Wangsa Sailendra: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k Mengembalikan suntingan oleh 114.10.99.125 (bicara) ke revisi terakhir oleh Verosaurus Tag: Pengembalian |
||
(41 revisi perantara oleh 18 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{More citations needed|date=November 2020}}
[[Berkas:Sailendra King and Queen, Borobudur.jpg|jmpl|360px|
{{Sejarah Indonesia}}▼
'''Wangsa Sailendra''' atau '''Syailendra''' (''Śailendravamśa'') adalah nama [[wangsa]] atau dinasti raja-raja yang berkuasa di [[Kerajaan Medang]] era Jawa Tengah sejak tahun [[752]]; dan [[Sriwijaya|menguasai Sriwijaya]] di Pulau Sumatra sejak kepemimpinan [[Balaputradewa]] dari Jawa Tengah.
{{Maharaja Sriwijaya}}▼
[[Berkas:Borobudur-complete.jpg|jmpl|ka|300px|[[Candi Borobudur]], salah satu peninggalan Wangsa Śailendra.]]▼
== Asal-usul ==
▲[[Berkas:Borobudur-complete.jpg|jmpl|ka|300px|[[Candi Borobudur]], salah satu peninggalan Wangsa Śailendra.]]
Istilah Sailendra dalam [[bahasa Sanskerta]] artinya "Raja Gunung", merujuk ke gunung-gunung berapi tinggi seperti [[Gunung Merapi]] yang menghadap ke [[Borobudur]], candi besar [[agama Buddha]] yang dibangun oleh wangsa ini.{{Sfn|Bowring|2022|p=74}}
Di Indonesia, nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam [[prasasti Kalasan]].{{Butuh rujukan}} Tulisan pada Prasasti Kalasan menggunakan [[aksara Nāgarī]] dalam [[bahasa Sanskerta]] dan mencantumkan rangka tahun 700 saka (778 Masehi). Dalam Prasasti Kalasan terdapat keterangan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa Sailendra telah menyarankan pembuatan bangunan suci kepada Maharaja Tejahpurnapana Panamkarana. Bangunan ini dibuat sebagai tempat pemujaan bagi pendeta beragama Buddha untuk memuja Dewi Tara. Bangunan ini merujuk ke [[Candi Kalasan]].<ref>{{Cite book|last=Indriyani, A., dkk.|date=Juli 2022|url=https://budaya.jogjaprov.go.id/attachment/view?id=4434&&filename=KATALOG%20MATARAM%20KUNO.pdf|title=Medang: Sejarah dan Budaya Mataram Kuno|location=Yogyakarta|publisher=Museum Pleret|editor-last=Sektiadi dan Wiyamto, K. S.|pages=7|url-status=live}}</ref> Dalam Prasasti Kalasan, Wangsa Sailendra disebut dengan nama ''Śailendragurubhis, Śailendrawańśatilakasya, dan Śailendrarajagurubhis''.{{Butuh rujukan}}
Mengenai asal-usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Jawa Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari [[Funan]].▼
[[Berkas:Kalasan Temple.jpg|jmpl|150px|[[Candi Kalasan]] sebagai tempat pemujaan [[Tara (Bodhisattva)|Dewi Tara]].]]▼
Nama raja dari Wangsa Sailendra juga ditemukan di dalam [[prasasti Kelurak]] yang berangka tahun 782 Masehi. Pada prasasti ini, sang raja dikenali untuk pertama kalinya sebagai "pembunuh musuh".<ref>{{Cite book|last=Coedès, G., dan Damais, L. C.|date=1989|url=https://repositori.kemdikbud.go.id/14729/1/Kedatuan%20sriwijaya%20penelitian%20tentang%20sriwijaya.pdf|title=Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=979-8041-12-7|pages=135|translator-last=Pusat Penelitian EFEO di Jakarta|url-status=live}}</ref> Namanya dituliskan dalam prasasti ini sebagai Śailendrawańśatilakena. Lalu Wangsa Sailendra juga disebutkan dalam [[prasasti Abhayagiriwihara]] dari tahun 792 Masehi (''dharmmatuńgadewasyaśailendra'') dan [[prasasti Kayumwuńan]] dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia, nama ini ditemukan dalam [[prasasti Ligor]] dari tahun 775 Masehi dan [[prasasti Nalanda]].{{Butuh rujukan}}
▲Mengenai asal-usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarawan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Jawa Śailendra berasal dari Sumatra, dari India, dan dari [[Funan]], tapi pendapat semua itu tidak memiliki bukti dan tidak valid. Dari penelitian terbaru, Sailendra lebih pasti berasal dari Jawa.<ref name=":7" />
=== Teori India ===
▲{{Sejarah Indonesia}}
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatra) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari [[Kalingga]] (Jepara)
=== Teori Funan ===
[[George Cœdès]] lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari
=== Teori Nusantara ===
Teori Nusantara mengajukan kepulauan Nusantara; terutama pulau Sumatra atau Jawa; sebagai tanah air wangsa ini. Teori ini mengajukan bahwa wangsa Śailendra mungkin berasal dari Sumatra yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin wangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya.
Menurut beberapa sejarawan, keluarga Śailendra berasal dari Sumatra yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke-7 Masehi dengan menyerang kerajaan [[Tarumanagara]] di Jawa. Namun pendapat ini masih diragukan, karena ratu Shima merupakan keturunan Syailendra menjadi ratu dari kerajaan [[Kalingga]] sebelum ekspansi Sriwijaya menurut Prasasti Kota Kapur.<ref name="end">{{cite book|last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|publisher=Editions Didier Millet|date=2006|location=Singapore|url=https://archive.org/details/earlykingdomsofi0000muno|doi=|pages=pages 171|id= ISBN 981-4155-67-5}}</ref> Serangan Sriwijaya atas Jawa berdasarkan atas [[Prasasti Kota Kapur]] yang mencanangkan ekspansi atas Bumi Jawa yang tidak mau berbhakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta Selendra pada [[prasasti Sojomerto]]. Gelar ini ditemukan juga pada [[prasasti Kedukan Bukit]] pada nama ''Dapunta Hiyaŋ''. [[Prasasti Sojomerto]] dan [[prasasti Kedukan Bukit]] merupakan prasasti yang berbahasa [[Melayu Kuno]]. Namun keberhasilan Sriwijaya dalam ekspansi Bhumi Jawa yang tercatat di Prasasti Kota Kapur diragukan keberhasilannya. Karena sampai saat ini tidak ditemukan bukti yang menyatakan pengusaan Sriwijaya atas Bhumi Jawa
Teori Nusantara juga dikemukakan oleh [[Poerbatjaraka]]. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas [[Carita Parahiyangan]] kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama [[prasasti Sojomerto]] itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut [[Boechari]], tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Medang.
Nama ''Dapunta Selendra''
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di [[Kerajaan Medang|Matarām]] menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas [[Carita Parahiyangan]] yang menyebutkan bahwa Rakai Sañjaya menyuruh anaknya Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan isi [[Prasasti Raja Sankhara]] (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).
Baris 32 ⟶ 38:
Dari [[prasasti Sojomerto]] dan [[prasasti Canggal]] telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari [[Carita Parahiyangan]] dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.
Prasasti Sojomerto sering digunakan sebagai bukti bahwa wangsa Sailendra berasal dari Sumatra karena mengasumsikan kata ''Selendra'' sebagai penyebutan Melayu untuk Sailendra dan Dapunta Selendra adalah pendahulu dinasti ini, namun penelitian termutakhir tidak menunjukkan seperti itu: Menurut Damais, prasasti Sojomerto berasal dari awal abad ke-9,<ref name=":0" /> menempatkannya setelah prasasti Kedukan Bukit (683 M). Selain itu nama ''Selendra'' dari prasasti Sojomerto sepertinya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Sailendra: Dalam prasasti itu disebut kata ''hakairu'' dan ''daiva'' yang mempunyai diftong ai, sehingga seharusnya diftong itu juga digunakan dalam nama ''Dapunta Selendra''. Selain itu, teori ini sudah usang karena tidak ada data keberadaan dinasti Sailendra di Sumatra lebih awal dari abad kesembilan dan Sriwijaya tidak dapat menaklukkan Jawa, yang terjadi adalah kebalikannya — dinasti Sailendra menundukan Sriwijaya dan daerahnya di semenanjung Melayu.<ref name=":7" />{{rp|22-27}}
Dalam [[Carita Parahiyangan]] disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan Carita Parahiyangan, maka keluarga Śailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah [[Kerajaan Sunda]] dan [[Kerajaan Galuh]]. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti [[Tarumanagara]] dan Kalingga. Penggunaan bahasa [[Bahasa Melayu Kuno]] pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran ''Dapunta'' menunjukkan bahwa keluarga Sailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan sistem politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah ''vasal'' atau Perdikan anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan Bhumi Jawa oleh Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam [[Prasasti Kota Kapur]].
== Era Kerajaan Medang ==
[[Berkas:Royal elephant escorted by soldiers, Mataram (Medang) era Java, from the Borobudur temple.jpg|jmpl|300px|Relief Borobudur yang menggambarkan seekor gajah kerajaan yang dikawal oleh tentara, pada zaman kerajaan Mataram (Medang) di Jawa.]]
▲[[Berkas:Kalasan Temple.jpg|jmpl|150px|[[Candi Kalasan]] sebagai tempat pemujaan [[Tara (Bodhisattva)|Dewi Tara]].]]
Selama ini kerajaan Medang dianggap diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Buddha dan [[Wangsa Sanjaya]] yang beragama Hindu Siwa, pendapat ini pertama kali diperkenalkan oleh [[Frederik David Kan Bosch|Bosch]].<ref>{{cite journal | last = Bosch | first =F.D.K. | authorlink = | year = 1952 | title = Çriwijaya, de Çailendrawamsa- en de Sańjayawamça| journal = B.K.I. | volume = 108 | issue = | pages = 113-123}}</ref> Pada awal era Medang atau Mataram Kuno, wangsa Sailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan wangsa Sailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah. Sementara Poerbatjaraka menolak anggapan Bosch mengenai adanya dua wangsa kembar berbeda agama yang saling bersaing ini. Menurutnya hanya ada satu wangsa dan satu kerajaan, yaitu wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang. Sanjaya dan keturunannya adalah anggota Sailendra juga.<ref>(Poerbatjaraka, 1958: 254-264)</ref> Ditambah menurut Boechari, melalui penafsirannya atas [[Prasasti Sojomerto]] bahwa wangsa Sailendra pada mulanya memuja Siwa, sebelum Panangkaran beralih keyakinan menjadi penganut Buddha Mahayana.
Baris 49 ⟶ 55:
Pada masa pemerintahan raja [[Indra (raja Mataram)|Indra]] (782-812), puteranya, [[Samaratungga]], dinikahkan dengan [[Dewi Tara]], puteri [[Dharmasetu]], Maharaja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari [[Candi Kalasan]] memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai [[Bodhisattva]] wanita. Pada tahun 790, Sailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja Selatan), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
[[Candi Borobudur]] selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (
== Runtuhnya Wangsa Sailendra ==
Berapa sejarawan berusaha menjelaskan berakhirnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah mengaitkannya dengan kepindahan Balaputradewa ke Sriwijaya (Sumatra). Selama ini sejarawan seperti Dr. Bosch dan Munoz menganut paham adanya dua wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling bersaing; Sanjaya-Sailendra. Mereka beranggapan Sailendra yang penganut Buddha kalah bersaing dan terusir oleh wangsa Sanjaya yang Hindu aliran Siwa. Dimulai dengan adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara Sailendra sang penguasa yang beragama Buddha dengan rakyat Jawa yang kebanyakan beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah.{{fact}} Untuk memantapkan posisinya di Jawa Tengah, raja Samaratungga menikahkan putrinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, [[Rakai Pikatan]] yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya.<ref name="end"/> Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang [[Balaputradewa]], yang merupakan paman atau saudara Pramodhawardhani. Sejarah wangsa Sailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke ''Suwarnadwipa'' yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa Sailendra dari Jawa Tengah, Munoz beranggapan berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Munoz beranggapan bahwa orang-orang Jawa pengikut Balaputradewa merasa terancam dan akhirnya menyingkir, mengungsi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan [[Banten Girang]].<ref name="end"
Sementara itu, sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa yaitu Sailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamça dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam wangsa Sailendra. Secara tradisional, selama ini kurun kekuasaan Sailendra dianggap berlangsung antara abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan hanya terbatas di Jawa Tengah, tepatnya di [[Dataran Kedu]], dari masa kekuasaan Panangkaran hingga Samaratungga. Hal ini sesuai dengan penafsiran [[Slamet Muljana]] yang menganggap Panangkaran sebagai Raja Sailendra pertama yang naik takhta. Akan tetapi penafsiran paling mutakhir berdasarkan temuan Prasasti Sojomerto serta kelanjutan Sailendra di Sriwijaya mengusulkan; bahwa masa kekuasaan wangsa Sailendra berlangsung jauh lebih lama. Dari
== Daftar
▲{{Maharaja Sriwijaya}}
Beberapa sejarawan mencoba merekonstruksi kembali urutan daftar silsilah raja-raja Sailendra; meskipun satu sama lain mungkin tidak sepakat. Misalnya, [[Slamet Muljana]], meneruskan teori dinasti kembar Bosch, berpendapat bahwa anggota wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah [[Rakai Panangkaran]]. Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, [[Wangsa Sanjaya]] juga merupakan anggota Wangsa Sailendra. Boechari mencoba menyusun tahap awal perkembangan wangsa Sailendra berdasarkan penafsiran atas Prasasti Sojomerto. Sementara Poerbatjaraka mencoba menyusun daftar raja penguasa Sailendra pada periode menengah dan lanjut berdasarkan hubungannya dengan tokoh Sanjaya, beberapa prasasti Sailendra, serta penafsiran atas naskah [[Carita Parahyangan]]. Akan tetapi banyak kebingungan yang muncul, karena tampaknya Sailendra berkuasa atas banyak kerajaan; [[Kalingga]], [[Medang]], dan [[Sriwijaya]]. Akibatnya nama beberapa raja tampak tumpang tindih dan berkuasa di kerajaan-kerajaan ini secara bersamaan. Tanda tanya (?) menunjukkan keraguan atau dugaan, karena data atau bukti sejarah sahih masih sedikit ditemukan dan belum jelas terungkap.
Baris 65 ⟶ 72:
!width="200px"|Prasasti atau Catatan Bersejarah
!width="300px"|Peristiwa
|-
|674—703
Baris 134 ⟶ 129:
|833—850
|[[Balaputradewa]]
|[[Sriwijaya]],
|[[Prasasti Siwagrha]] (856), [[Prasasti Nalanda]] (860)
|Dikalahkan Pikatan-Pramodhawardhani, terusir dari Jawa Tengah, menyingkir ke Sumatra dan berkuasa di [[Sriwijaya]], mengaku dirinya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, membangun Candi di Nalanda (India)
Baris 140 ⟶ 135:
|sekitar 960
|[[Çri Udayadityavarman]]
|[[Sriwijaya]],
|Utusan ke Tiongkok (960 dan 962)
|Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok
Baris 146 ⟶ 141:
|sekitar 980
|Haji (''Hia-Tche'')
|[[Sriwijaya]],
|Utusan ke Tiongkok (980–983)
|Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok
Baris 152 ⟶ 147:
|sekitar 988
|[[Sri Cudamani Warmadewa|Sri Cudamanivarmadeva]]
|[[Sriwijaya]],
|Utusan ke Tiongkok (988-992-1003), Prasasti Tanjore atau prasasti Leiden (1044)
|Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok, Raja Jawa [[Dharmawangsa]] menyerang Sriwijaya, membangun Candi untuk Kaisar Tiongkok, pemberian desa perdikan oleh Raja-raja I
Baris 158 ⟶ 153:
|sekitar 1008
|[[Sri Maravijayottungga]]
|[[Sriwijaya]],
|Utusan ke Tiongkok (1008)
|Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1008)
Baris 164 ⟶ 159:
|sekitar 1017
|[[Haji Sumatrabhumi|Sumatrabhumi]]
|[[Sriwijaya]],
|Utusan ke Tiongkok(1017)
|Mengirim utusan dan persembahan untuk mendapat misi dagang dengan Tiongkok (1017)
Baris 170 ⟶ 165:
|sekitar 1025
|[[Sangrama-Vijayottunggawarman|Sangramavijayottungga]]
|[[Sriwijaya]],
|Prasasti Chola di Candi Rajaraja, Tanjore
|Serbuan kerajaan Cholamandala atas Sriwijaya, ibu kota ditaklukan oleh [[Rajendra Chola]]
Baris 187 ⟶ 182:
== Daftar pustaka ==
* {{Cite book|last=Bowring|first=Philip|year=2022|title=Nusantaria: Sejarah Asia Tenggara Maritim|publisher=[[Kepustakaan Populer Gramedia]]|isbn=978-602-481-801-2|ref=harv|url-status=live}}
* George Coedes. 1934. ''On the origins of the Sailendras of Indonesia''. Journal of the Greater India Society I: 61–70.
* K.A.N. Sastri. 1949. ''History of Sri Vijaya.'' University of Madras.
* Marwati Djoened Poesponegoro. Nugroho Notosusanto. 1992. ''Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Kuno.'' Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero). ISBN 979-407-408-X
* Paul Michel Munoz. 2006. ''Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.'' Singapura: Editions Didier Millet, ISBN 981-4155-67-5.
* R.C. Majumdar. ''Note on Šailendra kings mentioned in Leiden Plates.'' EL, XXII, pp.
* R. Ng. Poerbatjaraka. 1952. ''Riwajat Indonesia, djilid I, "Çrivijaya, de Śańjaya en de Çailendrawamça''. B.K.I., 254-264.
* Slamet Muljana. 2006. ''Sriwijaya''. PT LKIS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1.
|