Jawanisasi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Thesillent (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 36:
== Sejarah zaman madya ==
[[Berkas:Tropenmuseum Royal Tropical Institute Objectnumber 60006336 Portret van een Javaanse vrouw met ee.jpg|jmpl|lurus|Diaspora orang Jawa seperti ke [[Suriname]] pada masa kolonial Hindia Belanda turut menyebarkan kebudayaan Jawa.]]
Setelah jatuhnya Majapahit, [[Kesultanan Demak]] menggantikan hegemoninya di SumatraSumatera Selatan dengan menunjuk bupati Jawa untuk memerintah [[Palembang]]. Pada awal abad ke-17, [[Kesultanan Palembang]] didirikan oleh Ki Gede ing Suro, ningrat Jawa yang melarikan diri dari intrik politik Demak setelah kematian Trenggana Sultan Demak. Kesultanan Palembang dikenal sebagai paduan dari berbagai budaya; Melayu, Jawa, Islam, dan Tionghoa. Proses Jawanisasi kehidupan istana Kesultanan Palembang terlihat jelas dalam penyerapan kata-kata dan kosakata Jawa ke dalam [[bahasa Musi|bahasa Melayu dialek Palembang]], seperti ''wong'' (orang) dan ''banyu'' (air).
 
[[Kesultanan Mataram]] pada masa pemerintahan [[Sultan Agung]] yang ambisius, di paruh pertama abad ke-17, budaya Jawa semakin diperluas. Sebagian besar ke wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Ekspedisi militer Mataram di kerajaan Jawa Timur seperti Surabaya dan Pasuruan, memperluas pengaruh budaya Jawa Mataraman. Ekspansi Mataram meliputi wilayah [[orang Sunda|Sunda]] di dataran tinggi [[Priangan]], dari Galuh Ciamis, Sumedang, Bandung, dan Cianjur. Selama periode inilah, orang-orang Sunda mulai terpapar dan menyerap lebih lanjut budaya Jawa ''[[Kejawen|Kejawèn]]''. [[Wayang golek]] adalah kesenian wayang versi Sunda yang banyak menyerap pengaruh budaya [[wayang kulit]]. Budaya yang dimiliki bersama seperti [[gamelan]] dan [[batik]] juga berkembang. Mungkin pada saat itulah [[bahasa Sunda]] mulai mengadopsi [[Tatakrama bahasa Sunda|tingkat unggah-ungguh]] kehalusan istilah dan kosakata untuk menunjukkan kesopanan, sebagaimana tecermin dalam [[bahasa Jawa]]. Selain itu, [[aksara Jawa]] juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai ''[[Cacarakan]]''.
{{Main|Pengaruh Budaya Jawa di Pasundan}}
 
Pengaruh dan ide-ide asing seperti agama dan kepercayaan, kadang-kadang secara sadar dan sengaja mengalami perubahan dan adaptasi, menjadi "dijawakan" agar dapat diterima oleh khalayak Jawa. Contoh-contoh seperti proses yang terjadi pada abad ke-15 dijuluki sebagai "[[Islamisasi]] Jawa dan Jawanisasi Islam". [[Wali Songo]] seperti [[Sunan Kalijaga]] diketahui menggunakan ekspresi seni budaya Jawa seperti [[gamelan]] dan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. [[Wayang Sadat|Wayang sadat]] adalah varian dari wayang yang digunakan dalam tablig dan [[dakwah]] untuk menyebarkan pesan-pesan Islam. Contoh lain Jawanisasi Islam di Jawa adalah pembangunan atap tumpang bertingkat pada masjid Jawa. Pada masjid Jawa awalnya tidak terdapat kubah, menara, melainkan mengadopsi pertukangan kayu bangunan [[pendopo]] dan atap meru — seperti yang berasal dari seni arsitektur Jawa pra-Islam sebelumnya. Contoh dari masjid jenis ini adalah [[Masjid Agung Demak]] dan [[Masjid Gedhe Kauman]] Yogyakarta.
Baris 57 ⟶ 56:
Iman [[Katolik]] sebagai contoh, juga menggunakan kosakata dan kerangka acuan Jawa dengan menggunakan istilah ''"Romo"'' (Jawa: ''bapak'') untuk merujuk [[Pastor]] Katolik. Penyebaran ajaran Katolik juga menggunakan seni wayang tradisional untuk menyebarkan pesan mereka, seperti [[wayang wahyu]], digunakan untuk menceritakan kisah Injil. Dalam arsitektur, gereja Katolik juga mengadopsi gaya arsitektur Jawa dan untuk gereja mereka, seperti [[Gereja Ganjuran]] di Bantul, Yogyakarta, yang membangun candi untuk Yesus dalam gaya [[candi]] Jawa kuno. Contoh lain termasuk [[Gereja Pohsarang]] di Kediri yang dibangun dalam arsitektur tradisional Jawa.
 
Selama periode kolonial [[Hindia Belanda]], terdapat sejumlah orang Jawa yang bermigrasi ke [[Suriname]] sebagai pekerja perkebunan. Di Nusantara, orang Jawa juga bermigrasi ke beberapa tempat seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Johor di Semenanjung Malaya. Daerah-daerah seperti [[DKI Jakarta]], [[Jawa Barat]] utara dan [[Lampung]] juga diketahui dihuni sejumlah besar pendatang Jawa. Bahkan beberapa tempat di luar Jawa memiliki nama Jawa atau "Kampung Jawa", misalnya [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Kampung Jawa]] di Tondano, Sulawesi Utara, dan [[Tanah Jawa, Simalungun|Tanah Jawa]] di Simalungun, SumatraSumatera Utara. Bahkan di [[Bangkok]], [[Thailand]], terdapat Kampung Jawa yang dihuni keturunan para pengukir dan pengrajin Jawa yang dibawa Raja [[Chulalongkorn]] hijrah ke Thailand pada tahun 1896.<ref>{{cite web|title=Keramahan Khas Indonesia ala Kampung Jawa di Tengah Kota Bangkok |author=Fajar Pratama|date=1 Maret 2013|publisher=detikNews |url=https://news.detik.com/read/2013/03/01/080705/2182890/10/1/keramahan-khas-indonesia-ala-kampung-jawa-di-tengah-kota-bangkok|accessdate=1 Januari 2014}}</ref>
 
== Sejarah modern ==
[[Berkas:Masjid Suharto di dekat Museum Imam Bonjol.jpg|al=|jmpl|Sebuah masjid di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]], [[SumatraSumatera Barat]]. Rezim Orde Baru Soeharto menyeponsori pembangunan ratusan [[masjid di Indonesia]] dengan gaya atap tumpang bertingkat Jawa.|ka]]
 
Setelah [[revolusi Indonesia]] (1945–1949) dan kemerdekaan Indonesia, banyak simbol nasional Indonesia yang berasal dari warisan [[Majapahit]], sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa pada ke-14 hingga 15. [[Bendera Indonesia]] menampilkan warna Majapahit, merah dan putih, semboyan nasional [[Bhinneka Tunggal Ika]] dan ideologi negara [[Pancasila]] juga menunjukkan warisan Majapahit. Bapak pendiri Indonesia, terutama [[Soekarno]] memang menggali ke sejarah Indonesia untuk mencari filsafat dan kearifan lokal untuk merumuskan kebangsaan baru bangsa Indonesia. Tentu saja, budaya Jawa sebagai salah satu elemen yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia turut menyumbangkan pengaruhnya.
 
Selama rezim Orde Baru [[Soeharto]] (1966–1998), budaya politik Indonesia agak dianggap telah "dijawakan". Tingkat administrasi juga diatur dalam gaya dan idiom Jawa, seperti ''[[kabupaten|kabupatèn]]'' dan ''[[desa|désa]]'', istilah yang awalnya tidak akrab di beberapa provinsi di Indonesia, seperti [[SumatraSumatera Barat]] (menggunakan istilah "nagari") dan [[Papua]] (menggunakan istilah "distrik"). Dalam kehidupan politik Indonesia pasca-kemerdekaan, istilah "Jawanisasi" digunakan untuk menggambarkan proses di mana [[orang Jawa|etnis Jawa]] dan individu yang dijawakan, secara bertahap menjadi mayoritas dan tidak proporsional dari elite pemerintahan di era pasca-kemerdekaan Indonesia.<ref>{{cite book|url=https://circle.ubc.ca/handle/2429/33606|title=Javanization of Indonesian politics|last=Thornton|first=David Leonard|date=1972|website=cIRcle UBC|publisher=The University of British Columbia}}</ref>
 
Setelah masa kemerdekaan, Indonesia lazim menerapkan [[neologisme]] untuk penamaan baru, dengan menggunakan kata serapan dari bahasa [[Sanskerta]] melalui perantara bahasa Jawa Kuno ([[bahasa Kawi]]). Maka dinamailah kota [[Jayapura]] untuk menggantikan nama "Soekarnapura" (yang digunakan [[Demokrasi Terpimpin]] untuk nama baru kota "Hollandia") karena kebijakan anti-Soekarno Orde Baru. Demikian pula dengan nama seperti [[Pegunungan Jayawijaya]], [[Penghargaan Kalpataru]], [[Bintang Mahaputra]], Piala [[Adipura]], serta istilah yang memiliki asal Sanskerta-Jawa seperti adibusana, lokakarya, dasawarsa, pranala, unggah, unduh, dan lain-lain.