Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dani1603 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k clean up
 
(9 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh''', disingkat '''BPPC''' merupakan salah satu lembaga yang pernah terlibat dalam bisnis [[cengkih]] di [[Indonesia]]. Sepanjang keberadaannya, lembaga yang penuh kontroversi dengan [[monopoli]]nya ini terkait dengan salah satu putra [[Presiden Indonesia|Presiden]] [[Soeharto]], [[Hutomo Mandala Putra]] (Tommy). Seperti menurut [[surat kabar]] [[Amerika Serikat]] ''[[Los Angeles Times]]'' di Maret 1998: "BPPC adalah simbol kebobrokan dan kejatuhan ekonomi [[Orde Baru]] dengan nepotisme dan penipuannya".<ref name=BPPC4/>
 
Akar dari BPPC sendiri bermula ketika di akhir 1980-an, sekelompok pedagang cengkih yang dipimpin Tjia Eng Tek, seorang pedagang [[Singapura]]<ref name=BPPC1/> ingin mengendalikan perdagangan cengkih dengan membeli banyak cengkih (17.000 ton)<ref name=BPPC4> [https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1998-mar-21-mn-31117-story.html A Familiar Scent of Monopoly]</ref> di [[Maluku]] dan [[Sulawesi]]<ref>[https://books.google.co.id/books?id=OyLtAAAAMAAJ&q=Tjia+eng+Tek&dq=Tjia+eng+Tek&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjB9ob6q8j3AhXOH7cAHeugB3wQ6AF6BAgFEAI H.A.M. Nurdin Halid, di timur matahari: langkah besar anak guru]</ref> pada 1987-1988, dengan tujuan bisa memaksa produsen [[kretek]] untuk membeli dari mereka. Namun, mereka gagal total karena produsen kretek umumnya sudah memiliki suplai dari petani-petani secara konstan, sehingga mereka tidak memerlukan pedagang. Belum lagi Tjia dan kawan-kawannya tidak memiliki kapasitas gudang yang besar untuk menumpuk semua cengkih pada mereka. Gagal, lalu mereka berusaha mengajak Tommy untuk ikut dalam bisnis cengkih, dan sang "Pangeran Cendana" pun tertarik. Ia lalu membawa perusahaan miliknya, PT Bina Reksa Perdana untuk bergabung dengan pedagang cengkih pimpinan Tjia.<ref name=BPPC>[https://books.google.co.id/books?id=AJVLDwAAQBAJ&pg=PT224&dq=BPPC&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjilPHKqcj3AhVNTWwGHQamAfsQ6AF6BAgHEAI#v=onepage&q=BPPC&f=false A Nation In Waiting: Indonesia's Search For Stability]</ref><ref name=BPPC2>[https://books.google.co.id/books?id=gp9zCQAAQBAJ&pg=PA152&dq=BPPC&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjilPHKqcj3AhVNTWwGHQamAfsQ6AF6BAgFEAI#v=onepage&q=BPPC&f=false Indonesia Beyond Suharto]</ref> Tidak lama kemudian, bergabung sejumlah pengusaha kuat era Orde Baru, seperti [[Robby Sumampouw]], Jantje Wirotjijan, Baktinendra Prawiro ke konsorsium Tommy tersebut.<ref name=BPPC1>[https://books.google.co.id/books?id=t7kAEAAAQBAJ&pg=PA34&dq=Tjia+eng+Tek&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjB9ob6q8j3AhXOH7cAHeugB3wQ6AF6BAgKEAI#v=onepage&q=Tjia%20eng%20Tek&f=false Agama, Politik dan Perubahan Sosial]</ref>
 
Tommy dalam perkembangannya berhasil membujuk Soeharto ayahnya untuk mengendalikan harga cengkih sebagai "komoditas penting".<ref name=BPPC2/> Awalnya, pemerintah menunjuk PT Kerta Niaga untuk menetapkan harga minimum cengkih sekitar Rp 7.000/kg, dengan alasan untuk melindungi petani kecil dari penurunan harga cengkih saat waktu panen. Namun, PT Kerta gagal karena tidak memiliki dana yang mencukupi. Sebenarnya, pemerintah sudah berusaha mencoba hal tersebut dari 1980-an awal, namun mengalami hal serupa: tidak ada dana dan penyimpanan yang memadai.<ref name=BPPC1/><ref name=BPPC2/> Maka, Tommy kemudian mengusulkan pendirian sebuah lembaga/perusahaan swasta untuk mengatasi masalah tersebut, yang ia sampaikan pada 19 Januari 1990 ke [[Menteri Perindustrian]] [[Hartarto]]. Lembaga ini direncanakan akan menjadi pembeli tunggal cengkih dari petani dan penyalur satu-satunya cengkih ke industri rokok, makanan, dan pengguna cengkih lainnya. Rencananya, harga cengkih akan dibeli dari petani sekitar Rp 7.570/kg dan dijual ke perusahaan pengguna cengkih sebesar Rp 10.525-12.000/kg, dengan keuntungan akan dipertahankan lembaga monopoli tersebut, yang diperkirakan mencapai US$ 100 juta/tahun. Lembaga itu, yang dikenal dengan nama BPPC, didirikan pada Desember 1990 dan kemudian ditunjuk pemerintah ([[Menteri Perdagangan]] [[Arifin Siregar]]) sebagai pelaksananya pada 28 Desember 1990,<ref name=BPPC1/><ref name=BPPC5>[https://books.google.co.id/books?id=wXtfwKzHA2EC&pg=PA140&dq=BPPC&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjilPHKqcj3AhVNTWwGHQamAfsQ6AF6BAgKEAI#v=onepage&q=BPPC&f=false The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market and Power]</ref> lewat Keputusan Mendag No. 306 dan 307/1990.<ref name=BPPC8>[https://books.google.co.id/books?id=lB6hJyioGMcC&pg=PA159&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjBqJrSvcj3AhUzRmwGHSajAR4Q6AF6BAgGEAI#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false Indonesia Assessment 1995: Development in Eastern Indonesia]</ref>
 
Tommy kemudian menjadi ketua BPPC pada Januari 1991. Di bawah BPPC, tergabung PT Kerta Niaga, 828 Koperasi Unit Desa (KUD), dan 5 pengusaha (termasuk PT Bina Reksa Perdana) yang membentuk PT Kembang Cengkeh Nasional (sebelumnya Konsorsium Cengkeh Nasional).<Refref>[https://books.google.co.id/books?newbks=1&newbks_redir=0&hl=id&id=uGgWAQAAMAAJ&dq=unsur+koperasi+yaitu+KUD+yang+sudah+diseleksi+%2C+dan+unsur+swasta+yaitu+PT+Kembang+Cengkeh+Nasional+sebagai+...&focus=searchwithinvolume&q=KUD Kamus ekonomi: istilah pasar modal & perdagangan internasional]</ref> Walaupun usulan BPPC ditentang oleh asosiasi pengusaha rokok Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), namun gagal. Bahkan, Mendag saat itu mengklaim bahwa BPPC adalah alat demi menyempurnakan perdagangan cengkih, suatu hal yang diiyakan oleh Tommy yang menafsirkan BPPC adalah alat membantu petani cengkih. Dengan modal 90.000 ton cengkeh, BPPC memulai operasionalnya.<ref name=BPPCBPPC4/><ref name=BPPC2BPPC/><ref name=BPPC4BPPC2/> Pemerintah kemudian menyalurkan kredit berbunga rendah ke BPPC sebesar Rp 569 miliar dan pinjaman dari [[Bank Bumi Daya]] senilai Rp 190 miliar, yang merupakan hasil dari lobi Tommy pada sang ayah pada April dan Oktober 1991.<ref name=BPPC2/><ref name=BPPC5/><ref name=BPPC6>[https://tirto.id/keculasan-orde-baru-membuat-harga-cengkeh-hancur-dhpR Keculasan Orde Baru Membuat Harga Cengkeh Hancur]</ref><ref name=BPPC2/><ref name=BPPC5/> Hal itu dilakukan setelah Tommy gagal meminjam uang dari [[Sultan Brunei]] sebesar US$ 650 juta (yang dianggap sebagai hutang negara) dan sebelumnya meminta dari [[Bank Indonesia]] untuk meminjamkan dana dengan jumlah hampir serupa (US$ 600 juta).<ref name=BPPC2/>
 
Awalnya, para petani memang terbantu, ketika harga cengkih mereka dibeli sesuai yang dijanjikan. Akan tetapi, kemudian mereka makin banyak menanam dan menghasilkan cengkih karena tawaran harga yang stabil, sementara pabrik kretek yang dirugikan kemudian mengurangi penggunaan cengkih mereka atau memaksimalkan stok yang ada. Belum lagi masalah beberapa pabrik kretek yang bisa membeli di luar BPPC karena korupsi pengelolaannya di daerah penghasil kretek.<ref name=BPPC/> Tidak hanya itu, pengusaha rokok kretek kemudian menaikkan harga produk mereka sehingga pembelinya menurun.<ref name=BPPC2/> Akibatnya, justru pemerintah dirugikan karena pajak rokok menurun.<ref name=BPPC7>[https://books.google.co.id/books?id=CpT_HleBbEMC&pg=PA269&dq=clove+monopoly&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwivmJ7Wqcj3AhW1SmwGHRQsCiEQ6AF6BAgIEAI#v=onepage&q=clove%20monopoly&f=false The Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia]</ref> PadaMuncullah masalah berupa ketidakseimbangan ''supply and demand'' ([[penawaran dan permintaan]]) cengkih di pasaran. Februari 1992, Tommy menyatakan bahwa dari 117.000 ton cengkih yang dibeli dari petani dan 90.000 cengkih simpanan BPPC, mereka hanya mampu menjual 37.000 ton saja. Secara mengejutkan, Tommy lalu memerintahkan petani untuk membakar dan menebang pohon cengkih mereka, dan bahkan menyebut pinjaman pemerintah ke BPPC akan dibayar dengan cengkih yang terlalu banyak.<ref>[https://books.google.co.id/books?id=6hxqDwAAQBAJ&pg=PT275&dq=BPPC+clove+IMF&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjNtNKUwsj3AhXbFLcAHd3YDvwQ6AF6BAgDEAI#v=onepage&q=BPPC%20clove%20IMF&f=false Liem Sioe Liong's Salim Group]</ref> Ketika sejumlah pejabat [[Golkar]] menolak usulan tersebut, Tommy menegur mereka dengan alasan para pejabat tersebut tidak berkompeten untuk mengurusi cengkih.<ref name=BPPC/> Tidak hanya itu, akibat BPPC menolak membeli cengkih dan ketika di saat yang bersamaan tidak ada pihak lain yang bisa membeli, harga cengkih per kilogram pun melorot dari harga yang dijanjikan (Rp 7.000) menjadi di bawah Rp 2.000 saja, bahkan pernah juga melorot menjadi Rp 250/kg, di saat BPPC tetap menetapkan angka Rp 10.000-12.000 untuk dijual ke pabrik rokok.<ref name=BPPC6BPPC/><ref name=BPPCBPPC6/>
 
Meskipun masalah mulai muncul, pada 11 dan 16 April 1992, Soeharto justru mengeluarkan regulasi untuk memberikan legitimasi bagi kehadiran BPPC, dalam Keppres No. 20/1992 dan Inpres No. 1/1992. Pemerintah saat itu menjanjikan bahwa harga cengkih akan dipatok di harga Rp 6.000-7.900, meskipun masih banyak potongan-potongan biaya kepada petani.<reFref>[https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/80230/Keppres%20No%2020%20TH%201992.pdf Keppres No. 20/1992]</ref><Refref>[https://www.bphn.go.id/data/documents/92ip001.pdf Inpres 1/1992]</ref> Belum lagi adanya janji "Dana Penyertaan Modal" (DPM) dan "Simpanan Wajib Khusus Petani" (SWKP) yang diambil dari keuntungan BPPC yang diperkirakan mencapai Rp 2 miliar, rupanya tidak pernah disalurkan kepada mereka.<ref name=BPPC9>[https://news.detik.com/berita/d-784184/cengkeh-berbau-tommy-soeharto Cengkeh Berbau Tommy Soeharto]</ref> Pada saat yang sama, BPPC terus diuntungkan dengan harga cengkeh yang tidak riil, ditambah adanya komisi dan pajak dalam perdagangan cengkih.<ref name=BPPC7/> Cengkih yang digunakan harus diperiksa BPPC, dan pemerintah mengancam adanya penyitaan dan denda jika pabrik rokok tidak menurutinya.<Refref>[https://books.google.co.id/books?id=o9oh45hmGzEC&pg=PA88&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjBqJrSvcj3AhUzRmwGHSajAR4Q6AF6BAgFEAI#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets]</ref> Tidak lama kemudian, harga resmi cengkih pun diturunkan menjadi Rp 6.000/kg untuk mencegah petani menanam stok cengkih. Tommy kemudian juga meminta INKUD untuk mengendalikan perdagangan cengkih di luar Jawa, dengan kewajiban mereka tidak boleh menjual cengkih sampai BPPC selesai menghabiskan stok cengkih mereka. Artinya, kebijakan membeli cengkih kini ada di tangan INKUD, sementara BPPC melenggang bebas menjual cengkih dan mendapat keuntungan. INKUD kemudian juga diminta untuk membayar pinjaman pemerintah yang diberikan kepada BPPC.<ref name=BPPC/><ref name=BPPC5/>
 
Nyatanya, akhirnya petani merugi banyak dari keberadaan BPPC. Pertanian cengkih yang pernah menyejahterakan petani cengkih dan makmur pra-BPPC,<ref>[https://www.mongabay.co.id/2021/07/06/cengkih-yang-tidak-lagi-diandalkan-petani-aceh/ Cengkih yang Tidak Lagi Diandalkan Petani Aceh]</ref> justru membuat mereka miskin.<ref name=BPPC6/> Bahkan, kehadiran BPPC dinilai beberapa kalangan ikut memengaruhi hampir bangkrutnya salah satu pabrik rokok terbesar saat itu, [[Bentoel Group|Bentoel]].,<ref>[https://books.google.co.id/books?id=LI9DVbbG_swC&pg=PA152&dq=clove+monopoly&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwj5s6Tprsj3AhViTGwGHRQNBys4ChDoAXoECAsQAg#v=onepage&q=clove%20monopoly&f=false Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order]</ref> dan menyulitkan keuangan PT [[Djarum]] yang hampir menutup [[PB Djarum]] miliknya.<ref>[https://www.indosport.com/raket/20190924/titik-nadir-pb-djarum-sempat-ingin-bubar-di-tahun-1990-an Titik Nadir PB Djarum, Sempat Ingin Bubar di Tahun 1990-an]</ref> Janji pemerintah dalam dana-dana seperti DPM, SWKP, Sumbangan Rehabilitasi CengkihCengkeh, ditambah dana simpanan INKUD senilai Rp 1,1 miliar (1998),<ref name=BPPC8/> hampir tidak nampak membantu petani. Pada 1994, harga cengkih sudah melorot dari Rp 7.900 menjadi Rp 4.000/kg.<ref name=BPPC8/> Meskipun demikian, pemerintah dan BPPC tetap tidak bergeming. Di tahun 1996, Tommy kembali meminta petani untuk membakar kelebihan cengkih mereka,<ref name=BPPC4/> yang kemudian benar-benar diikuti petani cengkih yang marah.<ref name=BPPC6/> Pemerintah kemudian juga memaksa para petani untuk menngubahmengubah tanaman mereka dari cengkih ke tanaman lain (seperti [[kopi]] dan [[vanili]])<ref>[https://books.google.co.id/books?id=RqqTdAwXev4C&pg=PA12&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwiezZmuv8j3AhXu73MBHcPXDDw4FBDoAXoECAQQAg#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false Spice Crops]</ref> yang dianggap menguntungkan, namun ditolak petani dan kemudian dibatalkan pada Agustus 1997. Pada 1997, BPPC tercatat memiliki 164.000 ton stok cengkih yang dapat bertahan hingga 1999. Tommy sendiri, ketika ditanya untuk menyerahkan monopolinya ke InkudINKUD, menolak dengan alasan InkudINKUD bermasalah dan BPPC "terpaksa" menggantikannya demi menjaga "hak petani". Jika ada masalah, menurut Tommy adalah bukan dari BPPC karena mereka tidak membeli dari petani, tetapi dari KUD (yang membeli cengkih-cengkih dari petani) yang korup dan berkolusi sehingga petani tidak mendapat haknya.<ref>[https://jawawa.id/newsitem/clove-trades-monopoly-still-needed-hutomo-says-1447893297 JP/Clove trade's monopoly still needed, Hutomo says]</ref> Hal itu terjadi meskipun pada akhir 1993 Tommy telah menjanjikan hak BPPC akan dialihkan ke INKUD pada tahun 1994.<ref>[https://books.google.co.id/books?id=nZ9uAAAAMAAJ&q=clove+support+and+trading+Board&dq=clove+support+and+trading+Board&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjnhda5zMv3AhXgSWwGHQp3Bt4Q6AF6BAgFEAI Indonesia News Service, Masalah 480-543]</ref> Kesengsaraan petani cengkih akan BPPC sendiri dibuktikan dengan anjloknya luasan penanaman cengkih, dengan dari 682.682 hektar pada 1990 menjadi 429.883 hektar pada 2000.<ref>[https://banjarmasin.tribunnews.com/2016/07/03/tata-niaga TATA NIAGA]</ref> Penurunan itu terjadi karena petani banyak meninggalkan usaha cengkih akibat kemerosotan harga di bawah BPPC.<ref>[https://books.google.co.id/books?id=9ihIDwAAQBAJ&pg=PA174&dq=monopoli+cengkeh+soeharto&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwihlZTl4c_3AhW873MBHRryBN8Q6AF6BAgHEAI#v=onepage&q=monopoli%20cengkeh%20soeharto&f=false Berebut Hutan Siberut]</ref>
 
BPPC sendiri akhirnya menemui ajalnya dengan munculnya [[krisis finansial Asia 1997|krisis moneter pada 1997-1998]], yang membuat pemerintah harus menarik pinjaman dari [[IMF]] dan melakukan reformasi di berbagai sektor, termasuk penghapusan monopoli. Awalnya, dalam ''Letter of Intent'' (LoI) Indonesia dengan IMF pertama di November 1997, BPPC masih belum masuk hal-hal yang harus direformasi,<Refref>[https://books.google.co.id/books?id=W81GEAAAQBAJ&pg=PA91&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwj2v8Wtwcj3AhWhRmwGHRBQC-84HhDoAXoECAsQAg#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000]</ref> namun kemudian pada LoI kedua di Januari 1998, IMF mewajibkan penghapusan BPPC sebagai prasyarat pinjaman IMF mulai 30 Juni 1998.<ref>[https://books.google.co.id/books?id=Mkq2AAAAIAAJ&q=BPPc+june+1998&dq=BPPc+june+1998&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwiEo9OFzcv3AhVhSWwGHXx9DDMQ6AF6BAgEEAI Trade Policy Review: Indonesia]</ref> Meskipun kemudian pemerintah menghapusnya melalui Keppres No. 21/1998, nyatanya awalnya pemerintah tidak berkeinginan menghapus skema sejenis. Ketika pertemuan dengan [[Perdana Menteri Jepang]] [[Ryutaro Hashimoto]], [[Wakil Presiden Indonesia|Wapres]] [[B.J. Habibie]] (diangkat Maret 1998) justru menafsirkan penghapusan BPPC sebagai pelanggaran [[UUD 1945]]. Banyak sumber yang menyatakan bahwa salah satu perusahaan komponen BPPC, PT Kembang Cengkeh Nasional justru menggantikan BPPC dalam monopoli cengkih.<Refref>[https://www.business-standard.com/article/specials/indonesia-clamps-down-on-suharto-son-monopoly-198042801123_1.html Indonesia Clamps Down On Suharto Son Monopoly]</ref> Pada 24 Februari 1998 sebelumnya, [[Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia|Menkop]] [[Subiakto Tjakrawerdaya]] menyebut bahwa BPPC harus dipertahankan dengan bekerjasama bersama petani dan produsen kretek, dan pada Juni 1998 akan tetap bertahan sebagai "konsultan" bagi petani yang belum siap menjual cengkihnya sendiri.<ref name=BPPC8/> Baru setelah Soeharto jatuh, sisa-sisa BPPC akhirnya dihapuskan ketika pengawasan perdagangan cengkih dialihkan ke Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Deperindag di 30 Juni 1998, dan kini petani bisa menjual cengkih secara lebih bebas.<Refref>[https://books.google.co.id/books?id=2PcwAgAAQBAJ&pg=PA44&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwiezZmuv8j3AhXu73MBHcPXDDw4FBDoAXoECAkQAg#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false Asian Development Experience Vol. 2: The Role of Governance in Asia]</ref> Sebelumnya, sejak 1 Mei 1998, perusahaan rokok dinyatakan tidak perlu memiliki stiker khusus dari BPPC di rokok mereka,<ref name=BPPC5/> dan pemerintah telah menghapus hak monopoli impor cengkih oleh BPPC.<ref>[https://smeru.or.id/sites/default/files/publication/deregpengaruhlesson.pdf DEREGULASI...]</ref> Meskipun demikian, karena awalnya petani cengkih sudah berhenti menanam cengkih akibat pengaruh BPPC, produksi cengkih sempat menurun dan harganya meroket menjadi Rp 30.000/kg pada Juni 1999.<ref>[https://books.google.co.id/books?id=mtJcAgAAQBAJ&pg=PA16&dq=BPPC+clove&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwiezZmuv8j3AhXu73MBHcPXDDw4FBDoAXoECAgQAg#v=onepage&q=BPPC%20clove&f=false Agriculture in Crisis: People, Commodities and Natural Resources in ...]</ref>
 
==Pengusutan korupsi==
Pada tahun 2000, [[Indonesia Corruption Watch]] melaporkan dugaan korupsi kasus BPPC ke [[Kejaksaan Agung]], dengan sprindik No Print-135/F/F.2.1/11/2000 yang dikeluarkan pada 16 November 2000. Mantan presiden Soeharto saat itu dituduh melawan hukum dengan menerbitkan Inpres dan Keppres BPPC. Kejaksaan Agung, dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) lalu mulai mengusut kasus tersebut, ditambah kerjasama dengan [[Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan]] (BPKP) untuk menakar kerugian negara.<ref name=BPPC10>[https://www.bpkp.go.id/berita/read/2249/10220/Kejagung-Sidik-Lagi-Kasus-BPPC Kejagung Sidik Lagi Kasus BPPC]</ref> ICW sendiri menuduh bahwa pinjaman awal dari pemerintah ke BPPC pada 1991 dengan total US$ 325 juta (Rp 175 miliar) tidak dikembalikan dan menghilang tanpa jejak, ditambah dana-dana seperti Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) sebesar Rp67 miliar, Sumbangan Wajib Khusus Petani (SWKP) sebesar Rp670 miliar, Dana Konversi sebesar Rp74 miliar, dan Dana Penyertaan Modal (DPM) sebesar Rp1,1 triliun yang tidak pernah kembali ke petani.<ref name=BPPC9/> Setelah sempat menghentikan penyidikannya pada 2001, Kejagung kembali membuka kasus tersebut pada Mei 2007,<ref name=BPPC10/> dengan alasan memiliki bukti kuat dan berusaha memanggil saksi.<ref>[https://nasional.tempo.co/read/100641/kejaksaan-punya-bukti-kuat-korupsi-bppc Kejaksaan Punya Bukti Kuat Korupsi BPPC]</ref> Sempat berencana menggugat BPPC secara perdata, pada Agustus 2007, Kejagung tidak melakukannya dengan alasan terhalang Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/1956.<Refref>[https://www.hukumonline.com/berita/a/karena-perma-kejaksaan-tak-jadi-gugat-bppc-hol17416?page=all Karena Perma, Kejaksaan Tak Jadi Gugat BPPC]</ref> Upaya Kejagung untuk memanggi Tommy pada bulan yang sama pun gagal karena alasan ia sakit,<ref>[https://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2007/08/printable/070807_tommycourt.shtml Kejakgung gagal panggil Tommy]</ref> setelah sebelumnya pada 19 Juli 2007 menjadikannya sebagai tersangka.<ref>[https://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2007/07/070719_tommygraft.shtml Tommy 'tersangka' kasus BPPC]</ref> Akan tetapi, dengan alasan Tommy sudah membayar kerugiannya pada Juni 2008,<ref>[https://news.detik.com/berita/d-949126/tommy-soeharto-bayar-kerugian-negara-bppc-ke-kejagung Tommy Soeharto Bayar Kerugian Negara BPPC ke Kejagung]</ref> pada 7 November 2008 Kejagung memberikan SP3 penghentian penyidikan kasus tersebut.<ref>[https://news.okezone.com/read/2008/11/07/1/161779/kejagung-telah-keluarkan-sp3-kasus-bppc-tommy Kejagung Telah Keluarkan SP3 Kasus BPPC Tommy]</ref> Dan kini, penyelesaian hukum dari dugaan korupsinya masih belum jelas.
 
==Rujukan==
{{reflist|2}}
 
[[Kategori: Orde Baru]]
[[Kategori: Perserikatan Orde Baru]]