya masa [[Kerajaan Kadiri]].
 
{{infobox royalty
|name = Kertajaya
|image =
|image = [[Berkas:Airlangga.jpg|jmpl|200px|lurus|Sri Maharaja Kertajaya Kadiri <br/> Prabu Dandhang Gendis]]
|title = Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita SrenggalancanaSrengga Lancana Digjaya Uttunggadewa
|birth_date = [[Daha]] [[Kerajaan Kadiri]]
|birth_place = [[Jawa Timur]]
|death_date = [[1222]]
|death_place = [[Pertempuran Ganter]], [[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]], [[Jawa Timur]]
|death_place = [[Gugur]] Ganter
|place of burial = [[Pertempuran Ganter]] Kediri Timur [[Kabupaten Kediri]] [[Jawa Timur]]
|royal house = [[Wangsa Isyana|Isyana]]
|issue = *Jayasabha (menurut kitab [[Nagarakretagama]]
| succession = Raja [[Kerajaan KadiriPanjalu]] terakhir
| reign = [[1194]]–[[1222]] - 1222M
| fatherpredecessor = [[butuh rujukanKameswara]]
| motherreligion = [[butuh rujukanHindu]]
|regnal name = Pāduka Śrī Mahārāja Śrī Sarwweśwara Triwikramāwatārānindita Parākrama Śṛṅgalāncana Digjayottunggadewanāma
| wife = [[butuh rujukan]]
|religion = [[Hindu]]
}}
 
'''Sri Maharaja Srengga''' atau dikenal sebagai '''Kertajaya''' dalam [[kitab Pararaton]] disebut juga dengan '''Dhandhang Gendhis''' meninggal pada tahun [[1222]], adalah raja terakhir dari [[KadiriKerajaan Panjalu]] yang memerintah sekitar tahun 1194 - 1222(1188–1222). PadaDi akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah sebagai [[dewa]]. Kertajaya dikalahkan oleh [[Ken Arok]] atau Sri Ranggah Rajasa dari [[Tumapel]] atau [[Singhasari]], yang menandai berakhirnya masa [[Kerajaankerajaan Kadiri]]Panjalu.<ref>https://www.britannica.com/biography/Kertajaya</ref>
 
== Sejarah ==
[[Image:Sapu_Angin_Inscription.jpg|180px|thumb|Gambar bentuk ''lanchana'' Kertajaya pada prasasti [[prasasti Sapu Angin|Sapu Angin]] dikeluarkan saat masih menjadi putra mahkota]]
Nama Kertajaya terdapat dalam Kitab ''[[Nagarakretagama]]'' ''(1365)'' karya ''[[Mpu Prapanca]]'' yang dibuat pada masa ''[[Majapahit]]'' ratusan tahun setelah zaman ''[[Kadiri]]''.
 
Dalam [[bahasa Sanskerta]], Kṛtajaya berarti कृत krta (kemakmuran) dan जय jaya (kemenangan). Dari prasasti-prasasti tersebutyang dikeluarkan pada masa pemerintahannya dapat diketahui nama gelar ''abhiseka'' Kertajaya adalahyang digunakan ialah '''Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita SrenggalancanaSrengga Lancana Digjaya Uttunggadewa'''.
Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya [[Prasasti Galunggung]] (1194), [[Prasasti Kamulan]] (1194), [[Prasasti Palah]] (1197), [[Prasasti Biri]], dan [[Prasasti Lawadan]] (1205).
 
Bukti kesejarahan keberadaan raja Kertajaya antara lain ditemukan dalam [[prasasti Sapu Angin]] (1190), [[prasasti Kamulan]] (1194), [[prasasti Palah]] (1197), [[prasasti Mleri II]] (1198), [[Prasasti Galunggung]] (1201), [[prasasti Biri]] (1202), [[prasasti Tuliskriyo]] (1202), [[prasasti Sumberingin Kidul|prasasti Sumberingin]] (1204), [[prasasti Lawadan]] (1205), [[prasasti Cemandi]] (1205) dan [[prasasti Merjosari]] (1216).
Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar ''abhiseka'' Kertajaya adalah '''Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa'''.
 
Kertajaya merupakan tokoh nyata selain namanya termuat di dalam prasasti juga disebutkan di [[kakawin]] [[Nagarakretagama]] karya pujangga masa [[Majapahit]] bernama [[Mpu Prapanca]], yang dibuat ratusan tahun setelah zaman [[Kadiri]].
== Pertempuran Ganter ==
 
== Pemberontakan Ken Arok ==
{{Main|Pemberontakan Ken Arok}}
Dalam ''[[Kitab Pararaton]]'' Maharaja Kertajaya disebut juga dengan nama '''Prabu DandhangDhandhang GendisGendhis'''., Dikisahkandikisahkan di akhir masa pemerintahannya kondisi kestabilan sosial [[Kerajaankerajaan Kadiri]] mulai menurun. Kondisi ini karenadisebabkan raja bermaksud mengurangi hakkese-hak kaum Brahmana. Sang prabu menyatakan ingin disembah sebagai dewa. Permintaan Prabu Dandhang Gendis ini tentunya mendapatkan perlawananwenang-wenangan dari parasang pendetaraja danKertajaya kaumterhadap Brahmanagolongan [[Hindupendeta]], maupunkese-wenang-wenangan Kertajaya yang berlaku [[Buddhaotoriter]]. Meskipunterhadap Prabupara Dandhangpendeta Gendistersebut unjukdikisahkan kesaktiannyadalam dengan[[Tantu caraPanggelaran|Kitab dudukTantu bersilaPanggelaran]], di atasdalam sebatangTantu tombakPanggelaran tajamraja yangKṛtajaya berdiri. Beberapa orang yang tak mengakui kedewaan Kertajaya terpaksa disiksadisebut dengan kejam''Śrī hinggaMahārāja akhirnya matiTaki''. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
{{cquote|"Ana ta sira ratu siniwing Daha, anak atuhā de haji Bhathati, Śrī Mahārāja Taki ngaranira. Sira ta siniwi ring Daha"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Adalah raja dihormati di Daha, anak tertua raja Bhathati, Śrī Mahārāja Taki namanya. Dia dihormati di Daha"...)
 
Dalam bagian ke VII dalam kitab [[Tantu Panggelaran]] dikisahkan bahwa Sri Maharaja Taki hendak berkeinginan untuk membunuh pendeta sakti yang bernama Pu Bharang.
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih melarikan diri dan oleh sebab etika dan keserakahannya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana memilih meninggalkan ibu Kota [[Kerajaan Kadiri]]. Mereka menyingkir sambil terus berdakwah akan kesesatan Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken Arok]], bawahan Dandhang Gendis yang menjadi ''akuwu'' saat ini gelar setingkat ''camat'' di [[Tumapel]]. [[Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[Kadiri]].
{{cquote|"Ya ta matus ri sang sogata kalih sanak, mangaran sirā Pu Tapa-Wangkeng mwang Pu Tapa-palet. Kalih pada kinon de sang prabhu hamkahana sirā Pu Bharang"...}} (Pigeaud, 1924:112)
Terjemahan: (Maka diutuslah dua orang pendeta Buddha bersaudara
bernama Pu Tapa-Wangkeng dan Pu Tapa-Palet. Keduanya disuruh oleh
sang Prabhu supaya membunuh Pu Bharang"...)
 
Turut diceritakan dalam teks naskah ''[[Pararaton]]'' bahwa sang raja bermaksud mengurangi hak-hak kaum [[Brahmana]]. Sang prabu menyatakan keinginannya untuk disembah selayaknya [[dewa]]. Permintaan Prabu Dhandhang Gendhis ini tentunya menimbulkan pertentangan juga perlawanan dari para pendeta maupun kaum Brahmana [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Meskipun Prabu Dhandhang Gendhis unjuk kesaktian dengan duduk bersila di atas sebatang tombak tajam yang berdiri. Beberapa orang yang tak mau mengakui kedewaan Kertajaya lantas terpaksa harus disiksa dengan kejam. Sementara bagi yang mengakui kedewaannya akan dibebaskan dari segala hukuman dan diberikan kedudukan terhormat.
Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain [[Siwa]]) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang [[Kadiri]]. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke [[Kerajaan Kadiri]]. Kedua pasukan itu telah bertemu di dekat Ganter
{{cquote|[15]... Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Ḍangḍang gěṇḍis angan dika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira: E, ki para bhujangga çewa-sogata, paran sangkanira nora aněmbah ring ingsun, apan ingsun sakṣat bhaṭâra Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking naga-reng Kaḍiri: Pukulun tan wontěn ing kinakina bhujangga aněm-
 
[20]... bahi ratu.”Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Ḍangḍang
Perang antara [[Tumapel]] dan [[Kadiri]] terjadi begitu sengit di dekat desa Ganter. Para panglima perang [[Kadiri]] yaitu [[Mahisa Walungan]] (adik Dandhang Gendis) dan [[Gubar Baleman]] mati di tangan [[Ken Arok]]. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.
gěṇḍis: Lah manawa kang ring kuna nora aněmbah, kang mangko
sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Ḍangḍang gěṇḍis
angaděgakěn tumbak, laṇḍeyanipun tinañcěbakěn ring lěmah, sira
ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika: ,, Lah pa-
 
[10]... rabhujangga dělěngěn kaçaktiningsun.”Sira ta katon acaturbhuja,
''[[Nagarakretagama]]'' juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam ''dewalaya'' (alam tempat dewa).
atrinayana, sakṣat bhaṭâra Guru rupanira, winidhi aněmbaha
parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harěp aněmbaha tur
měrsah paḍa angungsi maring Tumapěl asewaka ring ken Angrok...}} (Brandes, 1920:18; Padmapuspita, 1966:21-21; dan Kasdi, 2008:54).
Terjemahan:
(Kebetulan dengan kehendak Dewata sang prabu Dhandhang Gendhis,
raja di Daha bertanya kepada para pendeta yang menghadap di Daha:
“Hai, para pendeta Śiwa-Buddha, mengapa kalian tidak menyembah
kepadaku, karena aku adalah (bagai) Bhaṭāra Guru”. Menjawablah semua
pendeta-pendeta semua (seluruh) pendeta yang berdiam di Kaḍiri:
“Tuanku, dari (zaman) dulu tak ada pendeta menyembah (kepada) raja”.
Demikianlah kata para pendeta semua. Berkatalah Dhandhang Gendhis:
“Kalau zaman dahulu tak ada yang menyembah, sekarang kalian harus
menyembah kepadaku, kalau kalian tidak tahu akan kesaktianku, maka
sekarang aku berikan buktinya”. Maka raja Dhandhang Gendhis
memasang sebuah tombak dengan tangkainya (hulu) ditancapkan
kedalam tanah, dia duduk diatas ujung tombak dan berkata: “Hai, para
pendeta, lihat kesaktianku!”. Maka dia tampak bertangan 4, bermata 3,
rupanya seperti Bhaṭāra Guru. Para pendeta di seluruh Daha dipaksa
menyembahnya, mereka tidak mau menyembah mereka mengungsi ke
Tumapěl dan menghadap (menghamba) kepada Ken Angrok"...)<br>(Hardjowardojo, 1965:29-30; Komandoko, 2008b:33; Kriswanto, 2009:51-53).
 
Kaum Brahmana dan para pendeta yang ketakutan mereka memilih menyingkir dan melarikan diri dandari olehibu sebabkota etika[[Daha]]napura, dan keserakahannyakarena kelaliman serta perilakunya itu membuat Kertajaya terus mendapat penolakan dari para kaum Brahmana. Para kaum Brahmana dan pendeta memilih meninggalkan ibu Kotakota [[Kerajaan Kadiri]]. Mereka menyingkirkerajaan sambil terusmenceritakan berdakwah akantentang kesesatan maharaja Kertajaya, kepada seluruh rakyat kerajaan yang ditemuinya. Kaum Brahmana dan para pendeta meminta perlindungan dari wilayah Tumapel ([[Malang]]) yang saat itu dibawah kepemimpinan Ken Arok. mereka memilih berlindung kepada [[Ken ArokAngrok]], bawahan DandhangDhandhang GendisGendhis yang menjadi ''akuwu'' (saat ini gelarjabatan setingkat ''camat'') di [[wilayah Tumapel]]. [[Atas dukungan para Brahmana, Ken Arok]] lalu mengangkat dirinya menjadi raja dan menyatakan wilayah [[Tumapel]] sebagai kerajaan merdeka, lepas dari [[KadiriPanjalu]].
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus [[akhirat]]
 
Mengetahui hal ini, Kertajaya lalu mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. DandhangDhandhang GendisGendhis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh [[Siwa]]. Mendengar hal itu, [[Ken Arok]] pun memakai gelar [[Batara Guru|Bhatara Guru]] (nama lain [[dewa Siwa]]) dan bergerak memimpin pasukan untuk menyerang [[Kadiri]]Panjalu. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke [[Kerajaan Kadiri]]. Kedua pasukan itu telah bertemu di dekat Ganter
== Keturunan Kertajaya ==
Sejak tahun 1222 [[Kadiri]] menjadi daerah bawahan [[Tumapel]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat [[Ken Arok]] sebagai bupati [[Kadiri]]. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama [[Jayakatwang]]. Pada tahun 1292 [[Jayakatwang]] memberontak dan mengakhiri riwayat [[Tumapel]].
 
== Pertempuran Ganter ==
Menurut keterangan yang didapat di dalam [[Prasasti Mula Malurung]] (1255), menyebutkan kalau penguasa [[Kadiri]] setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias [[Ken Arok]]). Sementara [[Jayakatwang]] menurut Prasasti Penanggungan adalah bupati [[Gelanggelang|Gelang-Gelang]], yang kemudian menjadi raja [[Kadiri]] setelah menghancurkan [[Tumapel]] atau Singhasari tahun 1292.
{{Main|Pertempuran Genter}}
Pasukan [[Singhasari|Tumapel]] yang dipimpin [[Ken Angrok]] dengan dukungan dari kaum Brahmana melakukan serangan terhadap [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Kedua pasukan tersebut kemudian bertemu di dekat Ganter, wilayah timur [[Kadiri]].
 
Perang antara [[Tumapel]] dan [[Kadiri]]Panjalu terjadi dengan begitu sengit di dekat desawilayah Ganter. Para(sekarang panglimaDusun perangGanten, [[KadiriNgantang, Malang]]). Para panglima perang Panjalu yaitu [['''Mahisa Walungan]]''' (adik Dandhang Gendis) dan [['''Gubar Baleman]]''' mati di tangan [[Ken Arok]]. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik menuju kahyangan.
 
''[[Nagarakretagama]]'' juga mengisahkan secara singkat berita akan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam ''dewalaya'' (alam tempat dewa).
 
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. KiranyaKemungkinan yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghunipergi ke alam halus [[akhirat]]dewa.
 
== Kadiri menjadi bawahan Tumapel ==
Sejak tahunkekalahan 1222Kertajaya dalam pertempuran Ganter (palagan Ganter), pada tahun [[Kadiri1222]] Panjalu menjadi daerah bawahan [[Tumapel]]. Menurut ''[[Nagarakretagama]]'', putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat [[Ken Arok]] sebagai bupatiadipati [[Kadiri]]. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama [[Jayakatwang]] yang menjadi adipati [[Gelanggelang]]. Pada tahun 1292 [[Jayakatwang]] memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel yang juga dikenal dengan [[TumapelSinghasari]].
 
Menurut keterangan yang didapat di dalam [[Prasastiprasasti Mula Malurung]] (1255 M), menyebutkan kalau penguasa [[Kadiri]] setelah Kertajaya adalah [[Mahesa Wong Ateleng|Bhatara Parameswara]] putra Bhatara Siwa (alias [[Ken Arok]]). Sementara [[Jayakatwang]] menurut [[Prasasti Kudadu|prasasti Penanggungan]] adalah bupatiadipati [[Gelanggelang|Gelang-Gelang ([[Madiun]]-[[Ponorogo]]), yang kemudian menjadi raja [[Kadiri]] setelah menghancurkan [[Tumapel]] atau [[Singhasari]] di tahun 1292.
 
== ReferensiDaftar pustaka ==
=== Catatan kaki ===
{{reflist|2}}
=== Bahan bacaan ===
* [[Slamet Muljana]]. 1979. ''Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara
* [[Slamet Muljana]]. 2005. ''Menuju Puncak Kemegahan'' (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Baris 63 ⟶ 103:
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
 
[[en:Kertajaya]]