Perang Padri: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Dikembalikan ke revisi 20999110 oleh Rahmatdenas (bicara): Penghapusan tidak berdasar (TW) Tag: Pembatalan pranala ke halaman disambiguasi |
Terbalik Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(43 revisi perantara oleh 28 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 3:
|conflict = Perang Padri
|partof =
|image = [[
|caption =
|date =
|place = [[
|casus = Pertikaian [[Kaum Padri]] melawan [[Kaum Adat]], kemudian melibatkan Belanda.
|result = '''Pertama (1803–25):'''<br>{{ubl|Kemenangan
* ''Perjanjian Masang''
|combatant1 = Perang [[1803]]–[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}} Perang [[1821]]–[[1833]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}Perang [[1833]]–[[1838]]:{{br}}{{flag|Belanda}}{{br}}▼
----
'''Kedua (1831–37):'''<br>{{ubl|Kemenangan Belanda}}
*[[Imam Bonjol]] diasingkan ke [[Cianjur]], kemudian ke [[Ambon]], dan kemudian diasingkan ke Lotta, dekat [[Manado]].
▲|combatant1 = Perang [[1803]]–[[1821]]:{{br}}[[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Kaum Adat]]{{
|combatant2 = Perang [[1803]]
|commander1 = [[Berkas:Flag of Minang.svg|22x20px|tepi]] [[Sultan Muning Alamsyah|Rajo Alam]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Frans David Cochius|Mayor Jendral Cochius]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|Kolonel Stuers]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]]{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Letnan Kolonel Elout]]{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Ferdinand Vermeulen Krieger|Letnan Kolonel Krieger]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]]{{br}} {{nowrap|[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Andreas Victor Michiels|Letnan Kolonel Michiels]]}}{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Frans Laemlin|Mayor Laemlin]]{{KIA}}{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]]{{br}}[[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Leonardus Cornelis du Bus|Mayor du Bus]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Toontje Poland|Kapten Poland]]{{br}} [[Berkas:Flag of the Netherlands.svg|22x20px|tepi]] [[Hendrik Merkus Lange|Kapten Lange]]{{br}}
Baris 19 ⟶ 23:
|casualties2 =
}}
'''Perang Padri''' (juga dikenal sebagai '''Perang''' '''Minangkabau''') adalah perang yang terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di [[Sumatera Barat|Sumatera Barat]], [[Indonesia]] antara kaum Padri dan Adat. [[Kaum Padri]] adalah umat [[muslim]] yang ingin menerapkan [[Syariat Islam]] di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] di Sumatera Barat. Sedangkan [[kaum Adat]] mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada [[Belanda]], yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri.
Perang Padri dianggap dimulai pada tahun 1803, sebelum campur tangan [[Belanda]], dan merupakan konflik yang pecah di negeri [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] ketika kaum Padri mulai memberangus adat istiadat yang mereka anggap sebagai tidak [[Islami]]. Namun setelah pendudukan [[Kerajaan Pagaruyung]] oleh [[Tuanku Pasaman]], salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, kaum bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di [[Padang]] untuk melawan mereka memerangi kaum Padri.<ref>Sjafnir Aboe Nain, 2004, ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.''</ref>
Kaum Padri, seperti halnya para jihadis sezaman di [[Kekhalifahan Sokoto]] di [[Afrika Barat]], adalah kaum puritan Islam yang telah menunaikan ibadah [[haji]] ke [[Makkah]] dan kembali<ref>The port where they embarked and disembarked, Pedir, Sumatra, gave them their name.</ref> dengan terinspirasi untuk membawa [[Al-Qur'an|Al-Quran]] dan [[Syariat Islam|syariah]] ke posisi yang lebih besar pengaruhnya di Sumatera. Gerakan Padri terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya dari tradisi dan kepercayaan yang dipandang oleh para pengikutnya sebagai tidak Islami.
▲== Latar belakang ==
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang [[Haji]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]] yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref>▼
Pada tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan kepemilikan mereka di beberapa bagian Hindia Belanda (kemudian menjadi Indonesia) setelah memperolehnya kembali dari Inggris. Hal ini terutama terjadi di pulau Sumatera, di mana beberapa daerah tidak berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Dari catatan [[Stamford Raffles|Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.</ref>▼
== Perang Padri I 1803-1825 ==
== Keterlibatan Belanda ==▼
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] meminta bantuan kepada [[Belanda]] pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.<ref name="Rusli Amran">{{cite book|first=Rusli|last=Amran|authorlink=Rusli Amran|year=1981|title=Sumatra Barat hingga Plakat Panjang|publisher=Penerbit Sinar Harapan}}</ref> Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah [[Hindia Belanda]], kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai ''Regent Tanah Datar''.<ref>G. Kepper, (1900). ''Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900''. Den Haag: M.M. Cuvee.</ref>▼
=== Awal mula 1803-1821 ===
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah [[Residen]] James du Puy di [[Padang]].<ref>''Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus''. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.</ref> Kemudian pada [[8 Desember]] [[1821]] datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh [[Antoine Theodore Raaff|Letnan Kolonel Raaff]] untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.▼
▲
▲Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]]
▲=== Keterlibatan Belanda 1821-1825 ===
▲
▲
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Fort van der Capellen Sumatra`s Westkust TMnr 60003554.jpg|jmpl|ka|''Fort van der Capellen'']]
Pada
Pada Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, [[Antoine Theodore Raaff|Letkol Raaff]] mencoba kembali menyerang [[Lintau]], tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada
== Gencatan
Perlawanan yang dilakukan oleh [[Kaum Padri]] cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu
Selama periode [[gencatan senjata]], [[Tuanku Imam Bonjol]] mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali [[Kaum Adat]]. Sehingga akhirnya
=== Tuanku Imam Bonjol ===
{{utama|Tuanku Imam Bonjol}}
[[Tuanku Imam Bonjol]] yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh [[Tuanku Nan Renceh]] sebagai Imam di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]].<ref>Munasifah (2007). ''Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1''. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1</ref> Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.<ref>Mardjani Martamin (1984). ''Tuanku Imam Bonjol''. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.</ref>
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain [[fanatisme]] tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.<ref name="Aboe"/>
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman [[kopi]] yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (''darek''). Sampai [[abad ke-19]], komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. [[Christine Dobbin]] menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.<ref name="Dobbin"/>▼
=== Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833 ===
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari [[Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Pandai Sikek]] yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi [[mesiu]] dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun [[benteng]] di [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]] yang dikenal dengan nama [[Fort de Kock (benteng)|Fort de Kock]].▼
▲Setelah berakhirnya
▲Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Bezoek van de gouverneur-generaal aan Fort de Kock Sumatra TMnr 10001575.jpg|jmpl|ka|Persiapan pasukan Belanda di ''Fort de Kock'']]
[[Berkas:Sentot, opperbevelhebber der rebellen.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Sentot Prawirodirdjo]], yang diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]]
Pada
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis [[Kaum Padri]]. Pada
=== Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833 ===
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Adathoofden van de Minangkabau met gevolg TMnr 10026889.jpg|jmpl|ka|200px|[[Kaum Adat]]]]
Sejak tahun [[1833]] mulai muncul kompromi antara [[Kaum Adat]] dan [[Kaum Padri]].<ref>Abdullah, Taufik (1966). ''Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau''. Indonesia. No. 2, 1-24.</ref> Pada
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja
=== Serangan ke Bonjol 1833-1835 ===
[[Berkas:Luitenant-kolonel-Raaff-voo.jpg|jmpl
[[Berkas:Heldhaftig-gedrag-van-luite.jpg|jmpl
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa [[Daftar Penguasa Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] [[Johannes van den Bosch]] pada
[[Carel Jan Riesz|Riesz]] dan [[Cornelis Pieter Jacob Elout|Elout]] menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], karena kesetiaan penduduk [[Luhak Agam]] masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi [[Johannes van den Bosch|van den Bosch]] bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik [[Perang gerilya|serangan gerilya]] yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa [[senjata]] dan [[pakaian]] yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh [[Jean Chrétien Baud]], Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.▼
▲Taktik [[Perang gerilya|serangan gerilya]] yang diterapkan [[Kaum Padri
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.▼
▲
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh [[Johan Heinrich Conrad Bauer|Letnan Kolonel Bauer]], memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari [[Matur, Agam|Matur]] dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi [[sungai]] yang saat itu tengah dilanda [[banjir]], dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki [[gunung]] dan menuruni [[lembah]]; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.▼
▲Pada
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi [[Batang Gantiang]], kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.<ref>J.C. van Rijnveld (1841). ''De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam''. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.</ref>▼
▲Pada
Pasukan Belanda berhasil mendekati [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan ''houwitser'', [[mortir]] dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Baris 99 ⟶ 111:
=== Benteng Bonjol ===
[[Berkas:Bondjol2.jpg|jmpl|ka|Lukisan [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] pada tahun [[1839]].]]
[[Benteng Bukit Tak Jadi|Benteng Bonjol]] terletak di atas [[bukit]] yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]]. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir [[Batang Alahan Panjang]], sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat [[parit]] yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari [[batu|batu-batu]] besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti [[benteng|benteng-benteng]] di Eropa dan di atasnya ditanami [[bambu]] berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.<ref name="Boelhouwer">Boelhouwer, J.C. (1841). ''Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834''. Den Haag: Erven Doorman.</ref>
[[Semak|Semak belukar]] dan [[hutan]] yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.<ref name="TEMPO: Dari Catatan Harian Bonjol">[[Tempointeraktif]], 15 Oktober 2007. [http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/15/IQR/mbm.20071015.IQR125285.id.html Dari Catatan Harian Bonjol] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20180225055431/http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/10/15/IQR/mbm.20071015.IQR125285.id.html |date=2018-02-25 }}.</ref>
=== Pengepungan Bonjol 1835-1837 ===
[[Berkas:Aftocht van de bezetting van Amerongen.jpg|jmpl|ka|Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh [[Justus Pieter de Veer]].]]
Melihat kokohnya [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pasukan [[Belanda]] mencoba melakukan blokade terhadap [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan [[Kaum Padri|Padri]]. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan [[Kaum Padri]] secara
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati [[syahid]].
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan [[tentara]] yang terdiri dari pasukan [[Bugis]] datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]], dan pasukan [[Bugis]] ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.<ref name="Cochius">''Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis''. hlm. 59-183.</ref> Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, [[Kaum Padri]] keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.▼
▲Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan [[tentara]] yang terdiri dari pasukan [[Bugis]] datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di [[Benteng Bukit Tajadi|Bukit Tajadi]], dan pasukan [[Bugis]] ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.<ref name="Cochius">''Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis''. hlm. 59-183.</ref>
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, [[Kaum Padri]] keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah [[Luhak Limo Puluah]] dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh [[Franciscus Fredericus Prager|Mayor Prager]].
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat [[Simpang Alahan Mati, Pasaman|Simpang dan Alahan Mati]] mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu [[Pulau Madura|Madura]] yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.[[Berkas:Cochius, FD.jpg|jmpl
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga [[Tuanku Imam Bonjol]]. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] di [[Batavia]] yang waktu itu telah dipegang oleh [[Dominique Jacques de Eerens]], kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama [[Frans David Cochius|Mayor Jenderal Cochius]] untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]] untuk kesekian kalinya.<ref>Tate, D. J. M. (1971). ''The Making of Modern South-East Asia: The European conquest''. Oxford University Press.</ref> Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang ''[[Benteng Stelsel]]''.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)<ref name="Teitler">G. Teitler (2004). ''Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie''. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.</ref> dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]], [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Suku Ambon|Ambon]]. Terdapat 148 perwira [[Suku Eropa-Indonesia|Eropa]], 36 perwira [[Pribumi-Nusantara|pribumi]], 1.103 tentara [[Suku Eropa-Indonesia|Eropa]], 4.130 tentara [[Pribumi-Nusantara|pribumi]], termasuk di dalamnya ''Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen'' (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda,
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan [[artileri]] yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan [[infantri]] dan [[kavaleri]] yang terus berdatangan. Pada
=== Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837 ===
Dalam pelarian dan persembunyiannya, [[Tuanku Imam Bonjol]] terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Hadler|first=Jeffrey|date=2008/08|title=A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History|url=https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-asian-studies/article/historiography-of-violence-and-the-secular-state-in-indonesia-tuanku-imam-bondjol-and-the-uses-of-history/E87E1A7ADBE2861999240C78C27C0829|journal=The Journal of Asian Studies|language=en|volume=67|issue=3|pages=971–1010|doi=10.1017/S0021911808001228|issn=1752-0401}} Halaman 986-989, 1002</ref>
Pada
[[Tuanku Imam Bonjol]] menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.<ref name=":0" /> Tulisan tersebut merupakan karya sastra [[autobiografi]] pertama dalam [[bahasa Melayu]] disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley,<ref>IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe
Library, DS646.15.S76.I43.</ref> dan 2004 di Padang.<ref name=":0" /><ref>IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.</ref
=== Akhir
[[Berkas:Padri War Monument.JPG|jmpl|ka|Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda]]
Meskipun pada tahun 1837 [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]] dapat dikuasai Belanda
== Warisan
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap [[patriotisme]] kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya [[Benteng Bukit Tajadi|Benteng Bonjol]], pemerintah [[Hindia Belanda]] membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.<ref name="Boelhouwer"/> Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di [[Orang Minangkabau|Minangkabau]].<ref>Westenenk, L. C., (1913), ''Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands'', Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.</ref> Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan [[Museum Tuanku Imam Bonjol|Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol]].
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai [[Pahlawan Nasional]].
Baris 144 ⟶ 160:
== Referensi ==
{{reflist|2}}
== Bacaan lanjutan ==
* 1840. [[Jacob Cornelis van Rijneveld|J.C. van Rijneveld]]. ''Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825''. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
* 1841. J.C. Boelhouwer. ''Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834''. Erven Doorman.
Baris 163 ⟶ 175:
[[Kategori:Perang Padri| ]]
[[Kategori:Sejarah Nusantara]]
[[Kategori:Hindia Belanda dalam tahun 1803]]
[[Kategori:Hindia Belanda dalam tahun 1838]]
|