Arsitektur kolonial di Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 5 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.9 |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Gedung-Sate-Trees.jpg|jmpl|400px|[[Gedung Sate]] di [[Bandung]] menunjukkan upaya kolonial untuk mencapai perpaduan arsitektur asli Indonesia antara Jawa lokal, arsitektur Hindu-Buddha kuno di Indonesia, dan gaya barat.]]
'''Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia''' dibangun di seluruh Nusantara yang dulu dikenal sebagai [[Hindia Belanda]]. Sebagian besar bangunan era kolonial yang lebih baik dan permanen terdapat di Jawa dan Sumatra, yang secara ekonomi dianggap lebih penting selama masa penjajahan Belanda.<ref>{{Cite web|title=Dutch Empire / Indonesia {{!}} Colonial Architecture Project|url=https://www.colonialarchitectureproject.org/index?/category/3003-indonesia|website=www.colonialarchitectureproject.org|access-date=2021-11-29}}</ref> Akibatnya, lebih banyak bangunan kolonial yang bertahan masih terdapat di kedua pulau tersebut. Banyak benteng dan gudang era VOC lama tersebar di seluruh Nusantara, terutama di sekitar [[Kepulauan Maluku]] dan [[Sulawesi]]. Ada tiga [[gaya arsitektur]] kolonial Belanda:
* [[Rumah kongsi|Arsitektur Hindia Lama]]
Baris 11:
Setibanya di Hindia Timur, arsitektur Belanda terutama berasal dari pengetahuan dan keahlian dari negara asal. Pada kebanyakan kasus, [[bangunan pertukangan batu]] disukai pada sebagian besar konstruksi mereka. Sebelumnya, kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan di Hindia, kecuali beberapa arsitektur keagamaan dan istana utama. Selama periode awal kolonisasi, koloni-koloni Belanda terutama diperintah oleh [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|VOC]], yang terutama memerhatikan fungsionalitas bangunannya daripada membuat bangunan sebagai ekshibisi bergengsi.<ref name=colonial>http://www.pac-nl.org/downloads/colonialarchitectureinindonesia.pdf</ref>
Salah satu permukiman [[Belanda]] besar yang pertama adalah [[Batavia]] (Jakarta saat ini), yang pada abad ke-17 dan ke-18 adalah kota [[batu bata]] dan pertukangan batu berbenteng yang dibangun di atas dataran rendah.{{sfn|Schoppert|Damais|1997|pp=38-39}} Permukiman Belanda pada abad ke-17 umumnya ''intra-muros'', dengan pertahanan bertembok untuk melindungi mereka dari serangan oleh rival perdagangan Eropa lainnya dan pemberontakan penduduk pribumi. Benteng itu merupakan pangkalan militer dan pusat perdagangan dan pemerintahan.{{sfn|Tjahjono|1998|pp=105}} Kota ini ditata ke dalam sebuah kisi-kisi dengan blok-blok yang dibagi oleh kanal-kanal, lengkap dengan sebuah [[Museum Sejarah Jakarta|Balai Kota]] dan Gereja-gereja, seperti setiap kota Belanda lainnya pada saat itu. Rumah-rumah di Batavia digambarkan "cukup tinggi dengan ''[[fasad]]'' sempit dan dinding berplester disisipi dengan jendela sengkang yang dilengkapi anyaman rotan untuk ventilasi". Dan seperti di Belanda, mereka sebagian besar merupakan rumah bertingkat dengan halaman kecil.<ref name=colonial/> Perilaku serupa dalam perencanaan dan arsitektur kota dapat dilihat dalam pembangunan pelabuhan VOC di [[Semarang]] pada abad ke-18.<ref name="Pratiwo. 2005">Pratiwo. (2005). The City Planning of Semarang 1900–1970. In F. Colombijn, M. Barwegen, P. Basundoro & J. A. Khusyairi (Eds.), Old City, New City: The History of the Indonesian City Before and After Independence. Yogyakarta: Penerbit Ombak.</ref>
Selama hampir dua abad, para kolonis tidak banyak menyesuaikan kebiasaan arsitektur Eropa mereka dengan [[Tropika|iklim tropis]].<ref name="d8">Dawson, B., Gillow, J., ''The Traditional Architecture of Indonesia'', p. 8, 1994 Thames and Hudson Ltd, London, {{ISBN|0-500-34132-X}}</ref> Di Batavia, misalnya, mereka membangun kanal melalui dataran rendahnya, yang digawangi oleh [[Rumah bandar|rumah baris]] berjendela kecil dan berventilasi buruk, kebanyakan bergaya campuran Tionghoa-Belanda. Kanal-kanal tersebut menjadi tempat pembuangan untuk limbah berbahaya dan kotoran dan tempat berkembang biak yang ideal untuk nyamuk [[anopheles]], dengan malaria dan [[disentri]] menyebar ke seluruh ibu kota kolonial [[Hindia Belanda]].<ref name=d8 /> Dan pada paruh kedua abad ke-17, penduduk di dalam Batavia bertembok mulai membangun properti dan vila luar kota yang besar sepanjang Kanal Molenvliet, contoh terbaik yang bertahan adalah [[Arsip Nasional Republik Indonesia|bekas rumah besar Reyner de Klerk]] yang dibangun dengan gaya Eropa yang kaku.
Baris 21:
=== Adaptasi awal dengan lingkungan lokal ===
{{Main article|Rumah kongsi}}
Meskipun rumah petak, kanal dan dinding padat tertutup pertama kali dianggap sebagai perlindungan terhadap penyakit tropis yang datang dari udara tropis, bertahun-tahun kemudian Belanda belajar untuk menyesuaikan gaya arsitektur mereka dengan fitur bangunan lokal (atap panjang, beranda, [[Portiko|serambi]], jendela besar dan bukaan ventilasi).<ref>{{Cite web|date=2007-07-03|title=Wayback Machine|url=http://www.wiratman.co.id/ximages/architecture.pdf|website=web.archive.org|access-date=2021-11-29|archive-date=2007-07-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20070703053406/http://www.wiratman.co.id/ximages/architecture.pdf|dead-url=unfit}}</ref> [[Rumah kongsi|Rumah pedesaan Hindia Belanda]] pada pertengahan abad ke-18 adalah salah satu bangunan kolonial pertama yang menggabungkan elemen arsitektur Indonesia dan berusaha beradaptasi dengan iklim. Bentuk dasarnya, seperti penataan ruang memanjang dan penggunaan struktur atap joglo dan limasan, adalah Jawa, tetapi menggabungkan elemen dekoratif Eropa seperti kolom [[Neoklasikisme|neo-klasik]] di sekitar beranda dalam.<ref name="Schoppert 1997">{{Cite book|last=Schoppert|first=Peter|date=1997|url=https://www.worldcat.org/oclc/39200431|title=Java style|location=[Place of publication not identified]|publisher=Periplus Editions|isbn=962-593-232-1|others=Tara Sosrowardoyo, Soedarmadji J. H. Damais|oclc=39200431}}</ref> Gaya tersebut dikenal sebagai [[Rumah kongsi|Gaya Indies]].
== Abad ke-19 ==
{{Main article|Arsitektur Imperium Hindia}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het Hooggerechtshof en het Paleis van Daendels, het Grote Huis, aan het Waterlooplein te Batavia TMnr 60015921.jpg|kiri|jmpl|[[Gedung AA Maramis|Istana Daendels]], selesai pada tahun 1828.]]
Pada akhir abad ke-19, perubahan besar terjadi di sebagian besar wilayah kolonial Indonesia, khususnya Jawa. VOC telah bangkrut dan kepemilikannya diakuisisi oleh Mahkota Belanda. Reformasi ekonomi dimulai oleh [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal]] [[Herman Willem Daendels|Daendels]] yang pro Prancis, yang ditunjuk di Jawa untuk mengelola pos-pos VOC yang memburuk. Daendels mempopulerkan Gaya Kekaisaran neoklasik Prancis di Hindia, yang kemudian dikenal sebagai [[gaya Imperium Hindia]]. Daendels keluar dari kastil Batavia yang saat itu sudah bobrok dan memperluas pinggiran kota di kota satelit [[Weltevreden]] di selatan. Akibat blokade perdagangan oleh Inggris terjadi kesulitan dalam memperoleh [[bahan bangunan]], sehingga sebagian besar benteng lama Batavia Lama dibongkar untuk membangun gedung-gedung publik bergaya abad ke-19 di Batavia. Demikian pula semua pos terdepan di pulau-pulau terluar di luar Jawa telah mengalami tren gaya arsitektur yang sama, namun sangat sedikit dari bangunan ini yang berhasil bertahan.
[[Berkas:Gedung Kesenian Jakarta, 2018.jpg|jmpl|[[Gedung Kesenian Jakarta]] (''Batavia Schouwburg'') dengan gaya arsitektur Imperium Hindia]]
Pada akhir abad ke-19, selera arsitektur di Eropa telah mulai bergeser ke [[Arsitektur Kebangkitan Gotik|Neo Gotik]] dan [[Arsitektur Kebangkitan Renaisans|Neo Renaisans]], namun koloni tersebut tidak mengalami ledakan gaya arsitektur ini sampai periode selanjutnya. Pada periode ini pula semakin banyak apresiasi terhadap bentuk arsitektur asli; [[Stasiun Semarang Tawang|Stasiun kereta api Tawang]] (1864) di Semarang menampilkan contoh asimilasi yang harmonis antara ide-ide timur dan barat.<ref>Tjahjono 1998, pp. 105</ref> Pada tahun 1869 telah dibuka [[Terusan Suez]] yang meningkatkan volume kapal yang melakukan perjalanan dari Eropa ke Timur, pelabuhan-pelabuhan baru seperti [[Tanjung Priok, Jakarta Utara|Tanjung Priok]] dan [[Pelabuhan Tanjung Perak|Tanjung Perak]] dibangun untuk menampung kapal-kapal yang semakin bertambah. Dan itu juga sekitar periode yang sama bahwa [[Politik Etis]] diterapkan untuk penduduk asli Hindia Belanda yang mengakibatkan beberapa ledakan konstruksi di kota-kota. Menjelang akhir abad ke-19, sebuah bangunan sipil utama [[Gereja Katedral Jakarta|Katedral Jakarta]] dibangun dengan gaya Neo Gotik, dan pada periode selanjutnya beberapa gereja Katolik; seperti Gereja Kepanjen Surabaya dan Gereja Ijen Malang, juga dibangun dengan cara serupa. Namun Neo Gotik tetap asing di lingkungan tropis Hindia dan tidak diterapkan seperti di [[Kemaharajaan Britania|British Raj]]. Sedangkan Neo Renaisans dapat dilihat pada beberapa bangunan seperti [[GPIB Immanuel Semarang|Gereja Blenduk Semarang]].
Baris 33:
{{Main article|Arsitektur Hindia Baru}}
[[Berkas:Lawang sewu semarang.jpg|jmpl|[[Lawang Sewu]] dengan gaya arsitektur Hindia Baru]]
Pada pergantian abad ke-20 ada perubahan signifikan lebih lanjut di koloni. Pada periode ini, Belanda telah berhasil menguasai sebagian besar perbatasan Indonesia saat ini. Belanda juga telah menerapkan [[Politik Etis]] yang mendorong peluang kewirausahaan bagi orang Eropa dan aliran investasi asing. Ada juga minat yang meningkat untuk mengeksploitasi kekayaan minyak dan gas Indonesia, yang menyebabkan kapitalis untuk lebih mengawasi nusantara dan Belanda untuk meningkatkan infrastrukturnya. Perbaikan signifikan pada teknologi, komunikasi dan transportasi telah membawa kekayaan baru ke kota-kota di Jawa dan perusahaan swasta untuk mencapai pedesaan.<ref
[[Berkas:NILLMIJ-Jakarta.jpg|kiri|jmpl|Gedung NILLMIJ di Batavia, 1912 (kini menjadi kantor pusat [[Jiwasraya|Asuransi Jiwasraya]])]]
Namun, pada tahun 1920-an, cita rasa arsitektur mulai bergeser ke arah gerakan [[Rasionalisme (arsitektur)|Rasionalisme]] dan [[Modernisme]], terutama karena meningkatnya desain arsitektur [[Art Deco]] yang dipengaruhi oleh [[Hendrik Petrus Berlage|Berlage]]. Dalam tiga dekade pertama abad ke-20, Departemen Pekerjaan Umum meluncurkan program-program pembangunan umum dan perencanaan kota. Perancang kuncinya adalah T. Karsten yang mengembangkan ide-ide pendahulunya untuk memasukkan unsur-unsur asli Indonesia ke dalam bentuk-bentuk Eropa yang rasional.<ref>Vickers (2005), pp 23-25</ref> [[Kota Bandung|Bandung]] yang digambarkan sebagai "laboratorium",<ref>{{Cite web|date=2016-01-16|title=Bandung Heritage Building Architecture|url=http://bandungsae.com/buildet.htm|website=web.archive.org|access-date=2021-11-29|archive-date=2016-01-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20160116170247/http://bandungsae.com/buildet.htm|dead-url=unfit}}</ref> memiliki catatan khusus dengan salah satu koleksi sisa bangunan Art-Deco tahun 1920-an terbesar di dunia, dengan karya terkenal dari beberapa arsitek dan perencana Belanda, termasuk [[Albert Aalbers]], [[Thomas Karsten]], [[Henri MacLaine Pont|Henri Maclaine Pont]], J. Gerber, dan [[Charles Prosper Wolff Schoemaker|CPW Schoemaker]].<ref
[[Berkas:ITB 1.jpg|jmpl|Gedung Aula di [[Institut Teknologi Bandung]] oleh arsitek [[Henri MacLaine Pont|Henri Maclaine-Pont]].]]Berbagai arsitek Belanda juga menjadikan Hindia sebagai "taman bermain" arsitektur dan teknik mereka. Hal ini mengakibatkan pengenalan gaya arsitektur seperti gaya [[Nieuwe Zakelijkheid]], [[De Stijl]], dan [[Sekolah Amsterdam|Amsterdamse School]], yang sebagian besar bertahan dan dapat diamati dalam desain untuk kantor, gereja, bangunan umum dan vila periode kolonial. Mungkin bentuk "pencerahan" tertinggi dapat dilihat di [[Villa Isola]], yang dirancang oleh Schoemaker di Bandung. Beberapa arsitek seperti C.P.W. Schoemaker dan H.M. Pont juga berusaha memodernisasi arsitektur asli Indonesia, dengan menggabungkannya dengan modernitas barat, membuka jalan bagi penciptaan Gaya Hindia Baru vernakular. Perkembangan tren arsitektur ini sejalan dengan pertumbuhan [[Tradisionalisme (arsitektur)|Delft School]] Belanda. [[Institut Teknologi Bandung]], [[Pasar Gede Harjonagoro|Pasar Gede Solo]] dan [[Gereja Pohsarang]] di Kediri adalah contoh nyata dari eksperimen ini.
Upaya menyesuaikan diri dengan arsitektur lokal sudah dimulai sejak awal masa [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] seperti yang muncul dalam [[Rumah kongsi|Gaya Hindia]]. Perbedaannya adalah jika rumah pedesaan bergaya Hindia pada dasarnya adalah rumah Indonesia dengan trim Eropa, pada awal abad ke-20, trennya adalah pengaruh [[Modernisme|modernis]]—seperti [[Art Deco|art-deco]]—yang diekspresikan pada bangunan Eropa dengan trim Indonesia (seperti atap rumah beratap tinggi dengan detail punggungan Jawa, dan seringkali dengan lebih banyak ventilasi udara). Langkah-langkah praktis yang dibawa dari rumah pedesaan Gaya Hindia sebelumnya, yang merespons iklim Indonesia, termasuk atap yang menjorok, jendela yang lebih besar dan ventilasi di dinding.<ref
== Pulau-pulau terluar ==
[[Berkas:BKS PPS.jpg|jmpl|Contoh [[Art Deco]] di [[Kota Medan|Medan]] di bekas gedung AVROS, sekarang menjadi gedung [[Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera|BKS-PPS]].]]
Ada banyak arsitektur dan infrastruktur kolonial yang tetap berfungsi di luar Jawa. Pulau Sumatera khususnya diuntungkan dari kelimpahan minyak dan timah, dibandingkan dengan sebagian besar ekonomi berbasis perkebunan di Jawa. Bangunan terbaik terpusat di [[
Di [[Kota Makassar|Makassar]], yang pernah dianggap sebagai pintu gerbang provinsi-provinsi di timur, memiliki beberapa bangunan bagus era kolonial. Contoh bangunan kolonial terbaik yang masih bertahan adalah [[Fort Rotterdam]], diikuti oleh gedung Balai Kota lama, Pengadilan dan Harmonie Society yang sekarang berfungsi sebagai galeri seni. Pembongkaran besar-besaran kota tua era kolonial terjadi di Makassar sebagai akibat dari perluasan pelabuhan.
Baris 51:
== Setelah kemerdekaan Indonesia ==
Kurangnya pembangunan akibat [[Depresi Besar]], gejolak [[Perang Dunia II|Perang Dunia Kedua]] dan [[Revolusi Nasional Indonesia|perjuangan kemerdekaan Indonesia]] tahun 1940-an, serta stagnasi ekonomi selama gejolak politik tahun 50-an dan 60-an membuat banyak arsitektur kolonial tetap lestari hingga beberapa dekade terakhir.<ref
== Lihat pula ==
|