Khalifah: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Perubahan referensi (DOI:10.2307/1523262). |
||
(9 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Ensiklopedia Islam|Muhammad}}
'''Khalifah''' ({{lang-ar|خَليفة}}; ''khalīfah'')
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: [[Kekhalifahan Rasyidin]] (632–661), [[Kekhalifahan Umayyah]] (661–750), [[Kekhalifahan Abbasiyah]] (750–1258 dan 1261–1517), dan [[Kekhalifahan Utsmaniyah]] (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring di[[baiat]]nya [[Abu Bakar Ash-Shiddiq|Abu Bakar]] sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya
Setelah [[Perang saudara Islam pertama|perang saudara pertama]] di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin 'Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu'awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan [[Mesopotamia]]. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan.
Baris 23:
{{quote|"Wahai [[Dawud]], sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah."|{{Cite quran|038|026}}||}}
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus
Khalifah juga dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Dengan perannya ini, manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan alam sehingga tercipta keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an pada [[Surah Luqman]] ayat 20. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengatur langit dan Bumi agar sesuai dengan kebutuhan hidup manusia secara sempurna. Ini dijadikan olehNya sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Sedangkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi ditetapkan oleh Allah pada [[Surah Hud]] ayat 61. Ayat ini juga mengaitkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi dan penciptaan manusia dari tanah.<ref>{{Cite book|last=Hambali|first=Muhammad|date=2017|url=https://www.google.co.id/books/edition/Panduan_Muslim_Kaffah_Sehari_hari_dari_K/b1FHEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=panduan+muslim+kaffah&pg=PA31&printsec=frontcover|title=Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari: Dari Kandungan hingga Kematian|location=Yogyakarta|publisher=Laksana|isbn=978-602-407-185-1|editor-last=Rusdianto|pages=23|url-status=live}}</ref>
== Khalifah utama ==
Baris 54:
[[Berkas:Umayyad750ADloc.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Umayyah, 750]]
Wangsa Umayyah melanjutkan perluasan wilayah kekhalifahan, meliputi kawasan [[Transoxiana]], [[Sindh]], [[Arab Maghrib]], dan [[Al-Andalus]]ia, menjadikan kekhalifahan saat itu sebagai salah satu [[Daftar imperium terbesar|kekaisaran terbesar di dunia yang pernah ada]], baik dari segi luas wilayah maupun populasi, dengan luas mencakup 11,100,000
Pada masa Umayyah, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi dari kekhalifahan yang terdiri dari penduduk multi-etnis tersebut. Perpindahan agama besar-besaran menjadi mualaf juga terjadi pada masa Umayyah. Pembangunan banyak bangunan Muslim bersejarah juga dibangun pada masa ini, seperti [[Kubah Shakhrah]] di kompleks [[Masjid Al-Aqsha|Masjid Al Aqsha]] dan [[Masjid Agung Umayyah]].<ref name=Previte-Orton236>Previté-Orton (1971), pg 236</ref> Umayyah juga memberikan kebebasan beragama pada umat non-Muslim dan meskipun mereka tidak bisa menempati hierarki teratas lembaga-lembaga penting, banyak yang menjadi pejabat tinggi di pemerintahan, menjadikan sebagian kalangan Muslim menilai bahwa Wangsa Umayyah terlalu sekuler.<ref>{{Cite news|url=https://www.britannica.com/topic/Umayyad-dynasty-Islamic-history|title=Umayyad dynasty {{!}} Islamic history|work=Encyclopedia Britannica|access-date=2017-03-26|language=en}}</ref> Umayyah juga mampu menyerap dan menghidupkan berbagai kebudayaan asli dari bangsa-bangsa yang telah tergabung dalam naungan kekhalifahan, salah satunya tercermin dari arsitektur.<ref>{{harvnb|Menocal|2015|p=19}}</ref> [[Masjid Agung Umayyah]] sebelumnya merupakan [[katedral]] Kristen yang dipersembahkan untuk [[Yohanes Pembaptis]] ([[Yahya]] dalam Islam) yang awalnya merupakan kuil Romawi untuk pemujaan [[Yupiter (mitologi)|Dewa Yupiter]].<ref>Burns, 2005, p.88.</ref><ref>Grafman and Rosen-Ayalon, 1999, p.7.</ref>
Baris 65:
{{artikel|Bani Abbasiyah}}
[[Berkas:Abbasid Caliphate 891-892.png|jmpl|kiri|Wilayah kekhalifahan pada masa Bani Abbasiyah, sekitar 892. Warna hijau gelap merupakan wilayah yang secara langsung dikuasai khalifah.]]
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di [[Syam]] runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari [[Abbas bin Abdul Muthalib]], paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan [[Mesopotamia]], Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.<ref>{{cite book|last1=Canfield|first1=Robert L.|title=Turko-Persia in Historical Perspective|date=2002|publisher=Cambridge University Press|isbn=9780521522915|page=5}}</ref>
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti [[Idrisiyyah|Wangsa Idrisiyyah]] yang menguasai [[Maroko]], [[Aghlabiyyah]] yang memerintah di [[Ifriqiya]], [[Dinasti Thuluniyah]] di Mesir dan Palestina, [[Dinasti Buwayhiyah|Bani Buwaih]] di Iran, [[Dinasti Samaniyah]] di Transoxiana, dan [[Kesultanan Seljuk Raya|Seljuk]] yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah. Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar [[amir]] atau bahkan ''[[Syah (gelar)|syahansyah]]'' (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir. Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan.
Baris 77:
==== Bani Abbasiyah di Kairo ====
Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]] dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas. Peran khalifah sebagai pemimpin umat Islam yang tadinya memiliki kekuatan politik sebagai kepala negara bergeser menjadi sepenuhnya hanya sekadar simbol. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir. Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan".
Baris 105 ⟶ 104:
=== 'Abdullah bin Zubair ===
'[[Abdullah bin Zubair]] adalah salah satu pihak awal yang melakukan pernyataan diri sebagai khalifah dan menjadi khalifah paralel saat Wangsa Umayyah di Damaskus juga masih menyandang gelar ini. Ayahnya adalah [[Zubair bin Awwam]], keponakan [[Khadijah binti Khuwailid]] dari jalur ayah dan sepupu [[
'Abdullah bin Zubair pada awalnya menolak kesetiaan kepada khalifah setelah Mu'awiyah bin Abu Sufyan melantik putranya sendiri, Yazid, sebagai putra mahkota. Setelah Yazid mangkat setelah tiga tahun berkuasa dan kekuasaan diwariskan kepada putranya, Mu'awiyah II, 'Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai ''amirul-mu'minin'', salah satu gelar lain untuk khalifah.<ref name="Gibb55">Gibb 1960, p. 55.</ref><ref name="Hawting47">Hawting 1986, p. 47.</ref> Kedudukannya sebagai khalifah diakui oleh masyarakat Hijaz, Yaman, Mesir, dan Iraq. Kekuasaan 'Abdullah bin Zubair berakhir saat Khalifah '[[Abdul Malik bin Marwan]] mengutus [[Al-Hajjaj bin Yusuf]] untuk menundukkannya. Al-Hajjaj mengepung Makkah selama sekitar enam bulan dan banyak dari para pengikut 'Abdullah bin Zubair menyerah pada masa ini. 'Abdullah bin Zubair tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan perlawanan sampai dia terbunuh pada Oktober atau November 692.<ref name="Gibb55"/><ref name="Gibb54">Gibb 1960, p. 54.</ref>
Baris 111 ⟶ 110:
=== Wangsa Fatimiyah ===
[[Berkas:Fatimid Caliphate.PNG|jmpl|kiri|Wilayah kekuasaan Fatimiyah]]
Wangsa Fatimiyah adalah dinasti beraliran [[Ismailiyah|Syi'ah Ismailiyah]] yang menyatakan diri sebagai keturunan putri bungsu
Fatimiyah membentuk tentara berlandas etnis yang terbukti membawa keberhasilan di medan perang, tetapi tidak dalam ranah politik dalam negeri. Perselisihan antar kelompok militer menjadikan kekuasaan dinasti ini merosot dengan cepat pada akhir abad kesebelas dan abad kedua belas. [[Shalahuddin Al-Ayyubi|Shalahuddin]] mengakhiri kekuasaan dinasti ini pada 1171, mendirikan dinasti Al-Ayyubi yang menyatakan kesetiaan pada Wangsa Abbasiyah.<ref>{{cite book|last=Baer|first=Eva|title=Metalwork in Medieval Islamic Art|year=1983|publisher=[[SUNY Press]]|isbn=9780791495575|page=xxiii|url=https://books.google.com/books?id=s__yi4pD-VEC}}</ref> Terdapat empat belas khalifah dari Wangsa Fatimiyah dan mereka berkuasa dalam rentang waktu lebih dari dua setengah abad.
Baris 130 ⟶ 129:
Pada 1 November 1922, [[Majelis Agung Nasional Turki]] secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, [[Mehmed VI]], diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, [[Republik Turki]] yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya.
[[Berkas:
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai [[Abdul Mejid II|Khalifah Abdul Mejid II]]. Hal ini menjadikan Abdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan.
Baris 146 ⟶ 145:
== Peran dan kedudukan khalifah ==
[[Berkas:Age of Caliphs.png|225px|jmpl|ka|Kekhalifahan Islam, 622-750]]
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa
=== Pengganti
Fred M. Donner dalam bukunya ''The Early Islamic Conquests'' (1981) berpendapat bahwa kebiasaan [[bangsa Arab]] ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (''bani'' dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam [[syuro]] atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki keterkaitan silsilah dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Makkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa
=== Kekuasaan ===
"Siapa yang akan menggantikan [[
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam [[Al-Quran]]. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya ''God's Caliph'', menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh [[ulama]] di kalangan umat [[Islam]]. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat [[dunia]]wi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.{{citation needed}} Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran [[spiritual]] para ulama.{{citation needed}} Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa [[Syiah|muslim Syiah]], dengan pandangan yang berlebihan kepada para [[imam]], tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua [[ilmuwan]] setuju akan hal ini.
Kebanyakan [[Sunni|Muslim Sunni]] saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat khalifah pertama sebagai [[Khulafaur Rasyidin]], Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada [[Al-Quran]] dan [[sunnah]]
=== Karakter kepemimpinan ===
Baris 172 ⟶ 171:
[[Ibnu Khaldun]] kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:{{br}}
<blockquote>''"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan [[akhirat]]. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh
== Landasan agama ==
Baris 183 ⟶ 182:
=== Hadits ===
=== Ijma’ Sahabat ===
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan pem[[baiat]]an pemimpin tampak jelas dalam kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah
[[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] pernah menyampaikan bahwa dia tidak mau dipanggil sebagai ''khalifatullah'' dan lebih memilih jika dipanggil sebagai ''khalifatur-rasul''.<ref>{{Cite web|title=حديث عبدالله بن أبي مليكة - مجمع الزوائد|url=https://dorar.net/h/bcdd8f06108e1c7443f5b842ab05a36b|website=dorar.net|language=ar|access-date=2021-01-28}}</ref><ref name=":1">{{Cite web|last=link|first=Dapatkan|last2=Facebook|title=Memahami Arti Khalifah|url=https://khalifah.cinta-islam.web.id/2021/01/konsep-khalifah.html|language=id|access-date=2021-01-28|last3=Twitter|last4=Pinterest|last5=Email|last6=Lainnya|first6=Aplikasi|archive-date=2021-02-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20210207132143/https://khalifah.cinta-islam.web.id/2021/01/konsep-khalifah.html|dead-url=yes}}</ref>
Baris 233 ⟶ 232:
* Donner, Fred. ''The Early Islamic Conquests''. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8.
* {{EI2|article=ʿAbd Allāh ibn al-Zubayr|last=Gibb|first=H. A. R.|volume=1|pages=54–55}}
* {{cite journal|last1=Grafman|first1=Rafi |first2=Myriam|last2=Rosen-Ayalon|year=1999|title=The Two Great Syrian Umayyad Mosques: Jerusalem and Damascus|journal=Muqarnas|publisher=BRILL|volume=16|pages=1–15|location=Boston|doi=10.2307/1523262 | issn = 0732-2992 }}
* {{cite book | last1 = Grant | first1 = John | last2 = Clute | first2 = John | chapter = The Encyclopedia of Fantasy | title = Arabian fantasy | year = 1999 | isbn = 0-312-19869-8 | lccn = 96037472 | publisher = St. Martin's Press | location = New York, NY | ref = harv }}
* {{cite book | last = Gregorian | first = Vartan | title = Islam: A Mosaic, Not a Monolith | url = https://archive.org/details/islam00vart | publisher = Brookings Institution Press | year = 2003 | pages = [https://archive.org/details/islam00vart/page/26 26]–38 | isbn = 0-8157-3282-1 | lccn = 2003006189 | location = Washington, DC | ref = harv }}
Baris 244 ⟶ 243:
* Previté-Orton, C. W (1971). ''The Shorter Cambridge Medieval History''. Cambridge: Cambridge University Press.
* {{Cite book |last = Mango |first = Andrew |title = Atatürk: The Biography of the Founder of Modern Turkey |url = https://archive.org/details/ataturk00andr |origyear = 1999 |edition = Paperback |year = 2002 |publisher = Overlook Press, Peter Mayer Publishers, Inc |location = Woodstock, NY |isbn = 978-1-58567-334-6 }}
* {{cite book| last = Tabatabaei | first = Sayyid Mohammad Hosayn | title = Shi'ite Islam | url = https://archive.org/details/shiiteislam0000taba | publisher=Suny press | year = 1979 |isbn = 978-0-87395-272-9|ref = harv}}| Diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr.
{{Authority control}}
|