Piagam Jakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib) |
|||
(19 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 14:
| wikisource = id:Piagam Jakarta
}}
'''Piagam Jakarta''' adalah rancangan Pembukaan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]] (UUD 1945). Rancangan ini dirumuskan oleh [[Panitia Sembilan]] [[Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan]] (BPUPK){{efn|Nama resmi badan ini sebenarnya adalah "Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan". Nama ini tidak mencakup "Indonesia" karena badan ini pertama kali dibentuk oleh [[Angkatan Darat ke-16 (Jepang)|Angkatan Darat ke-16 Jepang]] yang hanya berwenang di Jawa, dan maklumat yang mengumumkan pendirian badan ini juga hanya menyebut wilayah Jawa. [[Angkatan Darat ke-25 (Jepang)|Angkatan Darat ke-25]] yang berwenang di Sumatra baru mengizinkan pembentukan BPUPK untuk Sumatra pada 25 Juli 1945. Di sisi lain, Angkatan Laut Jepang yang memiliki wewenang di Kalimantan dan Indonesia Timur tidak mengizinkan pembentukan badan persiapan kemerdekaan. Lihat {{harvnb|Kusuma|Elson|2011|pp=196-197, catatan kaki 3}}}} di [[Jakarta]] pada tanggal 22 Juni 1945
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi [[Pancasila]], tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan "tujuh kata", pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]], yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945. Tujuh kata ini dihilangkan atas prakarsa [[Mohammad Hatta]] yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari [[Indonesia Timur]] lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus. Pada tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut agar Indonesia kembali ke Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta kembali memicu perdebatan selama proses amendemen undang-undang dasar pada masa [[Reformasi Indonesia|Reformasi]] (1999–2002). Partai-partai Islam mengusulkan agar "tujuh kata" ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945, yaitu pasal yang mengatur soal kedudukan agama dalam negara dan [[kebebasan beragama]]. Namun, usulan amendemen dari partai-partai Islam tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas di [[Majelis Permusyawaratan Rakyat]] (MPR).<!-- Hingga kini, berbagai kelompok Islam (seperti [[Front Pembela Islam]]) masih memperjuangkan pengembalian Piagam Jakarta.-->
Baris 25:
Pada tahun 1942, [[Kekaisaran Jepang]] menduduki [[Hindia Belanda]]. Semenjak awal [[pendudukan Jepang di Indonesia|pendudukan]], pemerintahan militer Jepang sudah bekerja sama dengan para pemimpin kelompok kebangsaan dengan maksud untuk memenuhi keperluan perang dan pendudukan.{{sfn|Hosen|2007|p=60}} Agar kerja sama dengan kelompok kebangsaan di Jawa dapat dimaksimalkan, Jepang membentuk organisasi [[Hokokai|Jawa Hokokai]] pada awal Januari 1944,{{sfn|Benda|1958|p=153}} dan organisasi ini merupakan pengganti [[Pusat Tenaga Rakyat]] yang telah dibubarkan.{{sfn|Formichi|2012|p=75}} Ketika Jepang mulai mengalami kekalahan dalam [[Perang Pasifik]], [[Perdana Menteri Jepang]] [[Kuniaki Koiso]] [[Janji Koiso|berjanji akan memberikan]] kemerdekaan kepada seluruh bangsa Indonesia pada suatu hari.{{sfn|Anshari|1976|p=14}}
Pada 1 Maret 1945, [[Angkatan Darat ke-16 (Jepang)|Angkatan Darat ke-16]], korps militer Jepang yang melaksanakan pemerintahan atas wilayah Jawa, membentuk Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, [[bahasa Jepang]]: ''Dokuritsu Junbi Chōsa-kai'').{{sfn|Elson|2009|pp=108-109 & catatan kaki 24}}{{sfn|Kusuma|Elson|2011|pp=196-197, catatan kaki 3}} Badan ini bertugas menetapkan dasar negara Indonesia dan merumuskan undang-undang dasarnya.{{sfn|Hosen|2007|p=61}} BPUPK terdiri dari 62 anggota,
{{cquote2|Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang [[Kristen]] menyembah Tuhan menurut petunjuk [[Yesus|Isa al Masih]], yang [[Islam]] bertuhan menurut petunjuk Nabi [[Muhammad]] [[Selawat|s.a.w.]], orang [[Agama Buddha|Buddha]] menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.{{sfn|Taniredja|Suyahmo|2020|p=245}}}}
Baris 145:
[[Berkas:PPKI.jpg|jmpl|Sidang [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] tanggal 18 Agustus 1945]]
Pada tanggal 7 Agustus 1945, pemerintah Jepang mengumumkan pembentukan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI). Kemudian, pada 12 Agustus, Soekarno diangkat sebagai ketuanya oleh Panglima [[Kelompok Ekspedisi Selatan Angkatan Darat|Kelompok Ekspedisi Selatan]] [[Marsekal Lapangan|Marsekal Medan]] [[Hisaichi Terauchi]].{{sfn|Elson|2009|p=119}} Hanya empat dari sembilan penandatangan Piagam Jakarta yang menjadi anggota PPKI, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Wahid Hasjim.{{sfn|Anshari|1976|p=46}} Pada mulanya anggota PPKI akan berkumpul pada 19 Agustus untuk memfinalisasi undang-undang dasar Indonesia.{{sfn|Elson|2009|p=119}} Namun, pada 6 dan 9 Agustus 1945, kota [[Kota Hiroshima|Hiroshima]] dan [[Nagasaki]] [[pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki|dibom atom]] oleh [[Blok Sekutu dalam Perang Dunia II|Sekutu]]. Kemudian, pada 15 Agustus, Kaisar [[Hirohito]] [[Gyokuon-hōsō|mengumumkan]] bahwa [[menyerahnya Jepang|Jepang telah menyerah tanpa syarat]] kepada Sekutu.{{sfn|Salim|2008|p=68}}
Soekarno dan Hatta [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|menyatakan kemerdekaan Indonesia]] pada 17 Agustus. Kemudian, pada pagi hari tanggal 18 Agustus, PPKI berkumpul untuk mengesahkan undang-undang dasar Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Hatta mengusulkan agar tujuh kata di Mukadimah dan Pasal 29 dihapus. Seperti yang kemudian dijelaskan Hatta dalam bukunya ''Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945'', pada malam hari tanggal 17 Agustus, seorang opsir [[kaigun]] (Angkatan Laut) Jepang mendatanginya dan menyampaikan kabar bahwa kelompok nasionalis beragama Kristen dari Indonesia Timur menolak tujuh kata karena dianggap diskriminatif terhadap penganut agama minoritas, dan mereka bahkan menyatakan lebih baik mendirikan negara sendiri di luar Republik Indonesia jika tujuh kata tersebut tidak dicabut.{{sfn|Elson|2009|p=120}}
Baris 191:
=== Tuntutan penerapan Piagam Jakarta oleh kelompok Islam ===
[[Berkas:Mohammad_Roem,_Pekan_Buku_Indonesia_1954,_p245.jpg|jmpl|kiri|150px|Menurut [[Mohamad Roem]], kewajiban dalam tujuh kata Piagam Jakarta bukanlah kewajiban hukum, tetapi kewajiban agama yang pelaksanaannya tergantung pada masing-masing individu]]
Politikus dari Nahdlatul Ulama [[Saifuddin Zuhri]], yang diangkat menjadi Menteri Agama pada tahun 1962, mengumumkan pada tahun 1963 saat perayaan hari lahir Piagam Jakarta bahwa piagam tersebut telah memicu [[Revolusi Nasional Indonesia]], memiliki status konstitusional, dan berpengaruh terhadap setiap perundang-undangan dan kehidupan ideologis bangsa.{{sfn|Anshari|1976|p=107}} Sebagai Menteri Agama, ia juga mencoba mengarahkan bawahannya untuk melaksanakan Dekret 5 Juli 1959.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=130}} Pada saat perayaan hari jadi ke-40 Nahdlatul Ulama (31 Januari 1966), diadakan sebuah pawai, dan pesertanya memegang spanduk yang menuntut kembalinya Piagam Jakarta.{{sfn|Mujiburrahman|2006|p=107}} Pada bulan yang sama, [[Majelis Permusyawaratan Ulama]] [[Daerah Istimewa Aceh]] merumuskan sebuah rancangan Pedoman Dasar. Pasal 4 Pedoman Dasar ini menyatakan bahwa tujuan organisasi mereka adalah untuk menyatukan semua ulama dan umat dalam upaya untuk menerapkan Piagam Jakarta dan memberlakukan syariat Islam untuk Muslim di provinsi tersebut.{{sfn|Salim|2008|p=146}}
Baris 242:
=== Piagam Madinah: usulan alternatif dari Fraksi Reformasi ===
Sehubungan dengan amendemen Pasal 29(1) UUD 1945, fraksi-fraksi berhaluan kebangsaan (seperti Fraksi PDIP, [[Partai Golongan Karya]], [[Kesatuan Kebangsaan Indonesia]], dan [[Partai Demokrasi Kasih Bangsa]]) dan Fraksi [[Tentara Nasional Indonesia]]/[[Kepolisian Negara Republik Indonesia]] (TNI/POLRI) ingin mempertahankan pasal tersebut sebagaimana adanya, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.".{{sfn|Salim|2008|p=90, 104}} Sementara itu, Fraksi PPP, PBB, dan PDU menginginkan agar tujuh kata dimasukkan ke dalam tersebut sehingga menjadi berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".{{sfn|Salim|2008|p=90, 104}} Di sisi lain, dua partai berhaluan Islam yang tergabung dalam "Fraksi Reformasi", yaitu [[Partai Amanat Nasional]] (PAN) dan [[Partai Keadilan]] (PK, kini disebut Partai Keadilan Sejahtera), mengajukan alternatif yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya".{{sfn|Salim|2008|pp=99-100}} Usulan ini mendapatkan dukungan dari Fraksi [[Partai Kebangkitan Bangsa]] (PKB).{{sfn|Salim|2008|pp=101}} Usulan Fraksi Reformasi diberi julukan "[[Piagam Madinah (Reformasi)|Piagam Madinah]]" karena dianggap mencerminkan [[Piagam Madinah|piagam dengan nama yang sama]] yang disusun oleh Nabi [[Muhammad]] untuk mengatur hubungan antaragama.{{sfn|Salim|2008|pp=99-100}} Pakar hukum tata negara Indonesia Arskal Salim berkomentar bahwa Piagam Madinah akan menciptakan sistem yang sangat mirip dengan [[sistem millet]] (sistem yang mengizinkan masing-masing umat agama untuk menjalankan hukum mereka sendiri) di [[Kesultanan Utsmaniyah]].{{sfn|Salim|2008|pp=174}}
Fraksi PK menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan mengapa mereka mendukung Piagam Madinah alih-alih Piagam Jakarta. Pertama, Piagam Jakarta dirasa masih belum final, dan piagam tersebut bukan dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menjalankan syariat Islam di Indonesia. Kedua, naskah Piagam Jakarta diyakini hanya berlaku untuk Muslim, dan ini dianggap tidak sejalan dengan Islam yang berupa "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi seluruh alam). Ketiga, bila dibandingkan dengan Piagam Jakarta, Piagam Madinah dinilai lebih sesuai dengan Islam, karena Piagam Madinah mengakui kebebasan hukum masing-masing agama, sementara Piagam Jakarta hanya memberi keistimewaan hukum bagi satu agama saja.{{sfn|Salim|2008|pp=100}}
Baris 274:
Setelah pembahasan panjang yang tak kunjung membuahkan hasil, ketiga alternatif ini diajukan ke Sidang Tahunan MPR pada Agustus 2002 untuk melalui mekanisme pemungutan suara. Perwakilan dari Fraksi PDU dan PBB sekali lagi menegaskan pentingnya mengembalikan kesatuan Piagam Jakarta dan UUD 1945 dengan memasukkan tujuh kata ke dalam Pasal 29. [[Hartono Marjono]] dari PDU bahkan mengklaim bahwa penentang usulan ini telah dipengaruhi oleh propaganda dan kampanye [[Zionisme|Zionis]].{{sfn|Elson|2013|p=418-419}} Walaupun begitu, usulan ini gagal mendapatkan dukungan mayoritas.{{sfn|Elson|2013|p=418}} Usulan mengenai Piagam Madinah juga ditolak.{{sfn|Salim|2008|p=106}} Fraksi PKB bahkan berubah haluan dan mendukung agar Pasal 29 dipertahankan sebagaimana adanya.{{sfn|Salim|2008|pp=101-102}}
Walaupun kedua usulan partai-partai Islam gagal mendapatkan dukungan mayoritas, usulan-usulan ini masih didukung oleh banyak orang Muslim di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh surat kabar ''[[Kompas (surat kabar)|Kompas]]'' pada Agustus 2002, usulan Piagam Madinah didukung oleh 49,2% responden, sementara usulan Piagam Jakarta mendapat dukungan dari 8,2% responden.
<!--
Hingga akhirnya ditetapkan sebagai organisasi terlarang pada 30 Desember 2020,<ref>{{cite news|url=https://news.detik.com/berita/d-5315789/4-alasan-pemerintah-tetapkan-fpi-ormas-terlarang-di-ri|title=4 Alasan Pemerintah Tetapkan FPI Ormas Terlarang di RI|first=Hestiana|last=Dharmastuti|publisher=[[Detik.com]]|date=30 Desember 2020|accessdate=21 Juli 2021}}</ref> FPI terus menuntut pengembalian Piagam Jakarta. Saat [[tablig akbar]] di [[Gasibu|Lapangan Gasibu]], Bandung, pada tahun 2011, Rizieq mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam ceramahnya. Ia berkata "Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, Pancasila Piagam Jakarta ketuhanan ada di kepala".<ref name="rizieq">{{cite news|url=https://nasional.tempo.co/read/1085934/jejak-penghentian-kasus-penghinaan-pancasila-rizieq-shihab|title=Jejak Penghentian Kasus Penghinaan Pancasila Rizieq Shihab|first=M Rosseno|last=Aji|publisher=[[Tempo (majalah Indonesia)|Tempo]]|date=5 Mei 2018|accessdate=21 Juli 2021}}</ref> Putri Soekarno, [[Sukmawati Soekarnoputri]], melaporkan Rizieq ke polisi pada Oktober 2016 atas kasus penodaan Pancasila.<ref name="rizieq"/> Namun, pada 4 Mei 2016, [[Kepolisian Daerah Jawa Barat]] mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, sehingga membebaskan Rizieq dari tuntutan.<ref>{{cite news|url=https://www.dw.com/id/rizieq-shihab-bebas-dari-tuntutan-kasus-penodaan-pancasila/a-43655763|title=Rizieq Shihab Bebas dari Tuntutan Kasus Penodaan Pancasila|publisher=[[Deutsche Welle]]|date=4 Mei 2018|accessdate=21 Juli 2021}}</ref>
|