Masjid Sultan Suriansyah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Pengembalian manual Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(14 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 31:
Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi:<br>
{{cquote|[[Kiai]] Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)
=== Mimbar Masjid ===
[[Berkas:Mimbar Masjid Suriansyah.jpg|jmpl|
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi:
{{cquote|Allah Muhammadarasulullah
▲Pada bagian kanan atas terdapat tulisan:<br>
{{cquote|Krono Legi : Hijrah 1296<ref>1880/1881 Masehi</ref> bulan Rajab hari Selasa tanggal 17}}
▲Sedang pada bagian kiri terdapat tulisan:<br>
▲{{cquote|Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri}}.
Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri.
Baris 49 ⟶ 47:
Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut: atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang di bawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut [[cella]]. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
== Pemugaran
Arsitektur masjid di Indonesia tampil dengan keunikan tersendiri dibanding masjid-masjid di negara islam lainnya yang biasanya sangat dipengaruhi oleh arsitektur gaya Timur Tengah. Indonesia tidak demikian. Kekhasannya memang kental Indonesia yang kerap diterjemahkan bernuansa Jawa kuno. Atap bertumpang, antara dua sampai lima, misalnya memang merupakan satu dari dua pola bangunan masjid-masjid di nusantara tempo dulu hingga sekarang.
Gaya masjid tempo dulu kebanyakan adalah adalah gaya atap bertumpang. Konon gaya arsitekstur ini dipelopori oleh [[Masjid Agung Demak|masjid Demak]] yang memang sangat dipengaruhi oleh nuansa keraton. Sebab para tukang yang membangunnya, menurut cerita ''“babad Tanah Jawi”''
[[Berkas:Masjid Sultan Suriansyah Sebelum Direnovasi.jpg|jmpl|Masjid Sultan Suriansyah sebelum direnovasi.]]
Walau kemudian perkembangan masjid di luar Tanah Jawa di era raja-raja menggunakan para tukang setempat, namun pengaruh atap bertumpang tak bisa dihindarkan. Masjid Sultan Suriansyah (Sunan Batu Habang) di Kuin Kota Banjarmasin ini misalnya, yang merupakan masjid tertua di Kalimantan dan dibangun sekitar awal-awal abad ke-16 ini ternyata menggunakan corak yang sama dengan masjid Demak di Pulau Jawa. Walaupun dikerjakan oleh tukang-tukang dari Kampung
Ketika dimulai pelaksanaan rehab, Masjid Sultan Suriansyah ini adalah bangunan panggung dengan atap tumpang tiga. Di bagian puncaknya dilengkapi dengan kubah aluminium. Sedangkan bagian atap mihrabnya berupa limas segi enam yang terbuat dari bahan sirap. Kondisinya memang masih relatif baru. Atap tumpang tiga itu juga terbuat dari sirap. Berbeda dengan atap bagian mihrab,
[[Berkas:Masjid Sultan Suriansyah tahun 1980.jpg|jmpl|Masjid Sultan Suriansyah tahun 1980 yang menggunakan kubah aluminium. Ini adalah bentuk pemugaran Masjid Sultan Suriansyah yang dipelopori oleh Kodam X Lambung Mangkurat pada tahun 1976.]]
[[Berkas:Renovasi Masjid Sultan Suriansyah tahun 1999.jpg|jmpl|Renovasi total Masjid Sultan Suriansyah tahun 1999 yang dipelopori oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.]]
[[Berkas:Tiang Tengah Masjid Sultan Suriansyah.jpg|jmpl|Tiang tengah (Sokoguru) dari kayu halayung lapuk dimakan usia diganti dengan kayu Ulin.]]
Tiang guru tersebut berbentuk penampang segi delapan dengan lebar sekitar 30 cm. Tiang ini mengalami kerusakan terutama dibagian bawah atau kakinya. Tetapi oleh masyarakat setempat rupanya diselamatkan dengan membungkus bagian yang rusak itu dengan beton bertulang. Tiang utama lainnya juga terbuat dari kayu ulin dengan penampang persegi empat. Lebarnya bervariasi antara 8 cm x 8 cm sampai 15 cm x 15 cm, juga dalam kondisi rusak parah. Untuk selasarnya, tiang yang digunakan adalah tiang beton bertulang yang kondisinya relatif masih baik. Begitu juga dengan lantai bangunan induknya yang terbuat dari papan ulin yang sebagian besar sudah lapuk pula. Sedangkan untuk bagian selasar dan teras lantainya terbuat dari ubin. Dinding bangunan sebagian besar menggunakan dinding bata, pada bagian mihrabnya yang relatif masih baru digunakan dinding papan ulin yang dilapisi semen dan keramik. Sedangkan dinding bagian atas bangunan menggunakan papan ulin saja. Pintu-pintu yang ada berupa kaca yang sebagian besar sudah rusak. Pintu yang masih asli tersisa sepasang
Setelah pemugaran, kesan pertama yang sering terdengar dari orang yang pertama kali memandang adalah “kembali ke nuansa arsitektur tradisional Banjar abad-15". Itulah sedikit gambaran betapa berubahnya bentuk masjid ini setelah dipugar dan direhabilitasi kembali. Bangunan bujur sangkar berukuran 15, 2 meter x 15, 2 meter itu pun ramai dihiasi kaligrafi Arab.
[[Berkas:Kubah Masjid Sultan Suriansyah 1999.jpg|jmpl|Putaka waluh dan buntut ayam di atas Kubah Masjid Sultan Suriansyah saat renovasi total tahun 1999.]]
Memang ada beberapa bagian asal yang tertinggal seperti daun pintu utama serta beberapa ornamen masjid. Dari situlah benang merah direntangkan. Diperkaya dari beberapa keterangan tetuha di kampung Kuin dan studi banding ke mesjid-mejid kuno di daerah Hulu sungai yang juga bekas sisa-sisa peninggalan dakwah [[Khatib Dayan]], foto-foto dokumentasi masjid sebelum dipugar pada tahun 1976, maka dikembalikanlah bentuk bangunan masjid ini ke bentuk dan posisi semula. Untuk warna ternyata hijau dan kuninglah menjadi pilihan utama sebagai warna dasar. Hal ini berdasarkan petunjuk yang bisa ditiru yaitu pada warna mimbar dan daun pintu yang masih ada sisa-sisa warna alami yaitu kuning dan hijau. Dalam hal ini yang paling mendasar dari rehabilitasi masjid Sultan Suriansyah ini adalah menjadikan pondasi dari pancangan kayu galam dan neut beton sebagai konstruksinya. Sedangkan untuk struktur lainnya seperti tiang dan atap khusus untuk bangunan utama dikembalikan ke bentuk asli yaitu menggunakan kayu ulin. Teknik pengerjaaannya pun dikerjakan oleh tenaga yang terampil dibidangnya. Tiang utama masih menggunakan batang kayu ulin yang asli, namun diperbaiki pada bagian yang sudah keropos dengan cara menambalnya, kemudian membungkusnya dengan ornamen kayu ulin berbentuk persegi kotak. Sedangkan bangunan teras dan serambi yang merupakan bangunan tambahan, konstruksinya adalah beton bertulang.
Baris 82 ⟶ 80:
* [[Perbedaan masjid tradisional Jawa dan Banjar]]
==
{{reflist}}
Baris 90 ⟶ 88:
{{DEFAULTSORT:Sultan Suriansyah, Masjid}}
[[Kategori:Masjid di
[[Kategori:Masjid Kesultanan|Sultan Suriansyah]]
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Kalimantan Selatan]]
|