Kerajaan Bedahulu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Nyilvoskt (bicara | kontrib)
k Mengembalikan suntingan oleh Jalak Bali (tlg jangn blok sy) (bicara) ke revisi terakhir oleh Nyilvoskt
Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(16 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{lihat juga|Kerajaan Bali}}
{{Infobox Former Country
|conventional_long_name = Kerajaan Badahulu <br/>Kerajaan PejengPéjéng <br/>Kerajaan Singamandawa <br/>Singhadwala
|native_name =
|common_name = Bedulu
|s1 = Majapahit
|flag_s1 = Surya Majapahit.png
|common_languages = [[Bahasa Bali|Bali]] (utama)<br>{{nobold|[[Bahasa Jawa kuno|Kawi]] dan [[sansekerta]]}} (religius)
|religion = [[Hindu Bali|Hindu]] (resmi)
|capital = [[Pejeng, Tampaksiring, Gianyar|Pejeng]]
|government_type = Monarki
Baris 34 ⟶ 35:
''Bulan Pejeng'' yang kini disimpan di Pura Penataran Sasih adalah nekara terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia: tinggi 186,5&nbsp;cm dan garis tengah bidang pukul 160&nbsp;cm. Nekara bertipe moko ini dalam perkembangan lebih lanjut menjadi model pertama untuk semua jenis moko yang kini banyak dijumpai di wilayah Indonesia lainnya dalam ukuran lebih kecil. Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai dari ''kettledrum'' (Inggris), ''pauke'' atau ''metalltrommeln'' (Jerman), ''ketletrom'' (Belanda), kedeltrommeln (Denmark), hingga tambour metallique (Prancis), sebagai nama yang paling sering digunakan. Di Indonesia, nekara memiliki nama lokal beragam, seperti bulan untuk menyebut nama nekara dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), moko (Alor), kuang (Pulau Pantar), dan wulu (Flores Timur).
 
Bulan Pejeng berasal dari kebudayaan logam terutama perunggu di Asia Tenggara dimulai sekitar 3000-2000 SM berdasarkan hasil temuan di situs Dongson, Provinsi Thanh Hoc, Vietnam Utara. Nekara yang masih disakralkan oleh masyarakat Bali ini menunjukkan, bahwa di Masa Pra-Sejarah Pejeng telah dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi dan terhubung dengan masyarakat internasional. Dan, jauh sebelum pengaruh agama Hindu sampai di Bali.
 
Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa [[Sansekerta]] menyebut nama ''"Sri Walipuram"'' yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa prasasti yang menyebut kata ''baladwipamandala'', misalnya [[Prasasti Klandis]] menyebutkan;
Baris 43 ⟶ 44:
Selain ungkapan tersebut, dalam [[Prasasti Cempaga A]] yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M, Bali disebut dengan istilah ''“baliwipanagara”'' yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.
 
Keberadaan Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat sampai sekarang, Misalnya saja, ''Arca Bhairawa'' di [[Pura Kebo Edan]], ''Arca Ratu Mecaling'' di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik), [[Pura Manik Galag]] (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau ''setananya'' Bhatara Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.
 
Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli purbakala, [[Roelof Goris|Dr. R. Goris]], yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa [[Udayana|Raja Dharma Udayana]] terdapat sembilan aliran keagamaan dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: ''Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya)'' dan ''Ganapatya''. Ke-sembilan aliran itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu Rajakerta yang lebih dikenal sebagai [[Mpu Kuturan]], dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga kini. Penyatuan aliran-aliran itu dipercaya terjadi di [[Pura Samuan Tiga]], Pejeng.