Atheis (novel): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
genre |
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
||
(6 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 39:
Di Bandung, Hasan bekerja untuk [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pemerintah pendudukan Jepang]] dan hidup secara asketik; dia sering berpuasa berhari-hari dan berendam di sungai berulang kali pada dini hari. Saat di Bandung, dia bertemu dengan sahabatnya semasa kecil, Rusli, yang memperkenalkan seorang gadis bernama Kartini. Karena melihat bahwa Rusli dan Kartini adalah [[Marxisme-Leninisme|Marxis-Leninis]] yang [[atheis]], Hasan merasa seakan dipanggil untuk mengembalikan mereka ke agama Islam. Namun, dia tidak dapat mengatasi argumentasi Rusli yang menolak agama, sampai Hasan pun mulai meragukan keimanannya. Lama-kelamaan Hasan menjadi semakin sekuler, sampai pada suatu hari dia lebih memilih menonton film di bioskop bersama Kartini daripada sholat [[Maghrib]]. Melalui Rusli, Hasan diperkenalkan dengan berbagai orang yang menganut berbagai macam ideologi, termasuk Anwar, seorang [[nihilisme|nihilis]] yang suka main wanita; Hasan juga mulai mendekati Kartini.
Pada suatu hari, Hasan kembali ke Panyeredan bersama Anwar untuk mengunjungi keluarganya. Saat di sana, Anwar melihat dua penjaga malam yang ketakutan dekat suatu permakaman. Ketika diberi tahu bahwa penjaga malam itu melihat [[hantu]], Anwar masuk ke permakaman itu bersama Hasan untuk membuktikan bahwa tidak ada hantu di sana. Namun, Hasan merasa bahwa ada sesuatu yang mengincarnya; hal ini membuat dia melarikan diri dari permakaman tersebut. Ketika Anwar tertawa atas reaksi Hasan, Hasan merasa imannya sudah patah. Dia akhirnya bertengkar heboh dengan keluarganya soal agama, sehingga dia diusir dari rumah. Sekembali ke Bandung, dia menikah dengan Kartini.
Tiga tahun kemudian, hubungan Hasan dengan Kartini sudah memburuk. Mereka saling mencurigai. Akhirnya, Hasan melihat Kartini meninggalkan hotel bersama Anwar dan menduga kalau dia selingkuh - dugaan ini tidak benar. Hasan segera mencerai istrinya itu dan meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian, dia jatuh sakit mengidap [[tuberkulosis]]. Setelah beberapa minggu, dia kembali ke Panyeredan karena mendengar bahwa ayahnya sangat sakit. Biarpun dia hendak berbaikan, ayahnya mengusir Hasan sebagai godaan setan. Dalam keadaan putus asa, Hasan kembali ke Bandung.
Baris 58:
{{anchor|Kartini}}
;Kartini
:Kartini adalah seorang perempuan [[Marxisme–Leninisme|Marxis-Leninis]] yang diperkenalkan Rusli kepada Hasan. Karena Kartini mirip dengan cinta Hasan yang pertama, Hasan jatuh cinta padanya. Namun, setelah mereka menikah Hasan menjadi semakin cemburu dan mempertanyakan hubungan Kartini dengan Anwar, yang suka main mata dengannya. Ketika Anwar menjemput dia dari stasiun kereta api sehabis Kartini menjenguk tantenya, Anwar berusaha untuk memaksakan Kartini berhubungan mesra. Kartini menolak dan meninggalkan hotel, diikuti oleh Anwar. Setelah Hasan mencerainya karena interpretasinya atas kejadian ini, Kartini tinggal sendirian. Akhirnya Kartini menangis keras ketika mengetahui Hasan telah meninggal.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}
[[Berkas:Chairil Anwar.jpg|jmpl|Penyair [[Chairil Anwar]] mungkin menjadi inspirasi tokoh Anwar.]]
{{anchor|Anwar}}
;Anwar
:Anwar adalah seorang anarkis dan [[Nihilisme|nihilis]] yang merasakan dirinya sebagai Tuhan. Dia terkenal sebagai pemain wanita yang kasar dan tidak berhalangan memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri. Melalui tindakannya, Anwar adalah sebab kedua peristiwa yang menghancurkan hidup Hasan: ejekan Anwar membuat Hasan bertengkar dengan keluarga, dan sifat pemain wanita dan kebiasaan main matanya, yang akhirnya diarahkan ke Kartini, memicu cerainya Hasan.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}
:Anwar diperkirakan telah didasarkan pada penyair [[Chairil Anwar]],{{sfn|Maier|1996|p=131}} seorang anarkis individualis yang terkenal kasar, suka mencuri, dan suka main wanita.{{sfn|Yampolsky 2002, Chairil Anwar: Poet}} Teman Chairil Anwar, [[Nasjah Djamin]], menunjukkan bahwa penokohan Anwar mencerminkan watak penyair yang tidak peduli, tidak sopan, dan sombong itu dengan tepat.{{sfn|Djamin|LaJoubert|1972|pp=52–53}}
Baris 80:
Pada tahun 1986, Achdiat Karta Mihardja menulis bahwa ''Atheis'' dimaksud untuk mempertimbangkan [[Filsafat ketuhanan|ada-tidaknya Tuhan]].{{sfn|Mihardja|2009|p=180}} Menurut Mahayana dkk., tema utama ini terdapat di seluruh novel; mereka juga mencatat bahwa saat ''Atheis'' diterbitkan pertanyaan tersebut belum pernah dibahas dalam karya sastra Indonesia modern.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}} Maier berpendapat bahwa rasa bersalah, ketakutan, dan penyesalan menjadi dorongan kuat untuk novel ini.{{sfn|Maier|1996|p=142}}
Teeuw menjelaskan bahwa novel ini mengangkat tema klasik hubungan dunia modern dan tradisi dengan cara duniawi, yang beda dari karya-karya sebelumnya.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}} Balfas menulis bahwa pendekatan tema serupa ini di kemudian hari digunakan oleh [[penulis]] lain.{{sfn|Balfas|1976|p=91}}
== Simbolisme ==
Biarpun Achdiat menegaskan bahwa ''Atheis'' dimaksud untuk bersifat realistis dan bukan simbolis, ada sejumlah pembacaan simbolik yang pernah diusulkan. Menurut Achdiat, yang paling umum ialah bahwa kematian Hasan dimaksud untuk menggambarkan kemenangan atheisme atas agama, dengan kematian Hasan menjadi kematian [[
Menurut Maier, ''Atheis'' menjadi suatu [[alegori]] untuk perkembangan negara Indonesia. Hasan, yang mewakili tradisionalisme, dibunuh oleh orang Jepang, yang telah mengubah keadaan di [[Hindia Belanda]] saat menduduki Nusantara pada tahun 1942. Sementara, Anwar yang cenderung [[anarki]]s tidak mempunyai tempat di dunia modern. Hanya tokoh modern yang bertanggung jawab, yaitu Rusli, mampu menguatkan negara Indonesia, sebagaimana diwakili Kartini, untuk menghadapi dunia baru.{{sfn|Maier|1996|p=147}}
Baris 93:
== Penerbitan ==
''Atheis'' diterbikan pada tahun 1949 oleh [[Balai Pustaka]], yang menjadi penerbit nasional Indonesia merdeka;{{sfn|Maier|1996|p=129}} ''Atheis'' merupakan novel Achdiat yang pertama.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=79}} Menurut Teeuw, dengan diterbitkannya ''Atheis'' Achdiat langsung menjadi terkenal.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}} Maier mencatat bahwa sambutan baik ini mungkin tidak hanya karena kekuatan roman, melainkan juga karena kepribadian dan kedudukan Achdiat, yang sejalan dengan perlunya negara untuk menggunakan sastra, sebagai kebudayaan nasional yang paling berkembang, untuk membangun negara.{{sfn|Maier|1996|p=134}}
Pada tahun 1969 ''Atheis'' menerima penghargaan sastra dari pemerintah Indonesia, dan sehingga tahun 1970 sudah dicetak tiga kali dalam [[bahasa Melayu]].{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}} Pada tahun 1972 roman ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Macguire sebagai bagian proyek [[UNESCO Collection of Representative Works]],{{sfn|UNESCO, Atheis}} dan dua tahun kemudian [[Sjumandjaja]] mengadaptasinya menjadi film dengan [[Atheis (film)|judul yang sama]].{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}}
Baris 253:
|url=http://www.seasite.niu.edu/flin/literature/chairil-anwar_lat15.html
|title=Chairil Anwar: Poet of a Generation
|trans_title=Chairil Anwar: Penyair Sebuah Generasi
|language=Inggris
|last1=Yampolsky
|first1=Tinuk
Baris 261:
|work=SEAsite
|publisher=Center for Southeast Asian Studies, Northern Illinois University
|ref={{harvid|Yampolsky 2002, Chairil Anwar: Poet}}
|archive-date=2014-03-14
}}▼
|archive-url=https://web.archive.org/web/20140314041813/http://www.seasite.niu.edu/flin/literature/chairil-anwar_lat15.html
|dead-url=yes
▲ }}
{{refend}}
{{featured article}}
|