Hukum perdata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Temple
Pineapplethen (bicara | kontrib)
tidak sesuai konteks
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(24 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{untuk|hukum perdata di Indonesia|Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia}}
{{Ilmu}}
{{untuk|Hukum pidana|Hukum di Indonesia}}
[[File:Swiss civil code 1907.jpg|jmpl|First page of the 1804 original edition of the Napoleonic code]]
 
'''Hukum Perdata''' ({{lang-nl|Burgerlijk Wetboek}}, disingkat BW) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat<ref name="unand"/>. Hukum merupakan alat atau seperangkat kaidah, Perdata merupakan pengaturan hak, harta benda dan sesuatu yang berkaitan antara individu dengan badan hukum<ref name="unand"/>. Pengertian Hukum Perdata dan contoh Hukum Perdata ialah Manusia merupakan makhluk sosial, mahluk yang selalu berhubungan dengan manusia lainnya<ref name="unand"/>. Tentunya dalam menjalani kehidupan sosial, menimbulkan suatu hukum untuk mengatiur kehidupan itu<ref name="unand"/>. Jenis hukum tersebut disebut hukum perdata dengan sebutan lain hukum sipil<ref name="unand"/>. Hukum perdata di [[Indonesia]] terdiri dari Hukum Perdata [[Adat]], Hukum Perdata Eropa, dan Hukum Perdata [[Nasional]], selain itu pula terdapat pula Hukum Perdata [[Internasional]]<ref>https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/f5c880712d01b2b23abeac92928e02f5.pdf</ref>.
 
 
Hukum Pembuktian dan Pengaturan Alat Bukti, Berdasarkan Pasal 1866 BW dan Pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan resmi yang ditandatangani secara resmi dan bukan bukti tulisan screenshot dari media sosial, bukti saksi minimal 4 (empat) saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/1 (satu) dokumen, surat resmi, ditempatkan dalam posisi urutan pertama dan terpenting. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan bahwa dalam perkara perdata Surat/Dokumen/Akta pernikahan atau Sertifikat kursus. Dengan berlakunya e-litigation dan e-court pada perkembangan teknologi saat ini, dapat juga dijadikan bukti namun apabila telah dilakukan verifikasi kepada yang bersangkutan dan yang bersangkutan mengakuinya, tidak berlaku apabila yang bersangkutan telah memberikan klarifikasi dengan dokumen yang lengkap dan akurat kepada peradilan/pengadilan<ref>https://fh.unair.ac.id/alc/upgrading-hukum-perdata/</ref>.
 
Tahapan persidangan perkara perdata diantaranya ialah upaya damai oleh majelis hakim, majelis hakim mulai memeriksa perkara gugatan pengugat, kesempatan tergugat untuk menjawab gugatan baik secara lisan maupun tertulis, kesempatan penggugat menanggapi jawaban tergugat dan menyampaikan bukti-bukti serta saksi-saksi yang relevan tidak bersekutu baik secara lisan maupun tertulis, kesempatan tergugat untuk menjawab kembali, Pembuktian "Pengugat akan diminta bukti untuk membuktikan dalil-dalil penggugat dan pembuktian tergugat atas bantahan-bantahannya", pengugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan akhir perkara yang sedang diperiksa, selanjutnya Majelis hakim akan bermusyawarah untuk mengambil kesimpulan keputusan mengenai perkara yang diperiksanya dengan melihat bukti-bukti serta saksi-saksi sesuai dengan aturan-aturan yang telah mapan, Majelis hakim akan membacakan putusan hasil musyawarah majelis hakim dengan harus di hadapan Tergugat dan Penggugat langsung, serta tidak dibenarkan pembacaan keputusan hanya dihadiri oleh satu pihak saja, syarat Sah Penggugat dan Tergugat menyaksikan langsung<ref>https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/slims/pusat/index.php?p=show_detail&id=1921&keywords=</ref><ref>https://www.mkri.id/index.php?page=web.PemeriksaanPerkara&menu=4</ref>.
 
== Prakata ==
Baris 10 ⟶ 15:
 
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1830 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu:
* BW [(atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
* WvK [(atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang])
 
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari ''Code Civil'' hasil me-[[rujuk]] jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda<ref name="unand"/>.
Baris 44 ⟶ 49:
 
=== Kasus Hukum Perdata ===
Kasus hukum perdata yang mengandung unsur-unsur pidana yaitu pemalsuan dokumen terprodusi tampa dasar yang benar dan juga rekaman pembicaraan sebagai barang bukti, pemaksaan dengan unsur kepentingan, penghasut, camputcampur tangan, gugatan tanpa dapat dibuktikan dengan sebenarnya, mempasilitasi memisahkan suami dan istri (penyekapan) dan lain sebagainya. Semua itu akan diperoses secara hukum pidana di pengadilan. Kasus hukum Perdata antara lain yaitu:
 
# Masalah Warisan
Baris 54 ⟶ 59:
# Pencemaran Nama Baik
# [[Perceraian]]
 
== Ketentuan Alat Bukti Perkara Perceraian ==
Pembuktian terhadap alat bukti oleh pengugat dengan sebutan lainnya penggugat berupa data elektronik juga menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik, rekaman, video dapat dengan mudah direkayasa sehingga diragukan validitasnya<ref>https://pa-soreang.go.id/images/pdfs/Artikel/Mau_Gugat_Cerai_Cermati_dulu_5_hal_ini.pdf</ref>.
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE. Penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU ITE Nomor 11 tahun 2008, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan<ref>https://jurnal.uns.ac.id/verstek/article/view/38773/25654</ref>.
 
Prinsip Praduga Otentisitas (Presumption of Authenticity) bahwa [[hukum]] pembuktian beranggapan bahwa suatu dokumen/data, rekaman, video digital atau tanda tangan digital dianggap asli, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh tergugat. Yang dilakukan dalam hal ini suatu pembalikan beban bukti (omkering van bewijslast), artinya barang siapa yang menyatakan bahwa alat bukti tersebut palsu dan tidak benar, dialah yang harus membuktikannya dan apabila terbukti maka kasus perdata tersebut ditingkatkan menjadi [[hukum pidana]] dengan salah satu landasan me-[[rujuk]] yang disebutkan dalam peraturan [[Mahkamah Agung]] Nomor 1 Tahun 1956 ("Perma 1/1956") dalam pasal 1 Perma 1/1956 ''Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu keputusan perdata dari pengadilan agama dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu'', bila mana kasus [[perceraian]] perdata telah diputuskan oleh [[hakim]] [[pengadilan agama]] maka tergugat wajib diberikan 1 bundel dokumen putusan tersebut dan juga harus dipastikan bahwa tergugat telah benar-benar menerima dokumen hasil putusan itu, dengan tujuan agar supaya tergugat tidak merasakan di zalimi, tertindas, dipermainkan dan lain sebagainya oleh instansi pemerintahan di [[wilayah]] hukumnya tempat dimana [[masyarakat]] mempercayakan diri dalam mencari keadilan yang seadil-adilnya di [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]] (NKRI)<ref name="kekuatan">https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/menakar-kekuatan-alat-bukti-elektronik-dalam-perkara-perceraian-oleh-dr-hj-lailatul-arofah-m-h-22-11</ref>.
 
Dengan Prinsip Praduga Otentisitas sebagaimana tersebut diatas, maka untuk menilai secara materiil suatu bukti elektronik, hakim cukup menyatakan kepada pihak lawan dalam hal ini adalah Tergugat apakan bukti tersebut benar ataukah tidak? jika pihak lawan menyangkal, maka pihak lawan yang dibebani bukti untuk menguatkan dalil sanggahannya, namun apabila didalam bukti tersebut pihak lawan menyangkal secara tertulis untuk menghindari pungguh keributan maka tergugat harus memaparkan kejadian yang sebenarnya secara tertulis serta melampirkan beberapa bukti elektronik berupa gambar atau foto screenshot<ref name="kekuatan"/>.
 
Selanjutnya bagaimana hakim menilai kekuatan bukti elektronik dalam kasus perceraian? perkara perceraian merupakan kasus yang spsifik, oleh karena itu tata aturan persidangan dan pembuktiannya juga ada yang diatur secara husus, diantaranya mengenai kewajiban menghadirkan saksi<ref name="kekuatan"/>.
 
Dalam Pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 maupun dalam Pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU. No. 50 Tahun 2009, yang intinya bahwa dalam hal gugatan perceraian didasarkan pada alasan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran hingga mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga oleh suami dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau syiqaq, dalam memutuskan perkara perceraian tersebut harus didengan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri dan yang terpenting dari pihak tergugat yang bersangkutan. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami secara eksplisit bahwa pembuktian dalam perkara perceraian karena alasan tersebut harus dengan alat bukti dan saksi yang sebenarnya dan dapat dipercaya, seharusnya tidak dibenarkan saksi dari pihak keluarga penggugat/pengugat karena sudah dipastikan penghasutan karena tidaklah mungkin secara akal sehat terpikirkan bahwa [[keluarga]] pengugat akan membela dan membenarkan tergugat hal ini yang betul-betul harus di pahami dan juga dijadikan landasan oleh hakim ketua pengadilan agama, karena pada dasarnya pemutusan sakral itu hak mutlak dari penerima sakral suci akad pernikahan ialah [[Suami]]<ref name="kekuatan"/>.
 
Bukti eletronik juga dapat menjadi sarana yang mudah bagi pihak untuk membuktikan peristiwa yang sering disangkal oleh pelaku, khusus kasus [[perselingkuhan]] dari yang paling ringan sampai yang paling berat untuk saat ini lebih mudah diungkap dengan bukti eletronik dan dengan [[Prinsip]] Praduga Otentisitas, maka tidak mudah bagi pelaku untuk mengelak sepanjang kejadian tersebut memang benar<ref name="kekuatan"/>.
 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa husus terhadap perceraian dengan alasan adanya pertengkaran secara terus menerus dan tidak ada harapan untuk [[rukun]] kembali (vide pasal kekuatan 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI) bukti [[elektronik]] dan saksi dari [[keluarga]] penggugat tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dibenarkan, karena regulasinya memang mengharuskan para pihak menghadirkan [[saksi]] dari unsur keluarga tergugat dan juga orang yang dekat khususnya tetangga dimana [[rumah]] tempat [[suami]] dan [[istri]] itu tinggal menetap selama berjalannya pernikahan berumah tangga, sedangkan terhadap perceraian dengn alasan-alasan yang lain, kekuatan bukti elektronik dapat dinilai oleh [[hakim]] dengan penerapan prinsip Praduga Otentisitas<ref name="kekuatan"/>.
 
== Lihat pula ==
Baris 64 ⟶ 86:
* [http://www.napoleon-series.org/research/government/c_code.html English translation of the Code]
* [http://www.cambaceres.org/vie-poli/code-civ/cod-civi.htm Beginnings of Napoleonic code] History of the civil code on the website dedicated to its instigator, [[Jean-Jacques Regis de Cambacérès]].
* [https://berbagi.co.id/perbedaan-serta-contoh-hukum-perdata-dan-pidana/ Perbedaan Hukum Perdata dan Pidana]
 
{{Peraturan perundang-undangan Indonesia}}
{{Hukum}}
{{Hukum di Indonesia}}
{{topik dunia|Hukum di}}
{{Dunia}}
{{wikisource|KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PERDATA}}
{{authority control}}
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
[[Kategori:Hukum]]
[[Kategori:Hukum di Indonesia]]