Kesultanan Cirebon: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Pranala sama dengan teksnya) |
||
(41 revisi perantara oleh 29 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
{{Terlampau panjang}}
{{Copyedit}}
}}
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kesultanan Cirebon
| common_name = Kesultanan
| religion = [[Islam]]
| p1 = Kerajaan Sunda
Baris 24 ⟶ 23:
| image_flag = COLLECTIE TROPENMUSEUM Katoenen banier met Arabische kalligrafie TMnr 5663-1.svg
| capital = [[Cirebon]]
| common_languages = [[Bahasa
| government_type = [[Kerajaan konstitusional]] (adanya pepakem Cirebon)
| title_leader = Tumenggung, Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan
| leader1 = [[Pangeran Walangsungsang|Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang]]
| year_leader1 = 1430<ref name= Rosmalia>Rosmalia. Dini. 2013. Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Bandung : Institut Teknologi Bandung</ref><ref name=Susilaningrat>
| leader2 = [[Sunan Gunung Jati|Sultan Cirebon II Sunan Gunung Jati]]
| year_leader2 = 1479 - 1568 (Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya)
Baris 44 ⟶ 43:
| area_rank =
| demonym =
| native_name =
| flag_size = 220px
|
[[Azmatkhan]] [[Walisongo]]
}}
{{Sejarah Indonesia|Kerajaan Islam}}
'''Kesultanan Cirebon''' adalah sebuah [[Sultan|kesultanan]] di [[Jawa|daratan utara pulau Jawa bagian barat]] pada abad ke-15 dan 16, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara [[pulau Jawa]]
Kesultanan Cirebon didirikan di ''Dalem Agung Pakungwati'' sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan Cirebon, letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi [[Keraton Kasepuhan]].
Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok [[Sunan Gunung Jati]] yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama [[Islam]] di Lampung<ref>
Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama 3 abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai [[Sri Margana|Sri Mangana]] (Penguasa) Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677. Tipu daya [[Mataram, Mataram|Mataram]] masa Amangkurat I serta dekatnya sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara ''pribawa'' (derajat paling tinggi) diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17.
== Sejarah asal mula ==
Menurut ''Sulendraningrat'' yang mendasarkan pada naskah [[Babad Tanah Sunda]] dan [[Atja]] pada naskah ''Carita Purwaka Caruban Nagari'', [[Cirebon]] pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama ''[[Caruban]]'' ([[Bahasa
Di abad ke-14, seorang pangeran [[Kerajaan Galuh|Galuh]] bernama [[Bratalegawa]] memeluk [[Islam]] dan memutuskan pindah ke Caruban Girang serta bermukim disana dengan tujuan untuk menyebarkan [[Islam]] kepada penduduk sekitar, menjadikan Cirebon sebagai cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.<ref>{{Cite book|date=2003|url=https://books.google.com/books?id=nvPXAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Bratalegawa+Caruban&q=Bratalegawa+Caruban&hl=en|title=Risalah: majalah da'wah Islamiyah|publisher=Yayasan Risalah Pers|language=id}}</ref>
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (''belendrang'') dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan ''cai-rebon'' (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi ''Cirebon''.<ref>{{Cite web |url=http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/07/26/kesultanan-cirebon-1445-1667/ |title=Kesultanan Cirebon |access-date=2012-08-12 |archive-date=2012-08-19 |archive-url=https://web.archive.org/web/20120819032558/http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/07/26/kesultanan-cirebon-1445-1667 |dead-url=yes }}</ref>
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan [[Nusantara]] maupun dengan bagian dunia lainnya
== Perkembangan awal ==
Baris 70:
Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura.<ref name=lubisbudayapolitik>Lubis, Nina Herlina. 2002. Sejarah dan Budaya Politik. [[Bandung]] : Satya Historika</ref> Kerajaan ini bertugas mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus takhta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu ''Nyi'' Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi).<ref name=radarcirebonsurantaka>Tim Radar Cirebon. 2018. Dahulu Nagari Surantaka, Sekarang Desa Keraton. [[Cirebon]] : Radar Cirebon</ref>
=== Bratalegawa ===
Bratalegawa (Haji Purwa) adalah seorang pangeran dari Kerajaan Galuh anak dari prabu [[Bunisora]].<ref>{{Cite book|last=Ayatrohaedi|date=2005|url=https://books.google.com/books?id=ggxvAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Bratalegawa+Bunisora&q=Bratalegawa+Bunisora&hl=en|title=Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon|publisher=Pustaka Jaya|isbn=978-979-419-330-3|language=id}}</ref> Ia sebelumnya telah memeluk Islam di [[Kesultanan Delhi|India]] dan memutuskan untuk pindah ke Cirebon serta menyebarkan Islam disana, dikarenakan pengaruh Hindu di [[Kawali]], ibukota Galuh saat itu masih sangat kuat. Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa juga berperan dalam memajukan perekonomian Cirebon, dimana Cirebon menjadi pintu utama ekspor dari barang-barang yang dihasilkan oleh Kerajaan Galuh.<ref>{{Cite book|last=Sanusi|first=Anwar|last2=Arif|first2=Faisal|last3=Hasyim|first3=Rafan S.|date=2022-12-26|url=https://books.google.com/books?id=8KWkEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA104&dq=Bratalegawa+perdagangan+Cirebon&hl=en|title=PERUBAHAN EKSISTENSI SUNGAI DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KOTA CIREBON PADA MASA HINDIA BELANDA TAHUN 1900-1942|publisher=Yayasan Wiyata Bestari Samastra|isbn=978-623-8083-13-8|language=id}}</ref>
==== ''Dinar, Dirham'' dan ''Fulus'' (uang tembaga) di pelabuhan Muara Jati ====
Baris 76 ⟶ 79:
==== Persahabatan Cheng Ho, mecusuar Muara Jati dan Masjid Kung Wu Ping ====
[[Cheng Ho]] dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh ''Ki Gedeng Tapa'', Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di [[keraton Kasepuhan]], [[kesultanan Kasepuhan]] Cirebon).<ref>
Pada masa persinggahan laksamana Cheng Ho tersebut sangat dimungkinkan uang emas dan uang perak dijadikan sebagai alat tukarnya karena uang emas dan uang perak telah menjadi standar internasional pada masa tersebut terutama di pelabuhan-pelabuhan internasional.<ref name="masduqi" />
Pemukiman warga muslim
==== Pembangunan ''Gedong Witana'' ====
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan ''nyimas'' Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama [[Islam]], pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut ''Gedong Witana'' pada tahun 1428 Masehi.<ref>
=== Ki Gedeng Alang-Alang ===
Baris 219 ⟶ 223:
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan [[Portugis]] sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa.<ref>
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon, [[kesultanan Demak]] dan [[kesultanan Banten]] (pada saat itu [[Banten]] masih menjadi ''[[kadipaten]]'' di bawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak di bawah pimpinan [[Maulana Hasanuddin]] putra [[Sunan Gunung Jati]]<ref name=uka1>Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. [[Jakarta]]: Gramedia</ref> atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.
Baris 257 ⟶ 261:
==== Kawali dikuasai pada 1528 ====
Pada tahun 1528 Kawali (ibukota Galuh) berhasil dikuasai oleh Cirebon.<ref name=anwarikapol>Anwari< Johan Jouhar. 2017. Sekeseler, Para Penerus Kekuasaan Galuh (1). [[Tasikmalaya]] : Kabar Priangan Online</ref>
==== Perwalian oleh Pangeran Mohammad Arifin ====
Baris 290 ⟶ 294:
==== Sunan Kalijaga diundang ke [[kerajaan Demak]] ====
Pada tahun 1543, [[Trenggana|Sultan Trenggana]] mengundang [[Sunan Kalijaga]] untuk datang ke [[kerajaan Demak]] guna menjadi penasihat [[Trenggana|Sultan Trenggana]]<ref>
==== Terbunuhnya Pangeran Mohammad Arifin ====
Baris 306 ⟶ 310:
==== Pembagian wilayah taklukan antara [[kesultanan Banten]] dengan kesultanan Cirebon ====
Pasca perjanjian damai Cirebon dengan [[kerajaan Sunda|kerajaan Pajajaran]] pada tahun 1530 dan setelah [[kesultanan Banten]] berdiri pada tahun 1552, maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara dibagi dua. Menurut ''[[Carita Sajarah Banten]]'', [[Sunan Gunung Jati]]<ref>Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]]: Djambatan</ref> pada abad ke 15<ref>
Pada tahun 1568,<ref>Shahab, Yasmine Zaki. 1997. Betawi dalam perspektif kontemporer: perkembangan, potensi, dan tantangannya. [[Jakarta]] : Lembaga Kebudayaan Betawi</ref> Maulana Hasanuddin sebagai penguasa Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat menantunya yaitu Kawis Adimarta (Tubagus Angke) suami dari Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana Hasanuddin)<ref name=Adi1>Adi, Windoro. 2010. Batavia, 1740: menyisir jejak Betawi. [[Jakarta]] : Gramedia Pustaka Utama</ref> sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak peristiwa penaklukan ''Kelapa'' pada tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis Adimarta pada tahun 1568, wilayah ini berada dibawah kekuasaan Fadillah Khan<ref>Aziz, Abdul. 2002. Islam & masyarakat Betawi. [[Tangerang Selatan|Ciputat]] : Logos Wacana Ilmu</ref>
Baris 312 ⟶ 316:
=== Fatahillah (1568-1570) ===
Pada tahun 1568 M [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] meninggal dunia maka kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Syarief Hidayatullah melaksanakan tugas dakwah dijadikan wakilnya sebagai pengurus kesultanan Cirebon, Fadillah Khan (Fatahillah) kemudian naik takhta (sebagai [[Wali penguasa|wali
== Puncak kejayaan dan persahabatan dengan negara lain ==
Sepeninggal Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cicit [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau dikenal juga dengan nama ''Panembahan Ratu I'', putra dari Pangeran Sawarga<ref name=muhaimin/> atau cicit Sunan Gunung Jati yang sudah berusia 21 tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.<ref>
=== Sultan Zainul
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin atau [[Panembahan Ratu I]] ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun di sekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, tetapi beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh putranya yang bernama [[Sutawijaya|Danang Sutawijaya]], beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan [[Pajang]] (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Mangkunegara]]) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan [[Pajang]], Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan.<ref>Olthoff. W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1646's - Gravenhage Martinus Nijhof.: [[Leiden]]</ref> Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya;
* [[Pajang]] dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putra dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
Baris 388 ⟶ 392:
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah ''Ki'' Nataguna dari [[Kaliwulu, Plered, Cirebon|desa Kaliwulu]].<ref>Tim Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 2008. Kumpulan makalah Pertemuan Ilmuah Arkeologi ke-IX, Kediri, 23-28 Juli 2002. [[Jakarta]]: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia</ref>
== Ketegangan hubungan dengan [[kesultanan Mataram]], perang Pacirebonan, dan meninggalnya Sultan Abdul Karim ==
=== Perang Pacirebonan ===
[[Perang Pacirebonan]] atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama ''perang
==== Latar belakang ====
Pada tahun 1588 ketika [[kesultanan Mataram]] muncul setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari [[Kesultanan Pajang|kerajaan Pajang]], Danang Sutawijaya kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah ''Kadipaten'' dari [[kerajaan Pajang]] kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian, [[kesultanan Banten]] pada masa itu belum mengakui eksistensi [[kesultanan Mataram]], Sultan Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertakhta saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (ia naik takhta pada 1585<ref>Darmawan, Joko. 2017. Sejarah Nasional “Ketika Nusantara Berbicara”: [[Yogyakarta]]: Deepublish</ref> pada usia 9 tahun).<ref name=Mukarrom>Mukarrom, Ahwan. 2014. Sejarah Islam Indonesia I: Dari Awal Islamisasi
sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. [[Surabaya]]: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel</ref>
Baris 455 ⟶ 459:
Pasca menguasai [[Jayakarta]], Belanda melalui [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] berusaha menguasai perdagangan di [[Banten]] terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di Banten turun.
=== Sultan Abdul Karim/Panembahan Ratu II (1649-1666) ===
Setelah Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau [[Panembahan Ratu II]].{{fact}}
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram di lain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.{{fact}}
Baris 479 ⟶ 483:
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan [[Amangkurat I]] dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama [[Kasepuhan]] dan [[Kanoman]] mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah [[Kandanghaur, Indramayu|Kandang Haur]] dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.
===== Pangeran
Pangeran
Pada wilayah [[Ciparagejaya, Tempuran, Karawang|Ciparage]] Pangeran Kusumahdinata IV menempatkan pasukannya guna persiapan menyerang [[Karawang Barat, Karawang|Karawang]].<ref name="museumgeusan" />
Baris 491 ⟶ 495:
===== Belanda mengirimkan utusan ke Karawang =====
Setelah menguasai Karawang, [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan ekspedisi pada bulan November hingga Desember 1677 untuk mempertahankan wilayah Karawang dari ancaman Banten, Makassar, Cirebon dan Sumedang.<ref name=atep>
Pada bulan Januari hingga Maret 1678 [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan Evert Jansz sebagai utusan ke Sumedang.<ref name="atep" /> Pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak pasukan Banten bergerak menuju Sumedang melalui [[Muaraberes]] (sekitar 10 km ke utara Bogor) dan [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]].<ref name=":0" />
Baris 501 ⟶ 505:
Pada bulan Juli hingga September 1678 [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan Jochem Michielsz (atau Joachim Michiefs) ke Sumedang.<ref name="atep" /> Semua utusan yang dikirimkan tersebut adalah dalam upaya membendung pengaruh [[kesultanan Banten]] dan Kesultanan Cirebon pada wilayah Karawang yang baru saja dikuasai oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]]<ref name="atep" />
== Gerilya [[kesultanan Banten]], Misi
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke [[Banten]].
Baris 567 ⟶ 571:
==== Perjanjian 1681 ====
Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah [[Rijckloff van Goens]] (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke [[Cirebon]], iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.<ref name=deviani/>
Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa [[Cirebon]] menjadi sekutu setia dari [[Vereenigde Oostindische Compagnie]].<ref name=Dirjenbud/>
Baris 589 ⟶ 593:
* Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) (bertakhta dari 1479 - 1495), ia merupakan penguasa Cirebon pertama atau '''Sultan Cirebon I''' setelah penyerahan kekuasaan oleh Pangeran Cakrabuana. Pada masa itu juga Pajajaran ditaklukan.
* Pangeran Adipati Pasarean (Pangeran Muhammad Arifin), ia wafat sebelum dinobatkan, kemudian digantikan Pangeran Sedang Kamuning.
* Pangeran Adipati Anom Carbon I (Pangeran Sedang Kamuning), ia wafat sebelum dinobatkan.
*
* Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin) (bertakhta dari 1570 - 1649), bergelar '''Sultan Cirebon III''' ia merupakan anak dari Pangeran Sedang Kamuning (Pangeran Adipati Anom Carbon I). Permaisurinya adalah putri [[Sultan Adiwijaya]] dari Pajang.
* Pangeran Adipati Anom Carbon II (Pangeran Sedang Gayam), ia wafat sebelum dinobatkan.
* Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) (bertakhta dari 1649 - 1666), bergelar '''Sultan Cirebon
Panembahan Ratu II wafat pada 1677, terjadilah kekosongan kekuasaan selama 16 tahun. Pada masa ini Cirebon dalam pengaruh Mataram dan Banten. Pada 1678 Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Karena terjadi perebutan kekuasaan atara kakak beradik, sebab itulah kerajaan baru tersebut disebut Kasepuhan (sepuh/tua) dan Kanoman (anom/muda).
Baris 680 ⟶ 685:
[[Kategori:Sunda]]
[[Kategori:Sejarah Sunda]]
[[Kategori:Negara prakolonial di Indonesia]]
[[Kategori:Sayyid]]
|