Tenggelamnya Kapal Van der Wijck: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Habibie Punjabi (bicara | kontrib)
k Habibie Punjabi memindahkan halaman Tenggelamnya Kapal van der Wijck (novel) ke Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dengan menimpa pengalihan lama: Judul yang benar
Otrismon (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(5 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{about|novel|film yang berdasarkan novel ini|Tenggelamnya Kapal van der Wijck (film)|kapal|Kapal van der Wijck}}
{{Spoken Wikipedia|Wini_Silfiani_-_Tenggelamnya_Kapal_Van_Der_Wijck.ogg|date=17 Agustus 2022}}
{{Infobox book <!-- See Wikipedia:WikiProject Novels or Wikipedia:WikiProject Books -->
| name = Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Baris 32 ⟶ 33:
[[Berkas:Abdul Malik Karim Amrullah, Pekan Buku Indonesia 1954, p217.jpg|125px|ka|jmpl|[[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]], penulis novel]]
{{utama|Haji Abdul Malik Karim Amrullah}}
[[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]], atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah ulama asal [[Minangkabau]] yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, [[Abdul Karim Amrullah]].{{sfn|Siregar|1964|p=60}}{{sfn|Teeuw|1980|p=104}} Setelah melakukan perjalanan ke [[Jawa]] dan [[Mekkah]] sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia bekerja sebagai guru agama di [[Deli]], [[SumatraSumatera Utara]], lalu di [[Makassar]], [[Sulawesi Selatan]].{{sfn|Siregar|1964|p=61}} Dalam perjalanan ini, terutama saat di [[Timur Tengah]], Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir [[Mustafa Lutfi al-Manfaluti]] hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Arab]].{{sfn|Jassin|1985|p=46}}{{sfn|Jassin|1985|p=47}} Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke [[Medan]]. Di kota itu, ia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah ''Pedoman Masjarakat'', yang dalam majalah ini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.{{sfn|Teeuw|1980|p=104}} Di sela-sela kesibukannya, Hamka menulis ''Tenggelamnya Kapal van der Wijck''; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.{{sfn|Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi}}
{{clear}}
 
Baris 40 ⟶ 41:
Ketika beranjak remaja, Zainuddin meminta izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk berangkat ke [[Minangkabau]]; ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan baik di tengah-tengah masyarakat yang menarik struktur kekerabatan dari ibu. Ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena, meskipun berayah Minang, ibunya berasal dari [[Bugis]]. Akibatnya, ia merasa terasing dan melalui surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya.
 
Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke [[Padang Panjang]] karena mamak Hayati memintanya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati berkunjung ke Padang Panjang karena hendak menjumpai Zainuddin, Hayati sempat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah;. Keluarga Hayati lebih menyukai Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati daripadaketimbang Zainuddin. Meskipun masih mencintai Zainuddin, Hayati akhirnya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz.
 
Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati janjinya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke [[Jawa]] bersama temannya, Muluk, tinggal pertama kali di [[Batavia]] sebelum akhirnya pindah ke [[Surabaya]]. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka akhirnya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan agar Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati akhirnya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki [[Kapal van der Wijck|kapal ''van der Wijck'']]. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di [[Tuban]]. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Namun, tidak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Jasadnya dimakamkan di dekat pusara Hayati.
 
== Tema ==
Baris 49 ⟶ 50:
Hamka melalui simbol Zainuddin mempertanyakan ketimpangan adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Meskipun seorang anak berayah orang Minangkabau, jika suku ibunya bukan Minangkabau, maka ia adalah orang lain. Selain itu, Hamka mengkritik adat Minangkabau yang tidak memberikan tempat pada laki-laki dalam struktur keluarga. Adat Minangkabau yang menempatkan perempuan sebagai pewaris harta dalam keturunannya membuat laki-laki termarginalkan. Hamka menulis, sangatlah malang bagi seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan karena membuat harta warisan kedua orangtuanya akan diurus oleh ''mamak'', saudara laki-laki dari keluarga ibu.{{fact}}
 
Hayati mewakili potret perempuan Minangkabau yang harus tunduk pada stukturstruktur adat, meskipun harus berjuang keras melawan keinginannya sendiri. Aziz adalah simbol kewibawaan tetapi berperilaku buruk. Keluarga Hayati menerima lamaran Aziz untuk meminang Hayati dan menolak lamaran Zainuddin karena Zainuddin dianggap tidak punya adat dan suku, meskipun memiliki perilaku yang baik.{{fact}}
 
== Rilis dan penerimaan ==