Antropologi gizi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k suntingan |
k pranala "kebutuhan dasar" ke "kebutuhan primer", dan perubahan kata dari "sistim" menjadi "sistem" |
||
(27 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Rapikan|reason=penulisan seperti karya tulis ilmiah}}
'''Antroplogi gizi''' adalah cabang dari [[antropologi kedokteran]]—suatu bidang yang sejak lama telah didedikasikan untuk [[dunia]] [[kesehatan]] [[internasional]] dan merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara [[gender]] dan [[kesehatan]], [[reproduksi]] [[manusia]], [[sejarah]] [[gizi]] dan [[etnografi]], [[kedokteran]] evolusioner, [[epidemiologi]] [[antropologi]], [[agama]] dan [[penyakit kejiwaan]].
== Pola Budaya Terhadap Makanan ==
[[Kebudayaan]] adalah seluruh
Berdasarkan atas batasan demikian maka dapat dikatakan bahwa [[makanan]] atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang berhubungan dengan sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola (sistim sosial) dari suatu komonitas masyarakat tertentu. Sedangkan makanan yang merupakan produk [[pangan]] sangat tergantung dari faktor [[pertanian]] di daerah tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan sangat tergantung kepada sistim sosial kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan/makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri.<ref name=":0"
Beberapa pengaruh [[budaya]] terhadap [[pangan]]/[[makanan]] adalah: Adanya bermacam jenis menu makanan dari setiap komunitas etnis masyarakat dalam mengolah suatu jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar/[[adonan]] dalam proses pembuatan; contoh: orang [[Jawa]] ada jenis menu makanan berasal dari
Demikian juga orang [[Sulawesi]] menu makanan beragam yakni berasal dari [[beras]], [[jagung]] dan [[sagu]]. Adanya perbedaan pola [[makan]]/[[konsumsi]]/[[makanan pokok]] dari setiap [[suku]]/[[etnis]]; Contoh: orang [[Timor]] pola makan lebih kepada [[jagung]], orang [[Jawa]] pola makan lebih kepada [[beras]]. Adanya perbedaan cita-rasa, [[aroma]], warna dan bentuk fisik makanan dari setiap suku-etnis; Contoh: makanan orang [[Padang]] cita rasanya
Adanya bermacam jenis nama dari [[makanan]] tersebut atau makanan khas berbeda untuk setiap daerah; contoh: [[Soto]] Makasar berasal dari daerah
== Sistem Budaya Terhadap Makanan ==
Berbagai sistim budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap [[makanan]], misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantangan untuk dikonsumsi karena alasan sakral tertentu atau sistim budaya yang terkait didalamnya.
Disamping itu ada jenis makanan tertentu yang di nilai dari segi ekonomi maupun sosial sangat tinggi eksistensinya tetapi karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada sesuatu perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tertentu maka hidangan makanan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsinya bagi golongan masyarakat tersebut.
Anggapan lain yang muncul dari sistim budaya seperti dalam mengkonsumsi hidangan makanan didalam keluarga, biasanya sang ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengkonsumsi lebih banyak dan pada bagian-bagian makanan yang mengandung nilai cita rasa tinggi. Sedangkan anggota keluarga lainnya seperti sang ibu dan anak-anak mengkonsumsi pada bagian-bagian hidangan makanan yang secara cita-rasa maupun fisiknya rendah.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Widyastari|first=Hasty|last2=Setiowati|first2=Anies|date=2015|title=Pengaruh Status Gizi, Tingkat Konsumsi Energi dan Protein terhadap VO2 Maks|url=https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/miki/article/view/7893|journal=Media Ilmu Keolahragaan Indonesia|language=en-US|volume=5|issue=2|pages=46–50|doi=10.15294/miki.v5i2.7893|issn=2442-6830}}</ref>
Sebagai contoh pada sistim budaya masyarakat di Timor yaitu: apabila dihidangkan makanan [[daging ayam]], maka sang ayah akan mendapat bagian paha atau dada sedangkan sang ibu dan anak-anak akan mendapat bagian sayap atau lainnya. Hal ini menurut<ref name=":1"
Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas (masyarakat elite kota) ,dalam hal makanan sering mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instant lainnya karena soal “gengsi”
Sehubungan dengan soal gengsi maka ada kebiasaan masyarakat di Timor jika ada kunjungan tamu ke rumahnya maka tamu tersebut selalu di hidangkan dengan makanan yang berasal dari [[beras]] walaupun kesehariannya mereka selalu mengkonsumsi [[jagung]], [[ubi kayu]]/[[singkong]] dan makanan lokal lainnya sehingga [[beras]] atau [[nasi]] telah dianggap sebagai suatu citra bahan makanan yang mempunyai nilai prestise” yang tinggi. Citra [[beras]]/[[nasi]] dibangun sebegitu kuatnya oleh masyarakat di Timor sehingga kondisi ini telah mempengaruhi sendi-sendi sosial budaya sedangkan pandangan mereka terhadap pangan di luar [[beras]] di tempatkan sebagai symbol lapisan masyarakat paling rendah.<ref name=":1"
== Masalah Budaya Dan Makanan Terhadap Gizi ==
Mencermati akan adanya budaya, kebiasaan dan sistim sosial masyarakat terhadap makanan seperti pola makan, tabu atau pantangan, gaya hidup, gengsi dalam mengkonsumsi jenis bahan makanan tertentu, ataupun prestise dari bahan makanan tersebut yang sering terjadi di kalangan masyarakat apabila keadaan tersebut berlangsung lama dan mereka juga belum memahami secara baik tentang pentingnya faktor gizi dalam mengkonsumsi makanan maka tidak mungkin dapat berakibat timbulnya masalah gizi atau gizi salah (Malnutrition).
Lebih lanjut dijelaskan oleh <ref name=":1"
Gizi salah (Malnutrition) dapat didefenisikan sebagai keadaan sakit atau penyakit yang disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak dan kelebihan satu atau lebih zat-zat makanan esensial yang berguna dalam tubuh manusia. Menurut bentuknya, gizi salah diklasifikasikan oleh (Supariasa et al., 2002) sebagai berikut:<ref>{{Cite web|last=Sukria|date=2021-06-09|title=
=== Gizi kurang
kondisi ini sebagai akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai jumlahnya pada kurun waktu cukup lama. Contoh : Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat menyebabkan penyakit marasmus dan kwashiorkor.
=== Gizi lebih
keadaan ini diakibatkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan untuk jangka waktu yang cukup lama sebagai contoh kegemukan
=== Kurang Gizi spesifik
=== Gizi tak seimbang
== Alternatif Mengatasi Masalah Budaya dan Makanan ==
Masalah budaya dan makanan
== Variasi Makanan Suku Bangsa di lndonesia ==
Negara Indonesia memiliki beragam suku bangsa, perbedaan geografis. Bila dianalisis rasa makanan bisa digunakan untuk menafsirkan, menganalisis dan melihat sifat dan budaya suku bangsa penganutnya, misalnya suku Jawa memiliki selera rasa manis, mencerminkan sifat orang Jawa yang manis, halus, lemah-lembut tapi menyimpan sesuatu dibelakang.
Banyaknya rumah makan padang di seluruh lndonesia menggambarkan bahwa masakan padang dapat diterima lidah secara umum. Selain itu juga menggambarkan penerimaan terhadap suku Minangkabau, dimana suku. Minangkabau relatif dapat bekerjasama dengan baik dan jarang berkonflik dengan suku bangsa lain. Orang Minangkabau yang merantau salah satunya menjadi pengusaha karena dorongan adat dalam budaya Minangkabau yang matrilineal dimana kekuasaan ada pada pihak perempuan, mendorong kaum lelaki untuk pergi keluar daerah. Banyaknya orang Minangkabau yang berdagang termasuk bidang restoran menggambarkan jiwa suku minang yang merdeka, bebas dan legaliter. Pekerjaan orang Madura banyak yang berjualan sate, dimana sate adalah makanan yang dibakar sehingga tidak terlalu matang, menggambarkan suku madura yang cenderung keras dan tidak terlalu berpikir panjang dalam mela. Makanan berkaitan erat dengan suku bangsa atau etnik, setiap etnik memiliki makanan khas. Indonesia memiliki beragam etnis, setiap etnis memiliki makanan khas. Beberapa makanan etnik cukup terkenal. Tidak semua makanan khas populer dan familiar, bahkan bagi etniknya sendiri. Yogyakarta menjadi tujuan berbagai suku bangsa yang ada di lndonesia. Oleh karena itu banyak rumah makan yang menggunakan ciri khas daerah, seperti Aceh, Banjar, Makasar, Manado, Betawi, Cina, Bangka, dll. Rumah makan itu menggunakan ciri khas etnik, suku bangsa atau kedaerahan sebagai referensial, kekhasan dan sebagai cara menarik pengunjung. Pengunjung rumah makan beridentitas suku atau etnik ada yang berasal dari daerahnya sebagai nostalgia terhadap daerah asalnya dan ada juga yang ingin mencoba makanan dari etnik lain. Rumah makan etnik itu juga melakukan penyesuaian dimana bumbu dan resepnya tidak sebagaimana aslinya namun menyesuaikan dengan ketersediaan yang ada di Yogyakarta.<ref>{{Cite book|last=Herlina|first=Muria|date=2017|url=http://repository.unib.ac.id/18877/1/Buku%20Sosiologi%20Kesehatan%20%28compressed%29.pdf|title=SOSIOLOGI KESEHATAN|location=Surabaya|publisher=PT Muara Karya|isbn=978-602-60043-7-6|url-status=live|access-date=2022-01-01|archive-date=2022-09-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20220913131109/http://repository.unib.ac.id/18877/1/Buku%20Sosiologi%20Kesehatan%20%28compressed%29.pdf|dead-url=yes}}</ref> == Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi ==
Penelitian yang dilakukan oleh Audrey Richards pada orang Bantu, Afrika Selatan, boleh dikatakan penelitian awal yang cukup populer. Hasil penelitian yang telah dipublikasikan dalam bukunya berjudul Hunger and Work in a Savage Society (1932) tersebut dimulai dengan pernyataan Richards bahwa nutrisi sebagai suatu proses biologis dalam sebuah kebudayaan diatur jauh lebih mendasar daripada urusan seks (bandingkan dengan Bates (1958)<ref>{{Cite journal|last=Bates|first=Marston|date=1958-07|title=Symposium on Populations|url=http://dx.doi.org/10.2307/1931782|journal=Ecology|volume=39|issue=3|pages=562–562|doi=10.2307/1931782|issn=0012-9658}}</ref> dan Fox, 1994.<ref>{{Cite journal|last=Fox|first=Alicia|date=1994-02|title=Cookery corner|url=http://dx.doi.org/10.1016/s0269-915x(09)80683-6|journal=Mycologist|volume=8|issue=1|pages=39|doi=10.1016/s0269-915x(09)80683-6|issn=0269-915X}}</ref>
Studi klasik Audrey Richards tentang Bemba (sekarang Zambia) di Rhodesia Utara menyimpulkan bahwa alasan masyarakat Bemba tidak mau menjadi pekerja keras (terutama perhatian terhadap pertambangan British (Inggris) dan minat ekonomi lainnya) bukanlah sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan kemalasan namun berkaitan dengan persoalan kurang gizi. Semenjak laki-laki bekerja keras di tambang, perempuan- perempuan merasa sangat sulit melakukan tugas pembukaan hutan yang berat yang secara tradisional biasanya dilakukan oleh laki-laki. Selama masa itu bertahun-tahun ketika perempuan lebih membutuhkan makanan bergizi untuk mendukung tenaga dalam membersihkan dan menanam di lahan, supplai makanan amat sedikit. Kemudian, akhirnya mereka terlibat dalam siklus yang terus menerus dalam kondisi kurang produksi dan kurang gizi (Messer, 1984).<ref name=":4">{{Cite journal|last=Messer|first=E|date=1984-10|title=Anthropological Perspectives on Diet|url=http://dx.doi.org/10.1146/annurev.an.13.100184.001225|journal=Annual Review of Anthropology|volume=13|issue=1|pages=205–249|doi=10.1146/annurev.an.13.100184.001225|issn=0084-6570}}</ref> Studi-studi awal tentang makanan lebih banyak menyorot masalah kebiasaan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait dengan kebudayaan, yang mencakup juga kepercayaan dan pantangan makan yang berkembang dalam sekelompok masyarakat<ref>{{Cite web|last=Parker|first=Charles Thomas|last2=Garrity|first2=George M|date=2003-01-01|title=Exemplar Abstract for Prevotella ruminicola ruminicola (Bryant et al. 1958) Avguštin et al. 1997, Bacteroides ruminicola Bryant et al. 1958 (Approved Lists 1980), Bacteroides ruminicola ruminicola Bryant et al. 1958 (Approved Lists 1980) and Prevotella ruminicola (Bryant et al. 1958) Shah and Collins 1990 emend. García-López et al. 2019.|url=http://dx.doi.org/10.1601/ex.7981|website=The NamesforLife Abstracts|access-date=2022-01-02}}</ref>, dan juga berkaitan dengan faktor lingkungan sebagai sumber perolehan bahan pangan yang utama.<ref name=":5">{{Cite journal|last=McElroy|first=Ann|last2=Townsend|first2=Patricia K.|date=2018-04-19|title=Medical Anthropology in Ecological Perspective|url=http://dx.doi.org/10.4324/9780429493478|doi=10.4324/9780429493478}}</ref> Kebiasaan makan sebagai kompleks kegiatan masak memasak (kulinari) terkait dengan bahan makanan, proses pengolahan, serta tekhnologi yang digunakan. Walaupun kebudayaan menen tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, ketersediaan bahan makanan dan makanan dipengaruhi juga oleh komponen ekologis dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, 1985).<ref name=":6">{{Cite journal|last=Hartog|first=Joop|date=1985-01|title=Earnings functions|url=http://dx.doi.org/10.1016/0165-1765(85)90037-0|journal=Economics Letters|volume=19|issue=3|pages=281–285|doi=10.1016/0165-1765(85)90037-0|issn=0165-1765}}</ref>
Larangan-larangan makan dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam terhadap babi, larangan sebelum paskah untuk makan daging, dan tabu totem dari beberapa wilayah). Kadang-kadang, kepercayaan terpusat pada hakekat nilai dari makanan yang dikaitkan dengan masa- masa kritis dalam life cycle, seperti: kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya. Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper ti ini berpengaruh netral terhadap gizi mereka, misalnya, orang Papago melarang makan garam dan gula pada ibu sampai tali pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972)<ref name=":11">{{Cite journal|last=Gonzalez-Perez|first=Armando|last2=Gonzalez|first2=Emilio|last3=Lipp|first3=Solomon|last4=Pinera|first4=Humberto|date=1972-02|title=Spanish Cultural Reader|url=http://dx.doi.org/10.2307/326098|journal=The Modern Language Journal|volume=56|issue=2|pages=102|doi=10.2307/326098|issn=0026-7902}}</ref>, atau larangan terhadap binatang menjijikkan atau makanan yang kelihatan menjijikkan untuk melindungi bayi dari pertumbuhan yang jelek (Hughes, 1963).<ref name=":12">{{Cite journal|date=2018-02-06|title=Hughes, Edward David (1906–1963)|url=http://dx.doi.org/10.1093/odnb/9780192683120.013.34042|journal=Oxford Dictionary of National Biography|publisher=Oxford University Press}}</ref>
Namun, beberapa tabu makanan juga telah membuang zat-zat gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- masa kritis. Misalnya larangan terhadap telur dalam makanan wanita usia produktif untuk menghindari sterilitas dan komplikasi kelahiran (HEW, 1973);<ref name=":13">{{Cite journal|date=1973-09|title=Hew: Budget Blues|url=http://dx.doi.org/10.1038/245067a0|journal=Nature|volume=245|issue=5420|pages=67–67|doi=10.1038/245067a0|issn=0028-0836}}</ref> larangan minum susu bagi ibu menyusui; orang Burma mengurangi daging dan unggas selama masa kehamilan (Mead, 1955),<ref name=":14">{{Cite journal|last=Mead,|first=Robert G.|last2=Blanksten|first2=George I.|date=1955|title=Perón's Argentina|url=http://dx.doi.org/10.2307/40094996|journal=Books Abroad|volume=29|issue=4|pages=476|doi=10.2307/40094996|issn=0006-7431}}</ref> dan lain sebagainya.
Penelitian lainnya menekankan pada fungsi dan peranan makanan dalam masyarakat.<ref name=":15">{{Cite journal|last=Swasono|first=Meutia Farid|date=2014-08-06|title=Antropologi dan Integrasi Nasional|url=http://dx.doi.org/10.7454/ai.v30i1.3557|journal=Antropologi Indonesia|volume=30|issue=1|doi=10.7454/ai.v30i1.3557|issn=1693-6086}}</ref> Seperti yang ditemukan oleh Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> di wilayah Melanesia, Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan mempunyai peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial. Penelitian Davis (1995)<ref name=":2">{{Cite journal|last=Davis|first=Carol|date=1995-11|title=Hierarchy or complementarity? Gendered expressions of Minangkabauadat|url=http://dx.doi.org/10.1080/03062849508729853|journal=Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter|volume=23|issue=67|pages=273–292|doi=10.1080/03062849508729853|issn=0306-2848}}</ref> di Minangkabau menemukan bahwa makanan bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai sesuatu yang bermakna dalam komunikasi antar kelompok, ekspresi yang penting dalam hubungan-hubungan sosial seperti kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, konflik, keselarasan, status, dan simbol hubungan baru dan berkelanjutan. Pola-pola seleksi makanan, distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam tipe-tipe masyarakat yang berbeda
Pada komunitas petani dan pada ekonomi- ekonomi yang ditandai dengan pertanian subsistensi, anggota-anggota keluarga yang secara ekonomi sangat produktif sering diberikan pilihan pertama memilih lauk yang berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan aktor kunci dalam proses produksi dan konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione (1980:263)<ref>{{Cite journal|last=Haenel|first=H.|date=1982|title=Nutritional Anthropology: Contemporary Approaches to Diet and Culture. Herausgegeben von N. W. JEROME, R. F. KANDEL und G. H. FELTO. 433 Seiten, 11 Abb., 32 Tab. Redgrave Publ. Co., New York 1980. Preis: 12,80 $|url=http://dx.doi.org/10.1002/food.19820260127|journal=Food / Nahrung|volume=26|issue=1|pages=107–108|doi=10.1002/food.19820260127|issn=0027-769X}}</ref> di Jamaica bahwa faktor sosial- ekonomi dan faktor sosial budaya merupakan penyebab terjadinya gizi buruk dikalangan anak-anak.
▲Kebiasaan makan sebagai kompleks kegiatan masak memasak (kulinari) terkait dengan bahan makanan, proses pengolahan, serta tekhnologi yang digunakan. Walaupun kebudayaan menen tukan apa yang bisa dimakan dan tidak, ketersediaan bahan makanan dan makanan dipengaruhi juga oleh komponen ekologis dan fisiologis manusia (Harris dalam Hartog, 1985).<ref name=":6">{{Cite journal|last=Hartog|first=Joop|date=1985-01|title=Earnings functions|url=http://dx.doi.org/10.1016/0165-1765(85)90037-0|journal=Economics Letters|volume=19|issue=3|pages=281–285|doi=10.1016/0165-1765(85)90037-0|issn=0165-1765}}</ref> Kajian lain menekankan pada pengaruh atau dampak makanan sebagai klasifikasi budaya tersebut terhadap kesehatan atau gizi masyarakat pendu kungnya. Jerome, Kandel & Pelto (1980)<ref name=":7">{{Cite book|last=Pelto|first=Gretel H.|last2=Jerome|first2=Norge W.|date=1980|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-1-4757-0229-3_57|title=An Anthropological Perspective on Nutrition Program Evaluation|location=Boston, MA|publisher=Springer US|isbn=978-1-4757-0231-6|pages=553–571}}</ref> menyebut istilah ini dengan klasifikasi non- makanan yang juga berkontribusi terhadap kasus kurang gizi. Misalnya kajian yang dilakukan Gerlach (1964)<ref name=":8">{{Cite journal|last=GERLACH|first=LUTHER P.|date=1964-11|title=Socio-Cultural Factors Affecting the Diet of the Northeast Coastal Bantu|url=http://dx.doi.org/10.1016/s0002-8223(21)19705-6|journal=Journal of the American Dietetic Association|volume=45|issue=5|pages=420–424|doi=10.1016/s0002-8223(21)19705-6|issn=0002-8223}}</ref> tentang etiologi spritual atau supernatural yang diapplikasikan terhadap penyakit yang kita kenal sebagai penyebab kurang gizi. Ketidakcukupan makanan, dengan trauma psikologis karena dipisahkan dengan ibunya, seringkali memperburuk kondisi (Burgess dan Dean, 1962; Cravioto, 1966; Amann et al. 1972, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).<ref name=":9">{{Cite journal|last=Gordon-Smith|first=D.J.|date=1962-09|title=MALNUTRITION AND FOOD HABITS. Edited by Anne Burgess and R. F. A. Dean. Tavistock Publications, 1962. Pp. 210. Price 20s|url=http://dx.doi.org/10.1177/001789696202000321|journal=Health Education Journal|volume=20|issue=3|pages=160–161|doi=10.1177/001789696202000321|issn=0017-8969}}</ref><ref name=":10">{{Cite journal|last=Cravioto|first=Joaquin|last2=DeLicardie|first2=Elsa R.|last3=Birch|first3=Herbert G.|date=1966-08-01|title=NUTRITION, GROWTH AND NEUROINTEGRATIVE DEVELOPMENT: AN EXPERIMENTAL AND ECOLOGIC STUDY|url=http://dx.doi.org/10.1542/peds.38.2.319|journal=Pediatrics|volume=38|issue=2|pages=319–320|doi=10.1542/peds.38.2.319|issn=0031-4005}}</ref><ref name=":7" /> Kwashiorkor yang terjadi akibat perpisahan anak dengan ibunya diistilahkan dengan omusana, di mana diyakini disebabkan oleh malam-malam yang “dingin” yang dilewati seorang anak yang jauh dari ibunya (Burgess & Dean, 1962:25, Jerome, Kandel & Pelto, 1980).<ref name=":9" /><ref name=":7" />
Kebiasaan makan juga berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat. Penelitian Rappaport pada tahun 1968<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> pada masyarakat Tsembaga, merupakan satu contoh yang baik bagaimana kebiasaan makan berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al, 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968) pada masyarakat Tsembaga juga dapat menjadi contoh bagaimana lingkungan (termasuk lingkungan fisik dan sosial) mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kajian ini juga menunjukkan bagaimana teknologi, organisasi sosial, dan ideologi bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.<ref name=":17"/>
▲Larangan-larangan makan dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi dari hukum moral Tuhan (seperti kashrut, larangan Islam terhadap babi, larangan sebelum paskah untuk makan daging, dan tabu totem dari beberapa wilayah). Kadang-kadang, kepercayaan terpusat pada hakekat nilai dari makanan yang dikaitkan dengan masa- masa kritis dalam life cycle, seperti: kehamilan, menyusui, penyakit, dsbnya. Seringkali, kepercayaan-kepercayaan seper ti ini berpengaruh netral terhadap gizi mereka, misalnya, orang Papago melarang makan garam dan gula pada ibu sampai tali pusar bayi lepas (Gonzalez, 1972)<ref name=":11">{{Cite journal|last=Gonzalez-Perez|first=Armando|last2=Gonzalez|first2=Emilio|last3=Lipp|first3=Solomon|last4=Pinera|first4=Humberto|date=1972-02|title=Spanish Cultural Reader|url=http://dx.doi.org/10.2307/326098|journal=The Modern Language Journal|volume=56|issue=2|pages=102|doi=10.2307/326098|issn=0026-7902}}</ref>, atau larangan terhadap binatang menjijikkan atau makanan yang kelihatan menjijikkan untuk melindungi bayi dari pertumbuhan yang jelek (Hughes, 1963).<ref name=":12">{{Cite journal|date=2018-02-06|title=Hughes, Edward David (1906–1963)|url=http://dx.doi.org/10.1093/odnb/9780192683120.013.34042|journal=Oxford Dictionary of National Biography|publisher=Oxford University Press}}</ref> Namun, beberapa tabu makanan juga telah membuang zat-zat gizi yang dibutuhkan, khususnya masa- masa kritis. Misalnya larangan terhadap telur dalam makanan wanita usia produktif untuk menghindari sterilitas dan komplikasi kelahiran (HEW, 1973);<ref name=":13">{{Cite journal|date=1973-09|title=Hew: Budget Blues|url=http://dx.doi.org/10.1038/245067a0|journal=Nature|volume=245|issue=5420|pages=67–67|doi=10.1038/245067a0|issn=0028-0836}}</ref> larangan minum susu bagi ibu menyusui; orang Burma mengurangi daging dan unggas selama masa kehamilan (Mead, 1955),<ref name=":14">{{Cite journal|last=Mead,|first=Robert G.|last2=Blanksten|first2=George I.|date=1955|title=Perón's Argentina|url=http://dx.doi.org/10.2307/40094996|journal=Books Abroad|volume=29|issue=4|pages=476|doi=10.2307/40094996|issn=0006-7431}}</ref> dan lain sebagainya.
▲Penelitian lainnya menekankan pada fungsi dan peranan makanan dalam masyarakat.<ref name=":15">{{Cite journal|last=Swasono|first=Meutia Farid|date=2014-08-06|title=Antropologi dan Integrasi Nasional|url=http://dx.doi.org/10.7454/ai.v30i1.3557|journal=Antropologi Indonesia|volume=30|issue=1|doi=10.7454/ai.v30i1.3557|issn=1693-6086}}</ref> Seperti yang ditemukan oleh Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> di wilayah Melanesia, Mikronesia dan Polinesia, bahwa makanan mempunyai peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial. Penelitian Davis (1995)<ref name=":2">{{Cite journal|last=Davis|first=Carol|date=1995-11|title=Hierarchy or complementarity? Gendered expressions of Minangkabauadat|url=http://dx.doi.org/10.1080/03062849508729853|journal=Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter|volume=23|issue=67|pages=273–292|doi=10.1080/03062849508729853|issn=0306-2848}}</ref> di Minangkabau menemukan bahwa makanan bagi orang Minangkabau berfungsi sebagai sesuatu yang bermakna dalam komunikasi antar kelompok, ekspresi yang penting dalam hubungan-hubungan sosial seperti kepercayaan-kepercayaan, kecurigaan, konflik, keselarasan, status, dan simbol hubungan baru dan berkelanjutan. Pola-pola seleksi makanan, distribusi, dan konsumsi bervariasi dalam tipe-tipe masyarakat yang berbeda. Pada komunitas petani dan pada ekonomi- ekonomi yang ditandai dengan pertanian subsistensi, anggota-anggota keluarga yang secara ekonomi sangat produktif sering diberikan pilihan pertama memilih lauk yang berkualitas tinggi. Begitu juga dengan peran ibu dalam keluarga, karena ibu merupakan aktor kunci dalam proses produksi dan konsumsi makanan dalam keluarga. Seperti hasil penelitian yang ditunjukkan Marchione (1980:263)<ref>{{Cite journal|last=Haenel|first=H.|date=1982|title=Nutritional Anthropology: Contemporary Approaches to Diet and Culture. Herausgegeben von N. W. JEROME, R. F. KANDEL und G. H. FELTO. 433 Seiten, 11 Abb., 32 Tab. Redgrave Publ. Co., New York 1980. Preis: 12,80 $|url=http://dx.doi.org/10.1002/food.19820260127|journal=Food / Nahrung|volume=26|issue=1|pages=107–108|doi=10.1002/food.19820260127|issn=0027-769X}}</ref> di Jamaica bahwa faktor sosial- ekonomi dan faktor sosial budaya merupakan penyebab terjadinya gizi buruk dikalangan anak-anak.
Penelitian yang dilakukan Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> memperlihatkan bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia dan Polinesia memilih makanan sebagai akibat beragamnya jenis makanan baru yang masuk ke wilayah tersebut. Agaknya, kajian mengenai “Food Habit” lama terhenti<ref name=":7" /> dan mulai kembali dengan tuntutan persoalan yang lebih luas dan kompleks.
▲Kebiasaan makan juga berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat. Penelitian Rappaport pada tahun 1968<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> pada masyarakat Tsembaga, merupakan satu contoh yang baik bagaimana kebiasaan makan berkaitan dengan teknologi, organisasi sosial, dan kepercayaan masyarakat (Rappaport dalam Bryant et al, 1985: 231-232). Kajian Rappaport (1968) pada masyarakat Tsembaga juga dapat menjadi contoh bagaimana lingkungan (termasuk lingkungan fisik dan sosial) mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kajian ini juga menunjukkan bagaimana teknologi, organisasi sosial, dan ideologi bersinergi mempengaruhi pola-pola makan.<ref name=":17">{{Cite journal|last=Strathern|first=Marilyn|last2=Rappaport|first2=Roy A.|date=1968-12|title=Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People.|url=http://dx.doi.org/10.2307/2798638|journal=Man|volume=3|issue=4|pages=687|doi=10.2307/2798638|issn=0025-1496}}</ref> Beberapa penelitian lainnya menekankan pada makanan dan perubahan makan,<ref>{{Cite journal|last=Mintz|first=Sidney W.|last2=Du Bois|first2=Christine M.|date=2002-10|title=The Anthropology of Food and Eating|url=http://dx.doi.org/10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011|journal=Annual Review of Anthropology|volume=31|issue=1|pages=99–119|doi=10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011|issn=0084-6570}}</ref> walaupun beberapa ahli percaya bahwa kebiasaan makan sangat sulit diubah karena berkaitan dengan fungsi dan peranan sosialnya dan merupakan ekspresi diri.<ref>{{Cite journal|last=Miller|first=Valentine Rodger|date=1983-10|title=Cummins, Patricia W. Commercial French. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1982Cummins, Patricia W. Commercial French. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1982. Pp. xii, 356. $19.95.|url=http://dx.doi.org/10.3138/cmlr.40.1.131|journal=Canadian Modern Language Review|volume=40|issue=1|pages=131–132|doi=10.3138/cmlr.40.1.131|issn=0008-4506}}</ref><ref name=":14" /> Beberapa faktor yang dapat mengubah kebiasaan makan dan akhirnya mempengaruhi kondisi gizi tergambar dalam tulisan DeWalt (1993),<ref name=":18">{{Cite journal|last=DeWalt|first=Kathleen M.|date=1993-06|title=Nutrition and the commercialization of agriculture: Ten years later|url=http://dx.doi.org/10.1016/0277-9536(93)90383-f|journal=Social Science & Medicine|volume=36|issue=11|pages=1407–1416|doi=10.1016/0277-9536(93)90383-f|issn=0277-9536}}</ref> yang menunjukkan bahwa perubahan pertanian subsistensi kepada komersialisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan pada konsumsi makan dan status gizi.<ref name=":18">{{Cite journal|last=DeWalt|first=Kathleen M.|date=1993-06|title=Nutrition and the commercialization of agriculture: Ten years later|url=http://dx.doi.org/10.1016/0277-9536(93)90383-f|journal=Social Science & Medicine|volume=36|issue=11|pages=1407–1416|doi=10.1016/0277-9536(93)90383-f|issn=0277-9536}}</ref> Kajian yang dilakukan Eide & Steady (1980)<ref>{{Cite journal|last=Eide|first=T. J|date=1980-07-19|title=Personal View|url=http://dx.doi.org/10.1136/bmj.281.6234.225|journal=BMJ|volume=281|issue=6234|pages=225–225|doi=10.1136/bmj.281.6234.225|issn=0959-8138}}</ref> di daerah rural Afrika tentang perubahan kebiasaan makan yang disebabkan oleh perubahan peranan ibu turut memperkaya kajian perubahan kebiasaan makan ini. Penelitian yang dilakukan Kahn, et al (1988)<ref name=":16" /> memperlihatkan bagaimana masyarakat di wilayah Melanesia dan Polinesia memilih makanan sebagai akibat beragamnya jenis makanan baru yang masuk ke wilayah tersebut. Agaknya, kajian mengenai “Food Habit” lama terhenti<ref name=":7" /> dan mulai kembali dengan tuntutan persoalan yang lebih luas dan kompleks.
Kajian-kajian tentang nutrisi dan makanan mulai mengarah lebih luas ke dalam hal politik dan kebijakan pangan. Misalnya tulisan Susan George dalam bukunya Food for Beginners (1982, 2007),<ref name=":19">{{Cite book|first=Susan|first2=George|date=2007|url=https://in.b-ok.as/book/6109542/ac4c00|title=Pangan : Dari Penindasan Sampai Ke Ketahanan Pangan|location=Yogyakarta|publisher=INSIST Press|isbn=979-3457-62-7|url-status=live}}{{Pranala mati|date=Maret 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref> jelas-jelas menolak alasan klise yang menyesatkan tentang penyebab kelaparan di dunia ketiga seperti populasi yang terlalu padat, iklim dan sistem pertanian yang tidak efisien, dan sebagainya. Yang dibahas dalam buku tersebut justru mengetengahkan permainan kejam agribisnis multinasional, metode neo-Malthusian, dan neo- Kolonialisme, sekaligus membuka topeng pemberi dana yang sok suci sekaligus membongkar akar eksploitasi. Sebagai salah satu contohnya, George (2007) mencatat bencana kelaparan yang terjadi di Irlandia pada tahun 1846-1850 sebagai salah satu bencana kelaparan terparah yang pernah terjadi di Eropa.<ref name=":19"
== Kajian Makanan Sebagai Simbol ==
Baris 78 ⟶ 100:
Makanan dan perubahan budaya makan sebagai akibat masuknya makanan- makanan asing tidak hanya mempengaruhi praktik makan sehari-hari, namun juga pada acara-acara tradisional seperti perkawinan. Seperti dikatakan Miele (1999),<ref>{{Cite journal|last=Miele|first=Mara|date=1999-10|title=Short circuits: New trends in the consumption of food and the changing status of meat|url=http://dx.doi.org/10.1080/13563479908721748|journal=International Planning Studies|volume=4|issue=3|pages=373–387|doi=10.1080/13563479908721748|issn=1356-3475}}</ref> makanan- makanan dimodifikasi sesuai dengan trend baru dalam konsumsi, yang oleh Miele digambarkan sebagai munculnya arena baru makanan pasca modern dan budaya konsumsi baru dikalangan konsumen. Pilihan-pilihan terhadap jenis makanan tertentu atau pilihan tatacara terhadap konsumsi tertentu pada akhirnya memunculkan gaya hidup baru, yang dianggap membawa satu kenyamanan dalam mengkonsumsinya. Sheely (2008),<ref>{{Cite journal|last=Sheely|first=Megan|date=2008-12|title=Global Adoption of Convenience Foods|url=http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-8276.2008.01231.x|journal=American Journal of Agricultural Economics|volume=90|issue=5|pages=1356–1365|doi=10.1111/j.1467-8276.2008.01231.x|issn=0002-9092}}</ref> mengidentifikasi beberapa hal yang membuat orang menginginkan kenyamanan dalam memilih makanan yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perubahan tersebut, seperti misalnya perubahan struktur rumah tangga, tingginya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan jam kerja yang lebih panjang, kemakmuran konsumen, keinginan untuk pengalaman baru, keterampilan memasak menurun, serta menguatnya nilai uang. Kenyamanan dalam konsumsi makanan ini pada gilirannya mempengaruhi orang untuk beralih dari makanan tradisional, yang dimasak sendiri, yang cenderung dianggap merepotkan, menghabiskan banyak waktu dan tenaga, dan lain sebagainya. Makanan asing telah bekerja untuk membawa perubahan dan kelanjutan preferensi makanan melalui mobilisasi-mobilisasi yang berbeda dari identitas kelas. James (1997)<ref>{{Cite book|date=2013-04-15|url=http://dx.doi.org/10.4324/9780203443798-9|title=How British is British food?|publisher=Routledge|isbn=978-0-203-44379-8|pages=83–98}}</ref> mengkaji isu kelas dan status sosial di Inggris sebagai bentuk perbedaan yang disimbolkan dengan makanan. Selama Abad 19, ada pengembangan peningkatan ketergantungan pada kuliner Perancis seperti kaum elit meninggalkan makanan tradisional dan masakan negaranya dan mengadopsi makanan Perancis dan masakan Perancis. Ini adalah bentuk hegemoni Perancis yang diperluas juga di Eropa dan Amerika Utara, dan mempengaruhi cara dimana makanan, tatacara makan menjadi terstruktur (Caplan, 1997).<ref name=":21">{{Cite journal|date=2013-04-15|editor-last=Caplan|editor-first=Pat|title=Food, Health and Identity|url=http://dx.doi.org/10.4324/9780203443798|doi=10.4324/9780203443798}}</ref>
Dalam bukunya Distinction (1986, 1979 via Caplan, 1997),<ref name=":21"
==
{{Reflist|2}}
[[Kategori:Antropologi ekonomi]]
|