Ngalaksa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ~ref
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
 
(9 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 11:
 
== Pelaksanaan ==
Upacara adat Ngalaksa dianggap sebagai kegiatan [[tradisi]] yang bersifat sosio [[Agama|religius]]. Nilai kemasyarakatan berkaitan dengan [[sifat]] religius tentunya membutuhkan pemikiran yang matang sehingga fungsi dan maksud adanya upacara sejalan dengan [[tujuan]] diadakannya upacara. Menurut tradisi, dulunya upacara adat Ngalaksa dilaksanakan 3 atau 4 [[tahun]] sekali. Tetapi mulai tahun 1985 setelah para sesepuh adat mengadakan musyawarah dengan [[Dinas Kebudayaan dan Pariwista]] Kabupaten Sumedang, upacara menjadi dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada bulan [[Mei]] atawa [[Juli]]. Upacara ini dilaksanakan di [[lima]] rurukan yaitu di Rurukan [[Rancakalong, Rancakalong, Sumedang|Rancakalong]], Rurukan [[Cibunar, Rancakalong, Sumedang|Cibunar]], Rurukan [[Situraja, Sumedang|Cijere]], Rurukan [[Legok Picung]], dan Rurukan [[Pasir Biru, Rancakalong, Sumedang|Pasir Biru]].<ref name=":0" /> Sekarang ''ngalaksa'' telah menjadi [[agenda]] rutin Kabupaten Sumedang yang [[mandiri]] karena diselenggarakan berdasarkan Peraturan [[Bupati]] Sumedang Nomor 113 Tahun 2009 tentang ''Sumedang Puseur Budaya Sunda'' (Sumedang sebagai pusat [[budaya]] [[Sunda]]).<ref>{{Cite web|url=https://www.korsum.net/2018/07/ngalaksa-diharapkan-jadi-agenda.html|title=Ngalaksa Diharapkan Jadi Agenda Kabupaten Sumedang Mandiri|last=Sumedang|first=Koran|website=Korsum.net|access-date=2019-04-18|archive-date=2019-04-18|archive-url=https://web.archive.org/web/20190418145652/https://www.korsum.net/2018/07/ngalaksa-diharapkan-jadi-agenda.html|dead-url=yes}}</ref>
 
== Tahapan Upacara ==
=== ''Badanten'' ===
''Badanten'' atau [[musyawarah]] adalah tahap pertama dalam upacara ''ngalaksa''. Bila pelaksanaannya di masyarakat, para rurukan sudah mempersiapkan acara ''badanten'' sejak bulan ''Mulud'' ([[Rabiul’awal]]) atau ''Silih Mulud'' ([[Rabiul’akhir]]) untuk ''ngalaksa'' bulan Jumadil’akhir, atau selepas [[Lebaran]] ([[Syawal]]) untuk ''ngalaksa'' di bulan ''Hapit'' ([[Dzulqaidah]]) pada tahun ketiga menjelang keempat. Adapun bila pelaksanaannya menurut pada [[agenda]] [[pemerintah]] di [[Desa]] [[Wisata]], sebelumnya para ketua rurukan sudah mengetahui rurukan mana yang akan menjadi penanggung jawab penyelenggaraan kegiatan setiap tahunnya. Antara bulan Mei sampai dengan Juli ([[kalender]] [[pemerintah]]) untuk menentukan waktu terbaiknya. ''Badanten'' dilakukan oleh para ketua rurukan dengan mengundang empat ketua rurukan lainnya, perangkat desa, sesepuh [[laki-laki]] dan [[perempuan]] atau para ''saéhu'', juga para pendukung lainnya. Dalam ''badanten'' dilakukan musyawarah tentang segala persiapan dan pelaksanaan upacara ''ngalaksa''. Mulai dari waktu ([[hari]] dan [[tanggal]]) yang harus dihitung berdasarkan [[palintangan Sunda]], kepanitiaan atau ''panata calagara'', ''candoli'', bahan yang harus disediakan, perlengkapan (peralatan dapur dan peralatan listrik), transportasi, dan penabuh [[kesenian]] tarawangsa. Struktur tahapan ''badanten'' adalah sebagai berikut.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/download/158/209|title=Rekontruksi  Model  Manajemen  Rurukan Dalam  Upacara  Adat|website=webcache.googleusercontent.com|access-date=2019-04-11|archive-date=2020-02-15|archive-url=https://web.archive.org/web/20200215112341/https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/panggung/article/download/158/209|dead-url=yes}}</ref>
 
* '''''Saur'' atau ''Béwara''''', setelah ''badanten'' dilaksanakan secara ''tatalépa'' atau dari [[mulut]] ke mulut ''saur'' ([[informasi]]) segera menyebar. Prosesnya disebut ''bewara'' atau mengumunkan dalam waktu [[satu]] [[minggu]].<ref name=":6">{{Cite web|url=https://docplayer.info/52432561-Bab-iii-kebudayaan-desa-sukahayu-kecamatan-rancakalong-kota-sumedang.html|title=BAB III Kebudayaan Desa Sukahayu Kecamatan Rancakalong Kota Sumedang - PDF|website=docplayer.info|access-date=2019-04-22}}</ref>
Baris 26:
* '''''Pembukaan''''', acara ini didahului oleh sambutan sesepuh atau ''saéhu'' sebagai [[pemimpin]] dimulainya ''mera.''
* '''''Ngajiad Menyan'' dan ''Ijab Kabul''''', setelah pembukaan, lalu juru ijab atau salah seorang sesepuh atau ''saéhu'' membakar [[kemenyan]] dan mengucapkan [[ijab kabul]] yang isinya adalah bersyukur pada [[Tuhan]], memberi [[salawat]] dan salam pada para [[Nabi]], para [[wali]], para [[leluhur]], dan meminta [[ijin]] akan dilaksanakan ''mera'' demi keancaran upacara ''ngalaksa''.
 
* '''''Membagi Bahan''''',hasil dari ''ngiringan'' masyarakat setempat yang sudah terkumpul tadi kemudian dibagi menjadi [[lima]] bagian. Pembagian [[bahan]] dilakukan demikian, misalnya dari ''ngiringan'' terkumpul satu [[kuintal]] beras atau padi, maka hasil satu kuintal tersebut dibagi dengan cara di[[timbang]] untuk keperluan bahan membuat laksa, [[belanja]] untuk berbagai keperluan [[sesaji]] dan upacara, [[makan]] dan [[minum]] selama upacara berlangsung, dan [[upah]] untuk para pangrawit, pendukung, atau [[pembantu]], dan [[biaya]] tak terduga.
* '''''Nginebkeun''''', setelah jelas pembagiannya, misalnya padi untuk membuat laksa terkumpul 45 ''gédéng'' atau ''gundu,'' lalu padi itu diserahkan kepada orang yang bertugas mengurusnya. Para [[petugas]] itu kemudian menyimpan padi di lumbung atau goah untuk ''diinebkeun'' (disimpan) hingga pada waktunya ''dilungsurkeun'' (diturunkan) ketika hari [[1 (angka)|pertama]] upacara ''ngalaksa'' berlangsung.
Baris 54 ⟶ 53:
* '''''Turun Jimat''''', laksa yang diangkat dari perebusan inilah yang disebut '''''laksa bongkok.''''' Setelah laksa-laksa itu diangkat dan ditiriskan, saatnya turun [[jimat]] atau membagikan laksa sebagai ''pamulang sambung'' (kembalian), terutama kepada mereka yang ''ngiringan,'' para [[ketua]] rurukan, [[aparat]] [[desa]], para pendukung, dan masyarakat. Pada turun jimat ini diyakini beberapa hal oleh masyarakat setempat, yaitu apabila laksa dikeringkan dan disimpan di ''goah'' atau di lumbung, maka Nyai Pohaci akan [[senang]] dan hasil pertanian akan [[bagus]], apabila laksa dimakan, maka orang yang memakannya akan terhindar dari berbagai macam [[musibah]], apabila air bekas men[[cuci]] ''jambangan'' (alat untuk membuat laksa ''gencét'') dipakai mencuci pada [[wajah]], maka akan awet [[muda]], dan apabila air bekas mencuci ''jambangan'' disiramkan pada sawah dan ladang maka tumbuhannya akan subur. Demikian juga bila diminumkan pada [[binatang]] [[ternak]], maka akan beranak pinak.
* '''''Numbuk Cikal''''', tahap seterusnya adalah numbuk cikal, bila rurukan akan melaksanakan membuat '''''laksa gencét'''''. Pelaksanaannya adalah semua laksa bongkok yang sudah matang dari padi cikal dibuka dari daun pembungkusnya, lalu disatukan. Setelah itu ditumbuk sampai merata di dalam dulang (tempat menumbuk terbuat dari kayu).
 
* '''''Ngaléér''''', setelah lumat semua, adonan dikeluarkan untuk ''diléér'' di atas [[papan]] ukuran 150x40x2 cm. Papan tersebut dialasi daun [[pisang]] supaya licin dan mudah diuleni, diolesi minyak kelapa sebelumnya. Setelah itu, lalu adonan ''diléér'' atau diratakan dengan bambu ''kuluntungan'' sampai beberapa kali. Orang yang ''ngeléér'' harus sampai ber[[keringat]] dan be[[kerja]] keras sampai adonan benar-benar lembut. Setelah itu lalu dibentuk lonjong sekitar 100x20x7 cm dan dipotong-potong menjadi enam bagian.
* '''''Membuat Orok''''', lima bagian potongan ulenan kemudian dibentuk ''orok.'' Satu bagian disisihkan untuk menjadi ''saksi.'' Ulenan itu dibuat menyerupai bayi, kepalanya lengkap dengan anggota tubuhnya ([[mata]], [[hidung]], [[telinga]], [[bibir]]), tangannya, tubuhnya, kakinya. Para Ibu mengerjakannya dengan khidmat dan penuh perasaan bahkan banyak pula yang menangis terharu.
* '''''Nyepitan Nyai''''', atau meng[[khitan]] Nyai. Alat mengkhitan Nyai adalah ''jambangan'' yang terdiri dari ''titihan'' dan ''cacadan.'' Sebelum kegiatan itu dilakukan, juru ijab kembali mengucapkan ''ijab kabul'' yang intinya memohon ijin pada Dewi Sri karena tubuhnya akan di[[tekan]] atau ''disepitan.'' Setelah ijab selesai, ''orok'' tersebut kemudian dimasukkan ke dalam ''titihan'' berlubang, lalu dengan ''cacadan'' orok tersebut di''gencét'' atau ditekan dengan ''cacadan,'' maka keluarlah ''laksa'' atau ''laksa gencét,'' laksa yang sesungguhnya yang berupa lembaran-lembaran laksa menyerupai [[mie]] atau semacam ''spageti.'' Nyepitan ini hanya dibuat satu kali saja dan harus dilakukan dengan sekuat [[tenaga]] agar orok berubah menjadi laksa (mentah).
* '''''Membuat Laksa''''', laksa mentah yang berupa [[lembaran]]-lembaran menyerupai mie itu kemudian ditampung dengan ayakan lalu direbus di atas tungku. Ketika lembaran itu matang, maka laksa akan menyembul dari dalam air yang panas, semua orang berteriak [[bahagia]] seraya berkata, ''Geulis! Geulis! Geulis!,'' atau [[Cantik]]! Cantik! Cantik! Lembaran-lembaran laksa yang telah [[matang]] itu diambil untuk ''dihurip''. Sisa laksa yang masih dalam dandang dan tidak menyembul menyerupai mie akan disimpan.
* '''''Ngahurip''''', proses terakhir dalam membuat ''laksa gencét'' ini adalah ''ngahurip''. ''Ngahurip'' adalah mendoakan lembaran laksa yang telah diangkat dari tempat rebusan. Prosesnya seperti ''ngahurip'' pada bayi, yaitu seorang sesepuh laki-laki menimang dan mendoakan laksa yang dialasi selembar daun yang [[lebar]], lalu diserahkan pada sesepuh perempuan yang seolah-olah menjadi ''Ma [[Parajiparaji|ma paraji]]'' atau [[(dukun]] beranak) yang juga mendoakan dengan penuh [[kasih]] [[sayang]]. Setelah itu acara ditutup oleh ''saéhu'' dengan menyampaikan [[pidato]] tradisional yang isinya berupa nasihan agar masyarakat yang mengikuti upacara ''Ngalaksa'' senantiasa melaksanakan [[amanat]] leluhurnya supaya terhindar dari kesulitan.<ref name=":4" />
 
'''''Wawarian'''''
Baris 77 ⟶ 75:
'''Ketua Rurukan'''
 
Ketua ''Rurukan'' atau Ketua [[Kampung]], bertugas memimpin upacara serta mengatur jalannya upacara. Ketua rurukan yang membuka acara dan diawali dengan memberikan contoh kepada [[peserta]] upacara mengenai semua kegiatan yang akan dilaksanakan. Seorang ketua rurukan harus bisa menjaga jalannya upacara sehingga tidak ke luar dari [[kaidah]]-kaidah yang berlaku dan sudah disepakati sebelumnya.
 
'''Saehu'''
Baris 201 ⟶ 199:
'''Pertunjukan tarawangsa'''
[[Berkas:Tarawangsa.png|jmpl|Pertunjukan Tarawangsa dalam upacara ngalaksa.]]
Tarawangsa adalah seni [[pusaka]] yang sangat dihormati di [[Desa]] [[Rancakalong]], sehingga dijuluki seni ''ormatan''. Tarawangsa sendiri memiliki [[arti]] dan dimaknai sebagai ''tatabeuhan rakyat wali nu salapan'' (alat [[musik]] [[Sembilan]] [[Wali]]) atau merupakan [[akronim]] dari ''narawang ka nu Maha Kawasa'' (menerawang pada Tuhan Yang Maha Esa).<ref>{{Cite web|url=http://gigipriadji.net/tarawangsa/|title=Tarawangsa Rancakalong – Gigi Priadji|language=en-US|access-date=2019-04-12|archive-date=2019-04-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20190412151703/http://gigipriadji.net/tarawangsa/|dead-url=yes}}</ref> Tarawangsa juga memiliki fungsi khusus sebagai alat musik untuk menghormati ''Nyai Nu Geulis'', sebuah sebutan yang dituturkan [[orang]]-orang tua pada [[zaman]] dahulu di Tatar Sunda untuk makanan, khususnya beras dan [[nasi]].<ref>http://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/article/download/277/103</ref> Alat musik yang dipakai dalam pertunjukan ini terdiri dari dua [[waditra]], yaitu waditra ''jentreng'' (sejenis [[kecapi]]) dan ''ngek-ngek'' (sejenis [[rebab]]). ''Jentreng'' bentuknya mirip dengan [[perahu]] yang berukuran panjang 75 &nbsp;cm sampai dengan 104 &nbsp;cm, lebarnya 12 sampai 14 &nbsp;cm. Terdiri dari ''ruruma, geulang, inang, paksi'', lubang [[suara]] dan [[kawat]] atau [[dawai]] berjumlah 7 buah.<ref name=":5">{{Cite journal|last=Yulaeliah|first=Ela|date=2006|title=TARAWANGSA DAN JENTRENG DALAM UPACARA NGALAKSA DI RANCAKALONG SUMEDANG JAWA BARAT (Sebagai Sarana Komunikasi Warga)|url=http://journal.isi.ac.id/index.php/selonding/article/view/5|journal=SELONDING|language=en|volume=3|issue=1|doi=10.24821/selonding.v3i1.5}}</ref> Sedangkan ''ngek-ngek'' adalah alat musik [[gesek]] beresonansi dari [[kayu]], memiliki [[leher]] panjang dan dua buah kawat. Peranannya selain berfungsi sebagai [[melodi]] juga bisa menjadi [[goong]] untuk memperkuat [[aksen]] petikan pada akhir ketukan [[lagu]].<ref name=":1" /> Pertunjukan ini disajikan dalam bentuk [[Grup musik|ansambel]] [[kecil]] yang hanya dimainkan oleh dua orang yang terdiri dari satu orang [[pemain]] kecapi dan satu orang pemain rebab. Kecapi dalam tarawangsa memiliki tujuh dawai, sedangkan rebab nya memiliki dua dawai. Baik ''jentreng'' maupun ''ngek-ngek'', kedua istilahnya diambil dari masing-masing [[imitasi]] [[bunyi]] waditranya. ''Jentreng'' berasal dari bunyi yang di petik menghasilkan bunyi ''treng'' dan ''ngek-ngek'' berasal dari bunyi rebab yang di gesek menghasilkan bunyi ''ngek''. Dalam membunyikan waditra ''ngek-ngek'' terdapat berbagai keunikan di dalamnya, selain bunyi suaranya yang khas, cara memainkannya juga sangat berbeda dengan memainkan rebab. Dalam memainkan rebab sunda dawai ditekan menggunakan ujung [[jari]], sedangkan bila memainkan ''ngek-ngek'' dawai ditekan menggunakan [[sendi]] setiap jari-jari [[tangan]]. Waditra ''ngek-ngek'' hanya digunakan untuk memainkan lagu-lagu tarawangsa, karena fungsinya hanya sebagai pembawa melodi dari lagu tarawangsa tersebut. Berbeda dengan waditra rebab sunda yang dapat digunakan untuk mengiringi semua lagu-lagu sunda.<ref>{{Cite journal|last=Ismail|first=M. Taufik|date=2017-06-16|title=ORNAMENTASI WADITRA NGEK-NGEK GAYA ABUN DALAM LAGU REUNDEU PADA KESENIAN TARAWANGSA RANCAKALONG SUMEDANG|url=http://repository.upi.edu/|language=en|publisher=Universitas Pendidikan Indonesia}}</ref> Dalam pertunjukan Tarawangsa, [[penduduk]] menari sambil diiringi musik semalam suntuk, tak sedikit orang yang menari mengalami kerasukan [[ruh]] para [[leluhur]]. Pertujukan ini diawali oleh para para [[tokoh]] dan sesepuh dengan memanjatkan [[puji]] kepada Tuhan dan menghaturkan [[salawat]] kepada [[Nabi]] Muhammad Saw.<ref>{{Cite web|url=https://tirto.id/tarawangsa-menghormati-dewi-sri-sampai-hilang-kesadaran-cQcu|title=Tarawangsa: Menghormati Dewi Sri sampai Hilang Kesadaran|last=Teguh|first=Irfan|website=tirto.id|language=id|access-date=2019-04-12}}</ref>
 
Pertunjukan seni tarawangsa biasanya dilaksanakan pada malam hari mulai pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 04.00 WIB dini hari. Khusus dalam upacara adat Ngalaksa dilakukan selama satu minggu siang dan malam secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena tarawangsa dijadikan pengiring upacara yang senantiasa harus dipagelarkan selama upacara berlangsung. Para pemain seni tarawangsa terdiri dari penari perempuan berjumlah 5,7, sampai 9 orang yang ber[[usia]] lanjut, nayaga (pemain musik), [[saksi]], dan Kuncen ([[juru kunci]]). Pertunjukannya dibagi ke dalam beberapa acara yaitu, ''tatalu'' (pembukaan), ''ngukus'' (membakar kemenyan), ''ijab kabul'' ([[ikrar]] serah terima), ''ngalungsurkeun'' (menurunkan)'', nema, nyumpingkeun'' (mendatangkan) ''dan nginebkeun'' (menyimpan). Lagu-lagu yang biasa dibawakan dari awal sampai akhir pertunjukan adalah ''Pamapag, Mataraman, Iring-iringan, Jemplang, Panimang, Sirna Galih, Dengdo, Angin-angin, Pangapungan, Buncis, Badud, dan Degung.'' [[Sesaji]] dalam seni tarawangsa memiliki ciri khas sebagai sebuah seni tradisi yang dianggap [[sakral]]. Makna-makna yang bisa diambil hikmahnya dari pertunjukan tarawangsa  yaitu wujudan [[rasa]] [[syukur]] kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu ingat bahwa setiap tindakan harus ''mipit kudu amit ngala kudu menta'' (mengambil itu harus minta ijin terlebih dahulu). Selain itu, [[manusia]] harus memperlakukan padi (Dewi Sri) dengan tertib, teliti, dan hati-hati.<ref name=":12">{{Cite book|last=Paluseri, D. D., dkk.|date=Oktober 2018|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/dashboard/media/Buku%20Penetapan%20WBTb%202018.pdf|title=Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018|location=Jakarta|publisher=Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|editor-last=Ratnawati|editor-first=Lien Dwiari|pages=143|url-status=live}}</ref> Sedangkan gambaran [[media]] yang digunakan adalah manusia hidup di alam dunia ini terdiri dari empat [[unsur]] yang dilambangkan dengan daun hanjuang (kehidupan), kendi (unsur [[bumi]]), hihid (unsur [[angin]] atau [[udara]]), dan air mengalir (unsur [[darah]]).<ref name=":1" />
 
Dalam kesenian ini, disediakan sesaji sebagai syarat berlangsungnya [[ritus]]. Sesaji dalam seni ini terdiri dari sesaji di tengah [[rumah]] dan sesaji di ''padaringan'' (tempat menyimpan padi). Sesaji yang disimpan adalah pakaian [[kebaya]] [[putih]], ''pangradinan'', [[sisir]] dan [[kaca]], [[minyak]] [[kelapa]], ''tektek'' juga beras yang di atasnya ditancapkan daun [[hanjuang]], [[bunga]] [[rampai]], dan kemenyan.<ref name=":1" />
 
'''Seni Rengkong'''
[[Berkas:Seni Rengkong Ciptagelar.jpg|jmpl|Seni rengkong. ]]
Peralatan seni rengkong sangat [[sederhana]]. Alat tersebut adalah [[bambu]] [[gombong]], [[tali]] [[ijuk]], [[minyak tanah]], dan kumpulan padi yang sudah diikat. Bambu gombong berfungsi untuk memikul. Tali ijuk digunakan sebagai pengikat padi yang digantung pada pikulan. Padi yang memiliki beratn 10 sampai 20 [[kilogram]] sebagai beban yang dipikul. Sedangkan minyak tanah untuk pengesat gesekan antara tali dan pikulan sehingga menghasilkan suara yang [[nyaring]]. Selain itu, ada [[dogdog]] dan [[angklung buncis]] sebagai alat musik pengiring. ''Hatong'' juga berperan sebagai [[instrumen]] tambahan. ''Hatong'' adalah alat [[tiup]] yang terbuat dari bambu. Suara yang dihasilkan musik rengkong sangat khas seperti suara [[katak]] bernyanyi dengan [[kompak]]. Pemain rengkong biasanya mengenakan [[celana]] [[pangsi]], [[baju]] kampret, [[iket]], tanpa menggunakan alas [[kaki]]. Pemainnya terdiri dari lima atau enam orang dengan lama bermain kurang lebih satu [[jam]]. Pertunjukan rengkong harus digelar di tempat terbuka. Cara memainkannya adalah pikulan yang berisi padi diletakkan di [[bahu]] sebelah [[kanan]]. Si pemikul mengayunkan ke [[kiri]] dan ke kanan dengan [[irama]] yang teratur. Tali ijuk yang menggantung pada badan bambu pun akan ikut bergerak-gerak, gesekan tali ijuk tersebut akan menghasilkan suara nyaring.<ref name=":2" />
 
Baris 219 ⟶ 217:
* [https://www.youtube.com/watch?v=9m6IvnkuGMo Upacara Adat Ngalaksa]
* [https://www.youtube.com/watch?v=xBeCSd0eRms Pertunjukan Tarawangsa dalam Upacara Ngalaksa]
{{Sunda-stub}}
 
[[Kategori:Budaya Sunda]]