|casualties2 =
}}
'''Perang Bayu''' atau '''Perang Puputan Bayu''' (1771-17721773) adalah perang yang diakibatkan oleh penyerahan sepihak ''Java’s Oosthoek'' (daerah Pasuruan hingga Blambangan) kepada kongsi dagang [[VOC]] yang dilakukan oleh [[Pakubuwono II|Sunan Pakubuwono II]] melalui Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743. Perang Bayu tidak bisa dilepaskan dari Perang Puputan Kabakaba dan Perang Wilis sebelumnya.
Pasukan perlawanan dipimpin oleh Mas Rempeg, atau yang biasa dikenal dengan sebutan [[Pangeran Jagapati]] danadalah Pengeranpenerus Putra, yang dikenal dengan sebutanperjuangan [[Wong Agung Wilis]]. Pasukan perlawanan Blambangan mendapatkan dukungan komunitas Bugis, Melayu, Tionghoa, dan Sumbawa yang mayoritas merupakan pedagang di Blambangan. Dukungan tersebut berupa senjata selundupan, transportasi, bahan-bahan pokok, dan Informan.
Sementara pada pihak penyerang dipimpin oleh Kepala Residen Blambangan [[Cornelis van Biesheuvel]] dan penggantinya [[Hendrik van Schopoff]].
== Asal mula ==
Bermula dari keputusan Sunan Pakubuwono II pada tahun 1773. Sunan Pakubuwono IIyang dikenal memiliki hubungan yang akrab dengan kongsi dagang VOC. Karenasecara adanyasukarela hubunganmenyerahkan yangdaerah harmonissebelah antaratimur MataramPasuruan dankepada VOC,. SunanSerah PakubuwonoTerima IIini secaraada sukarelakaitannya menyerahkandengan daerahpemberontakan taklukan[[Sunan sebelahKuning]] timurdan Pasuruanperjanjian kepadaPonorogo VOCtahun 1743. Salah satu wilayah tersebut adalah Blambangan.
Permasalahannya masyarakat Blambangan tidak pernah merasa adaberada di bawah kekuasaan Mataram. Mataramsejak merupakantahun kerajaan1652. yangSaat berbasiskanitu Islam,Pangeran sedangkanMas mayoritasTawangalun kepercayaantelah masyarakatmemerdekan Blambangan adalahdari Hindu.Mataram Blambangandan merasamenyandang lebih dekat dengan [[Kerajaan Mengwi]] yang berpusat digelar Badung,Susuhunan BaliMacanputih. HalGelar tersebutSusuhunan didukungini oleh pernyataan Kerajaan Mengwi pada tahun 1766,menunjukkan bahwa Blambangandia beradasederajat dalamdengan kekuasaannya.Susuhunan KlaimMataram Pakubuwono[[Amangkurat II tidak pernah diindahkan BlambanganI]]. Mereka lebih memilih menyetorkan Pasok Bulu Bekti atau upeti kepada Kerajaan Mengwi.
Pada awalnya, VOC tidak ingin ikut campur dalam perselisihan antara Blambangan dan Mataram. Namun kemudian VOC melirik kongsi dagang Inggris yang sejak lamatahun 1766 telah bekerja sama dengan Mengwi.Blambangan Kerajaandan Mengwi memberikan konsesi (pemberian izin) kepada kongsi dagang Inggris untuk mendirikan kantor dagang di [[Benculuk, Cluring, Banyuwangi|Ulupampang]]. Ulupampang dibawah kongsi dagang Inggris kemudian bertumbuh menjadi lokasi perdagangan yang maju.
Pada tanggal 12 Agustus 1766, Johanes Voss, selaku Gubernur VOC di Semarang, mengeluarkan surat perintah perihal pengadaan patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Hal tersebut adalah langkah VOC untuk menanggapi agresifnya perdangangan Inggris di Blambangan, dan kacaunya keamanan jalur utama perdagangan VOC di tepi laut Jawa. Pemerintah Belanda di Batavia juga memutuskan untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai , serta mengambil tindakan-tindakan pengamanan kepada batas-batas wilayah yang dianggap miliknya.
Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan menjadikan VOC mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruan, 25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Februari 1767, ekspedisi Belanda berkumpul di Pelabuhan Kuanyar Madura. Pada tanggal 27 Februari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran pertama meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari [[Ketapang, Kalipuro, Banyuwangi|Meneng]] sampai [[Grajagan, Purwoharjo, Banyuwangi|Grajagan]] diblokir.<ref name="baydejonge">J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883</ref><ref name="bayimad">I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001.</ref>
Mas Anom dan Mas Weka (keturunan [[Kerajaan Blambangan]]) memperoleh kesempatan memberontak terhadap penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Mas Anom memberontak karena pemimpin Bali tersebut menjalankan kekuasaan di Blambangan secara tidak simpatik dan menimbulkan rasa benci rakyat. Orang-orang Bali dibantu orang-orang [[Bugis]] dan [[Mandar]] melakukan penyerangan terhadap orang-orang Bali-Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom dan Mas Weka di Loh Genta ([[Rogojampi, Banyuwangi]]) yang berakhir dengan kemenangan Mas Anom. Kuta Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba melarikan diri ke Ulupampang. Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang terdesak, melakukan [[puputan]] dan akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya terbunuh. Mas Anom dan Mas Weka diangkat menjadi ''regen'' (bupati) pertama di [[Blambangan]]. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan [[Wong Agung Wilis]]. Wong Agung Wilis terlibat peperangan di Ulupampang, benteng VOC di Banyualit, namun akhirnya ia kalah di [[Rogojampi, Rogojampi, Banyuwangi|Kuta Lateng]] pada tanggal [[18 Mei]] [[1768]].<ref name="bayccleker">C. C. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II, 1932</ref><ref name="bayimad" />
Atas jasanya itu, Mas Anom dan Mas Weka diangkat oleh VOC menjadi ''regen'' (bupati) pertama di [[Blambangan]]. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan [[Wong Agung Wilis]]. peperangan kedua pun meletus. Wong Agung Wilis terlibat peperangan ini di Ulupampang, di Lateng, dan di benteng VOC di Banyualit, namun akhirnya ia kalah di [[Rogojampi, Rogojampi, Banyuwangi|Kuta Lateng]] pada tanggal [[18 Mei]] [[1768]].<ref name="bayccleker">C. C. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II, 1932</ref><ref name="bayimad" />
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Sutanagara dengan patih Surateruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai ''regen''. Untuk memutuskan hubungan dengan Bali, bupati dwitunggal itu diajak memeluk [[Agama Islam]]. Taktik VOC soal agama ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang Blambangan. Mereka tidak menaruh perhatian agama apa yang dipeluk pemimpin. Yang mereka inginkan hanya hidup merdeka tanpa dirampas oleh orang-orang asing. Mereka memang anti [[Suku Jawa|Jawa]], ingatan tentang pengerusakan atas negeri mereka, atas kekejaman yang diperlakukan atas mereka dan atas pengiriman-pengiriman orang-orang Blambangan oleh raja-raja Jawa (Mataram), masih dalam ingatan mereka yang membeku menjadi rasa benci.<ref name="bayccleker" /> Sikap ini di kemudian hari terbukti saat orang-orang Blambangan menolak keras pengangkatan Kertawijaya, Patih [[Surabaya]] menjadi bupati Blambangan.
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Sutanagara dengan patih Surateruna untuk Blambangan Timur (yang meliputi [[Kabupaten Banyuwangi]] saat ini) dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai ''regen'' di Blambangan Barat (yang meliputi [[Jember, Jember]], [[Bondowoso]], dan [[Situbondo]]).
Mayor Colmond lalu menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang kejam. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Rakyat hidup tertekan baik secara [[sosial]] maupun [[ekonomi]]. Untuk keperluan Belanda ia berpatroli ke pelosok-pelosok kampung untuk menyita semua beras simpanan dan hasil panen, serta bahan makanan lainnya dan mengangkutnya. Dan apabila tidak dapat diangkut, dia menyuruh membakarnya. Kemudian dia menyuruh rakyat menanam padi kembali dengan perintah yang sangat memaksa. Setelah panen, jerih payah penduduk itupun disita lagi. Selain itu Colmond menekan penduduk untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupampang dan Kota Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan, membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun pos pengintaian di Gunung Ikan (yaitu semenanjung yang menutupi Teluk Pangpang). Tetapi ia tidak menyediakan makanan bagi rakyat yang bekerja dengan kelaparan dan kekurangan dan kesengsaraan penyakit. Banyak warga yang akhirnya lari ke hutan untuk menghindari kerja paksa.<ref name="baydejonge" /><ref name="bayccleker" /> Keadaan inilah yang menyebabkan bupati Sutanagara dan Wangsengsari serta Patih Surateruna mengajak Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan terjadi, ketiga orang tersebut ditangkap dan dibuang ke Ceylon ([[Sri Lanka]]).<ref name="bayccleker" /> Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap ''bekel'' (lurah) harus menyerahkan dua ekor [[kerbau]]. Selain itu VOC menuntut 3,5 [[gulden]] kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.<ref name="bayimad" /> ▼
Para pemimpin baru itu kemudian terlibat pemberontakan melawan VOC sehingga mereka digantikan oleh mantan patih Surabaya yang merupakan kaki-tangan VOC bernama Kertawijaya. Orang-orang Blambangan segera menolak keras pengangkatan Kertawijaya, Patih [[Surabaya]] menjadi bupati Blambangan serta meminta agar Sutanegara dan Wong Agung Wilis dikembalikan ke Blambangan..
Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah pimpinan Mas Rempek yang didukung oleh para guru yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat.<ref name="hbs08">[https://hasanbasri08.wordpress.com/2009/11/23/pangeran-jagapati-dalam-perang-bayu/ Pangeran Jagapati dalam Perang Bayu] diakses 1 Agustus 2015, 10.51 WIB</ref> ▼
▲Mayor Colmond lalu menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang kejam. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Rakyat hidup tertekan baik secara [[sosial]] maupun [[ekonomi]]. Untuk keperluan Belanda ia berpatroli ke pelosok-pelosok kampung untuk menyita semua beras simpanan dan hasil panen, serta bahan makanan lainnya dan mengangkutnya . Dan apabila tidak dapat diangkut, dia menyuruh membakarnya. Kemudian dia menyuruh rakyat menanam padi kembali dengan perintah yang sangat memaksa. Setelah panen, jerih payah penduduk itupun disita lagi. Selain itu Colmond menekan penduduk untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupampang dan Kota Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan, membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun pos pengintaian di Gunung Ikan (yaitu semenanjung yang menutupi Teluk Pangpang). Tetapi ia tidak menyediakan makanan bagi rakyat yang bekerja dengan kelaparan dan kekurangan dan kesengsaraan penyakit. Banyak warga yang akhirnya lari ke hutan untuk menghindari kerja paksa.<ref name="baydejonge" /><ref name="bayccleker" /> Keadaan inilah yang menyebabkan bupati Sutanagara dan Wangsengsari serta Patih Surateruna mengajak Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan terjadi, ketiga orang tersebut ditangkap dan dibuang ke Ceylon ([[Sri Lanka]]).<ref name="bayccleker" /> Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap ''bekel'' (lurah) harus menyerahkan dua ekor [[kerbau]]. Selain itu VOC menuntut 3,5 [[gulden]] kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.<ref name="bayimad" />
Keadaan inilah yang menyebabkan bupati Sutanagara dan Wangsengsari serta Patih Surateruna mengajak Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan terjadi, rencana mereka terbongkar karena penghianatan Patih Jaksanegara sehingga ketiga orang tersebut ditangkap dan dibuang ke Ceylon ([[Sri Lanka]]).<ref name="bayccleker" />
Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap ''bekel'' (lurah) harus menyerahkan dua ekor [[kerbau]]. Selain itu VOC menuntut 3,5 [[gulden]] kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.<ref name="bayimad" />
▲Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah pimpinan Mas RempekRempeg yang didukung oleh para guru yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat.<ref name="hbs08">[https://hasanbasri08.wordpress.com/2009/11/23/pangeran-jagapati-dalam-perang-bayu/ Pangeran Jagapati dalam Perang Bayu] diakses 1 Agustus 2015, 10.51 WIB</ref>
== Persiapan ==
Kepergiannya Mas Rempeg ke [[Bayu, Songgon, Banyuwangi|Bayu]] diperkirakan setelah tanggal [[18 Mei]] [[1768]], sebab pada waktu [[Wong Agung Wilis]] tertangkap para ''jagabela'' dan orang-orang dekat Wong Agung Wilis menyingkir ke Bayu. Mas Rempek datang ke Bayu bersama seorang lurah dari Kuta Lateng.<ref name="bayimad" /> Ketika menyadari bahwa kekuatan senjata yang dimiliki masih terbatas, hanya mempunyai senjata yang sedikit, yakni [[tombak]], [[lembing]], [[keris]] serta [[pedang]], sedangkan senapan dan meriam yang dibanggakan waktu itu telah jatuh ke tangan [[VOC]] waktu perang Ulupampang, Banyualit dan Lateng, sedang orang Tionghoa dan Bugis yang dulunya bersedia memberikan senjata juga sudah ditangkap pada waktu Ulupampang jatuh, maka dengan cerdik untuk menambah moral dan kepercayaan rakyat, Mas Rempeg berkata kepada pengikutnya bahwa Tuhan"Allah akan menganugerahkan meriam kepadanya".<ref>J.C. Wikkerman, ''Originele aparte missive van den Gouverneur van den Burg''., ARA, [[VOC]] 3337</ref>
Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lain di seluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung dengan Mas Rempeg di Bayu. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat kecil wadwa alit, namun juga datang dari para ''bekel agung'' yaitu pembantu regen yang berkedudukan di Kuta Lateng seperti Wiramanggala dan Jagakrasa, serta Lembu Giri dari [[Temuguruh, Sempu Banyuwangi|Tomogoro]] selain menyatakan bergabung dengan Mas Rempeg juga memberikan sejumlah senjata. Datang juga rombongan orang-orang Lateng di bawah pimpinan Lurah Manowadi dan Bapa Cele dari [[Grajagan, Purwoharjo, Banyuwangi|Grajagan]] di pesisir selatan.
Dukungan untuk Mas Rempeg juga datang dari para bekel dari 62 desa; 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian masih datang lagi 12 bekel dari desa lainnya.
Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lain di seluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung dengan Mas Rempek di Bayu. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat kecil wadwa alit, namun juga datang dari para ''bekel agung'' yaitu pembantu regen yang berkedudukan di Kuta Lateng seperti Wiramanggala dan Jagakrasa, serta Lembu Giri dari [[Temuguruh, Sempu Banyuwangi|Tomogoro]] selain menyatakan bergabung dengan Mas Rempek juga memberikan sejumlah senjata. Datang juga rombongan orang-orang Lateng di bawah pimpinan Lurah Manowadi dan Bapa Cele dari [[Grajagan, Purwoharjo, Banyuwangi|Grajagan]] di pesisir selatan. Dukungan untuk Mas Rempek juga datang dari para bekel dari 62 desa; 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian masih datang lagi 12 bekel dari desa lainnya. Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu pupuh vi 11-20 adalah sebagai berikut: [[Dadapan, Kabat, Banyuwangi|Desa Dhadhap]] (Kidang Wulung), Rewah-Sanji (Kidang Wulung), Suba/Kuwu (Kidang Wulung), [[Songgon, Songgon, Banyuwangi|Songgon]] (Ki Sapi Gemarang), Tulah (Ki Lempu Putih), Kadhu (Ki Sidamarga), [[Balak, Songgon, Banyuwangi|Derwana]] (Ki Kendit Mimang), Mumbul (Ki Rujak Sentul), Tembelang (Ki Lembupasangan), [[Bareng, Kabat, Banyuwangi|Bareng]] (Ki Kuda Kedhapan), Balungbang (Ki Sumur Gumuling), [[Lemahbangdewo, Rogojampi, Banyuwangi|Lemahbang]] (Ki Suranata), [[Gitik, Rogojampi, Banyuwangi|Gitik]] (Ki Rujak Watu), Banglor (Ki Suragati), [[Labanasem, Kabat, Banyuwangi|Labancina]] (Ki Rujak Sinte), [[Kabat, Kabat, Banyuwangi|Kabat]] (Ki Pandholan), Kapongpongan (Ki Kamengan), [[Penganjuran, Banyuwangi, Banyuwangi|Welaran]] (Ki Jeladri), [[Tambong, Kabat, Banyuwangi|Tambong]] (Ki Reksa), [[Boyolangu, Giri, Banyuwangi|Bayalangun]] (Ki Sukanandi), [[Penataban, Giri, Banyuwangi|Desa Penataban]] (Ki Singadulan), [[Mojopanggung, Giri, Banyuwangi|Majarata]] (Ki Maesandanu), [[Mojopanggung, Giri, Banyuwangi|Cungking]] (Ki Jangkrik Suthil), [[Jelun, Licin, Banyuwangi|Jelun]] (Ki Lembu Singa), [[Banjar, Licin, Banyuwangi|Banjar]] (Ki Bakul). Itulah nama-nama desa di bagian utara (Banglor). Sedang desa bagian selatan adalah: Desa Pegambuiran (Ki Serandil), Ngandong (Ki Seja), Cendana (Ki Kebo Waleri), Kebakan (Ki Kebo Waluratu), Cekar (Ki Gundol), Desa Gagenteng (Ki Kudha Serati), Kadhal (Ki Jaran Sukah), Sembulung (Ki Gagak Sitra), Jajar (Ki Gajah Anguli), [[Benculuk, Cluring, Banyuwangi|Benculuk]] (Ki Macan Jingga), Pelancahan (Ki Butangerik), [[Kradenan, Purwoharjo, Banyuwangi|Keradenan]] (Ki Jala Sutra), Gelintang (Ki Maesagethuk), Grajagan (Ki Caranggesing). Sedang desa diwilayah timur: Desa Dhulangan, Pruwa/Purwa (Ki Tulup Watangan), Lalerangan (Ki Menjangan Kanin), Mamelik (Ki Surya), Papencan (Ki Bantheng Kanin), Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan), Repuwan (Ki Butānguri), Rerampan (Ki Kidang Bunto), [[Singolatren, Singojuruh, Banyuwangi|Singalatrin]] (Ki Banyak Ngeremi). Wilayah utara 2 desa yaitu Desa Jongnila (Ki Gagakngalup) dan desa Konsul (Ki Maesasura). Kemudian Kepala desa yang menyusul: Desa [[Bubuk, Rogojampi, Banyuwangi|Bubuk]] (Ki Marga-Supana), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), [[Gambor, Singojuruh, Banyuwangi|Gambor]] (Ki Bajuldahadhi), Gembelang (Ki Butakorean), [[Muncar, Banyuwangi|Muncar]] (Ki Genok), [[Bomo, Rogojampi, Banyuwangi|Bama]] (Ki Baluran), [[Gladag, Rogojampi, Banyuwangi|Geladhag]] (Ki Margorupit), Susuhan (Ki Tambakboyo), [[Aliyan, Rogojampi, Banyuwangi|Ngalian]] (Ki Kidang-Garingsing), Tamansari (Ki Gajah Metha), Danasuke (Ki Kebowadhuk), dan Kalisuca (Ki Jaransari).<ref>Babad Bayu (ditulis pada tahun 1826) pupuh vi 11-20 dalam Winarsih PA, op.cit., hal.153-154.</ref>
Dengan dukungan tersebut Bayu berkembang menjadi suatu kekuatan yang tangguh dan kuat. Bayu dijadikan semacam sebuah negara. Bayu yang terletak di barat-laut dari kota Ulupampang di lereng timur [[Gunung Raung]], dekat desa Songgon, saat itu berjarak kira-kira masih 2 jam (jalan kaki) di atas dusun [[Balak, Songgon, Banyuwangi|Derwana]]. Bekas bangunan tembok yang ditemukan dekat Songgon pada sebuah peneitian merupakan sisa dari Bayunya Mas Rempek tersebut.<ref>Inventaris Hindoe oudheden III, 1923:123 nomor 2547 dalam C. Leckerkerker, op.cit., hal.1056.</ref> Kurang lebih 2000 orang berada di dalam naungan Benteng Bayu yang sangat kuat, di depan terdapat pagar yang terbuat dari batang-batang pohon besar yang bagian atasnya dibuat runcing dan batang-batang pohonnya berjajar sangat rapat satu sama lain yang disebut ''palisada''. Di belakang pagar terdapat lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Di dalam benteng, cadangan pangan sangat melimpah serta dilengkapi dengan gamelan beserta pemainnya sebagai lambang kekuasaan dan kekuatan. Perlengkapan perang sudah lengkap untuk memulai peperangan. Atas pengaruhnya yang kuat ia oleh pengikutnya dianugerahi gelar Pangeran Jagapati.
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Belanda|Bayu]]
[[Kategori:Perang yang melibatkan Indonesia|Bayu]]
|