Sangkuriang (legenda): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Relly Komaruzaman (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
k Mengembalikan suntingan oleh 43.248.213.226 (bicara) ke revisi terakhir oleh AABot
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(183 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1:
{{nofootnotes}}
'''Sangkuriang ''' adalah legenda yang berasal dari Tatar [[Sunda]]. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau [[Bandung]], Gunung [[Tangkuban Parahu]], Gunung [[Burangrang]] dan Gunung [[Bukit Tunggul]].
[[Berkas:Sangkuriang1-300x197.jpg|jmpl|ka|Ilustrasi cerita sangkuriang]]
'''SangkuriangSayangkuriang '''({{Lang-su|{{Sund|ᮞᮀᮊᮥᮛᮤᮃᮀ}}|Sang Kuriang}}) adalah legendacerita yangrakyat berasalserta dari Tatarlegenda [[Suku Sunda|masyarakat Sunda]]. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaanterciptanya danau [[Bandung]], Gunung [[Tangkuban Parahu]], Gunung [[Burangrang]], dan Gunung [[Bukit Tunggul]].
 
DariLegenda legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yangini didukung dengan fakta [[geologi]], diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran initinggi tersebut sejak beribu tahun sebelum [[Masehi]].
 
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah [[Bujangga Manik]] yang ditulis pada daun palem[[lontar]] yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskhanaskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran [[Bujangga Manik]] atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di [[pulau Jawa]] dan [[pulau Bali]] pada akhir abad ke-15.
 
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota [[Kota Bandung]]. Dia menjadi saksi matasastrawan yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
 
::''Leumpang aing ka baratkeun'' (Aku berjalan ke arah barat)
::''datangDatang ka Bukit Patenggeng'' (kemudian datangtiba ke Gunung Patenggeng)
::''Sakakala Sang Kuriang'' (tempat legenda Sang Kuriang)
::''Masa dekdék nyitu Ci tarum'' (Waktusemasa akan membendung Citarum)
::''Burung tembey kasiangan'' (tapitetapi gagal karena kesiangantersiangi)
 
== Ringkasan Ceritacerita ==
Awalnya diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan, maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan. Sang dewi berubah menjadi [[babi hutan]] (celeng) bernama Celeng Wayung Hyang (atau Wayungyang), sedangkan sang dewa berubah menjadi [[anjing]] bernama si Tumang. Mereka harus turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.
 
Berdasarkan legenda tersebut, diceritakanDiceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun ''caring'' ([[keladi]] hutan)., Seekordalam babiversi hutanlain betinadisebutkan bernamaair Wayungyangkemih yangsang tengahraja bertapatertampung ingindalam menjadibatok manusia meminum air seni tadikelapa. WayungyangSeekor hamilbabi danhutan melahirkanbetina seorangbernama bayiCeleng cantik.Wayung BayiHyang cantikyang itutengah dibawabertapa kesedang keratonkehausan, olehia ayahnyakemudian dantanpasengaja diberimeminum namaair Dayangseni Sumbisang aliasraja Rarasatitadi. BanyakWayung paraHyang rajasecara yangajaib meminangnya,hamil tetapidan melahirkan seorang pun tidak adabayi yang diterima.cantik, Akhirnyakarena parapada rajadasarnya salingia berperangadalah diseorang antara sesamanyadewi. DayangBayi Sumbicantik punitu atasditemukan permitaannyadi sendiritengah mengasingkanhutan dirioleh disang sebuahraja bukityang ditemanitidak seekormenyadari anjingbahwa jantania yaituadalah Si Tumangputrinya. KetikaBayi sedangperempuan asyikitu bertenun,dibawa toropongke (torak)keraton yangoleh tengahayahnya digunakandan bertenundiberi kainnama terjatuhDayang keSumbi bawahalias Rarasati. Dayang Sumbi karenatumbuh merasamenjadi malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pungadis yang mengambilkanamat torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikancantik suaminyajelita. SiBanyak Tumangpara mengambilkan torakraja dan diberikanpangeran kepadayang Dayangingin Sumbi.meminangnya, Dayangtetapi Sumbiseorang akhirnyapun melahirkantidak bayiada laki-lakiyang diberi nama Sangkuriangditerima.
 
Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit karena terkena penyakit kelamin. Ketika sedang asyik menenun kain, ''torompong'' (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah balai-balai. Karena merasa malas, terlontar ucapan Dayang Sumbi tanpa dipikir dulu, dia berjanji bahwa siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh, bila laki-laki akan dijadikan suaminya, dan jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat perkataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh sumpah dan janjinya, maka ia pun mengawini si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.
 
Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan ([[rusa]]), maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak tampak hewan buruan seekorpun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang, yang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri, maka si Tumang tidak mau menuruti perintah itu. Saking kesalnya Sangkuriang kemudian menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panahnya terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk oleh anak panah. Sangkuriang menjadi bingung; dan lalu karena tidak memperoleh hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Oleh Sangkuriang, hati si Tumang itu diberikannya kepada Dayang Sumbi, yang kemudian dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka kemarahannya pun meledak; dengan serta-merta kepala Sangkuriang dipukul dengan ''centong'' (sendok nasi) yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah TIMUR akhirnya sampailah di arah BARAT lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung [[sungai Citarum]]. Sangkuriang menyanggupinya.
 
Kesakitan dan ketakutan, Sangkuriang lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi, yang menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari Sangkuriang ke hutan dan memanggil-manggil serta memohonnya untuk segera pulang; akan tetapi Sangkuriang telah pergi jauh. Dayang Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa dan laku hanya memakan [[tumbuh-tumbuhan]] dan sayuran mentah ([[lalapan]]). Sangkuriang sendiri pergi mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa sakti, sehingga Sangkuriang setelah beberapa tahun telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah Sangkuriang di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi berada. Namun Sangkuriang tidak mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi melihat tanda luka di kepala Sangkuriang, bekas pukulan sendok Dayang Sumbi; dengan demikian ia mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersiasat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan [[perahu]] dan [[telaga]] (danau) dalam waktu semalam dengan membendung aliran [[Sungai Citarum]]. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan ''boeh rarang'' (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di [[Sanghyang Tikoro]] dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi [[Gunung Manglayang]]. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi [[Gunung Tangkuban Perahu]].
 
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon besar yang tumbuh di sebelah timur; kelak, tunggul atau pangkal pohon itu berubah menjadi [[gunung]] yang bernama [[Bukit Tunggul]]. Rantingnya ([[bahasa Sunda|Sd.]]: ''rangrang'') ditumpukkan di sebelah barat dan kelak menjadi [[Gunung Burangrang]]. Dengan bantuan para ''guriang'' (makhluk halus), lewat tengah malam bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi lalu membentangkan helai kain ''boeh rarang'' (kain putih hasil tenunannya) di atas bukit di timur, sehingga kain putih itu tampak bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Sementara itu ia pun berulang-ulang memukulkan [[alu]] ke [[lesung]], seolah-olah sedang menumbuk [[padi]]. Para guriang makhluk halus anak buah Sangkuriang pun ketakutan karena mengira hari mulai pagi, mereka lalu lari menghilang bersembunyi di dalam tanah. Dengan demikian pembuatan bendungan pun tidak terselesaikan. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi gusar dan mengamuk. Perahu yang telah dikerjakannya dengan bersusah payah lalu ditendangnya ke arah utara dan jatuh menangkup menjadi [[Gunung Tangkuban Perahu]]. Di puncak kemarahannya, dinding bendungan yang berada di sebelah barat dijebolnya; kelak lubang tembusan air Citarum ini dikenal sebagai [[Sanghyang Tikoro]] (Sd.: ''tikoro'', [[tenggorokan]] atau [[kerongkongan]]). Sumbat aliran Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi [[Gunung Manglayang]]. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali; bekas danau ini kelak menjadi lokasi [[Kota Bandung]].
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di [[Gunung Putri]] dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (''ngahiyang'').
 
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadakberlari menghilangmenghindari kejaran anaknya yang telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di [[Gunung Putri]] dan ia pun memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun berubah menjadi setangkai ungabunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berungBerung akhirnya menghilang ke alam gaib (''ngahiyang'').
 
== Kesesuaian dengan fakta geologi ==
Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya [[Danau Bandung]] dan [[Gunung Tangkuban Parahu]].
 
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16000lk. 16.000 tahun yang lalu.
Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau [[Bandung]] dan Gunung [[Tangkuban Parahu]].<ref>{{cite book| title = The Origin and Pre-history of the Sundanese|first=R|last=Koesoemadinata|publisher=Institute of Technology Bandung}}</ref>
 
Telah terjadi dua letusan [[Gunung Sunda]] purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105000sekitar 105.000 dan 5500055.000-5000050.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, [[Gunung Burangrang]] (disebut juga Gunung Sunda), dan [[Gunung Bukit Tunggul]].
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16000 tahun yang lalu.
 
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat sungai[[Ci CitarumTarum]] (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 5500055.000-5000050.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya homo''[[Homo sapiens]]''; mereka telah teridentifikasi hidup di [[Australia]] selatan pada 6200062.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia JawaWajak (Wajak''[[Homo wajakensis]]'') sekitar 5000050.000 tahun yang lalu.
Telah terjadi dua letusan [[Gunung Sunda]] purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105000 dan 55000-50000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukit Tunggul.
 
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat sungai Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55000-50000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50000 tahun yang lalu.
 
== Sangkuriang dan Falsafah Sunda ==
 
Menurut abah Surya atau abah [[Hidayat Suryalaga]], mantan [[Rektor]] [[Itenas]] [[Bandung]], legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan ''cariang'') yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannyakemanusiaannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong''torompong''), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhimemengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
 
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependencyinterdependensi (kebergantungan sosial)—[[Silih|silih asih-asah silih asih dan silih asuh]] yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
 
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).
 
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
 
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (''Sanghyang Tikoro'' atau tenggorokan; B.[[Bahasa Sunda|Sd]]: ''Hade ku omong goreng ku omong, [[Indonesia|Id]]: Baik Karena Ucapan Buruk juga Karena Ucapan''). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).
 
== Catatan KakiReferensi ==
{{reflist}}
# Koesoemadinata, R. P., "Asal Usul dan Prasejarah Ki Sunda", Sub theme" "Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan filologi", in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar Alwasilah)
# Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung, 28 Mei 2005.
 
== RujukanPranala luar ==
* {{id}} [http://budaya-indonesia.org/iaci/Legenda_Sangkuriang Legenda Sangkuriang di situs web Budaya Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20101024084622/http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Legenda_Sangkuriang |date=2010-10-24 }}
#Koesoemadinata, R. P., "Asal Usul dan Prasejarah Ki Sunda", Sub theme" "Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan filologi", in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar Alwasilah)
* {{id}} [http://www.beritabudaya.com/2010/07/eksotika-wisata-legenda-sangkuriang/ Eksotika wisata legenda Sangkuring di situs web Berita Budaya] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110511015715/http://www.beritabudaya.com/2010/07/eksotika-wisata-legenda-sangkuriang/ |date=2011-05-11 }}
#Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung, 28 Mei 2005.
{{Dongeng}}
{{Indonesia|navbar=plain|prefix=:Kategori:Cerita rakyat dari|title=Daftar cerita rakyat di Indonesia menurut provinsi (kategori)|image=}}
 
[[Kategori:Tradisi lisan]]
[[Kategori:Legenda]]
[[Kategori:CeritaBudaya rakyat|SangkuriangSunda]]
[[Kategori:Cerita rakyat Jawa Barat]]
 
[[Kategori:TradisiCerita lisanrakyat Sunda]]
[[en:Sangkuriang]]
[[su:Sangkuriang]]